J u r n a l Infrastruktur dan Lingkungan Binaan Infrastructure and Built Environment Vol. I No. 1, Juni 2005



dokumen-dokumen yang mirip
BAB II SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI DAERAH RAWAN BANJIR

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

penyediaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah (pasal 6 huruf d).

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 8. SUPLEMEN PENGINDRAAN JAUH, PEMETAAN, DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG)LATIHAN SOAL 8.3.

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Bab II Bab III Bab IV Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kabupaten Sijunjung Perumusan Tujuan Dasar Perumusan Tujuan....

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Penyusunan Basis Data untuk Identifikasi Daerah Rawan Banjir Dikaitkan dengan Infrastruktur Data Spasial

PERANCANGAN INFRASTRUKTUR DATA SPASIAL DAERAH (IDSD) DENGAN MENGGUNAKAN MICROSOFT ACCSESS DAN MICROSOFT VISUAL BASIC (STUDI KASUS : KOTA MAKASSAR)


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG BADAN KOORDINASI SURVEI DAN PEMETAAN NASIONAL

Pembangunan Basis Data Guna Lahan Kabupaten Bengkalis

Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan Secara Umum Pulau Jawa

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. a. Surat permohonan kerja praktik dari Fakultas Teknik Universitas. lampung kepada CV.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2000 TENTANG TINGKAT KETELITIAN PETA UNTUK PENATAAN RUANG WILAYAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

LOGO Potens i Guna Lahan

TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR

Syarat Penentuan Lokasi TPA Sampah

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

DAFTAR ISI TATA CARA PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR SUBSTANSI DALAM PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR 1. 2.

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

[ TEKNIK PERENCANAAN TATA GUNA LAHAN]

BAB IV ANALISIS. 1. keberadaan dan ketersediaan data 2. data dasar 3. hasil 4. rancangan IDS untuk identifikasi daerah rawan banjir

2 rencana tata ruang itu digunakan sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan analisis dan proses síntesis penuangan rencana

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

BAB 3 IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI UU NOMOR 4 TAHUN 2011 MENGENAI INFORMASI GEOSPASIAL TEMATIK KELAUTAN

BAB 5 RTRW KABUPATEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB 4 SUBSTANSI DATA DAN ANALISIS PENYUSUNAN RTRW KABUPATEN

Analisis dan Pemetaan Lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dengan Sistem Informasi Geografis dan Metode Simple Additive Weighting

BEST PRACTICES IMPLEMENTASI KEBIJAKAN SATU PETA DALAM PENYEDIAAN DATA SPASIAL INVENTARISASI GRK

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 85 TAHUN 2007 TENTANG JARINGAN DATA SPASIAL NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEBIJAKAN SATU PETA DAN KONTRIBUSINYA DALAM MENDUKUNG PERUBAHAN IKLIM

Tema : Ketidaksesuaian Penggunaan Lahan

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

SIG (SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS) Oleh : Djunijanto

B A B I P E N D A H U L U A N

19 Oktober Ema Umilia

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

12. Tarigan, Robinson Perencanaan Pembangunan Wilayah. Bumi Aksara : Jakarta. 13. Virtriana, Riantini. 2007, Analisis Korelasi Jumlah Penduduk

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

Pembangunan Geodatabase Ruang Terbuka Hijau Kota Bandung

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI

Prinsip Interkoneksi Informasi Dalam Penanganan Bencana Banjir* Dicky R. Munaf ** Abstract

Gambar 3. Peta Orientasi Lokasi Studi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Polusi maupun efek rumah kaca yang meningkat yang tidak disertai. lama semakin meninggi, sehingga hal tersebut merusak

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

Peraturan Perundangan. Pasal 33 ayat 3 UUD Pasal 4 UU 41/1999 Tentang Kehutanan. Pasal 8 Keppres 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

BAB III KEGIATAN KERJA PRAKTIK. Persiapan

2.1. TUJUAN PENATAAN RUANG WILAYAH KOTA BANDA ACEH

BAB III METODE PENELITIAN

Titiek Suparwati Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial. Disampaikan dalam Workshop Nasional Akselerasi RZWP3K

III METODOLOGI. Gambar 2. Peta lokasi penelitian.

