URAIAN MATERI 1. Kultur sel tunggal Sejalan dengan kemajuan teknologi DNA, ilmuwan telah mengembangkan dan menyempurnakan metode untuk melakukan kloning pada organisme multiseluler melalui kultur sel tunggal. Kloning dapat menghasilkan satu atau lebih organisme yang identik secara genetis dengan induk sel tunggalnya. Kata Clon berasal dari bahasa Yunani yang artinya ranting. Saat ini, kloning organisme melalui sel tunggal sangat penting karena dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan banyak jaringan yang berbeda dari satu sel intuk. Kloning hewan dan tumbuhan telah dilakukan sejak 50 tahun yang lalu dalam berbagai percobaan untuk menjawab pertanyaan tentang biologi dasar. Sebagai contoh, teori-teori terkait sel yang menyatakan bahhwa seluruh organisme berasal dari sel. Banyak para ilmuwan dahulu bertanya-tanya apakah semua sel dalam tubuh organisme multiseluler memiliki gen yang sama atau apa yang terjadi jika sebuah sel kehilangan gen selama proses diferensiasi perkembangannya. Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan ini adalah dengan melihat apakah sel yang berasal dari jaringan berbeda dapat membentuk organisme utuh, dengan kata lain, apakah kloning organisme itu mungkin untuk dilakukan. Kultur tanaman melalui sel tunggal telah dilakukan oleh F. C. Steward dan muridmuridnya pada tahun 1950 di Cornell Univesity menggunakan tanaman wortel (Gambar 1). Mereka menemukan bahwa sel pada jaringan berbeda pada wortel jika dibiakkan dalam media yang tepat dapat tumbuh menjadi individu dewasa yang secara genetis identik dengan tanaman induknya. Pada tumbuhan, setiap sel dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel pada tumbuhan tersebut untuk membentuk suatu organisme. Potensi setiap sel seperti itu disebut dengan Totipotensi. Kultur tanaman saat ini telah digunakan secara luas pada bidang pertanian. Pada beberapa tanaman, seperti anggrek, kultur merupakan satu-satunya cara yang praktis memproduksi tanaman untuk keperluan komersial. Kultur tanaman juga telah digunakan untuk memproduksi tanaman dengan sifat yang unggul seperti produksi cepat dan tahan terhadap patogen.
Gambar 1. Kultur sel tunggal tanaman wortel (Sumber: Reece, et al., 2011) 2. Transplantasi inti Sel hewan yang telah berdiferensiasi pada umumnya tidak dapat ditumbuhkan dalam kultur sel sehingga sulit untuk mengembangkan kultur sel tunggal dari sel hewan. Penggunakan sel hewan pada kultur sel menggunakan pendekatan transplantasi inti. Pendekatan ini dilakukan dengan cara membuang inti nukleus yang tidak dibuahi atau yang dibuahi dengan nukleus dari organisme yang berbeda. Nukleus dari sel donor akan mempertahankan kemampuan genetiknya sehingga sel akan berkembang membentuk seluruh jaringan, organ, dan sistem organ suatu organisme.
