1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua transformasi yang terjadi saat ini, yaitu perubahan dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri, dan pergerakan distribusi penduduk dari perdesaan ke perkotaan. Dua transformasi ini saling berkaitan dan menyebabkan peningkatan kebutuhan lahan. Hal ini dikarenakan perkembangan fisik suatu wilayah senantiasa membutuhkan lahan sebagai wadah. Supranowo (1985) berpendapat bahwa lahan merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi berlangsungnya pembangunan di suatu wilayah, karena pada dasarnya semua pembangunan memerlukan lahan sebagai prasarananya. Perkembangan wilayah dewasa ini ditandai dengan proses restrukturisasi internal, baik secara sosial maupun fisik. Secara fisik proses restrukturisasi ditandai dengan alih fungsi lahan baik di wilayah urban maupun rural. Salah satu ekosistem yang akan mengalami alih fungsi lahan seiring dengan perkembangan tersebut adalah ekosistem DAS. Daerah Aliran Sungai (menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut
2 secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Pola produksi dan konsumsi yang agresif, eksploitatif, dan ekspansif terhadap sumberdaya alam akan menurunkan daya dukung dan fungsi lingkungan daerah aliran sungai (DAS). Kerusakan lingkungan DAS di Indonesia telah teridentifikasi seperti ditunjukkan dengan sering terjadinya bencana banjir, erosi, sedimentasi, dan tanah longsor. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009 (PP No.7 Tahun 2005) disebutkan bahwa DAS berkondisi kritis semakin meningkat dari 22 DAS (1984) menjadi 39 DAS (1994), dan kemudian 62 DAS (1999). Pada tahun 2004 diperkirakan sekitar 282 DAS dalam kondisi kritis (Paimin et al., 2010). Sheng (1986 dalam Paimin et al., 2010) menyatakan, bahwa permasalahan DAS tumbuh seiring dengan pertambahan penduduk dan waktu, sehingga tugas manajemen/pengelolaannya hampir tanpa akhir. Semakin memburuknya kondisi DAS di Indonesia menunjukkan masih lemahnya sistem manajemen/pengelolaan DAS saat ini. Lemahnya manajemen/pengelolaan DAS dapat dilihat dari kurang terdeteksinya secara dini dan periodik dinamika kondisi DAS, sehingga penanganannya sering kurang bertumpu pada permasalahan utamanya. Menurut Asdak (1995), ekosistem DAS terutama DAS Bagian hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan bagian DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air. Oleh karenanya, perencanaan DAS hulu seringkali menjadi fokus mengingat bahwa dalam suatu
3 DAS, daerah hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biogeofisik melalui daur hidrologi. Akitivitas alih fungsi lahan yang dilaksanakan di daerah hulu dapat memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit air dan transpor sedimen serta material terlarut lainnya. Salah satu wilayah DAS yang rentan akan alih fungsi lahan adalah DAS Brantas Hulu. Tata guna lahan di DAS Brantas Hulu dibagi menjadi dua kawasan, yaitu kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan budidaya terdiri atas dua wilayah yaitu wilayah perdesaan yang memiliki fungsi utama sebagai daerah pertanian, dan wilayah perkotaan dengan fungsi utama untuk permukiman. Sedangkan kawasan lindung adalah hutan di hulu DAS yang keberadaannya perlu dilindungi demi menjaga keberlanjutan ekosistem DAS. Tiap-tiap wilayah memiliki permasalahan yang berbeda terkait dengan alih fungsi lahan. Pada wilayah perkotaan alih fungsi lahan yang terjadi bersifat mikro, tidak terlalu tampak karena sudah terlalu banyak permukiman. Sedangkan pada kawasan lindung dan perdesaan wilayahnya lebih luas dibanding perkotaan. Disamping itu mayoritas penggunaan lahannya adalah hutan dan budidaya pertanian, sehingga alih fungsi lahan yang terjadi tampak jelas terutama konversi hutan menjadi lahan pertanian/permukiman, ataupun lahan pertanian menjadi permukiman. Alih fungsi lahan di DAS Brantas Hulu disebabkan oleh tidak konsistennya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Pemicu dari ketidakkonsistenan ini adalah adanya opini stakeholders, bahwa Malang Raya (Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu) berpotensi sebagai daerah wisata; adanya perubahan tingkat kebutuhan sarana pariwisata; dan adanya kekuatan investasi pasar. Akibatnya terjadi
