BAB I PENDAHULUAN. A. Permasalahan. dilakukan oleh masyarakat. Belanja yang awalnya merupakan real need atau

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berjenis mall, boutique, factory outlet, clothing, distro, telah menjadikan bisnis ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Berkembangnya era globalisasi dan pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyaknya kebutuhan konsumen yang bervariasi memberikan peluang bagi para peritel untuk mendapatkan konsumen

BAB I PENDAHULUAN. merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecenderungan Impulsive Buying. Murray dan Dholakia (2000), mendefinisikan impulsive buying sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. melewati tiga tahap yang berbeda namun berhubungan yang harus dilalui, tahap

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan kebutuhan konsumen yang bervariasi memberikan peluang bagi para pelaku bisnis terutama di

BAB I PENDAHULUAN. perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern menyebabkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. semakin banyaknya pusat-pusat perbelanjaan seperti department store, factory

BAB I PENDAHULUAN. Ini adalah tingkat pertumbuhan ritel tertinggi yang pernah dicapai Indonesia

BAB V PENUTUP. Didasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada. bab IV, maka dapat diambil kesimpulan bahwa :

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kegiatan pemasaran tidak bisa terlepas dari aktifitas bisnis yang bertujuan

2016 HUBUNGAN SEGMEN VALS (VALUE AND LIFESTYLE) DENGAN IMPULSE BUYING PADA KONSUMEN FACTORY OUTLET DI KOTA BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. teknologi menyebabkan meningkatnya jumlah barang atau produk yang

BAB V PENUTUP. 1. Fashion Involvement secara signifikan mempengaruhi Impulse Buying. keterlibatan konsumen terhadap produk fashion maka akan

BAB I PENDAHULUAN. Kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia dan termasuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era modern sekarang perkembangan perusahaan yang sangat pesat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan strategi masing-masing dalam mendapatkan konsumen yang diharapkan akan

BAB I PENDAHULUAN. Di kota Bandung akhir-akhir ini banyak bermunculan pusat-pusat

BAB I PENDAHULUAN. tersebut tentu saja membawa dampak dalam kehidupan manusia, baik dampak

BAB I PENDAHULUAN. jasa sampai - sampai ada istilah Pelanggan adalah raja. Inilah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perubahan dalam gaya hidup. Kehidupan yang semakin modern menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai calon-calon intelektual yang bersemangat, penuh dedikasi, enerjik, kritis,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dewasa ini telah membawa pengaruh yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. produk yang mereka perlukan sesuai dengan daftar belanjaan. Namun jika

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa contoh bentuk pusat perbelanjaan modern seperti minimarket,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. masyarakat yang tinggal di daerah perkotaan. Survei yang dilakukan oleh AC Nielsen

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN. Berdasarkan hasil analisis diatas, diperoleh hasil yang menyatakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan rencana. Pembelanja sekarang lebih impulsif dengan 21% mengatakan, mereka tidak

BAB I PENDAHULUAN. konsumtif dalam memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan (need) adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. adalah kebutuhan primer, sekunder dan tersier, kebutuhan yang pertama yang harus dipenuhi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah yang merupakan periode peralihan antara masa kanakkanak

BAB I PENDAHULUAN. diakses dalam hitungan detik, tidak terkecuali dengan perkembangan dunia fashion yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini sangat mudah sekali mencari barang-barang yang diinginkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Sarlito (2013) batasan umum usia remaja adalah tahun

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi saat ini yang diiringi dengan pertumbuhan ekonomi, memaksa

BAB I PENDAHULUAN. bisnis dibidang fashion semakin meningkat. Gaya hidup berbelanja. hanya bagi perempuan saja, laki-laki bahkan tidak

BAB I PENDAHULUAN. produk atau jasa untuk menarik simpatik masyarakat. Banyaknya usaha-usaha

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. inovasi desainer muda yang semakin potensial, tingkat perekonomian yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini perkembangan ekonomi di Indonesia meningkat sangat

BAB I PENDAHULUAN Sejarah PT Carrefour di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masa peralihan perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa

1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I. A. Latar Belakang Masalah. akademis dengan belajar, yang berguna bagi nusa dan bangsa di masa depan

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Belanja idealnya dilakukan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengubah pola perilaku konsumsi masyarakat. Globalisasi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. materialime yang menjurus pada pola hidup konsumtif. Perilaku konsumtif erat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis pengaruh fashion involvement,

