Pemanfaatan Citra landsat 8 dan SIG untuk Pemetaan Kawasan Resapan Air (Lereng Barat Gunung Lawu)

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pemetaan Potensi Rawan Banjir Berdasarkan Kondisi Fisik Lahan Secara Umum Pulau Jawa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN KAWASAN RAWAN BANJIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI DAS TAMALATE

BAB V PEMBAHASAN. menentukan tingkat kemantapan suatu lereng dengan membuat model pada

ANALISIS POTENSI DAERAH RESAPAN AIR HUJAN DI SUB DAS METRO MALANG JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Luas DAS Cileungsi

PEMETAAN DAERAH RAWAN LONGSOR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS STUDI KASUS KABUPATEN BONDOWOSO

BAB I PENDAHULUAN I-1

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Untuk melestarikan simpanan airtanah, maka tingkat infiltrasi air hujan ke dalam tanah merupakan faktor yang sangat penting. Alih fungsi lahan dari

BAB I PENDAHULUAN. lereng, hidrologi dan hidrogeologi perlu dilakukan untuk mendapatkan desain

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

BAB IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Secara Geografis Kota Depok terletak di antara Lintang

Penggunaan SIG Untuk Pendeteksian Konsentrasi Aliran Permukaan Di DAS Citarum Hulu

PENGKAJIAN POTENSI RESAPAN AIR MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI STUDI KASUS CEKUNGAN BANDUNG TESIS MAGISTER. Oleh : MARDI WIBOWO NIM :

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Banjir 2.2 Tipologi Kawasan Rawan Banjir

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

ANALISIS SPASIAL KEMAMPUAN INFILTRASI SEBAGAI BAGIAN DARI INDIKASI BENCANA KEKERINGAN HIDROLOGIS DI DAS WEDI, KABUPATEN KLATEN-BOYOLALI

Jurnal APLIKASI ISSN X

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

ANALISIS KONDISI RESAPAN AIR DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN GEOMORFOLOGI MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KABUPATEN PURWOREJO

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI ALIH FUNGSI TANAMAN BUDIDAYA TERHADAP POTENSI DAERAH RESAPAN AIRTANAH DI DAERAH CISALAK KABUPATEN SUBANG

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

MAKALAH. PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR MELALUI PENDEKATAN DAERAH TANGKAPAN AIR ( Suatu Pemikiran Untuk Wilayah Jabotabek ) Oleh S o b i r i n

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMETAAN ARAHAN FUNGSI PEMANFAATAN LAHAN UNTUK KAWASAN FUNGSI LINDUNG DI KECAMATAN GISTING KABUPATEN TANGGAMUS

Analisa Kesesuaian Lahan Dan Potensi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Tanah Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis

PENENTUAN TINGKAT KEKRITISAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM DI SUB DAS AEK RAISAN DAN SUB DAS SIPANSIHAPORAS DAS BATANG TORU

ESTIMASI POTENSI LIMPASAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SERANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

BAB I PENDAHULUAN. Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah ( surface run-off) yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

TOMI YOGO WASISSO E

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

ANALISIS POTENSI LAHAN PERTANIAN SAWAH BERDASARKAN INDEKS POTENSI LAHAN (IPL) DI KABUPATEN WONOSOBO PUBLIKASI KARYA ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR xiii BAB I PENDAHULUAN... 1

BAB III METODE PENELITIAN

Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia 7 (2011) 33-37

Pengembangan RTH Kota Berbasis Infrastruktur Hijau dan Tata Ruang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN HUBUNGAN SIFAT HUJAN DENGAN ALIRAN LANGSUNG DI SUB DAS TAPAN KARANGANYAR JAWA TENGAH :

Gambar 9. Peta Batas Administrasi

PAPER KARAKTERISTIK HIDROLOGI PADA BENTUK LAHAN VULKANIK

ANALISIS DAN PEMETAAN DAERAH KRITIS RAWAN BENCANA WILAYAH UPTD SDA TUREN KABUPATEN MALANG

Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi. Diajukan Oleh : Mousafi Juniasandi Rukmana E