4 konversi pada lahan yang semula tertutup yaitu hutan, dibuka menjadi areal permukiman, villa, tempat wisata, dan lahan pertanian, yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi. Perubahan ekosistem DAS oleh alih fungsi lahan akan menyebabkan kerusakan lingkungan, antara lain meningkatnya erosi dan sedimentasi, meningkatnya limpasan permukaan, berkurangnya daerah resapan, terjadinya banjir dan tanah longsor, dan penurunan keanekaragaman hayati. Kerusakan lingkungan diatas, yang meliputi kerusakan komponen lingkungan abiotik, biotik, dan kultural (sosial budaya), dapat memicu terjadinya degradasi lingkungan akibat alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan daya dukungnya. Pada akhirnya dampak paling besar dirasakan oleh masyarakat, seperti kemiskinan dan bencana alam yang terjadi dimana-mana. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan pelestarian lingkungan di DAS Brantas Hulu, yaitu mengembalikan fungsi kawasan sesuai dengan peruntukannya. 1.2. Perumusan Masalah Salah satu wilayah dengan perkembangan cepat di DAS Brantas Hulu adalah Kota Batu. Letak yang strategis berdekatan dengan Kota Malang, panorama alam yang indah, serta iklim yang sejuk, maka menjadikan Kota Batu sebagai pusat transit, sirkulasi dan pariwisata yang amat penting di Provinsi Jawa Timur. Hal ini sangat berpengaruh besar bagi perkembangan wilayah Kota Batu secara keseluruhan, terutama sirkulasi perdagangan dan jasa serta pengadaan sarana dan prasarana yang mampu menampung berbagai kegiatan fungsional. Perkembangan wilayah yang diikuti dengan pertambahan penduduk menyebabkan peningkatan aktivitas manusia
5 dan kebutuhan lahan guna memenuhi kebutuhan hidup sedangkan ketersediaan lahan terbatas, sehingga menyebabkan konversi penggunaan lahan. Perkembangan wilayah yang pesat terjadi sejak dirubahnya status Batu dari salah satu kecamatan di Kabupaten Malang menjadi Kota Administratif yang berdiri sendiri pada tahun 2001. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan perkembangan spasial fisik maupun aktivitas-aktivitas pada sektor perdagangan dan pariwisata yang dilatarbelakangi oleh berbagai aspek kehidupan, seperti perkembangan penduduk, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dinamika kegiatan ekonomi, serta perkembangan jaringan komunikasi dan transportasi. Terkait dengan hal tersebut, pemanfaatan lahan akan terus meningkat sejalan dengan perkembangan penduduk dan kegiatan sosial ekonomi yang menyertainya. Hal ini mempengaruhi keberadaan DAS Brantas Hulu yang semakin rentan akan alih fungsi lahan. Dinamika perkembangan wilayah menimbulkan persaingan pemanfaatan lahan yang mengarah pada terjadinya alih fungsi lahan, sehingga menyebabkan perubahan terhadap bentuk keruangan di wilayah yang bersangkutan, baik secara fisik maupun non fisik, sebagai wadah kegiatan manusia di dalamnya. Permasalahan timbul ketika alih fungsi lahan seringkali tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi yang pada akhirnya menimbulkan kerusakan lingkungan baik biogeofisik maupun sosial. Perubahan tersebut apabila tidak ditata dengan baik akan mengakibatkan perkembangan yang tidak terarah dan penurunan kualitas pemanfaatan ruang. Maka dari itu perlu dilakukan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang dilakukan dengan berazaskan kaidah-kaidah perencanaan, seperti keselarasan, keserasian, keterpaduan, kelestarian dan kesinambungan dalam