Percobaan transplantasi inti telah dilakukan oleh Robert Briggs dan Thomas King pada tahun 1950-an dengan menggunakan katak (Rana pipiens) dan Jhon Gurdon pada tahun 1970 menggunakan spesies katak (Xenopus laevis). Para peneliti ini mentransplantasikan inti dari sel embrio atau berudu pada telur (inti telur telah dihilangkan) dari spesies yang sama. Eksperimen Gurdon menunjukkan bahwa transplantasi inti dapat mendukung perkembangan telur secara normal menjadi berudu (Gambar 2). Gurdon menemukan bahwa transplantasi inti sangat tergantung dengan usia pendonor nukleus, dimana semakin tua usia nukleus donor, maka semakin rendah persentase berudu yang berkembang secara normal. Gurdon menyimpulkan bahwa terjadi perubahan di dalam nukleus ketika sel hewan berdiferensiasi. Pada tahun 1970, para peneliti dari Roslin Institute di Skotlandia menyatakan telah berhasil melakukan kloning pada seekor domba dengan menggunakan transplantasi inti dari sel yang berbeda (Gambar 3). Para peneliti ini membiakkan sel dari kelenjar susu pada medium bernutrisi. Nukleus dari sel kelenjar susu (donor nukleus) kemudian ditransplantasikan pada sel telur domba dan ditanamkan pada induk pengganti. Sel diploid tersebut kemudian membelah untuk membentuk embrio awal. Dari beberapa ratus embrio yang ditanam, satu sel berhasil berkembang secara normal dan menjadi organisme utuh. Domba tersebut hingga saat ini dikenal dengan nama domba Dolly. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa DNA dan kromosom domba Dolly memang identik dengan DNA dan kromosom donor nukleus. Kematian domba Dolly pada usia 6 tahun yang diakibatkan oleh komplikasi penyakit paru-paru yang biasanya menyerang domba yang jauh lebih tua menghadirkan spekulasi bahwa sel dengan nukleus yang berasal dari donor tidak cukup baik untuk perkembangan domba secara normal. Saat ini, para peneliti telah melakukan kloning pada banyak mamalia termasuk tikus, kucing, kuda, sapi, babi, anjing, dan monyet. Hewan hasil kloning dari spesies yang sama tidak selalu terlihat atau berperilaku identik. Contohnya pada kucing hasil kloning pertama yang diberi nama CC (carbon copy), memiliki corak bulu yang berbeda (corak bulu abu-abu) dibandingkan dengan induk donor nukleusnya (corak bulu jingga dan abu-abu). Selain ciri morfologi, perilaku antara kucing CC (aktif bermain) juga berbeda jika dibandingkan dengan induk donor nukleusnya (pendiam). Perbedaan semacam ini diakibatkan aktivasi gen secara acak yang dipengaruhi oleh lingkungan. Pengaruh lingkungan serta fenomena acak yang terjadi pada DNA memainkan peranan penting selama tahapan perkembangan.
Gambar 2. Kultur sel dari sel embrionik (belum terdiferensiasi) dan sel usus (sudah terdiferensiasi) pada katak (Xenopus laevis) (Sumber: Reece, et al., 2011) Keberhasilan pada kloning mamalia memunculkan spekulasi tentang kloning manusia. Beberapa peneliti di seluruh dunia telah mencoba untuk memulai langkah kloning pada manusia. Pendekatan yang paling umum digunakan adalah menggunakan transplantasi inti ke telur yang tidak dibuahi, kemudian merangsang telur untuk membelah. Tahun 2001, sekelompok peneliti di perusahaan bioteknologi di Massachusetts, negara bagian Amerika Serikat, telah mengamati pembelahan sel awal pada proses kloning sel manusia. Seoul National university di Korea Selatan mengklaim telah berhasil mengkloning sel manusia hingga tahap blastosit, walaupun kemudian hasil penelitian tersebut diragukan karena ditemukan beberapa kesalahan prosedur. Tahun 2007, Pusat Penelitian Nasional Primata di Oregon telah berhasil mengkloning embrio primata (macaque) hingga tahap blastosit. Penemuan ini kemudian mengarahkan teknologi transplantasi inti ini satu langkah lebih dekat ke kloning manusia.