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

KAJIAN FOTO UDARA DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN KONDISI PERESAPAN AIR SUB DAS WEDI KABUPATEN KLATEN, JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) TUNTANG, PROPINSI JAWA TENGAH

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI UNTUK KESESUAIAN LAHAN PERMUKIMAN KOTA BEKASI. Dyah Wuri Khairina

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jenuh air atau bidang luncur. (Paimin, dkk. 2009) Sutikno, dkk. (2002) dalam Rudiyanto (2010) mengatakan bahwa

PEMANFAATAN CITRA PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN LAHAN KRITIS DI DAERAH KOKAP DAN PENGASIH KABUPATEN KULONPROGO

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

PENDAHULUAN Latar Belakang

KESESUAIAN LAHAN PENGEMBANGAN PERKOTAAN KAJANG KABUPATEN BULUKUMBA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

commit to user BAB I PENDAHULUAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DEBIT AIR LIMPASAN SEBAGAI RISIKO BENCANA PERUBAHAN LUAS SUNGAI TUGURARA DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA

II. TINJAUAN PUSTAKA

III. METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei adalah

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masyarakat yang terkena harus menanggapinya dengan tindakan. aktivitas bila meningkat menjadi bencana.

KAJIAN PEMANFAATAN LAHAN PADA DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN TIKALA KOTA MANADO

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR DI KECAMATAN WAY KRUI TAHUN 2015 (JURNAL) Oleh. Catur Pangestu W

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

: ROSMAWATI SITOMPUL / MANAJEMEN HUTAN

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang. bertingkat atau permukiman, pertanian ataupun industri.

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

I PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS UNTUK PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI KOTA MALANG

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Letak Geografis. Daerah penelitian terletak pada BT dan

Pemodelan Hidrologi Untuk Identifikasi Daerah Rawan Banjir Di Sebagian Wilayah Surakarta Menggunakan SIG

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

ANALISIS POTENSI KEKERINGAN FISIK LAHAN DI KABUPATEN KULON PROGO TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

PETA SATUAN MEDAN. TUJUAN 1. Membuat peta satuan medan

Transkripsi:

Pemanfaatan Citra landsat 8 dan SIG untuk Pemetaan Kawasan Resapan Air (Lereng Barat Gunung Lawu) Rahmawati Suparno Putri rahmawatisuparnoputri@ymail.com Totok Gunawan totokgunwan@yahoo.com Abstract This research integrated model of tiered approach for mapping the potential of water recharge area in Western Hillside of Lawu Mountain, Central Java. The goal of this research is to know how far the contribute of Landsat 8 to mapping of recharge area, to know how far the contribute of Geographic Information System to mapping of recharge area, and to analysis the map of recharge area and also to analysis the current condition of the recharge area in Western Hillside of Lawu Mountain. Spatial modelling in this research using Landsat 8 as main data and also using some of secondary data to get spatial data to create map of water recharge area. Type of soil, slope, vegetation density, type of rock, landform, and rainfall intensity are the parameters to create the potential of water recharge area s map using tiered approach. Meanwhile data of landuse, and hydrogeology used as comparative for evaluating water recharge area. The result is a map for the potential of water catchment area in western hillside of Lawu Mountain. 38,52% of the area have a medium s ability to infiltrate water into the ground, and then 49,50% of the area have a high s ability to infiltrate water into the ground, and 11,99% of the area have super high s ability to infiltrate water into the ground. Keywords: Landsat 8, GIS, Tiered Approach, The Potential of Water Recharge Area, Western Hillside of Lawu Mountain. Abstrak Penelitian ini mengintegrasikan model pendekatan kuantitatif berjenjang untuk memetakan kawasan potensi resapan air di Lereng Barat Gunung Lawu Provinsi Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan Citra Landsat 8 untuk memperoleh parameter-parameter lahan yang digunakan untuk pemetaan kawasan resapan air potensial, Mengetahui kemampuan SIG dalam menentukan dan memetakan kawasan resapan air potensial, dan memetakan kawasan resapan air potensial dan menganalisa kondisi aktual kawasan resapan air terhadap di Lereng Barat Gunung Lawu di Provinsi Jawa Tengah. Pemodelan spasial pada penelitian ini menggunakan data utama berupa Citra Landsat 8 dan data sekunder untuk menspasialkan parameter-parameter pembentuk peta kawasan potensi resapan air. Parameter jenis tanah, kemiringan lereng, kerapatan vegetasi, bentuklahan, jenis batuan, dan intensitas air hujan adalah parameter utama untuk membuat peta kawasan potensi resapan air dengan pendekatan kuantitatif berjenjang. Sedangkan parameter penggunaan lahan,, dan hidrogeologi digunakan sebagai parameter pembanding untuk evaluasi. Hasil dari penelitian ini berupa peta kawasan resapan air potensial di Lereng Barat Gunung Lawu. Kawasan yang berpotensi sedang dalam menyerapkan air ke dalam tanah sebesar 38,52%. Selanjutnya lahan yang berpotensi besar untuk menyerapkan air ke dalam tanah adalah sebesar 49,50%. Selanjutnya wilayah yang memiliki kemampuan menyerapkan air ke dalam tanah yang sangat besar adalah 11,99%. Kata kunci: Citra Landsat 8, SIG, Pendekatan Kuantitatif Berjenjang, Kawasan Potensi Resapan Air, Lereng Barat Gunung Lawu 1