BAB II LANDASAN TEORI. (1994) sebagai orang yang memiliki uang untuk dibelanjakan dan tinggal di kota

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

TESIS PENGARUH GAYA HIDUP HEDONIS, KECANDUAN BERBELANJA, KETERLIBATAN FASHION TERHADAP PEMBELIAN TIDAK TERENCANA PRODUK FASHION GLOBAL

BAB I PENDAHULUAN. berbagai macam alat teknologi seperti televisi, koran, majalah, dan telepon.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Konsumtif

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Industri Kreatif Indonesia pada Tahun Seni Pertunjukan. 2 Seni Rupa. 3 Televisi dan Radio.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Dwi Irawati, S.E, M.Si, PhD.cand. Murry Harmawan, S.E, M.Sc.

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan harus mampu memenuhi permintaan konsumen yang semakin hari

BAB I PENDAHULUAN. remaja sering mengalami kegoncangan dan emosinya menjadi tidak stabil

BAB I PENDAHULUAN. masa remaja pun kehidupan untuk berkumpul bersama teman-teman tidak lepas

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Sebagian besar konsumen Indonesia memiliki karakter unplanned.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai Hubungan Interaksi Kelompok Teman

BAB 1 PENDAHULUAN. bisnis ritel modern, khususnya di bidang fashion agar dapat memenangkan

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat sekarang ini sudah menjadikan belanja atau shopping bukan hanya

BAB I PENDAHULUAN. penelitian Gartner (2009), pasar komputer di seluruh dunia mengalami. produk komputer dewasa ini ialah komputer tablet.

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN KONFORMITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI DI SMAN 2 NGAWI BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perilaku konsumen yang terjadi pada era globalisasi saat ini sangat

BAB I PENDAHULUAN. elektronik, seperti televisi, internet dan alat-alat komunikasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Sehingga perusahaan memiliki strategi tersendiri dalam menarik konsumen yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maka dari itu manusia satu sama lain saling membutuhkan.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penentuan Pokok Bahasan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam memprediksikan perilaku pembelian konsumen terhadap suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia. Faktor-faktor pendorong..., Emir Zakiar, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. atau e-commerce juga terus berkembang. Dengan demikian lebih mempermudah

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sekunder dan tersier. Semua kebutuhan tersebut dipenuhi melalui aktivitas

BAB I PENDAHULUAN. selektif dalam melakukan proses pembelian atas suatu produk. Pada sisi yang lain

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan, perubahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dijalani setiap hari, setiap orang pasti membutuhkan sesuatu. Namun, kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. pakaian tidak hanya berguna sebagai alat yang digunakan manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Belanja merupakan salah satu kegiatan membeli barang atau jasa yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin memperkuat sinergisitas hubungan antar negara. Globalisasi

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Permasalahan 1. Latar Belakang Masalah Aktivitas berbelanja merupakan suatu aktivitas yang awam atau umum dilakukan oleh masyarakat. Belanja yang awalnya merupakan real need atau kebutuhan yang nyata untuk di penuhi menjadi felt need atau kebutuhan yang hanya berdasarkan pada keinginan individu untuk memuaskan hasrat berbelanja agar mendapatkan kepuasan atau kesenangan semata. Seperti dengan pendapat yang dikemukakan oleh Anin, dkk (2015) bahwa awalnya berbelanja hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi saat ini belanja juga sudah menjadi gaya hidup. Sehingga belanja tidak hanya untuk membeli kebutuhan pokok yang diperlukan, namun belanja dapat pula menunjukkan status sosial seseorang. Kata Belanja sendiri merupakan kata yang sering di dengar dalam lingkup perekonomian, baik di dalam rumah tangga, maupun di dalam dunia bisnis (Taviono, 2016). Perilaku pembelian yang dahulu bersifat rasional dengan memilih barang produk atau jasa, berdasarkan kebutuhan dan yang harganya sesuai dengan kemampuan, saat ini justru lebih bersifat irrasional yang ditunjukkan dengan ketertarikan secara cepat pada iklan dan promosi, mengoleksi produk bermerek atau branded yang sudah dikenal luas, hingga memilih produk bukan berdasarkan kebutuhan, melainkan gengsi atau prestise. Fenomena