TUGAS EVALUASI SURVEI DAN EVALUASI LAHAN TENTANG SURVEI LAPANGAN (METODE INDEKS STORIE)

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

PENGEMBANGAN POTENSI WISATA ALAM KABUPATEN TULUNGAGUNG DENGAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

TPL 106 GEOLOGI PEMUKIMAN

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

MPS Kabupaten Bantaeng Latar Belakang

RINGKASAN PROGRAM PENELITIAN HIBAH BERSAING TAHUN ANGGARAN TAHUN 2013

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. Dalam rangka mendukung penelitian ini, dikemukakan beberapa teori menurut

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

A. Pendahuluan Sistem Informasi Geografis/GIS (Geographic Information System) merupakan bentuk cara penyajian informasi terkait dengan objek berupa

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PERTANIAN PADI DI KABUPATEN BANTUL, D.I. YOGYAKARTA

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

2.8 Kerangka Pemikiran Penelitian Hipotesis.. 28

Materi : Bab II. KARTOGRAFI Pengajar : Ir. Yuwono, MS

GAMBARAN UMUM KONDISI DAERAH

Transkripsi:

Pembangunan Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD) Propinsi Jawa Barat: Kelompok Data Dasar (KDD) dalam Penentuan Kawasan Lindung T. Lukman Aziz Departemen Teknik Geodesi ITB, tlaziz@gd.itb.ac.id Abstrak Sistem Informasi Geografis (SIG) di Jawa Barat sudah dimulai sejak 5 tahun yang lalu. Tetapi dalam pelaksanaannya terdapat banyak hambatan karena Infrastruktur SIG-nya belum disiapkan (data, standar teknis, jaring kerja organisasi, sumber daya manusia). Tulisan ini mengkaji salah satu aspek dari Pembangunan Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD) Propinsi Jawa Barat yaitu tentang Kelompok Data Dasar (KDD) untuk aplikasi Arahan Kawasan Lindung. Pertanyaan tentang apa saja data yang diperlukan menjadi sangat penting karena persoalannya bukan semata-mata teknis tetapi juga non-teknis. Diperlukan koordinasi yang baik karena banyak pihak terlibat dalam proses pengadaan, pemeliharaan data tersebut. Kata kunci: Kelompok Data Dasar, Infrastruktur SIG, Kawasan Lindung. Abstract Geographic Information System has been introduced in West Java Province since 5 years ago. However, there are many issues to consider when setting up and to apply a GIS because the GIS s infrastructure is not prepared yet. This includes fundamental data sets, technical standard, organization network as well as human resource. For example the data coming from several sources and being used for the GIS; the problem with communication and data exchange; the problem with data integrity; accuracy requirements to be set and met; the logical consistency of the data; etc. With respect to Indonesian s national GIS, this paper discussed the fundamental data sets apply to conservation area as part of the GIS s infrastructure development in West Java Province. It is obvious that the question is what information we need to include in the GIS. This is not only a question of the technical aspects but also the non-technical aspects. In many cases, the non-technical aspects are more critical. The coordination body is needed since many of the governmental departments will involve in the process. 1. Pendahuluan Sistem Informasi Geografik (SIG) merupakan bagian dari kemajuan teknologi informasi (information technology). Sebagai teknologi berbasis komputer, SIG harus diperhitungkan bagi mereka yang berkecimpung dalam berbagai bidang pekerjaan seperti perencanaan, inventarisasi, monitoring, dan pengambilan keputusan. Bidang aplikasi SIG yang demikian luas, dari urusan militer sampai pada persoalan bagaimana mencari jalur terpendek untuk peng-antaran barang/delivery system, menghendaki penanganan pekerjaan yang dilakukan secara terpadu (integrated) dan multi-disiplin. Dengan semakin berkembangnya pemanfaatan SIG, kegiatan pengadaan data spasial pun akan meningkat. Dari data spasial, akan dihasilkan informasi tertentu, sesuai dengan aplikasi yang diinginkan. Pengadaan data merupakan salah satu kegiatan yang memerlukan biaya tinggi dan alokasi waktu yang cukup lama. Mengingat besarnya investasi yang harus dikeluarkan untuk pengadaan dan pemeliharaan, maka diperlukan adanya suatu upaya untuk mengurangi biaya. Perukaran data spasial (spatial data exchange) atau menggunakan data spasial secara bersama-sama (spatial data sharing), merupakan salah satu upaya untuk mengurangi biaya yang diperlukan. Setiap pengguna (users) yang memerlukan data spasial di lokasi tertentu, dapat menggunakan data dari institusi penyedia data atau dari pengguna lain yang telah memiliki data spasial di lokasi tertentu. Dari sudut pandang teknis, seringkali dijumpai kenyataan bahwa berbagai institusi penyedia data spasial umumnya menyimpan dan mengelola data spasial dalam model/format yang berbeda-beda. Akibatnya para pengguna akan menemui kesulitan apabila ingin menggunakan data tersebut dalam aplikasi yang diinginkan.