PENDAHULUAN Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kebutuhan terhadap air. Seperti yang dijelaskan oleh Budiharjo (1998), salah satu kebutuhan dasar yang harus diperhatikan seiring dengan perkembangan kota adalah kebutuhan sumberdaya air. Berdasarkan UU No.11 Tahun 1974 tentang Pengairan Pengairan bahwa air dan sumber-sumber air beserta bangunan-bangunan pengairan harus dilindungi serta diamankan, dipertahankan dan dijaga kelestariannya. Berdasarkan undangundang ini yang termasuk dalam tindakan perlindungan dan pelestarian sumber air salah satunya adalah pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kemampuan Citra Landsat 8 untuk memperoleh parameterparameter lahan yang digunakan untuk pemetaan kawasan potensi resapan air, mengetahui kemampuan SIG dalam menentukan dan memetakan kawasan potensi resapan air berdasarkan hasil interpretasi Citra Landsat 8, dan untuk memetakan kawasan potensi resapan air berdasarkan hasil interpretasi Citra Landsat 8 dengan bantuan SIG dan mengevaluasi hasil pemetaan kawasan potensi resapan air. Menurut Dahlan (1992) Kawasan resapan air merupakan kawasan yang dikhususkan untuk proses pemasukan air hujan ke dalam tanah. Kawasan resapan ini dinyatakan sebagai ruangkawasan resapan dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk membulat maupun dalam bentuk memanjang, dan penggunaannya bersifat terbuka atau tanpa bangunan. Pasal 4 pada Keputusan Presiden Republik Indonesia No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung menyebutkan bahwa Kawasan Resapan Air bersamaan dengan Kawasan Hutan Lindung, dan Kawasan Bergambut merupakan kawasan lindung yang berfungsi untuk memberikan perlindungan kawasan bawahannya. Pasal 11 pada Keppres ini menyebutkan tujuan dari perlindungan terhadap kawasan resapan air adalah untuk memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah tertentu untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan. Pasal 12 menyebutkan kriteria kawasan resapan air adalah curah hujan yang tinggi, struktur tanah meresapkan air, dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besarbesaran. Salah satu cara untuk identifikasi daerah resapan diterangkan pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No : P.32/MENHUT-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS). Teknik identifikasi daerah resapan pada peraturan ini menggunakan metode penumpang-tindihan peta (map over-lay). Parameter yang digunakan untuk menentukan tingkat peresapan atau infiltrasi yaitu, curah 2