Gambar 3. Proses kloning domba Dolly menggunakan donor sel dan donor nukleus (Sumber: Reece, et al., 2011)
Percobaan kloning menggunakan teknik transplantasi telah banyak dilakukan, tetapi hanya sebagian kecil embrio yang mampu berkembang normal hingga akhir. Para ilmuwan menyatakan bahwa, hewan hasil kloning yang tampak normal sekalipun ternyata memiliki cacat halus. Pada nukleus sel yang telah terdiferensiasi, sebagian gen telah diaktifkan dan sisanya di nonaktifkan. Selama proses transplantasi inti, perubahan nukleus pada sel donor menyebabkan berubahnya aktivasi gen dari yang seharusnya. Aktivasi dan inaktivasi gen secara tepat mempengaruhi tahapan perkembangan awal sel. Para peneliti menemukan bahwa DNA di dalam sel yang telah terdiferensiasi memiliki lebih banyak kelompok metil daripada DNA di dalam sel embrio pada spesies yang sama. Penemuan ini menunjukkan bahwa nukleus donor membutuhkan restrukturisasi kromatin yang tidak lengkap selama prosedur kloning. Metilasi pada DNA membantu proses ekspresi gen, gugus metil yang tidak tepat dalam DNA nukleus donor dapat mengganggu pola ekspresi gen yang diperlukan untuk perkembangan embrio secara normal. Oleh karena itu, keberhasilan kloning sangat tergantung apakah kromatin dalam nukleus donor dapat dimodifikasi secara artifisial agar menyerupai kondisi kromatin pada saat sel telur baru dibuahi. 3. Sel punca (stem cell) pada hewan Kloning pada manusia tidak bertujuan untuk reproduksi, tetapi bertujuan untuk memproduksi sel induk yang dapat digunakan untuk pengobatan penyakit manusia. Sel punca (stem Cell) merupakan sel yang tidak terspesialisasi sehingga dapat bereproduksi sendiri tanpa batas dan dalam kondisi yang sesuai dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel. Sel punca mampu mempertahankan jumlahnya dan dapat menghasilkan sel yang mampu berdiferensiasi. Embrio hewan banyak mengandung sel punca. Sel punca pada embrio awal dapat diisolasi pada tahapan blastula (pada manusia disebut blastosit) dan kemudian dibiakkan dalam medium kultur khusus sehingga sel embrionik ini dapat memperbanyak diri tanpa batas. Modifikasi medium kultur khusus dapat digunakan untuk merangsang sel embrionik berdiferensiasi menjadi jenis sel tertentu. Potensi sel embrionik lebih menjanjikan dari pada sel induk dewasa karena sel embrionik memiliki potensi pluripoten, yaitu dapat berdiferensiasi menjadi banyak jenis sel yang berbeda. Selain sel embrionik, pada tubuh dewasa juga terdapat sel punca yang berfungsi menggantikan sel-sel tertentu. Sel punca pada tubuh dewasa tidak dapat berdiferensiasi menjadi seluruh jenis sel dalam organisme seperti pada sel embrionik, meskipun sel punca tersebut dapat berdiferensiasi menjadi banyak jenis sel. Sel punca pada sumsum tulang belakang dapat berdiferensiasi menjadi semua jenis sel darah yang berbeda, sel tulang, tulang rawan, lemak, otot, dan lapisan pembuluh darah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sel punca juga terdapat pada otak, kulit, rambut, mata, dan pulpa gigi. Penelitian untuk mencari sel punca pada tubuh dewasa masih dilakukan hingga saat ini. Tujuan utama pencarian ini adalah menyediakan sel punca untuk memperbaiki organ rusak pada manusia yang disebabkan oleh penyakit contohnya sel pankreas
penghasil insulin, penyakit Parkinson, atau penyakit Huntington. Sel punca pada sumsum tulang belakang telah banyak digunakan sebagai sumber untuk sel yang menghasilkan sistem kekebalan pada manusia yang dikarenakan rusaknya sistem kekebalan tersebut karena kelainan genetik, penyakit, atau kanker (Gambar 4). Gambar 4. Bekerja dengan sel punca embrionik dan sel punca dewasa (Sumber: Reece, et al., 2011)
RANGKUMAN Penemuan dan studi yang menyatakan bahwa seluruh sel dalam satu organisme memiliki genom yang sama menginisiasi percobaan pertama tentang kloning organisme. Setiap sel pada tanaman memiliki kemampuan totipotensi yaitu mampu berdiferensiasi menjadi seluruh jenis sel dan jaringan untuk membentuk satu organisme baru secara lengkap. Transplantasi ini dari sel hewan yang terdiferensiasi dari sel telur mampu berdiferensiasi menjadi organisme baru. Sel embrionik dan sel dewasa dapat berdiferensiasi secara in vitro dan in vivo yang dapat dikembangan untuk kepentingan pengobatan. Sel punca sel embrionik dapat berdiferensiasi menjadi seluruh jenis sel yang terdapat dalam satu organisme (pluripotent) sedangkan sel punca dari sel dewasa hanya dapat menjadi beberapa jenis sel tergantung sumber dari sel punca dari sel dewasa tersebut.