2 pembelian di negara Indonesia tidak dapat dihindari salah satunya disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi di Indonesia yang stabil dan terus berkembang. Hasil survey Nielsen menempatkan negara Indonesia pada posisi teratas sebagai negara dengan tingkat konsumsi masyarakat yang tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara yang lainnya (Gerald, 2013). Pada bulan Juni 2013, Nielsen melaporkan studi penelitian bahwa konsumen Indonesia semakin impulsif dalam berbelanja. Terdapat beberapa indikasi-indikasi yang menunjukkan hal tersebut, hasil survei ini diperoleh melalui wawancara langsung dengan 1.804 responden di 5 kota besar di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan. Dari hasil survei tersebut menunjukkan bahwa tren pembelian impulsif konsumen Indonesia setiap tahun cenderung naik (Kramadibrata, 2014). Bagi kalangan remaja yang berorientasi konsumtif, aktivitas berbelanja memiliki pengertian tersendiri. Para remaja konsumtif cenderung menunjukkan eksperimen atau mencoba hal-hal yang di anggap baru (Loudon & Bitta, 1984). Akibatnya menurut Assauri (1987), tingkat keinginan remaja dalam melakukan pembelian berada pada tingkat yang paling tinggi. Bahkan keinginan remaja untuk selalu ingin mengikuti trend terbaru yang banyak digandrungi dalam komunitas sosialnya, menjadikan mereka lebih konsumtif. Bidang fashion atau mode selalu bergulir dengan cepat, hingga setiap minggunya terdapat keluaran model terbaru di dalam dunia fashion. Kondisi tersebut mendorong remaja rela mengalokasikan budgetnya hanya untuk membeli produk fashion branded atau bermerek mulai dari sepatu, pakaian, tas, topi,

3 aksesoris, dll. Hal ini terbukti dari survei yang dilakukan oleh PT The Nielsen Company (www.nielsen.com diakses pada tanggal 30 April 2017), yang menunjukkan bahwa produk fashion merupakan produk yang paling banyak dibeli para konsumen Indonesia. Penjualan produk tersebut sebesar 68 persen dari total perdagangan. Produk mode yang banyak dibeli atau pakaian, tas, sepatu, perhiasan, dan aksesoris. Produk impulsif kebanyakan merupakan barang-barang yang diinginkan untuk dibeli, dan kebanyakan merupakan barang yang tidak diperlukan oleh konsumen. Fenomena pembelian impulsif tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Namun pembelian impulsif di Indonesia cenderung lebih besar dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Di negara seperti India, di mana keberadaan pasar modern masih terbatas, pembelanja lebih berdisiplin untuk berbelanja sesuai dengan rencana. Indeks rata-ratanya mencapai 28% dibandingkan dengan Indonesia yang hanya 15%. Namun negara lain di wilayah Asia Pasifik atau Asia Utara indikasi impulsive buying ini jauh lebih tinggi, (Setiawan, 2007). Sebuah penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa pembelian impulsif di retail modern mencapai 44 % dari jumlah item yang dibeli konsumen pada hari kerja. Pada hari sabtu dan minggu jumlah tersebut meningkat menjadi 61 %. Hal ini didukung survey yang dilakukan AC Nielsen (2007) ternyata 85 % pembelanja di ritel modern Indonesia cenderung berbelanja sesuatu yang tidak direncanakan. Terjadinya pembelian impulsif pada konsumen apabila pertama produk yang memiliki harga yang rendah, kedua produk-produk yang memiliki mass

4 marketing, sehingga ketika berbelanja konsumen ingat bahwa produk tersebut tersebar pernah diiklankan di televisi. Ketiga adalah produk-produk dalam ukuran kecil dan mudah disimpan. Biasanya konsumen mengambil produk ini karena dianggap murah dan tidak terlalu membebani keranjang atau trolly belanjanya. Produk-produk tersebut adalah produk favorit dari remaja sehingga dorongan remaja untuk mengikuti trend tersebut pada akhirnya membuat mereka melakukan pembelian impulsif atau impulsive buying. Pembelian impulsif sudah menjadi gaya hidup yang menyebar ke setiap segmen populasi dan telah terjadi di berbagai situasi dan budaya yang berbeda (Kacen & Lee, 2002). Fenomena pembelian produk secara impulsif (impulsive buying) ini menarik untuk di teliti mengingat fenomena psikoekonomik ini banyak melanda kehidupan kaum remaja yang berada di kota-kota besar. Impulsive Buying sendiri menurut Murray (dalam Dholakia, 2000) merupakan kecenderungan individu untuk membeli secara spontan, reflektif, atau kurang melibatkan pikiran, segera, dan kinetik. Individu yang sangat impulsif lebih mungkin terus mendapatkan stimulus pembelian yang spontan, daftar belanja lebih terbuka, serta menerima ide pembelian yang tidak direncanakan secara tiba-tiba. Dengan kata lain, menurut Rook dan Gardner (1993) pembelian impulsif adalah tindakan yang tanpa pertimbangan, dan disertai dengan respon emosi yang kuat. Menurut Hawkins (2007) dan Kotler (2006), perilaku pembelian impulsif dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri dari motivasi, harga diri, observasi dan proses belajar, kepribadian dan konsep diri, serta gaya hidup. Berdasarkan pendapat tersebut