Untuk itu diperlukan model yang baku/standar dalam penyimpanan maupun pengelolaan data spasial, sehingga para pengguna tidak perlu melakukan proses konversi yang cukup rumit sebelum menggunakan data spasial tersebut. Penggunaan standar data spasial, di samping akan menekan biaya pengadaan data, juga akan meningkatkan manfaat dari data itu sendiri, karena data yang sama dapat digunakan oleh berbagai pengguna untuk berbagai keperluan yang berbeda. Dalam perpektif SIG konsep spatial data sharing dapat terwujud bila masing-masing pengguna dapat saling menginformasikan data yang telah dimiliki dalam cakupan wilayah tertentu. Data tersebut dihimpun berdasarkan standar tertentu dalam bentuk basis data spasial. Untuk itu diperlukan suatu sistem untuk menentukan standar, prosedur, bentuk, dan aturan kerja sama antarinstitusi pengguna data spasial (Sumarno, 2003). Kerjasama pemanfaatan data spasial dapat dilakukan dengan membentuk Infrastruktur Data Spasial (IDS), yaitu semua aspek yang akan membuat SIG berfungsi dan beroperasi dengan baik. 2. Infrastruktur Data Spasial (IDS) SIG Secara umum infrastruktur SIG ini perlu dipersoalkan karena: 1. Teknologi saja tidak menjamin efisiensi dan efektifitas pekerjaan SIG. Ada faktor lain di luar teknologi seperti: hubungan institusio-nal, peraturan-peraturan yang ada (politis), aspek kultural, kaitan dengan teknologi geo-informasi yang secara historis sudah sejak lama dipakai, sumber daya manusia, dan sebagainya. 2. Sifat dari data dijital yang sangat fleksibel sehingga akan ada persoalan dalam kemudahan akses, kepemilikan data (copy right), biaya, dan sebagainya. 3. Jumlah dan potensi pengguna data dijital semakin meningkat. 4. Data perlu diseleksi untuk disimpan (dari sekian banyak data yang dikumpulkan untuk berbagai keperluan). 5. Diperlukan upaya untuk menjaga akibat yang ditimbulkan ketika data di-ganda-kan, di-gandaturunkan, dipertukarkan, dan sebagainya. Infrastruktur SIG oleh Permanent Committee for GIS Infrastructure in Asia and the Pacific (1998), dirumuskan sebagai berikut: 1. Institutional framework which defines the policy, legislative and administrative arrangement for building, maintaining, accessing and applying standard and fundamental datasets. 2. Technical standard which define the technical characteristics of fundamental datasets 3. Fundamental datasets which include the geodetic framework, topographic data bases and cadastral data bases 4. Technical framework which enables user to identify and access fundamental datasets forming the basis of a national or regional land administration, land right and tenure, resources management and conservation and economic develop-ment, that support the organization and the analysis of a range of spatial and relate information for a wide range of social, economic and environmental purposes. Dari rumusan tersebut di atas, terlihat jelas bahwa benang merah persoalan infrastruktur SIG adalah masalah fundamental datasets atau data dasar. Salah satu aspek yang jadi persoalan dalam data dasar adalah standarisasi, apakah itu jaringan kerja institusi (institutional framework), standari-sasi teknis (technical standard), basis data dan akses terhadap data dasar tersebut. Pada dasarnya IDS merupakan inisiatif untuk membuat suatu kondisi yang memungkinkan berbagai macam pengguna dapat mengakses dan memperoleh data dalam cakupan wilayah tertentu, secara lengkap, konsisten, mudah dan aman. IDS juga merupakan dasar dalam melakukan fasilitasi dan koordinasi dalam melakukan pertukaran data spasial diantara stakeholder dari berbagai macam tingkat jurisdiksi dalam komunitas data spasial (Rajabidfard and Williamson, 2000). 3. Data Dasar SIG Sekitar 25 tahun terakhir, semakin banyak data spasial SIG yang dikumpulkan dalam bentuk dijital. Oleh para penggunanya data yang dikumpulkan disimpan dalam berbagai jenis basis data, yang akan digunakan baik untuk sendiri maupun di komersialkan. Apa saja data yang disimpan tersebut tidak banyak diketahui orang.

