BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan pembangunan suatu bangsa sangat bergantung pada keberhasilan bangsa itu sendiri dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, sehat, cerdas dan produktif. Indikatornya adalah manusia yang mampu hidup lebih lama (terukur dengan umur harapan hidup), menikmati hidup sehat (terukur dengan angka kesakitan dan kurang gizi), mempunyai kesempatan meningkatkan ilmu pengetahuan (terukur dengan angka melek huruf dan tingkat pendidikan) dan hidup sejahtera (terukur dengan tingkat pendapatan per kapita yang cukup memadai atau bebas kemiskinan) (Baliwati dkk; 2004). Dewasa ini kekurangan gizi bukanlah merupakan hal yang baru, tapi persoalan ini tetap menjadi isu aktual terutama di Indonesia karena hal itu mempunyai dampak yang sangat nyata terhadap timbulnya masalah kesehatan. Salah satu faktor yang menyebabkan keadaan ini terjadi adalah pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali yang cenderung meningkat terus, sedangkan pertambahan produksi pangan belum mampu mengimbanginya walaupun telah diterapkan beragam teknologi mutakhir (Suhardjo, 1996). Untuk itu diperlukan upaya penanganan yang lebih serius untuk meningkatkan status gizi masyarakat melalui perbaikan gizi dalam keluarga maupun pelayanan gizi pada individu yang bersangkutan (Depkes RI, 2005). 1
Gizi adalah salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan manusia. Gizi dikatakan baik apabila terdapat keseimbangan dan keserasian antara perkembangan fisik dan perkembangan mental. Terdapat kaitan yang sangat erat antara status gizi dengan konsumsi makanan. Tingkat status gizi yang optimal akan tercapai apabila kebutuhan Angka Kecukupan Gizi (AKG) terpenuhi. Keadaan gizi seseorang dalam suatu masa bukan saja ditentukan oleh konsumsi zat gizi saat itu saja, tetapi lebih banyak ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada masa yang telah lampau, bahkan jauh sebelum masa itu. Ini berarti bahwa konsumsi zat gizi masa kanak-kanak memberi andil terhadap status gizi setelah dewasa (Wiryo, 2002). Menurut Jelliffe (1989), masa krisis pertumbuhan dan perkembangan anak berada pada usia 12-24 bulan disebut dengan periode kritis, karena pada usia ini, anak mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan otak yang sangat cepat hingga memerlukan asupan gizi yang baik. Kehidupan manusia dimulai sejak masa janin dalam rahim ibu dan sejak itu janin sudah memasuki masa perjuangan hidup yang salah satunya menghadapi kemungkinan kurangnya zat gizi yang diterima dari ibu yang mengandung. Jika zat gizi yang diterima dari ibunya tidak mencukupi, maka janin tersebut akan mengalami kurang gizi dan lahir dengan berat badan rendah yang mempunyai konsekuensi kurang menguntungkan dalam kehidupan berikutnya. Masalah gizi kurang dapat disebabkan oleh penyebab langsung yaitu makanan dan penyakit. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makan tetapi
sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit. Penyebab tidak langsung ada 3 (tiga) yaitu ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Dimana setiap keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang cukup dan baik mutu gizinya. Ketersediaan pangan sangat erat hubungannya dengan ketidak mampuan ekonomi. Daya beli yang memadai merupakan salah satu kunci ketahanan pangan keluarga yang berakibat pada pertumbuhan anak. Dewasa ini banyak anak balita mengalami masalah gizi dan gangguan pertumbuhan. Penyebab karawanan pangan yang tidak dapat diabaikan adalah masalah kemiskinan yang banyak terjadi terutama di daerah perkotaan (Sudaryati, 2007). Pola pengasuhan anak yang kurang memadai. Setiap keluarga dan masyarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang baik fisik, mental dan sosial. Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku ibu dalam hal memberi makan, pemeliharaan kesehatan, memberi kasih sayang dan sebagainya sangat dipengaruhi oleh pendidikan, pengetahuan, keterampilan, budaya keluarga dan lain-lain. Di samping itu sangat diperlukan peran keluarga dalam pengasuhan anak yang akan menentukan tumbuh kembang anak Pelayanan kesehatan dan lingkungan yang kurang memadai. Sistim pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana
pelayanan kesehatan dasar yang terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan (Baliwati dkk, 2004). Kurang Energi Protein (KEP) sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Balita disebut KEP bila berat badan balita dibawah normal dibandingkan rujukan WHO-2005 (World Health Organization-2005). Kurang Energi Protein dikelompokan menjadi 2, yaitu Gizi Kurang bila berat badan menurut umur di bawah -3 SD sampai dengan <-2 SD, dan Gizi Buruk bila berat badan menurut umur < -3 SD (Kemenkes RI, 2011). Di Indonesia menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada tahun 1989 prevalensi gizi kurang pada balita sebesar 37,5%, menurun menjadi 26,4% pada tahun 1999. Kondisi pada tahun 2002 masalah kurang gizi meningkat kembali menjadi 27,4 %. Sebaliknya prevalensi gizi buruk pada tahun 1989 sebesar 6,3% dan tahun 1999 meningkat hampir 2 (dua) kali lipat menjadi 10,5%, dan kemudian menurun pada tahun 2002 menjadi 8,15%. Pada tahun 2007 prevalensi kekurangan gizi pada anak balita adalah sebesar 18,4% terdiri dari gizi kurang 13,0% dan gizi buruk 5,4%. Masih terjadi disparitas angka kekurangan gizi yang cukup besar antar provinsi di mana wilayah Indonesia bagian Timur Indonesia yang tinggi dan Wilayah Barat lebih rendah (NTT 33,6%, Maluku 27,8%,Bali 11,4% dan DIY 10,9%) (Bappenas, 2010). Hasil penelitian FKM USU Medan yang dituang dalam buku Pedoman Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2006-2011 (Dinkes Prop SU, 2006) menunjukkan bahwa di Propinsi Sumatera Utara prevalensi
gizi buruk 4,21% dan gizi kurang 16,20%. Angka Ini mengalami peningkatan, dari data tahun 2007 yang menunjukkan prevalensi balita gizi kurang sebesar 18,80% sedangkan gizi buruk 4,40%. Kondisi kesehatan masyarakat Kota Tebing Tinggi terutama kesehatan balita dapat terlihat dari laporan tiap bulan yang masuk ke Dinas Kesehatan dari 9 Puskesmas yang ada. Dari hasil pendataan tahun 2008 jumlah balita yang ada di Kota Tebing Tinggi sebanyak 11838 orang. Balita yang ditimbang di posyandu setiap bulannya sebanyak 11416 orang. Dari jumlah balita yang ada masih ditemukan sebanyak 422 balita yang tidak datang ke posyandu seperti yang diinginkan, hal ini akan berpengaruh pada masalah kesehatan balita itu sendiri (Profil Dinkes Tebing Tinggi, 2009). Salah satu cara memantau pertumbuhan anak balita dengan melakukan penimbangan pada setiap bulan. Tahun 2006 balita naik berat badannya 73%, tahun 2007 naik mencapai 80,96%, tahun 2008 mencapai 85,76% dari balita yang ditimbang. Sejalan dengan fenomena tersebut masih ditemukan balita Bawah Garis Merah (BGM) yang kasusnya semakin menurun setiap tahun dan jauh dibawah target. Tahun 2006 ditemukan balita Bawah Garis Merah 3,24% dan tahun 2007 naik 4,98%, tahun 2008 mengalami penurunan 2,25%. Tahun 2009 ditemukan 117 balita (1,08%) dan tahun 2010 sampai bulan Juni mengalami kenaikan sebesar 260 balita (2,12%). Berdasarkan Pemantauan Status Gizi pada anak balita pada periode Agustus 2010, jumlah anak balita di Tebing Tinggi sebanyak 11626 orang anak. Dari jumlah tersebut ditemukan 2 orang (0,03%) gizi buruk, 193 orang (1,66 %) gizi kurang,
