2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan di Kota Adanya aktifitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutup/penggunaan lahan. Di perkotaan, perubahan umumnya mempunyai pola yang relatif sama, yaitu bergantinya penggunaan lahan lain menjadi lahan urban. Sawah atau lahan pertanian umumnya berubah menjadi pemukiman, industri atau infrastruktur kota. Pola demikian terjadi karena lahan urban mempunyai nilai sewa lahan (land rent) yang lebih tinggi dibanding penggunaan lahan sebelumnya (Grigg, 1984 dalam Sitorus, 2004). Penggunaan lahan berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan lebih merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyekobyek tersebut. Satuan-satuan penutup lahan kadang-kadang juga bersifat penutup lahan alami. Penelitian yang membahas tentang perubahan penggunaan lahan dan dampaknya terhadap biofisik dan sosial ekonomi telah banyak dilakukan. Penelitian terhadap struktur ekonomi, yang dilakukan Somaji (1994) menyatakan bahwa pada tahun 1984 wilayah industri berperan sebanyak 13,05% dan meningkat menjadi 14,65% pada tahun 1990. Nilai ini dicapai akibat dari kecepatan alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian selama kurun waktu 1981-1990 sebanyak 0,46%. Penelitian Janudianto (2003) menjelaskan perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Ciliwung Hulu didominasi oleh kecenderungan perubahan lahan pertanian (sawah) menjadi lahan pemukiman dan perubahan hutan menjadi lahan perkebunan (kebun teh). Hasil penelitian Heikal (2004) menunjukkan penggunaan lahan di DAS Ciliwung Hulu berpengaruh nyata terhadap peningkatan selisih debit maksimum-minimum sungai. Penurunan luas hutan dan luas sawah meningkatkan selisih debit maksimum-minimum, sedangkan peningkatan luas pemukiman dan kebun campuran meningkatkan selisih debit.
Perubahan penggunan lahan di suatu wilayah merupakan pencerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumberdaya lahan. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak terhadap manusia dan kondisi lingkungannya. Menurut Suratmo (1982) dampak suatu kegiatan pembangunan dibagi menjadi dampak fisik-kimia seperti dampak terhadap tanah, iklim mikro, pencemaran, dampak terhadap vegetasi, dampak terhadap kesehatan lingkungan dan dampak terhadap sosial ekonomi yang meliputi ciri pemukiman, penduduk, pola lapangan kerja dan pola pemanfaatan sumberdaya alam yang ada. Pesatnya pembangunan menyebabkan bertambahnya kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan akan sumberdaya lahan. Kebutuhan lahan di kawasan perkotaan semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk dan kegiatan sosial ekonomi yang menyertainya. Peningkatan kebutuhan lahan ini merupakan implikasi dari semakin beragamnya fungsi di kawasan perkotaan seperti pemerintahan, perdagangan dan jasa serta industri yang disebabkan oleh keunggulannya dalam hal ketersediaan fasilitas dan kemudahan aksesibilitas sehingga mampu menarik berbagai kegiatan untuk beraglomerasi. Perkembangan kota diikuti dengan perubahan penggunaan lahan di perkotaan. Dari area hijau yang alami menjadi area terbangun. Perubahan Penggunaan lahan berimplikasi pada kondisi ekologis (biodiversiti dan sumber daya alami). Perkembangan kota juga didorong faktor ekonomi yang menuntut pemanfaatan secara maksimal sumber daya yang dimiliki. Berkaitan dengan karakteristik lahan yang terbatas, dinamika perkembangan kegiatan di kawasan perkotaan ini menimbulkan persaingan antar penggunaan lahan yang mengarah pada terjadinya perubahan penggunaan lahan dengan intensitas yang semakin tinggi. Akibat yang ditimbulkan oleh perkembangan kota adalah adanya kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kota ke daerah pinggiran kota (urban fringe) yang disebut dengan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar (urban sprawl).