6 lingkup kota dan kaitannya dengan provinsi dan kota/kabupaten sekitarnya, dengan tidak mengesampingkan wawasan perlindungan lingkungan terhadap sumberdaya yang dimiliki wilayah tersebut. Kerusakan lingkungan DAS telah menjadi isu penting nasional sejak beberapa dekade terakhir seiring dengan maraknya kasus bencana alam di Indonesia, biasanya kerusakan lingkungan erat sekali kaitannya dengan kehidupan dan aktivitas manusia. Salah satu faktor yang mempengaruhi kerusakan adalah aktivitas manusia dalam mengolah sumberdaya alam tanpa memperdulikan daya dukung dan daya tampung dari sumberdaya alam tersebut. Usaha rehabilitasi lahan melalui program pembangunan hutan dalam berbagai bentuk penerapan telah banyak dilakukan. Namun adanya situasi yang saling bertolak belakang antara usaha konservasi dengan desakan kebutuhan untuk mengolah lahan seringkali menjadi sebab kegagalan program. Berbagai cara untuk menangani kerusakan lingkungan telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain melalui program reboisasi dan penghijauan. Ditinjau dari segi pelestarian lingkungan dan efisiensi penggunaan dana dalam program ekstensifikasi dalam rangka mengembalikan fungsi lingkungan sebagai ekosistem, maka diperlukan suatu solusi yang mumpuni. Pengaruh nyata dari kerusakan lingkungan adalah penurunan kondisi sosial ekonomi. Kerusakan lingkungan dapat mengakibatkan bencana alam dan menurunnya produktivitas lahan, yang pada akhirnya akan berdampak pada kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Di satu sisi, kondisi sosial ekonomi yang buruk dapat mengakibatkan munculnya kerusakan lingkungan baru akibat dari rendahnya tingkat pendidikan/informasi ataupun persepsi masyarakat tentang sebab
7 akibat adanya alih fungsi lahan. Pendekatan yang holistik dengan memandang kasus kerusakan lingkungan dalam kedudukannya yang seimbang antara aspek abiotik, biotik, dan kultural, perlu dilakukan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Peran manusia sebagai subyek sekaligus obyek pembangunan sangat memegang peranan penting dalam memperoleh keberhasilan tersebut. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan salah satu unit perencanaan pembangunan yang sekarang ini mulai banyak digunakan. Adanya kerawanan bencana alam yang sering terjadi di Kota Batu merupakan salah satu akibat dari kurangnya optimalisasi pengelolaan lingkungan di DAS Brantas Hulu. Untuk itu perlu dilakukan pengelolaan lingkungan yang serius pada DAS tersebut. Beberapa bentuk kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh rusaknya suatu DAS antara lain banjir dan kekeringan; erosi dan sedimentasi; tanah longsor; pencemaran air; limpasan permukaan; dan lainnya. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut ini. (1) Bagaimanakah alih fungsi lahan berdasarkan kondisi eksisting di DAS Brantas Hulu, Kota Batu, Jawa Timur? (2) Bagaimanakah bentuk kerusakan lingkungan yang terjadi di DAS Brantas Hulu, Kota Batu, Jawa Timur? (3) Bagaimanakah strategi pengelolaan lingkungan yang tepat guna sebagai dasar pelestarian lingkungan DAS Brantas Hulu di Kota Batu, Jawa Timur?
8 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari pelaksanaan penelitian ini adalah: (1) mengkaji alih fungsi lahan berdasarkan kondisi eksisting di DAS Brantas Hulu, Kota Batu; (2) mengkaji bentuk kerusakan lingkungan yang terjadi di DAS Brantas Hulu, Kota Batu; dan (3) merumuskan strategi pengelolaan kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan sebagai dasar pelestarian lingkungan DAS Brantas Hulu, Kota Batu. 1.4. Keaslian dan Batasan Penelitian Berdasarkan hasil-hasil penelitian terdahulu, ditemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan. Beberapa penelitian yang telah ada sebelumnya menggunakan berbagai jenis metode dan teknik analisis. Akan tetapi, peneliti belum menemukan penelitian mengenai kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan yang terjadi saat ini, dan mengambil lokasi di DAS Brantas Hulu, Kota Batu. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya bahwa penelitian ini memiliki batasan yaitu mengkaitkan alih fungsi lahan pada DAS dan hubungannya dengan kerusakan lingkungan di DAS Brantas Hulu Kota Batu berdasarkan kondisi yang ada saat ini. Adapun penelitian-penelitian terdahulu yang dapat dijadikan referensi sekaligus sebagai perbandingan untuk menunjukkan keaslian penelitian ini disajikan dalam Tabel 1.1.