sebanyak 10803 (92,92 %) gizi baik dan sisanya 178 orang balita (1,53 %) dengan status gizi lebih (Dinkes Kota Tebing Tinggi, 2010). Meskipun prevalensi kasus gizi kurang di Kota Tebing Tinggi masih dalam keadaan normal, tapi jika tidak segera dilakukan evaluasi apa yang menjadi permasalahan ini akan menimbulkan kondisi yang berlarut-larut. Upaya perbaikan gizi masyarakat sebagai dampak krisis ekonomi di Indonesia sejak tahun 1997, dilakukan melalui program Jaminan Sosial Bidang Kesehatan (JPS- BK) yang dikembangkan sejak tahun 1998, antara lain dengan pemberian makanan tambahan (PMT) kepada balita bermasalah melalui rumah sakit dan puskesmas (Almatsier, 2009). Menurut Khomsan (2008), berbagai program perbaikan gizi yang dalam beberapa tahun terakhir dijalankan pemerintah dinilai belum optimal, ini bisa terlihat dari kegiatan yang dilakukan di tingkat bawah seperti di posyandu. Sebagian besar posyandu di daerah-daerah sekedar melakukan kegiatan penimbangan balita dan pada saat-saat tertentu immunisasi. Sementara fungsi-fungsi pokok posyandu yang lain, seperti sebagai pembawa pesan kesehatan dan pelaku utama upaya perbaikan gizi balita belum berjalan dengan baik. Salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah adalah Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pada balita gizi buruk dan kurang. PMT diberikan selama 3 bulan dengan ketentuan bahwa dalam keadaan normal PMT yang diberikan akan memberikan hasil meningkatnya berat badan anak secara signifikan. Namun masalah kemudian setelah anak tersebut kembali pada keluarga, dengan kondisi ekonomi yang
serba kekurangan menyebabkan kurangnya asupan gizi yang diterima, pola asuh yang salah dan lingkungan yang tidak mendukung memungkinkan terjadinya penyakit infeksi, maka anak tersebut akan kembali jatuh ke dalam kasus gizi buruk. Pengasuhan anak pada keluarga miskin, walaupun diasuh oleh ibu sendiri, namun sering dibiarkan duduk di tanah, tanpa alas kaki, serta tanpa memakai celana. Di samping itu kondisi rumah juga kurang mendukung karena masih berlantai tanah. Karena itu pemerintah mengharapkan perhatian dan kepedulian semua pihak yang terkait untuk sama-sama dapat mengatasi masalah kekurangan gizi, karena pada hakekatnya kekurangan gizi desebabkan oleh multi faktor sehingga penanganannya harus multi sektor (Depkes RI, 2007). Pada awalnya upaya penyuluhan kesehatan dan gizi lebih ditekankan pada penyuluhan kelompok atau penyuluhan massal. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal kunjungan rumah juga dilakukan agar masyarakat mengetahui, memahami dan selanjutnya diharapkan dapat merubah perilaku mereka kearah yang lebih baik. Agar hasil yang diinginkan dapat maksimal kunjungan rumah juga dilakukan dimana petugas memberikan penyuluhan langsung kepada ibu balita. Menyadari hal tersebut, maka sudah saatnya tenaga kesehatan dan petugas gizi yang bekerja pada institusi pelayanan kesehatan harus memperkaya kemampuan mereka dalam menberikan pelayanan dan pendidikan kesehatan dan gizi yang bersifat individu yang kita kenal sebagai Konseling (Depkes dan Kessos, 2000). Dari survei awal yang dilakukan terhadap balita gizi kurang di beberapa kelurahan di Tebing Tinggi tahun 2010, kekurangan gizi pada balita disebabkan oleh
