BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak awal Indonesia menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi sebagaimana terlihat dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945, dimana pemerintahannya berbentuk Republik dengan kehadiran berbagai lembaga penyelenggara negara yang pembentukannya dilakukan secara demokratis yaitu melalui pemilihan umum. Proses demokrasi di Indonesia mempunyai tantangan kedepan yang harus terus dibenahi agar dapat menciptakan suatu pemilihan umum yang profesional. Tingkat partisipasi masyarakat menjadi salah satu tolak ukur keberhasilan dalam proses demokrasi di Indonesia dalam sebuah pemilihan, baik itu pemilihan kepala daerah maupun pemilihan kepala negara. Data dari Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia di Pemilihan Umum tahun 2009 menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat berada di angka 70,99 %, dan meningkat di Pemilihan Umum tahun 2014 di angka 75,11%. Adanya peningkatan partisipasi masyarakat tersebut memberi sinyal positif akan adanya harapan baik dari proses pembelajaran demokrasi di Indonesia. Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan garda terdepan penyelenggaraan pemilu di Indonesia. KPU memiliki peran yang sangat menentukan untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum yang Mandiri, Professional, dan Berintegritas untuk terwujudnya Pemilu yang LUBER dan 1
JURDIL. Dalam mewujudkan misinya tersebut, maka KPU RI harus memiliki misi yang dijalankan oleh sumber daya manusia yang handal dan kompeten dalam upaya menciptakan penyelenggaraan Pemilu yang profesional. Tantangan yang dihadapi oleh KPU di pemilihan mendatang semakin tinggi dengan adanya peningkatan prosentase Partisipasi Masyarakat sebagai pemilih di Pemilihan Umum (Pemilu) yang harus dicapai oleh KPU untuk tahun 2019 yang akan datang. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada bulan Desember 2016 terhadap Kepala Bagian di Biro Teknis dan Hubungan Partisipasi Masyarakat KPU RI terkait tantangan yang dihadapi KPU kedepan adalah di tahun 2019 angka partisipasi masyarakat harus meningkat sebesar 2%, artinya KPU harus mampu mencapai angka 77% dari keseluruhan pemilih tetap di seluruh Indonesia. Dengan adanya tantangan tersebut, tentu berkaitan erat dengan individu-individu yang bekerja di dalamnya. Sebagai sebuah organisasi pemerintah yang harus mengikuti perkembangan globalisasi, sangatlah penting untuk memerhatikan aspek kreatif dari para karyawan. Oleh karena itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang mampu menggerakkan karyawannya untuk lebih berfikir kreatif dalam pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. KPU dalam konteks sebuah organisasi harus fokus pada visi dan misi yang telah ditetapkan. Untuk mencapainya, organisasi ini membutuhkan peran kepemimpinan yang sangat strategis dan penting bagi pencapaian misi, visi dan tujuan sebuah organisasi. Hal ini merupakan salah satu alasan yang melatarbelakangi manusia untuk selalu menyelidiki segala sesuatu yang terkait dengan kepemimpinan. Kualitas dari pemimpin dianggap sebagai faktor yang 2
terpenting dalam keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi yang biasanya dipersepsikan sebagai keberhasilan atau kegagalan pemimpin. Liu et al. (2003) menyatakan kepemimpinan memainkan peran yang sangat penting dalam pengelolaan karyawan yang efektif. Secara umum kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses seseorang kepada orang lain untuk membimbing, menyusun dan memfasilitasi berbagai kegiatan dalam hubungannya dengan suatu kelompok atau organisasi (Yukl, 2006). Menurut Yukl (2006) kepemimpinan merupakan hal penting dalam memotivasi bawahan dan memobilitasi sumber daya untuk mencapai misi organisasi, dalam hal ini inovasi organisasi, kemampuan adaptasi, dan peningkatan kinerja. Penelitian yang dilakukan oleh Bass (1999) mengenai gaya kepemimpinan menyatakan bahwa aspek kunci dari kepemimpinan yang sukses adalah keterlibatan pemimpin dalam perubahan dan pembentukan nilai, keyakinan dan perilaku bawahan, serta memotivasi bawahan untuk melakukan hal yang dapat melampaui ekspektasi organisasi. Pandangan tersebut bermakna bahwa gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh seorang pemimpin mempunyai pengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku, serta peningkatan potensi dalam diri setiap individu yang dipimpinnya. Menurut Burns (1978 dalam Zayani, 2008), gaya kepemimpinan diidentifikasikan menjadi dua tipe, yaitu kepemimpinan transformasional dan transaksional. Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang membangkitkan motivasi bawahan serta melibatkan bawahan dalam menyusun dan mengkomunikasikan sebuah visi, mencari alternatif solusi 3