5 gaya hidup disebutkan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi impulsive buying. Gaya hidup seseorang mempengaruhi kebutuhan, keinginan serta perilakunya termasuk perilaku pembelian. Dengan demikian, gaya hidup seringkali dijadikan pedoman ketika akan membeli sesuatu dalam melakukan pembelian dan juga dijadikan sebagai motivasi dasar. Hawkins, Best dan Mothersbaugh (2007) memaparkan bahwa gaya hidup setiap orang mengarah pada pengalaman hidup, sikap, nilai-nilai, harapan, dan ekspresi akan situasi. Gaya hidup merupakan pola dimana individu memiliki kecenderungan untuk menghabiskan uang serta waktu yang mereka miliki (Engel, Blackwell dan Miniard, 1995). Gaya hidup remaja merupakan fenomena yang menarik untuk di perhatikan, terutama gaya hidup mereka dalam memakai atau mengenakan barang-barang yang bermerk mahal atau bergengsi. Remaja yang bergaya hidup menomorsatukan brand atau bermerek terkenal dan eksklusif rela mengeluarkan uangnya hanya untuk jaga gengsi dalam pergaulan. Baik itu masalah makanan dan minuman, pakaian, juga masalah hiburan (Food, Fashion, and Fun). Setiap orang ingin dianggap eksis dalam lingkungan pergaulannya. Bahkan mereka rela menghambur-hamburkan uang kedua orang tuanya demi mencapai eksistensi tersebut. Mereka sudah tidak memperdulikan betapa susahnya orang tua dalam mencari uang, yang mereka pikirkan hanyalah mencapai kepuasan dan keinginan. awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan yang dianggap perlu, namun lama-kelamaan sifat kecenderungan impulsive buying semakin besar sehingga individu cenderung membeli barang yang sebenarnya tidak mereka butuhkan.

6 Keinginan yang besarlah yang membuat mereka susah untuk menahan membelanjakan uang yang mereka miliki. Perilaku konsumtif ini dapat terus mengakar di dalam gaya hidup sekelompok remaja. Dalam perkembangannya, mereka akan menjadi orang-orang dewasa dengan gaya hidup konsumtif. Gaya hidup konsumtif ini harus didukung oleh kekuatan finansial yang memadai. Masalah lebih besar terjadi apabila pencapaian tingkat finansial itu dilakukan dengan segala macam cara yang tidak halal. Sebagai contohnya mencuri, merampok, dan sebagainya. Gaya hidup yang menomor satukan brand atau merek yang terkenal dan eksklusif pada remaja, tampak dari perilaku mereka dalam membeli dan kemudian mengenakan barang-barang branded atau bermerek tersebut. Menurut McNeal (2007), brand minded merupakan suatu bentuk dalam cara berpikir terhadap objek-objek komersil yang cenderung berorientasi pada brand atau merek terkenal, bergengsi, dan eksklusif. Dengan kata lain, gaya hidup Brand Minded merupakan gaya hidup yang berorientasi pada penggunaan barang bermerek terkenal, eksklusif, dan cenderung memilih merek yang harganya mahal. Oleh karena itu, individu yang memiliki kecenderungan mengikuti gaya hidup brand minded akan lebih mengikuti perkembangan produk branded atau bermerek terkenal. Akibatnya, mereka cenderung melakukan pembelian bukan lagi berdasarkan kebutuhan, melainkan dilakukan hanya demi kepuasan sesaat saja, tanpa memperhitungkan konsekuensinya. Hal inilah yang diduga mendorong para remaja dengan gaya hidup brand minded cenderung melakukan impulsive buying.