Di lain pihak perkembangan yang sangat pesat dalam teknologi informasi akan memberi pengaruh pada mereka yang terlibat dalam pekerjaan analisis dan pengambil keputusan. Mereka memerlukan data yang dapat dipasok secara cepat. Akibatnya para pemasok data berusaha agar data dapat diintegrasikan dan diproduksi lebih cepat. Proses pengumpulan data SIG itu sendiri akan selalu makan waktu dan biaya sehingga efisiensi dalam produksi data merupakan suatu keharusan. Secara harfiah data dasar adalah data yang dipakai sebagai rujukan, yang paling diperlukan oleh sebagian besar pengguna untuk melaksanakan pekerjaan SIG. Pengertian 'data dipakai sebagai rujukan' berarti bahwa data tersebut mempunyai geo-referensi yang jelas, misalnya data jaringan titik kontrol geodesi, data topografi, data kadastral (lihat Gambar 1 - Unsur-unsur Pembentuk SIG). Secara konsepsi data dasar ini akan dipakai bersama (sharing) oleh para pengguna. Hal ini berarti bahwa akan ada persoalan bagaimana menggunakan data dari satu sistem informasi ke sistem informasi lainnya (data exchange). Dengan kemajuan teknologi penanganan dan komunikasi data sudah dimungkinkan sehingga secara teknis pada saat ini bukan merupakan masalah yang rumit. Hal lain yang selalu dihadapi dalam penggunaan data dasar ini adalah masalah-masalah: Distribusi data; dimana data tersebut dapat diperoleh dan bagaimana para pengguna mengetahui apakah data tersebut sesuai dengan keperluannya? Data topografi misalnya, merupakan bagian dari tanggung jawab organisasi pemetaan nasional, tetapi organisasi pemetaan nasional bukan satu-satunya produser data topografi. Yang dihadapi di sini adalah kualitas dan kecocokan data tersebut bagi pengguna. Pengetahuan tentang kualitas data pada umumnya hanya dimiliki oleh mereka yang berada dalam organisasi pemetaan, padahal pengguna data SIG tidak selalu mereka yang mempunyai pengetahuan tentang kualitas data. Untuk ini pihak produser data harus melengkapi informasi tentang data yang umumnya dikenal sebagai meta data. Standarisasi data; pengertian data standar adalah kesepakatan tentang bagaimana data disajikan dalam sistem, terutama isi (content), jenis (type) dan format data. Pertukaran data antarbasis data jelas tidak mudah, demikian juga query languagenya. Perkembangan teknologi saat ini, sudah memperlihatkan kemungkinan ini, misalnya melalui Digital Geographic Information Exchange Standard (DIGEST), Topologically Integrated Geographic Encoding and Referencing (TIGER), Spatial Data Transfer Standard (SDTS). Data yang heterogen (heterogeneity); artinya ada perbedaan dalam jenis, kualitas atau karakter karena data spasial tidak hanya berada di satu tempat, disimpan dalam basis data dan struktur yang berbeda, dikumpulkan untuk berbagai macam keperluan. Artinya ada ketidak-konsistenan antardata spasial. Hal ini akan membawa persoalan dalam data sharing. Masalah yang berhubungan dengan institusi dan ekonomi; persoalan ini timbul karena tidak adanya kebijakan yang berhubungan dengan harga, hak cipta, jaminan kebenaran (liability) dan kecocokan data dengan standard. Kalau masalah ini dapat diselesaikan maka proses data sharing akan lebih baik. Jaringan komunikasi komputer; hal ini berhubungan dengan teknologi jaringan komunikasi yang paling cocok dalam melakukan transfer data karena yang dipersoalkan ialah data yang sangat banyak. Jaringan komunikasi apa yang harus dapat menjamin dan dipercaya untuk melakukan data transfer. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah communication protocols yang mempermudah pengguna dalam melakukan search, browse dan mekanisme memperoleh data. 4. Standarisasi Data Dasar Tujuan standarisasi adalah untuk keseragam-an (uniformity) meskipun dalam beberapa kasus hal ini tidak selalu berhasil karena adanya perbedaan view dan interest dari pengguna. Keseragaman yang dipersoalkan di sini lebih ditujukan untuk masalah kejelasan (clarity) dengan tujuan untuk mmpermudah proses pertukaran data (exchange format). Dalam proses transfer data antarsistem, pengguna akan menghadapi persoalan; media transfernya tidak kompartibel, format data secara fisik dan logikal akan berbeda, tidak ada informasi tentang kualitas data. Oleh karena itu dengan adanya standar persoalan yang disebutkan dalam transfer data akan dapat dipermudah. Detail persoalan dalam standar cukup banyak.