hujan, persentase run-off, tipe tanah, kemiringan lereng, tipe vegetasi, dan penggunaan lahan. Peta penyebaran hujan, jenis tanah atau batuan, dan peta kemiringan lereng diproses dalam bentuk peta potensi infiltrasi. Kemudian peta tersebut dievaluasi terhadap peta penggunaan lahan untuk mengetahui kondisi kawasan resapan air. Landsat 8 membawa dua sensor, yaitu sensor OLI (Operational Land Imager) dan TIRS (Thermal Infrared Sensor). Sensor OLI memiliki 7 band dengan resolusi spasial 30x30m, sedangkan band 8 pada citra ini memiliki resolusi spasial 15x15m. Sensor OLI dilengkapi dua band baru yaitu band 1 dengan panjang gelombang 0,43-0,45m untuk aerosol garis pantai dan band 9 (panjang gelombang 1,36-1,38m) untuk deteksi awan cirrus. Sensor TIRS sendiri dilengkapi dengan band dengan resolusi spasial 100m digunakan untuk menghasilkan kontinuitas kanal inframerah thermal (USGS,2014). Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu teknologi yang sampai sekarang masih terus mengalami perkembangan. Definisi SIG menurut Burrough (1986) merupakan suatu sistem berbasis komputer untuk memasukkan, menyimpan, mengelola, menganalisis, dan mengaktifkan kembali data yang mempunyai referensi keruangan untuk berbagai tujuan dan berkaitan dengan pemetaan dan perencanaan. METODE PENELITIAN a. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Lereng Barat Gunung Lawu, Provinsi Jawa Tengah. Secara Geografis Kabupaten Karanganyar terletak antara 110 o 40 110 o 70 BT dan 7 o 28 7 o 46 LS dengan ketinggian rata-rata 511 mdpl serta beriklim tropis dengan temperatur 22 31 o. Fokus penelitian akan dilakukan di enam kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang berada di lereng barat Gunung Lawu Jawa Tengah. Keenam kecamatan tersebut adalah Kecamatan Jenawi, Kecamatan Ngargoyoso, Kecamatan Tawangmangu, Kecamatan Jatiyoso, Kecamatan Karangpandan, dan Kecamatan Matesih. Keenam kecamatan tersebut berdasarkan Perda No. 1 tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Karanganyar th 2013-2032 merupakan kawasan yang ditunjuk sebagai kawasan resapan air di Kabupaten Karanganyar. Gambar 1. Lokasi Penelitian 3

b. Metode Faktor-faktor yang mempengaruhi daya infiltrasi air antara lain: Kondisi permukaan tanah, kondisi ruang pori, dan stabilitas struktur tanah, adanya lubang dalam tanah bekas tunjangan akar tanaman atau hasil aktifitas binatang, jenis penutup lahan, adanya penghalang dalam horizon tanah, dan jumlah dan jenis lempung serta adanya udara dalam solum tanah. Berdasarkan faktor-faktor di atas kemudian ditentukan parameter-parameter fisik lahan yang digunakan untuk untuk menentukan kawasan potensi resapan air. Parameter-parameter yang digunakan adalah (a) kemiringan lereng dengan asumsi semakin besar persentase kemiringan lereng maka kemampuan infiltrasi semakin kecil karena air permukaan akan lebih berpotensial menjadi aliran permukaan (run-off) dan tidak sempat meresap ke dalam tanah, (b) kerapatan vegetasi dengan asumsi vegetasi yang lebat akan menghambat aliran permukaan dan membuat infiltrasi berjalan optimal dan sebaliknya, (c) jenis batuan, parameter ini digunakan dengan alasan setiap jenis batuan memiliki kemampuan yang berbeda dalam meresapkan air, contohnya adalah kemampuan meresapkan air endapan alluvium lebih baik dibandingkan dengan karakteristik geologi yang berupa batu gamping. (d) jenis/tekstur tanah, parameter ini merupakan parameter utama dalam menentukan kemampuan resapan air di suatu wilayah. Secara umum karakteristik tanah yang berpori besar dan tidak liat akan lebih tinggi kemampuan meresapkan airnya dibandigkan dengan karakteristik tanah dengan pori yang kecil dan liat, (e) bentuk lahan dan kerapatan aliran. Setiap bentuklahan juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meresapkan air ke dalam tanah. Dataran aluvial akan lebih baik dalam meresapkan air karena wilayahnya yang datar dan dengan kerapatan aliran rendah sehingga dapat memberikan waktu secara optimal bagi air untuk meresap ke dalam tanah. Sedangkan bentuk lahan struktural lebih rendah kemampuan infiltrasinya karena fisiografisnya yang curam dan biasanya kerapan alirannya tinggi menyebabkan lebih banyak air yang menjadi aliran permukaan dibanding yang diresapkan ke dalam tanah. dan (f) Intensitas curah hujan dengan pertimbangan infiltrasi berubah-ubah sesuai dengan intensitas curah hujan. Akan tetapi setelah mencapai limitnya, banyaknya infiltrasi akan berlangsung terus sesuai dengan kecepatan absorbsi setiap tanah. Jadi, semakin tinggi intensitas curah hujan (mm/jam) di suatu wilayah akan lebih cepat membuat tanah di wilayah tersebut jenuh. Jika tanah di wilayah tersebut sudah jenuh, air hujan cenderung untuk dialirkan menjadi aliran permukaan. Parameterparameter tersebut kemudian di proses dengan pendekatan kuatitatif berjenjang untuk mendapatkan peta kawasan resapan air 4