9 Tabel 1.1. Perbandingan Penelitian dengan Penelitian Terdahulu No 1. 2. 3. 4. 5. Peneliti, Tahun, Judul Astuti, 2008 Evaluasi Tingkat Kekritisan Air dan Kerusakan Lingkungan di Daerah Aliran Sungai Serang, Kabupaten Kulonprogo Sasmitaningdyah, 2009 Kajian Kerusakan Lingkungan Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri, Jember, Jawa Timur Rahawarin, 2010 Kajian Kerusakan Lingkungan Taman Wisata Alam Sorong di Distrik Sorong Timur, Kota Sorong, Papua Barat Rumere, 2011 Hubungan Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Kerusakan Lingkungan Fisik di Kawasan Entrop Kota Jayapura Srifitriani, 2011 Kajian Kerusakan Lingkungan Akibat Perubahan Penggunaan Lahan di Kawasan Cagar Alam Danau Dusun Besar Kota Bengkulu Tujuan Utama Metode Hasil Mengkaji dan mengevaluasi tingkat kekritisan air di DAS Serang dan pengaruh kerusakan lingkungan terhadap kekritisan air Mengkaji kerusakan vegetasi berdasarkan kemelimpahan, kerusakan lingkungan fisik, dan faktor penyebab kerusakan lingkungan Mengetahui luas dan bentuk perubahan penggunaan lahan, membuat zonasi tingkat kerusakan lingkungan, mengkaji faktor penyebab kerusakan lingkungan Menganalisis hubungan antara perubahan penggunaan lahan terhadap kerusakan lingkungan fisik di kawasan entrop Kota Jayapura Mengkaji perubahan penggunaan lahan dan bentuk-bentuk kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan Cagar Alam Danau Dusun Besar Survei lapangan dan wawancara Metode Survei dengan teknik observasi Metode Kualitatif dan kuantitatif, survei, pengukuran, dan wawancara Pendekatan rasionalistik, overlay peta penggunaan lahan, analisis kualitatif dan kuantitatif Deskriptifkuantitatif, interpretasi foto udara, wawancara Total ketersediaan air di DAS Serang adalah sebesar 109.018.987,09 m 3 /th dan kebutuhan air sebesar 46.368.387,83 m 3 /th, sehingga dapat disimpulkan di DAS Serang belum terjadi kekritisan air Kondisi vegetasi, tingkat bahaya erosi, dan kelas bahaya erosi pada lokasi penelitian Perubahan penggunaan lahan dan kemelimpahan tutupan vegetasi menyebabkan penurunan kemampuan daerah resapan Konversi kawasan lindung menyebabkan kerusakan lingkungan fisik pada kawasan entrop Perubahan penggunaan lahan mengakibatkan flora dan fauna endemik, serta terdegradasinya areal kawasan hutan
10 Lanjutan Tabel 1.1. No Peneliti, Tahun, Judul Tujuan Utama Metode Hasil Setyawan, 2011 6. Kajian Kerusakan Mengkaji tingkat Terjadi kerusakan Lingkungan Akibat kerusakan lingkungan Metode komponen biofisik Aktivitas biofisik dan sosial survei, lingkungan dengan Penambangan di ekonomi akibat pengukuran, tingkat kerusakan sedang DAS Serang Hulu penambangan bahan dan skoring sampai berat. Kabupaten tambang golongan C Kulonprogo Sumber: Telaah Pustaka (2013) 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat utama penelitian ini mengarah kepada manfaat secara akademik maupun praktis, seperti diuraikan berikut ini. (1) Memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang pengelolaan lingkungan dan sebagai acuan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan DAS akibat alih fungsi lahan. (2) Memberikan masukan penting kepada pemerintah daerah dalam hal penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah yang mengacu pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), sebagai upaya untuk melindungi DAS. (3) Memberikan masukan dan wacana kepada pemerintah, masyarakat dan pihak swasta terkait kerusakan lingkungan DAS Brantas Hulu akibat alih fungsi lahan di Kota Batu, Jawa Timur.