Data yang bergeoreferensi File gambar dan atribut Perangkat analisis spasial SIG Informasi Geografik Gambar 1. Unsur-unsur SIG (Henry Tom, 1999) Kalau kita ambil penggunaan data topografi sebagai data masukan untuk SIG, standarisasi ini dapat dimulai dari: Standar klasifikasi unsur-unsur topografik Standar evaluasi kualitas data dijital topografik Standar pemrosesan data elektronik dalam aplikasi data dijital topografik. Penggunaan data sebagai masukan dalam pekerjaan SIG memerlukan adanya standarisasi karena yang dihadapi adalah 'bergerak'nya data yang disimpan dalam basis data dari satu sistem ke basis data dalam sistem yang lain. Yang diinginkan adalah usaha mencegah data yang hilang akibat struktur dan format yang berbeda. Standard ini sifatnya bisa lokal, nasional dan internasional. Dalam proses transfer, secara fisik data selalu 'bergerak' dari satu sistem ke sistem yang lain. Pekembangan SIG saat ini memungkinkan pengguna bekerja untuk mentransfer data dari satu sistem ke sistem lain, yang populer dengan nama interoperability. Teknologi ini masih belum tersedia secara luas di pasaran. Yang dikembangkan dalam interoperability ini adalah perangkat lunak SIG yang mampu mengakses data dari sistem yang berbeda (dihubungkan melalui jaringan komputer) melalui interface. Data, secara fisik, tidak perlu pindah dari satu sistem ke sistem lain. Seluruh proses ini akan diatur oleh organisasi yang bernama the Open GIS Consortium. 5. Infrastruktur Data Spasial dan KDD Propinsi Jawa Barat Data dasar IDS merupakan kelompok data yang dibutuhkan oleh sebagai besar institusi dalam komunitas IDS dalam cakupan wilayah tertentu. Mengacu pada pembangunan IDS di Indonesia, di tingkat nasional (IDSN) belum ada definisi maupun deskripsi jenis tematik data dasar yang baku. Namun demikian dalam kasus pembangunan IDSD Propinsi Jawa Barat, Sumarno (2003) telah mengidentifikasi-kan model rumusan yang dapat digunakan sebagai dasa dasar. Data dasar ini, dalam pembangunan IDSD Propinsi Jawa Barat termasuk dalam komponen KDD. KDD harus dapat menyediakan data dasar bagi kepenting-an pengguna dalam komunitas IDSD Propinsi Jawa Barat. (land use). Disamping itu, KDD diharapkan dan harus dapat menyedia-kan data dasar bagi kepentingan pengguna dalam komunitas IDSD Propinsi Jawa Barat. Sebagai gambaran, pembangunan IDS di Propinsi Jawa Barat, diawali dengan pembentukan forum yang dinamakan Sistem Informasi Geografik Daerah (SIGDA) pada tahun 2001. Forum SIGDA dibentuk sebagai sarana koordinasi antar institusi propinsi dan kabupaten, untuk mengidentifikasi masalah dan mencari solusinya, membentuk panduan serta mengimplementasikan SIGDA (Bappeda, 2001). Forum tersebut menghasilkan kesepakatankesepakatan sebagai berikut:

Akan menggunakan peta sebagai salah satu media pengambil keputusan. Akan melakukan kajian mengenai keter-sediaan peta di daerah Mengadakan kegiatan untuk pengadaan peta sampai ke tingkat desa. Selanjutnya forum SIGDA tersebut berubah menjadi kegiatan pembangunan Infrastruktur Data Spasial Daerah Propinsi Jawa Barat. Tahun 2002, dalam lokakarya pembangunan IDS Propinsi Jawa Barat, telah disepakati empat komponen yang perlu diperhatikan dalam membangun IDS (Bappeda, 2002) yaitu: Kerangka Institusi Kelompok Data Dasar Standar Teknis Jaringan Akses Data Salah satu sasaran yang ditetapkan adalah terwujudnya KDD Jawa Barat dengan skala yang sesuai dengan kebutuhan stake holder pada tahun 2008. Sedangkan prioritas datanya ditetapkan sebagai berikut: Pada tingkat skala, seluruh wilayah Propinsi Jawa Barat, skala 1:10.000 untuk data spasial dasar, dan skala 1:25.000 untuk data spasial tematik Pada aspek tema, diprioritaskan data dengan tema kemiringan lereng (slope), curah hujan dan jenis tanah (soil) dan tata guna tanah Dengan memperhitungkan aspek juridis, faktual, historis serta tugas pokok instansi, model KDD adalah seperti yang terlihat pada Tabel 1. 5.1 KDD dalam Penentuan Kawasan Lindung Data tematik yang dirumuskan dalam KDD umumnya dipakai untuk aplikasi SIG dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Hal ini dimungkinkan karena: 1. Penataan ruang merupakan kegiatan yang bersifat lintas sektoral sehingga memerlukan data dari berbagai sumber, diantaranya data spasial. Dilain pihak pembangunan IDS pada dasarnya adalah bagaimana membentuk suatu jaringan yang terdiri dari berbagai macam instansi yang menghasilkan maupun menggunakan data spasial. 2. Penataan ruang memiliki standar dan kriteria yang terdiri dari berbagai macam data spasial sebagai masukannya, sehingga data tematik yang teriden-tifikasi dalam IDS dapat digunakan pada kegiatan tersebut. Mengingat luasnya substansi yang terkandung dalam Penataan Ruang, maka aplikasi secara khusus diterapkan dalam menentukan Arahan Kawasan Lindung pada penyusunan RTRW, dengan pertimbangan: 1. Perkembangan yang terjadi saat ini, yaitu terjadi ketidaksesuaian pengguna-an lahan dengan rencana yang telah ditetapkan. Kondisi tersebut diperparah pula oleh kegiatan-kegiatan yang tidak mengindahkan lagi daya dukung lahan (Bappeda Jabar, 2003) 2. Sejak ditetapkannya RTRW Propinsi Jawa Barat dengan Perda No. 3 Tahun 1994, tercatat sekitar 33% dari keseluruhan pemanfaatan ruang yang penggunaan lahannya tidak sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Bahkan sekitar 17.41% diantaranya terjadi pada kawasan yang berfungsi lindung (Bappeda Jabar, 2003). 3. Dari hasil kajian dan dialog dengan Bappeda Jabar, pemanfaatan ruang Propinsi Jawa Barat, khususnya Kawasan Lindung, disesuaikan dengan daya dukung fisik dan lingkungan. Untuk ini dialokasikan luas Kawasan Lindung sebesar 45% dari luas total Jawa Barat Proses kebutuhan data spasial dalam penentuan kawasan Lindung dilakukan sebagaimana penentuan suatu kawasan yang didasarkan pada ana;isis sumber daya alam dan sumber daya buatan. Mengacu pada PP No. 47 Tahun 1997 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Keppres No. 32 tahun 1990 mengenai Pengelolaan Kawasan Lindung, dan berdasarkan Perda No. 2 Tahun 1996, kawasan Lindung terdiri dari tujuh kawasan, yaitu: (1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya, (2) Kawasan Suaka Alam, (3) Kawasan Pelestarian Alam, (4) Kawasan Cagar Alam Budaya dan Ilmu Pengetahuan, (5) Kawasan Rawan Bencana, (6) Kawasan Perlindungan Setempat dan (7) Kawasan Perlindungan Plasma Nuftah Eks-situ. Penetapan ketujuh kawasan tersebut ditentukan berdasarkan kriteria dan parameter tertentu.