Perubahan penggunaan lahan dan perkembangan kota dapat diamati secara spasial dan temporal. Pengamatan ini untuk mempelajari hubungan antara aktifitas manusia dan perubahan penggunaan lahan dengan pola ekologis. Dengan mengetahui pola ini diharapkan dapat menjaga biodiversiti dan suberdaya alam serta menciptakan kota yang sustainable. 2.2 Deteksi Perubahan Lahan/Penggunaan Lahan Deteksi perubahan adalah sebuah proses untuk mengidentifikasi perbedaan keberadaan suatu obyek atau fenomena yang diamati pada waktu yang berbeda. Kegiatan ini perlu mendapat perhatian khusus dari sisi waktu maupun keakurasian. Mengetahui perubahan menjadi penting dalam hal mengetahui hubungan dan interaksi antara manusia dan fenomena alam sehingga dapat dibuat kebijakan penggunaan lahan yang tepat. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan adalah upaya pengelompokan berbagai jenis penutup lahan/penggunaan lahan ke dalam suatu kesamaan sesuai dengan system tertentu. Klasifikasi penutup lahan/penggunaan lahan digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam proses interpretasi citra penginderaan jauh untuk tujuan pemetaan penutup lahan/penggunaan lahan. Pendekatan aplikasi GIS terdahulu untuk deteksi perubahan yang difokuskan pada daerah urban. Ini mungkin karena metoda deteksi perubahan tradisional sering menghasilkan deteksi perubahan yang tidak betul karena kompleksitas landscape urban dan model tradisional tidak bisa digunakan secara efektif menganalisa data multi-sumber. Sehingga, kekuatan fungsi GIS memberikan alat yang menyenangkan untuk pengolahan data multi-sumber dan efektif dalam menangani analisa deteksi perubahan yang menggunakan data multi-sumber. Banyak penelitian difokuskan pada integrasi GIS dan teknik penginderaan jauh yang diperlukan untuk analisis deteksi perubahan yang lebih akurat (Sitorus et al, 2006).
2.3 Hidrologi Air merupakan sumber kehidupan bagi setiap mahluk yang jumlahnya sangat terbatas baik dalam skala waktu maupun ruang sehingga perlu dijaga keberadaan air tersebut baik kuantitas maupun kualitasnya. Potensi Air permukaan yang dimiliki oleh Indonesia diperkirakan sebesar 1.789.000 juta m 3 /tahun yang berasal dari seluruh pulau-pulau di Indonesia seperti Papua sekitar 401.000 juta m 3 /tahun, Kalimantan 557.000 juta m 3 /tahun, dan Jawa 118.000 juta m 3 /tahun (DirJen Pengairan, 1995 dalam Sjarief, 2002). Disamping air permukaan, Indonesia juga memiliki potensi air tanah sebesar 47.000 juta m 3 /tahun yang berasal dari 224 buah cekungan air tanah (Sjarief, 2002). 2.3.1 Siklus Hidrologi Siklus hidrologi merupakan salah satu aspek penting yang diperlukan pada proses hidrologi. Siklus hidrologi adalah air yang menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah menjadi awan sesudah melalui beberapa proses dan kemudian jatuh sebagai hujan atau salju ke permukaan laut atau daratan. Sedangkan siklus hidrologi menurut Sjarief dan Kodoatie (2008) adalah gerakan air ke udara, yang kemudian jatuh ke permukaan tanah lagi sebagai hujan atau bentuk presipitasi lain, dan akhirnya mengalir kembali ke laut. Dalam siklus hidrologi ini terdapat beberapa proses yang saling terkait, yaitu antara proses hujan (presipitation), penguapan (evaporation), transpirasi, infiltrasi, perkolasi, aliran limpasan (runoff), dan aliran bawah tanah. Secara sederhana siklus hidrologi dapat ditunjukan seperti pada Gambar 1.
Gambar 1. Siklus Hidrologi (sumber: google image) 2.3.2 Air Tanah Air yang berada di wilayah jenuh di bawah permukaan tanah disebut air tanah. Secara global, dari keseluruhan air tawar yang berada di bumi ini lebih dari 97% terdiri dari air tanah. Semakin berkembangnya industri dan pemukiman dengan segala macam fasilitasnya, maka ketergantungan aktivitas manusia pada air tanah menjadi semakin terasakan. Selama berlangsungnya musim hujan, sebagian besar air air hujan tersebut dapat ditampung oleh daerah resapan dan secara gradual dialirkan ke tempat yang lebih rendah sehingga kebanyakan sungai masih mengalir pada musim kemarau, meskipun besarnya debit air sungai tersebut menurun. Daerah penampungan air tanah terdapat di lapisan bagian bawah tanah, tepatnya di dalam lapisan padat atau batuan yang sarang yang biasanya terbentuk dari bahan-bahan pasir dan kerikil, tufa vulkanis, batu gamping dan beberapa bahanlainnya. Lapisan penampung air tanah ini selanjtnya dikenal sebagai lapisan pengandung air atau aquifer, air yang terkempul disini mudah bergerak dari tempatnya yang lebih tinggi ke tempat-tempat yang lebih rendah (Kertasapoetra, 1994).