Gambar 4. Peta Sebaran Potensi Resapan Air di Lereng Barat Gunung Gambar 2. Diagram Kerangka Pemikiran Kemudian untuk mengetahui kondisi aktual kawasan resapan air di ke enam kecamatan tersebut dilakukan dengan membandingkan peta kawasan potensi resapan air yang telah dihasilkan sebelumnya dengan dua parameter yang mewakili kondisi aktual di wilayah kajian yang mempengaruhi kualitas kawasan resapan air. Dua paramater kontrol tersebut antara lain yaitu : penggunaan lahan, dan hidrogeologi. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil dari pemrosesan dengan pendekatan kuantitatif berjenjang didapatkan peta kawasan potensi resapan air di Lereng Barat Gunung Lawu. Dari peta yang dihasilkan dapat dijelaskan bahwa di kawasan lereng gunung lawu terkelaskan menjadi tiga dalam hal kemampuan meresapkan air ke dalam tanah yaitu Lahan yang berpotensi sedang dalam menyerapkan air ke dalam tanah sebesar 38,52% yang dominan berada di lereng bagian bawah. Selanjutnya lahan yang berpotensi besar untuk menyerapkan air ke dalam tanah adalah sebesar 49,50% dan dominan tersebar di lereng bagian tengah. Selanjutnya wilayah yang memiliki kemampuan menyerapkan air ke dalam tanah yang sangat besar dominan berada di lereng bagian atas sebesar 11,99%. Kondisi aktual kawasan resapan air pada penelitian ini dilakukan dengan cara membandingkan peta kawasan resapan air potensial di Lereng Barat Gunung Lawu dengan parameterparameter pengontrol. Parameter pengontrol yang digunakan yaitu penggunaan lahan,, dan hidrogeologi. 5