Tabel 1. KDD IDS Propinsi Jawa Barat (Sumber: Sumarno, 2003) Tema Topik / Kelas Nama lain Kontrol Geodesi Jaringan Kontrol Geodesi Datum Tinggi Model Geoid Ketinggian Bentuk permukaan Tanah... Batimetri Kepemilikan Persil Tanah Kepemilikan Tanah Administrasi Batas Administrasi Pemerintahan... Batas Konsesi Pertambangan Unsur Alam Klasifikasi Tanah Transportasi Klasifikasi Unsur Laut Klasifikasi Vegetasi Dataran... Keanekaragaman Hayati Daratan... Keanekaragaman Hayati Lautan... Fauna Daratan... Fauna Lautan Hidrogeologi... Oceanografi Iklim Makro... Sistem Tanah dan Lautan... Daerah Bencana Alam... Daerah Aliran Sungai Aliran Sungai Batas Pantai... Geologi... Sumber Daya Mineral... Unsur Aviasi Transportasi Laut Garis Tengah (as) Jalan... Garis tengan (as) Jalur Kereta Api Ketinggian Kelerengan/kemiringan Batas Administrasi Jenis Tanah Persediaan Tanah Kedalaman Tanah Kesuburan Tanah Tekstur Tanah Permeabilitas dan PH Tanah Hutan Pembukaan Hutan Perkebunan (Arahan) Lahan Pertanian Kerusakan Lahan Penggunaan (Cagar Alam) Keanekaragaman Hayati Aquatik Keanekaragaman Hayati Habitat Hidrogeologi Potensi Sumber Daya Air Resapan Air Tipe Iklim Intensitas Hujan Curah Hujan Kualitas Udara Sistem Lahan Status Lahan Kesesuaian Lahan Daerah Bencana Alam Daerah Rawan Bencana Gunung Api (Rawan) Gerakan Tanah (Kepekaan) Erosi Garis Pantai (Geologi dan Patahan) Pertambangan Energi & Migas Jaringan Jalan Tema Topik / Kelas Nama lain

Sosio-ekonomi Demografi... Zona Perencanaan Terestris... Zona Perencanaan Lautan Tata Guna Tanah Perkotaan dan Pedesaan... Zona Aktivitas Lautan dan Pesisir Sosial-ekonomi RTRW (Struktur Tata Ruang) Wilayah Pembangunan Pengembangan Lahan Kemampuan Wilayah Zonasi Lahan Masalah Lahan Tata Guna Lahan Penggunaan Lahan Persediaan Lahan Lingkungan Binaan Unsur Budaya Jaringan Drainase, Buangan & Irigasi Jaringan Listrik dan Gas Jaringan Telekomunikasi Blok Pemukiman Sebaran Industri Daerah (Kawasan) Wisata Irigasi Tata Guna Air Contoh pelaksanaan KDD untuk (1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya, akan dijelaskan sebagai berikut: Kawasan ini merupakan kawasan lindung yang berfungsi memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya, berupa kawasan hutan lindung dan kawasan resapan air. Perlindungan terhadap kawasan hutan lindung dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin tersedianya unsur hara, air tanah dan air permukaan. Berdasarkan Keppres No. 32 tahun 1990 dan PP No. 47 tahun 1997, penentuan hutan lindung menggunakan nilai skor > 175. Kriteria dan Kebutuhan Data Spasial dalam penentuan Kawasan Hutan Lindung dapat dilihat pada Gambar 2. Kemiringan lereng Intensitas hujan No. Kelas (%) Skor 1 0-5% 20 2 5-15% 40 3 15-25% 60 4 25-40% 80 5 > 40 % 100 No Kelas (mm/hr) Skor 1 0-1. 36 10 2 1.36-2.07 20 3 2.07-2.77 30 4 2.77 3.46 40 5 > 3.46 50 Penentuan Kawasan Hutan Lindung Skor > 175 Kemiringan > 40 % Kepekaan Tanah Erosi No Kelas Skor 1 Tidak Peka 15 2 Kurang Peka 30 3 Agak Peka 45 4 Peka 60 5 Sangat Peka 75 Hutan Lindung Ketinggian Ketinggian > 2000 m Gambar 2 Proses Penentuan Kawasan Hutan Lindung