Berkaitan dengan kondisi dan letaknya di dalam tanah, lapisan mengandung air tersebut biasanya dibedakan menjadi sebagai berikut: Lapisan mengandung air tanah yang bebas atau tidak terbatas. Lapisan ini di bagian bawahnya dibatasi oleh lapisan kedap air, sedangkan di sebelah atasnya berupa muka air yang berhubungan dengan atmosfer. Lapisan mengandung air anah yang tertekan. Lapisan ini bagian atas dan di bagian bawahnya dibatasi oleh lapisan kedap air. Lapisan pengandung air tanah tumpang. Lapisan ini terletak di atas lapisan kedap air yang tidak begitu luas, berada pada zona aerasi di atas water table. Karena volume air pada lapisan pengandung air tanah ini tidak banyak maka kurang dapat diandalkan sebagai sumber air. 2.3.3 Infiltrasi Ketika air hujan jatuh ke permukaan jalan, sebagian air tertahan di cekungan-cekungan, sebagian air mengalir sebagai run off dan sebagian lainnya meresap ke dalam tanah. Saat hujan mencapai permukaan lahan maka akan terdapat bagian hujan yang mengisi ruang kosong (void) dalam tanah yang terisi udara (soil moisture deficiency) sampai mencapai kapasitas lapang (field capacity) dan berikutnya bergerak ke bawah secara gravitasi akibat berat sendiri dan bergerak terus ke bawah (pekolasi) ke dalam daerah jenuh (saturated zone) yang terdapat di bawah permukaan air tanah (phreatik). Air bergerak perlahan-lahan melewati akuifer masuk ke sungai atau kadang-kadang langsung ke laut. Analisis perubahan penutupan lahan terhadap laju infiltrasi menunjukkan bahwa semakin tua umur tegakan hutan, semakin besar kemampuan hutan untuk meresapkan air ke dalam tanah, bahkan total air yang mampu dimasukkan ke dalam tanah pada tegakan P. merkusii berumur 34 tahun lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan tegakan umur 10 tahun. Hal ini membuktikan bahwa tegakan hutan sangat baik dalam meresapkan air ke dalam tanah. Kemampuan tanah menginfiltrasikan curah hujan pada tegakan tua disebabkan karena pada tegakan P. merkusii tua banyak dijumpai tumbuhan bawah, serasah, dan kandungan bahan organik yang menutupi lantai hutan, sehingga dapat memperbaiki struktur tanah yang memungkinkan air hujan masuk ke dalam
tanah (Mulyana, 2000). Hal ini serupa dengan hasil yang dijumpai oleh Pudjiharta dan Fauzi (1981) dimana aliran permukaan pada tegakan P. merkusii, Altingia excelsa, Maespsis eminii beserta tumbuhan bahwa dan serasahnya hanya sekitar 0-0,04 m 3 /ha/bln dan erosi tidak terjadi. Ketika tumbuhan bawah dan serasah dari tegakan yang sama dihilangkan, maka aliran permukaan meningkat mencapai 6,7 m 3 /ha/bln. 2.3.4 Konservasi Air Air bersih merupakan salah satu kebutuhan manusia untuk memenuhi standar kehidupan manusia secara sehat. Ketersediaan air yang terjangkau dan berkelanjutan menjadi bagian terpenting bagi setiap individu baik yang tinggal di perkotaan maupun dipedesaan. Oleh karena itu, ketersediaan air dapat menurunkan water borne disease sekaligus dapat meningkatkan perekonomian masyarakat (Muis, 2005). Upaya memelihara keberadaannya dikenal dengan istilah konservasi air. Setiap orang atau badan usaha dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan rusaknya sumber air dan prasarananya, mengganggu upaya pengawetan air, dan mengakibatkan pencemaraan air. Konservasi sumber daya air dilaksanakan pada sungai, danau, waduk, rawa, cekungan air tanah, sistem irigasi, daerah tangkapan air, kawasan suaka alam, kawasan hutan dan kawasan pantai. Konservasi sumber daya air dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air mengacu pada pola pengelolaan sumber daya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai. Sjarief (2002) menyatakan perlindungan dan pelestarian sumber air ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan keberadaanya terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia. Perlindungan dan pelestarian sumber air sebagai dimaksud adalah: (1). Pemeliharaan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air. (2). Pengendalian pemanfaatan sumber air. (3). Pengisian air pada sumber air. (4). Pengaturan prasarana dan sarana sanitasi. (5). Perlindungan sumber air dalam hubungannya dengan kegiatan pembangunan dan pemanfaatan lahan pada sumber air, (6). Pengendalian pengelolaan tanah di