1. Kondisi aktual kawasan resapan air berbasis penggunaan lahan. Suatu wilayah yang secara fisik berpotensi tinggi untuk menyerapkan air tetapi jika lahan diatasnya difungsikan penggunaan lahan yang tidak sesuai maka wilayah resapan tersebut menjadi tidak baik. Berikut disajikan hasil dari peta sebaran spasial hasil evaluasi kawasan resapan air berbasis penggunaan lahan. Gambar 5. Peta Kondisi Aktual Kawasan Resapan Air Berbasis Penggunaan Lahan di Lereng Barat Gunung Lawu Peta kondisi aktual kawasan resapan air berbasis penggunaan lahan di Lereng Barat Gunung Lawu menunjukkan bahwa di lokasi penelitian status kondisi kawasan resapan air terdiri dari kawasan resapan air berstatus baik, normal alami, mulai kritis, dan agak kritis. Kawasan resapan air yang baik berarti bahwa resapan air di kawasan tersebut masih sangat maksimal. Kemampuan infiltrasi aktual di area ini masih lebih besar dibandingkan besar infiltrasi potensial. Kawasan resapan air yang dalam kondisi baik di Lereng Barat Gunung Lawu sebesar 51,8% yang tersebar luas di lereng bagian atas dan tengah. Di Kawasan tersebut dilihat dari penggunaan lahannya masih didominasi oleh hutan, dan perkebunan sehingga menyebabkan status kawasan resapan air di area tersebut masih baik. Selanjutnya kawasan resapan air yang berstatus normal alami adalah sebesar 7,74% tersebar di lereng bagian tengah. Status normal alami berarti besar infiltrasi aktual di area tersebut sama besar dengan besar infiltrasi potensialnya. Selanjutnya untuk kawasan resapan air yang mulai kritis sebesar 15,86% yang juga tersebar di lereng bagian tengah. Status mulai kritis berarti di area tersebut kemampuan infiltrasi aktual sudah mengalami penurunan setingkat dibandingkan kemampuan infiltrasi potensialnya. Kawasan resapan air yang normal alami dan mulai kritis berada di lereng bagian tengah yang merupakan wilayah transisi antara area yang perkembangan fisiknya tinggi dengan area yang perkembangan fisiknya rendah. Kawasan resapan air yang berstatus agak kritis di Lereng Barat Gunung Lawu sebesar 24,59% dan dominan berada di lereng bagian bawah. Status agak kritis berarti kemampuan infiltrasi aktual di area tersebut mengalami penurunan dua tingkat dibandingkan kemampuan infiltrasi potensialnya. Kawasan yang agak kritis ini berada di kawasan yang penggunaan lahan yang berupa permukiman 6

berkembang lebih pesat, dan selain itu yang membuat kawasan ini menjadi agak kritis adalah selain berada di kawasan yang permukimannya lebih padat di area tersebut kemampuan infiltrasinya lebih rendah dibandingkan area lainnya. Hasil pemetaan kondisi aktual kawasan resapan air berbasis penggunaan lahan ini menunjukkan bahwa fungsi kawasan resapan air di Lereng Barat Gunung Lawu masih baik fungsinys sebagai pemasok utama air untuk pembentukan air tanah yang dapat dimanfaatkan untuk daerah-daerah di bawah dan sekitarnya. 2. Kondisi Aktual Kawasan Resapan Air berbasis kondisi hidrogeologi. Kawasan resapan air berhubungan erat dengan kondisi air tanah karena keberadaan kawasan resapan air ada untuk memenuhi pasokan air tanah yang merupakan salah satu kebutuan dasar manusia. Hubungan antara kemampuan resapan air dengan kondisi hidrogeologi di lereng barat Gunung Lawu dapat dilihat pada peta di bawah ini. Gambar 7. Peta Kondisi Aktual Kawasan Resapan Air Berbasis Kondisi Hidrogeologi di Lereng Barat Gunung Lawu Berdasarkan peta tersebut diketahui bahwa walaupun di Lereng Barat Gunung Lawu merupakan kawasan resapan air yang sangat potensial dan baik, tapi kondisi airtanahnya sangat rendah. Di lereng bagian atas walaupun merupakan kawasan dengan kemampuan meresapkan air sangat tinggi tapi di area tersebut merupakan kawasan yang langka akan airtanah, selanjutnya untuk area di lereng bagian tengah dengan kemampuan yang besar dalam menyerapkan air ke dalam tanah merupakan akuifer produktivitas rendah. Selanjutnya di lereng bagian bawah dengan kemampuan yang sedang dalam meresapkan air merupakan akuifer produktivitas sedang. Hasil pemetaan itu menunjukkan bahwa di Lereng Barat Gunung Lawu yang merupakan kawasan resapan air yang berpotensial tapi merupakan kawasan yang langka akan airtanah. Kondisi ini terjadi karena kawasan resapan air di Lereng Barat Gunung Lawu berada di wilayah pegunungan. Keadaan ini dapat dijelaskan dengan berdasar pada prinsip hidrologi dimana air yang jatuh dan meresap ke 7