Sedangkan KDD yang digunakan (lihat Tabel 1) adalah Bentuk permukaan Tanah/ Kelerengan, Intensitas Hujan, Jenis Tanah dan Hutan. 5.2 Diskusi Dalam pembangunan Infrastruktur Data Spasial Daerah (IDSD) Propinsi Jawa Barat telah terkumpul sebanyak 99 data yang bersumber dari beberapa instansi, baik instansi daerah (Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat) dan instansi pusat. Instansi daerah yang paling banyak memiliki data adalah Bappeda Propinsi Jawa Barat sedangkan instansi pusat yang terbanyak berasal dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal). Yang perlu dijadikan perhatian adalah bahwa tantangan dan permasalahan data dasar atau KDD bukan semata-mata tanggung jawab produser data saja. Semua pihak yang terlibat dengan persoalan infrastruktur SIG harus ikut berperan serta, terutama dalam memberikan kontribusi nya akan data yang diinginkan. Disamping aspek teknis hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah aspek non-teknis yang segera harus diselesaikan. Aspek non teknis ini menyangkut hal-hal seperti kebijakan yang berhubungan dengan harga, hak cipta, jaminan kebenaran (liability) dan kecocokan data dengan aplikasi yang diinginkan. Bagaimana membuat agar SIG dapat diaplikasikan dalam semua tingkat sangat ditentukan oleh kerjasama yang baik dari para produser dan pengguna data. Dalam implementasi KDD, khususnya untuk penetapan kawasan lindung pada proses penyusunan RTRW diperlukan sebanyak 26 jenis data, tetapi hanya 17 data yang memenuhi. Artinya masih sekitar 9 jenis data lagi yang tidak ada dalam rumusan KDD. Ketidak-beradaan data tersebut tentunya mempengaruhi hasil yaitu tidak tercapainya beberapa substansi yang diinginkan (mis. Kawasan Suaka Alam Laut). Akibat lain dari persoalan tidak ada data ini adalah hasil akhir yang tidak konsisten. Secara teknis juga terdapat kendala, misalnya sistem proyeksi yang berbeda, sehingga diperlukan tahap konversi sistem proyeksi. 5. Penutup Secara umum keberadaan existing data dalam rumusan KDD dapat dipakai untuk penentuan arahan Kawasan Lindung yang merupakan bagian dari produk perencanaan Tata Ruang. Meskipun demikian harus dikaji lebih lanjut operasionalisai rumusan KDD ini untuk aplikasi lain, misalnya dalam aplikasi yang menyangkut lingkungan hidup. Ucapan Terima Kasih Tulisan ini merupakan bagian dari Penelitian yang berjudul Implementasi Kelompok Data Dasar Dalam Penentuan Kawasan Lindung, Studi Kasus Jawa Barat yang mendapat bantuan dana dari FTSP ITB, tahun anggaran 2004. Anggota tim peneliti yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini adalah Dr. Ir. D. Muhally Hakim dan Dhani Gumelar, ST, MT. Untuk semua ini penulis mengucapkan terima kasih. Pustaka: Bappeda Propinsi Jawa Barat (2001): Pengembangan SIGDA Jawa Barat, Laporan, Bappeda Propinsi Jawa Barat, Bandung Bappeda Jabar (2002): Penyusunan Rencana Tindak Pengembangan SIGDA Jabar, Laporan Akhir, Bappeda Jawa Barat, Bandung Bappeda Jabar (2003): Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat, Laporan Utama, Bappeda Propinsi Jawa Barat, Bandung Henry Tom (1999): The Geographic Information Standards Infrastucture, Defence Mapping Agency, presented paper, The meeting of the Executive Board of the Permanent Committee on GIS Infrastructure for Asia and the Pacific, Sydney, October 1996 Permanent Committee for Geographic Information in Asia Pacific(PCGIAP), (1998): A Spatial Data Infrastructure for Asia and the Pacific Region, PCGIAP Publication no.1, Canberra, Australia Sumarno (2003): Kajian Masalah Pembangunan Infrastruktur Data Spasial: Studi kasus Pembangunan SIGDA Jawa Barat, Thesis Magister Teknik Geodesi, Institut Teknologi Bandung Rajabidfard and Williamson (2000): Spatial Data Infrastruktur: Concept, SDI Hierarchy and Future Direction, Research Report, Spatial Data Research Group, Dept.of Geomatics, The University of Melbourne, Victoria, Australia