dari perspektif bawahan, menekankan kebaikan bagi bawahan dan kelompok, dan mempertimbangkan kebutuhan pribadi bawahan. Perilaku pemimpin transformasional tercermin dalam artikulasi visi, pemberdayaan dan motivasi bawahan, dan membangun hubungan yang baik dengan bawahan (Yulk, 2006). Teori kepemimpinan menjelaskan bahwa kepemimpinan transformasional menunjukkan pertimbangan individual dengan memerhatikan perbedaaan individual bawahan, mendengarkan bawahan secara efektif dan membentuk iklim kerja yang mendukung bawahan. Sedangkan gaya kepemimpinan transaksional dikonseptualisasikan sebagai hubungan pertukaran antara pemimpin dan bawahan (Bass, dalam Zayani, 2008). Kepemimpinan transaksional terjadi ketika seorang (baik pemimpin maupun bawahan) mengambil inisiatif untuk melakukan kesepakatan mengenai hadiah atau imbalan (reward) apabila kinerja sesuai kesepakatan, dan akan mendapatkan hukuman (punishment) apabila kinerja tidak sesuai kesepakatan. Akan tetapi, kepemimpinan transaksional yang hanya mempertimbangkan pertukaran, dianggap akan memicu munculnya persaingan tidak sehat antar karyawan. Pada dasarnya karyawan akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja agar mendapatkan penghargaan, dan juga berupaya menghindari sanksi. Namun, adanya persaingan dalam organisasi mampu merusak hubungan kerja antar karyawan sehingga justru dapat berdampak negatif terhadap kinerja organisasi. Beberapa peneliti sebelumnya (Shin dan Zhou, 2003; Gong et al., 2009; Mittal dan Dhar, 2015) menemukan bahwa faktor yang dapat memunculkan kreativitas karyawan di tempat kerja adalah adanya pengaruh dari seorang 4
pemimpin. Dari serangkaian penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemimpin yang menerapkan kepemimpinan transformasional akan secara efektif memengaruhi kreativitas karyawan. Dengan kepemimpinan transformasional, karyawan didorong untuk melampaui harapan-harapan yang ditentukan (Dvir et al., 2002, yang dikutip oleh Shin dan Zhou, 2003). Kepemimpinan transformasional adalah cara pemimpin yang dapat memengaruhi karyawan untuk mencapai tujuan organisasi dan meningkatkan kepercayaan diri mereka (Wang et al., 2009). Menurut Bass (1999), pemimpin transformasional mempunyai empat karakteristik, yaitu charismatic influence, individualized consideration, inspirational motivation, dan intellectual stimulation. Karakteristik pertama, charismatic influence, pemimpin transformasional mampu mengubah persepsi bawahan terhadap lingkungan kerjanya, sehingga bawahan memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugasnya. Untuk karakteristik individualized consideration, pemimpin transformasional memerhatikan kebutuhan pengembangan bawahan dan mendelegasikan pekerjaan proyek sehingga pekerjaan tersebut menjadi suatu pengalaman pembelajaran. Melalui inspirational motivation, pemimpin transformasional mampu memotivasi bawahannya dengan cara menetapkan tujuan yang jelas, menggunakan simbolsimbol dan berusaha menyentuh emosi untuk mensinergikan usaha kelompok, dan dengan demikian mendorong bawahan untuk mencapai lebih daripada apa yang akan dicapai ketika hanya bekerja secara mandiri. Sedangkan karakteristik yang terakhir, yaitu intellectual stimulation, dilakukan dengan cara menyediakan sumber daya yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas, memberikan umpan 5
balik yang konstruktif, serta kemudahan dalam mengakses informasi yang dibutuhkan yang dapat meningkatkan keahlian bawahan. Dengan keempat ciri kepemimpinan transformasional tersebut, karyawan akan termotivasi untuk bertindak kreatif ditempat kerjanya. Oleh karena itu, gaya kepemimpinan transaksional dianggap tidak dapat memberi kontribusi yang positif terhadap proses kreativitas karyawan. Kreativitas dalam konteks pegawai itu sendiri mengacu pada sebuah pemunculan ide-ide baru dan berguna tentang suatu produk, jasa, proses produksi ataupun prosedur-prosedur dalam organisasi (Amabile, 1998 dalam Cheung dan Wong 2010). Lebih lanjut diterangkan oleh Cheung dan Wong bahwa kreativitas pegawai adalah kemampuan pegawai dalam menggunakan keahlian, kemampuan, pengetahuan, pandangan dan pengalamannya untuk menghasilkan ide-ide baru dalam rangka pengambilan keputusan, menyelesaikan permasalahan secara efisien dan penyelesaian tugas-tugas dengan efektif. Kreativitas pegawai sangat dibutuhkan dalam organisasi dalam rangka beradaptasi terhadap lingkungan sekitarnya. Pegawai yang kreatif akan menggunakan kesempatan dengan baik dalam menyerap sumber-sumber ide dan informasi baru. Shin dan Zhou (2003) melakukan penelitian terhadap karyawan di 46 perusahaan di Korea, dengan melihat sejauh mana kepemimpinan transformasional memengaruhi kreativitas karyawan. Dari penelitan tersebut ditemukan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai pengaruh positif terhadap kreativitas karyawan. Dengan menerapkan gaya kepemimpinan transformasional di dalam organisasi, karyawan didorong untuk mencoba hal-hal 6