ketidak mampuan ekonomi dalam keluarga, pengasuhan balita yang kurang baik oleh keluarga dan kurang optimalnya penyuluhan oleh petugas Puskesmas. Sejauh ini upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Tebing Tinggi melalui Dinkes sejak tahun 2008 sampai sekarang, adalah pengalokasian dana untuk penanggulangan kasus gizi buruk dan gizi kurang dalam APBD setiap tahun. Intervensi yang dilakukan adalah PMT selama 60 hari. Pada awalnya PMT diberikan dalam bentuk makanan olahan yang dimasak oleh kader kesehatan di setiap kelurahan. Tetapi pada tahun 2010 kebijakan Pemerintah Kota dirubah ke pemberian susu formula. Perubahan kebijakan ini disebabkan karena pertama, akibat keterbatasan anggaran, PMT dalam bentuk makanan olahan hanya dapat diberikan sebesar 250 kkal, sedangkan kalori yang dibutuhkan anak usia 6-11bulan 650 kkal, usia 1-3 tahun 1000 kkal dan usia 4-6 tahun 1550 kkal. Untuk itulah kebijakan dirubah kebentuk susu formula agar kecukupan gizi dapat dipenuhi. Kedua, kader pengolah makanan tidak dapat secara intensif dipantau bagaimana cara mengolah makanan yang baik akibat dari keterbatasan sumber daya manusia. Ketiga, para ibu balita penerima PMT mengeluhkan jauhnya jarak rumah mereka dari rumah kader yang memasak makanan tambahan. Keempat yang dikeluhkan bahwa tidak semua anak menyukai makanan dalam bentuk bubur. Keempat masalah tersebut diduga memiliki hubungan erat dengan ketidak optimalan manfaat PMT yang diberikan. Berdasarkan hasil monitoring PMT selama 60 hari dalam bentuk susu formula pada tahun 2010 mulai menampakkan hasil terhadap pertambahan berat badan balita
meskipun masih juga ditemukan balita yang tidak berubah status gizinya. Ada beberapa hal yang diduga berpengaruh yaitu jumlah balita di keluarga yang menerima susu formula lebih dari satu orang, sehingga susu juga diberikan kepada saudara yang lain dan otomatis mengurangi jatah yang disediakan hanya untuk 1 orang balita penerima PMT. Selain itu pengasuhan anak tidak dilakukan sendiri oleh ibu balita, tetapi dilakukan oleh kakak balita, nenek atau kerabat dekat hingga susu yang diberikan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Hal-hal lain yang menjadi hambatan dalam program ini adalah ada beberapa balita yang tidak menyukai susu. Petugas kesehatan dalam hal ini Tenaga Pemantau status Gizi (TPG) tetap berupaya memberi penyuluhan (konseling) pada masyarakat khususnya ibu yang mempunyai balita meskipun penyuluhan yang dilakukan belum berjalan optimal. Monitoring dilakukan 10 hari sekali di wilayah kerja masing-masing puskesmas, dengan melakukan penimbangan berat badan. Akibat beban tugas ganda, penimbangan dilakukan dengan meminta bantuan kader Posyandu. Pada balita yang tidak juga menunjukkan kenaikan status gizi di setiap akhir masa PMT, mereka tetap diberikan PMT lanjutan untuk 1 periode berikutnya melalui dana Jamkesmas yang ada di masing-masing Puskesmas. 1.2. Permasalahan Apakah PMT pada balita dan konseling ibu berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita yang mengalami kekurangan gizi dari keluarga miskin di Kota Tebing Tinggi.
1.3. Tujuan Penelitian Untuk menganalisis pengaruh pemberian makanan tambahan dan konseling ibu balita terhadap status gizi balita gizi kurang dari keluarga miskin di Kota Tebing Tinggi. 1.4. Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh pemberian makanan tambahan dan konseling ibu terhadap status gizi balita yang mengalami kekurangan gizi dari keluarga miskin di Kota Tebing Tinggi. 1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberi manfaat kepada : 1. Dinas Kesehatan Kota Tebing Tinggi untuk mengoptimalkan upaya-upaya penanggulangan masalah kurang gizi pada anak balita 2. Petugas kesehatan terutama tenaga pemantau status gizi di Puskesmas Kota Tebing Tinggi untuk mengoptimal upaya penyuluhan tentang gizi kepada masyarakat terutama ibu-ibu yang mempunyai anak balita.