dalam tanah di daerah hulu akan membentuk airtanah yang dapat difungsikan secara maksimal di daerah hilir/daerah dibawahnya. Citra Landsat 8 pada penelitian ini dimanfaatkan untuk menyediakan data-data spasial dari parameterparameter penentu kawasan potensi resapan air. Data-data spasial parameter penentu kawasan potensi resapan air yang didapatkan dengan memanfaatkan Citra Landsat 8 pada penelitian ini adalah parameter penggunaan lahan, parameter kerapatan vegetasi, parameter kemiringan lereng, dan parameter bentuklahan. Citra Landsat 8 dengan resolusi spasial 30 meter ini berperan cukup besar untuk menyediakan data kerapatan vegetasi, kemiringan lereng, dan bentuklahan tapi kurang berperan dalam menyediakan data penggunaan lahan. Peran SIG dalam pemetaan Kawasan Potensi Resapan Air ini adalah untuk mengintergrasikan data spasial dan data atribut yang digunakan untuk analisa spasial pada model hidrologi. Analisa pada penelitian ini berupa analisa deskritif dengan mendeskripsikan zonasi resapan air di Lereng Barat Gunung Lawu yang didapatkan dengan pemodelan spasial memanfaatkan SIG. Pemodelan spasial yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif berjenjang yaitu dengan menumpangsusunkan parameterparameter fisik seperti jenis tanah, kemiringan lereng, kerapatan vegetasi, bentuklahan, dan jenis batuan yang telah diberi harkat sesuai dengan pengaruhnya terhadap kemampuan meresapkan air. Proses overlay dengan SIG juga digunakan untuk melakukan evaluasi kawasan resapan air terhadap penggunaan lahan, besar hujan infiltrasi, dan kondisi hidrogeologi. KESIMPULAN 1. Citra Landsat 8 dengan resolusi spasial 30 meter ini berperan cukup besar untuk menyediakan data kerapatan vegetasi, kemiringan lereng, dan bentuklahan tapi kurang berperan dalam menyediakan data penggunaan lahan. 2. Peran SIG dalam penelitian ini cukup besar. Peta kawasan resapan air potensial didapatkan dengan metode pendekatan kuantitatif berjenjang. Proses overlay dengan SIG juga digunakan untuk mendapatkan kondisi aktual kawasan resapan air terhadap penggunaan lahan, dan kondisi hidrogeologi. 3. Kawasan yang berpotensi sedang dalam menyerapkan air ke dalam tanah sebesar 38,52% yang dominan berada di lereng bagian bawah. Selanjutnya lahan yang berpotensi besar untuk menyerapkan air ke dalam tanah adalah sebesar 49,50% dan dominan tersebar di lereng bagian tengah. Selanjutnya wilayah yang memiliki kemampuan menyerapkan air ke dalam tanah yang sangat besar dominan berada di lereng bagian atas sebesar 11,99%. Status kondisi aktual kawasan resapan air berdasarkan penggunaan lahan di Lereng Barat Gunung Lawu 51,8% masih dalam kondisi yang baik, 8

sebagian kecil pada kondisi normal alami, mulai kritis, dan agak kritis. Walaupun merupakan kawasan resapan air yang sangat berpotensial, Lereng Barat Gunung Lawu merupakan area yang langka akan airtanah karena area ini merupakan area dataran tinggi yang sulit menjangkau muka air tanah yang terlampau dalam. DAFTAR PUSTAKA Anonim.2015. http://landsat.usgs.gov/. Diakses pada tanggal 31 Agustus 2015. Pukul 14.41 WIB Budiharjo,E. 1998. Sejumlah Masalah Permukiman Kota. Cetakan III. Bandung : PT.Alumni Burrough PA. 1986. Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assesment. Oxford : Clarendonprees Dahlan, E.N. 1992. Hutan Kota Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas Lingkungan Hidup. Bogor : Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Keputusan Presiden Republik Indonesia No.32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung Peraturan Daerah Kabupaten Karanganyar No.1 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sukoharjo Tahun 2013-2032 Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No: P.32/Menhut- II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) 9