yang baru dan berbeda dalam pekerjaan mereka, bekerja secara mandiri, selalu mengembangkan kapasitas individu, tanggung jawab dan bijaksana dalam menentukan sesuatu, sehingga dapat menghasilkan tingkat kreativitas yang tinggi (Deci & Ryan, 1985; Zhou & Oldham, 2001; Amabile 1996, yang dikutip oleh Shin dan Zhou, 2003). Peneliti lain, Gong et al. (2009) yang melakukan penelitian terhadap karyawan agen asuransi di salah satu perusahaan asuransi di Taiwan, juga melihat pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap kreativitas karyawan. Hasil penelitian menemukan bahwa gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kreativitas karyawan. Dengan adanya gaya kepemimpinan transformasional dari seorang pemimpin, karyawan terbantu untuk bertindak kreatif. Pemimpin transformasional mampu mendorong otonomi karyawan, pengetahuan dan pengalaman mereka yang lebih untuk dikembangkan di tempat kerja (Avolio dan Gibbons, 1988 yang dikutip oleh Gong et al., 2009). Menurut Elkins dan Keller (2003) yang dikutip oleh Mittal dan Dhar (2015), kepemimpinan transformasional dapat menjadi penentu bagi karyawan untuk mengembangkan kreativitas di tempat kerja, seperti memberikan dorongan, visi yang jelas dan tantangan untuk kreatif. Selain itu kekuatan utama dari pemimpin yang transformasional adalah dapat memberikan sumber daya dan informasi untuk memfasilitasi karyawan dalam bekerja. Pemimpin transformasional dapat membantu karyawan untuk menemukan ide-ide baru sebagai langkah awal dalam melakukan inovasi (Kim dan Lee, 2015). 7
Selain perlu adanya kepemimpinan yang lebih bersifat transformasional dalam meningkatkan kreativitas para pegawai, diperlukan juga suatu usaha pemberdayaan psikologis para pegawai, sehingga mereka dapat bekerja dengan baik. Hal ini sejalan dengan teori kepemimpinan transformasional yang menekankan peran pemberdayaan sebagai upaya untuk mencapai tujuan organisasi (Avolio, 1999). Pemimpin transformasional mampu mengajak dan mengubah aspirasi, kebutuhan, dan nilai-nilai individu para anggotanya untuk memaksimalkan potensi yang ada pada masing-masing individu tersebut. Dengan melibatkan para anggota secara emosional dalam mencapai tujuan organisasi, masing-masing individu diharapkan dapat menemukan makna pekerjaan yang dilakukannya tidak hanya sebagai rutinitas namun sebagai bagian dari hidupnya untuk mencapai masa depan organisasi dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, seorang pemimpin harus mampu untuk memberdayakan para anggota agar dapat menjadi individu yang lebih baik yang pada akhirnya akan membawa keuntungan bagi organisasi. Proses pemberdayaan yang dilakukan tidak hanya mencakup pendelegasian wewenang dan tugas namun lebih kepada pemberdayaan psikologis (psychological empowerment). Spreitzer (1995)mendefinisikan pemberdayaan sebagai konsep motivasional tentang pemenuhan diri yang ditunjukan dengan meningkatnya motivasi kerja dari dalam diri seorang individu dalam bentuk: meaning (lebih memaknai pekerjaannya), competence (peningkatan kompetensi), self-determination (penentuan sikap diri), dan impact (pengaruh dalam pekerjaan). Masing-masing individu di dalam organisasi diharapkan dapat lebih berkontribusi terhadap pencapaian tujuan organisasi melalui peningkatan aspek-aspek yang 8