7 2. Perumusan Masalah Apakah terdapat hubungan antara gaya hidup brand minded dengan kecenderungan impulsive buying atau pembelian impulsif pada remaja? B. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara gaya hidup brand minded dengan kecenderungan impulsive buying atau pembelian impulsif pada remaja. 2. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis, yakni sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memperkaya wawasan dan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Psikologi Konsumen, Psikologi Remaja, dan Psikologi Perkembangan terkait dengan fenomena impulsive buying dan keterkaitannya dengan gaya hidup brand minded pada remaja. b. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan dalam bidang psikologi remaja sehingga dapat diupayakan yang tepat untuk dapat mengelola perilaku belanja dengan baik.

8 C. Keaslian Penelitian Penelitian tentang hubungan antara gaya hidup brand minded dengan kecenderungan impulsive buying pada remaja sepengetahuan peneliti belum pernah diteliti, namun terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menyerupai dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang menyerupai dengan penelitian ini antara lain adalah penelitian Anin, dkk (2015) tentang Hubungan Self Monitoring dengan Impulsive Buying terhadap Produk Fashion Pada Remaja dengan hasil adanya hubungan positif yang signifikan antara self monitoring dengan impulsive buying terhadap produk fashion pada remaja. Penelitian lain oleh Sihotang (2009) tentang Hubungan antara Konformitas terhadap Kelompok Teman Sebaya dengan Pembelian Impulsif pada Remaja, yang menunjukkan bahwa adanya hubungan yang positif antara konformitas terhadap kelompok teman sebaya dengan pembelian impulsif. Selain itu, penelitian yang juga dilakukan oleh Anugrah (2011) tentang Pengaruh Sikap terhadap Produk dan Gaya Hidup Brand Minded terhadap Keputusan Membeli Smartphone Blackberry pada Siswa SMA Al-Azhar Bumi Serpong Damai, yang menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara Gaya Hidup Brand Minded terhadap Keputusan Membeli Smartphone Blackberry pada Siswa SMA Al-Azhar Bumi Serpong Damai. Kosyu, dkk (2014) dalam penelitiannya tentang Pengaruh Hedonic Shopping Motives Terhadap Shopping Lifestyle dan Impulse Buying (Survei pada Pelanggan Outlet Stradivarius di Galaxy Mall Surabaya) menunjukkan bahwa hedonic shopping motives berpengaruh signifikan terhadap shopping lifestyle

9 dengan kontribusi sebesar 16,1%, hedonic shopping motives berpengaruh signifikan terhadap impulse buying dengan kontribusi sebesar 20,5%, dan shopping lifestyle berpengaruh signifikan terhadap impulse buying dengan kontribusi sebesar 20,5%. Di tambah pula penelitian oleh Kusuma (2014) dalam penelitiannya tentang Pengaruh fashion involvement, hedonic consumption tendency, dan positive emotion terhadap fashion oriented impulse buying kalangan remaja di Surabaya yang membuktikan bahwa fashion involvement berpengaruh positif terhadap positive emotion kalangan remaja di Surabaya, fashion involvement berpengaruh positif terhadap fashion oriented impulse buying kalangan remaja di Surabaya, fashion involvement berpengaruh positif terhadap hedonic consumption tendency berpengaruh kalangan remaja di Surabaya, hedonic consumption tendency berpengaruh positif terhadap positive emotion kalangan remaja di Surabaya, hedonic consumption tendency berpengaruh positif terhadap fashion oriented impulse buying kalangan remaja di Surabaya, dan positive emotion berpengaruh positif terhadap fashion oriented impulse buying. Berdasarkan apa yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perbedaan penelitian ini dengan peneliti terdahulu adalah variabel bebasnya yaitu gaya hidup brand minded, sedangkan variabel terikatnya kecenderungan impulsive buying pada remaja, tempat penelitiannya di kawasan Surabaya Timur, subyek yang digunakan dalam penelitian ini yaitu remaja laki-laki dan perempuan berusia 12-21 tahun berjumlah sebanyak 100 orang dengan karakteristik pernah melakukan pembelian produk atau barang branded secara online maupun offline (secara

10 langsung), dan remaja yang pernah melakukan pembelian produk atau barang branded sebanyak lebih dari tiga kali.