daerah hulu. (7). Pengaturan daerah sempadan sumber air. (8). Rehabilitasi hutan dan lahan. dan (8). Pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam. 2.4 Hutan Kota Hutan Kota adalah pepohonan yang berdiri sendiri atau berkelompok atau vegetasi berkayu di kawasan perkotaan yang pada dasarnya memberikan dua manfaat pokok bagi masyarakat dan lingkungannya, yaitu manfaat konservasi dan manfaat estetika. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, disebutkan bahwa Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah Perkotaan, baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang. Sementara dalam hasil rumusan Rapat Teknis Kementerian Kependudukan dan Lingkungan Hidup di Jakarta pada bulan Februari 1991, dinyatakan bahwa Hutan Kota adalah suatu lahan yang tumbuh pohon-pohonan di dalam wilayah perkotaan di dalam tanah negara maupun tanah milik yang berfungsi sebagai penyangga lingkungan dalam hal pengaturan tata air, udara, habitat flora dan fauna yang memiliki nilai estetika dan dengan luas yang solid merupakan ruang terbuka hijau, serta areal tersebut ditetapkan oleh pejabat berwenang sebagai Hutan Kota (Dirjen PU, 2006). 2.5 Fungsi Hutan Kota sebagai Pengelola Air Tanah Hujan yang turun ke permukaan bumi dapat menambah ketersedian air di dalam tanah dan juga dapat menyebabkan banjir. Pengamanan air hujan pada prinsipnya terletak dalam dua pengelolaan teknis, yaitu peningkatan daya serap tanah dan pengendalian mengalirnya air. Meningkatkan daya serap tanah pada hakekatnya adalah meningkatkan kapasitas penyimpanan air oleh tanah. Hutan kota dapat meningkatkan air tanah, karena akar tanaman yang besar dapat mengakibatkan terbentuknya rekahan tanah. Air hujan akan dapat masuk melalui rekahan-rekahan tersebut. Selain dari itu, serasah yang dihasilkan oleh banyak tumbuhan akan mengakibatkan terbentuknya humus tanah yang tebal.
Kemampuan humus dalam mengikat air jauh lebih besar daripada butiran tanah. Oleh sebab itu, air yang dapat diserap dan dikandung di dalamnya akan lebih banyak (Dahlan, 2004). Pada umumnya jenis pohon-pohon yang berakar panjang dan berdaun kecil memiliki kemampuan yang baik dalam menyimpan air dalam tanah. Walaupun tanaman juga mengalami transpirasi, namun air tidak begitu mudah keluar dari tanaman karena terdapat hambatan-hambatan atau mekanisme tersendiri. Adanya hambatan pergerakan air tanah dari tanaman dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa kehilangan air tanah dari tanaman selalu lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan air dari tanah terbuka (Muis, 2005). Hutan memiliki neraca air yang baik dibandingkan dengan kawasan tidak berhutan. Hal ini sangat memungkinkan karena infiltrasi curah hujan ke dalam tanah akan meningkat karena struktur tanah yang semakin baik, karena perakarannya yang bervariasi mulai dangkal sampai dalam, tajuk berlapis akan mengurangi daya hancur butiran hujan sehingga laju erosi akan dapat dikurangi. Demikian juga halnya dengan keberadaan tumbuhan bawah dan serasah serta humus yang akan semakin memperbesar kemampuan hutan alam dalam menahan air. Oleh karena itu, kandungan air tanah pada hutan alam akan besar dan akan dikeluarkan secara perlahan-lahan pada musim kemarau (Onrizal, 2005). Pengalihan fungsi lahan di perkotaan cenderung ke arah penutupan tanah dengan bahan-bahan semen yang tidak tembus air, sehingga mengakibatkan terganggunya keseimbangan hidrologi. Hidrologi kota menjadi masalah yang pelik bagi ahli hidrologi, karena urbanisasi meningkatkan luasan permukaan tertutup semen, paving, aspal, sehingga air hujan tercegah untuk masuk ke dalam tanah dan menjadi limpasan permukaan (Urbanos, 1992 dalam Muis, 2005).