terdapat di dalam pemberdayaan psikologis (Laschinger, Finegan,Shamian, 2001). Peran pemimpin transformasional dalam hal ini adalah membangun semangat para anggotanya agar tetap antusias dan optimis serta mempunyai makna dalam pekerjaannya sehingga masing-masing individu secara suka rela memunculkan kreativitasnya guna mencapai tujuan organisasi. Liden et al. (2000) menyatakan bahwa pemberdayaan psikologis berhubungan positif pada tiga hasil kerja organisasi yakni kepuasan kerja, komitmen organisasional dan performa kerja. Karyawan yang merasa diberdayakan pada dasarnya menunjukkan performa kerja yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang kurang diberdayakan. Selain itu Spreitzer (1995) menyimpulkan bahwa adanya hubungan pemberdayaan psikologis dan efektivitas manajerial dan perilaku kreatif. Karyawan yang diberdayakan secara psikologis oleh pemimpinnya akan cenderung menganggap dan menilai diri mereka mampu melakukan pekerjaan mereka. Sehingga mereka akan terlibat dalam proses kreatif yang nantinya dapat menciptakan kreativitas karyawan (Zhang & Barthol, 2010). Berdasarkan hasil penelitian dan argumen di atas, penulis melihat fenomena organisasi yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI). KPU harus bisa bekerja kreatif, karena penyelenggaraan pemilu jangan sampai ada kesan menyeramkan atau stigma negatif di masyarakat. Masyarakat harus merasa nyaman untuk memilih kandidat yang masyarakat sukai. Di Pemilu tahun 2014 yang lalu, KPU telah menyelenggarakan berbagai kegiatan, antara lain duta pemilu, lomba jingle, maskot pemilu dan aktivitas penting lainnya. Kegiatan- 9
kegiatan tersebut bisa disinergikan dengan pusat pendidikan pemilih untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Jadi, sosialisasi aktif tidak hanya berkisar menempellkan baliho, poster, flyer, tetapi harus ada desain khusus yang efektif, sehingga penting adanya proses kreatif. KPU harus menyiapkan berbagai perangkat untuk mendukung akses data bagi publik, dan kemudian merekrut jaringan kehumasan. Selanjutnya media relation juga penting untuk dilakukan, antara lain media visit, press release, press tour, dan coffee morning, serta pemanfaatan media sosial harus optimal dalam upaya memberikan informasi kegiatan KPU sebagai penyelenggara pemilu. Oleh karena itu diperlukan suatu terobosan kreatif yang terus menerus dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mengedukasi pemilih demi terselenggaranya pesta demokrasi di Indonesia. Pemimpin KPU RI perlu memberikan inspirasi dan dorongan agar masingmasing anggota organisasi dapat berkontribusi maksimal, bekerja melebihi yang diisyaratkan dalam deskripsi-deskripsi pekerjaannya, dan mempunyai tujuan individu yang selaras dengan tujuan organisasi. Agar seluruh jajaran organisasi dapat berjalan dengan optimal, maka pemimpin organisasi tidak dapat bekerja sendiri, melainkan harus mampu memberdayakan seluruh karyawan untuk berkontribusi secara penuh. Pemberdayaan ini selain untuk mencapai tujuan organisasi, juga untuk memfasilitasi karyawan agar dapat memaksimalkan potensi yang ada pada dirinya. Dengan tujuan organisasi untuk menjadi lembaga yang profesional di Indonesia dan proses pemberdayaan yang dilakukan, pemimpin di 10
KPU RI berharap para karyawan dapat bersama-sama mengembangkan dirinya bersama-sama menghasilkan kreativitas di dalam organisasi. Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : Dampak Kepemimpinan Transformasional terhadap Kreativitas Pegawai yang Dimediasi oleh Pemberdayaan Psikologis. 1.2 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang diatas permasalahan dalam penelitian ini dapat disusun sebagai berikut : a. Apakah kepemimpinan transformasional berpengaruh secara positif terhadap kreativitas pegawai? b. Apakah pemberdayaan psikologis berpengaruh secara positifterhadap kreativitas pegawai? c. Apakah pemberdayaan psikologis memediasi pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kreativitas pegawai? 1.3 Tujuan Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk meneliti dan membuktikan tiga hal sebagai berikut: a. Adanya pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kreativitas pegawai di KPU RI. b. Adanya pengaruh pemberdayaan psikologis terhadap kreativitas pegawai di KPU RI. 11
c. Adanya peran pemberdayaan psikologis dalam memediasi pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kreativitas pegawai. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh oleh berbagai pihak dari penelitianadalah sebagai berikut: a. Bagi Akademisi Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan hubungan tipe kepemimpinan transformasional dengan kreativitas pegawai yang dimoderasi oleh pemberdayaan psikologis pada pegawai. b. Bagi Instansi Penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi manajemen perusahaandalam memahami hubungan kepemimpinan transformasional padaperilaku kreativitas pegawai serta pengaruh pemberdayaan psikologis dalam hubungantersebut. Selain itu, pimpinan instansi tersebut dapat menjadikan penelitian ini sebagaibahan pertimbangan pengambilan keputusan untuk meningkatkan perilaku kreatif pegawai di instansi. 12