BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik disertai adanya tuntutan untuk lebih demokratis

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan untuk lebih

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. oleh krisis ekonomi yang menyebabkan kualitas pelayanan publik terganggu dan

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan aspek transparansi dan akuntabilitas. Kedua aspek tersebut menjadi

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia memasuki babak baru pengelolaan pemerintahan dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 tahun 1999

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. menumbangkan kekuasaan rezim Orde Baru yang sentralistik digantikan. arti yang sebenarnya didukung dan dipasung sekian lama mulai

BAB I PENDAHULUAN. melalui penyerahan pengelolaan wilayahnya sendiri. Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pada saat ini, era reformasi memberikan peluang bagi perubahan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah ditandai dengan dikeluarkan Undang-Undang (UU No.22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana yang telah ditetapkan pada Undang-Undang No 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. tidak meratanya pembangunan yang berjalan selama ini sehingga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Negara dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi. penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi merupakan suatu langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah,

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. eksternalitas, mengoreksi ketidakseimbangan vertikal, mewujudkan pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era reformasi memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan pada

1 UNIVERSITAS INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi ciri yang paling menonjol dari hubungan keuangan antara pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Implementasi desentralisasi menandai proses demokratisasi di daerah

BAB I PENDAHULUAN. dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Tugas Pembantuan.

BAB I PENDAHULUAN. landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang. menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. transparansi publik. Kedua aspek tersebut menjadi hal yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah (Mardiasmo, 2002 : 50). Pengamat

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

ABSTRAK. Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Bagi Hasil, Flypaper Effect.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Sidik et al, 2002) UU No.12 tahun 2008

BAB 1 PENDAHULUAN. mengelola daerahnya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya, desentralisasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah, yang

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pusat mengalami perubahan, dimana sebelum reformasi, sistem pemerintahan

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. dengan diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sejalan dengan menguatnya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

INUNG ISMI SETYOWATI B

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB III KERANGKA PENDANAAN PEMBANGUNAN DAERAH TAHUN

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. No. 12 tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang No.32 tahun

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat Indonesia dalam menyikapi berbagai permasalahan daerah akhir

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam mewujudkan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. daerahnya sendiri, pada tahun ini juga tonggak sejarah reformasi manajemen

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia telah memulai babak baru dalam kehidupan bermasyarakat sejak

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. bentuk penerapan prinsip-prinsip good governance.dalam rangka pengaplikasian

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. melalui otonomidaerah.pemberian otonomi daerah tersebut bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitan. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5 memberikan definisi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi membawa banyak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik disertai adanya tuntutan untuk lebih demokratis merupakan suatu fenomena global. Tuntutan ini mengharuskan setiap pemerintahan lebih transparan dan lebih memiliki akuntabilitas yang baik. Kedua aspek ini menjadi sangat penting dalam menjalankan pemerintahan terutama di bagian pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas publik adalah pemberian informasi dan pengungkapan seluruh aktivitas dan kerja finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pengamat ekonomi, pengamat politik, investor, hingga rakyat mulai memperhatikan setiap kebijakan dalam pengelolaan keuangan (Mardiasmo, 2011). Realitas menunjukkan tidak semua daerah bisa mandiri atau terpisah dari pemerintah pusat, hal ini dikarenakan kebijakan pelaksanaan pemerintah daerah yang masih berada di bawah pengelolaan pemerintahan pusat, meskipun pemerintah daerah berhak mengatur kewenangan daerahnya sendiri. Salah satu hubungan yang dimiliki antara pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan sektor keuangan antara pusat dan daerah (Halim dan Syaf, 2012). Kemampuan pembiayaan merupakan salah satu faktor paling penting dalam menilai serta menyatakan kemampuan daerah dalam mengatur dan mengelola rumah tangganya sendiri, karena tanpa adanya pembiayaan daerah

2 yang cukup maka suatu daerah tidak mungkin secara optimal mampu menyelenggarakan tugas dan kewajiban serta segala kewenangan yang melekat dengannya untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Kemampuan pembiayaan merupakan variabel penting dalam menilai kemampuan otonomi, dimana kondisi kemampuan pembiayaan yang sangat rendah dapat menyebabkan ketergantungan antara pemerintah daerah kepada pemerintah pusat (Halim dan Syaf, 2012). Pembiayaan penyelenggaran pemerintahan berdasarkan asas desentralisasi di lakukan atas beban APBD. Dalam rangka penyelenggaran pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat berdasarkan asas desentralisasi, kepada daerah diberi kewenangan untuk memungut pajak/retribusi dan mengelola Sumber Daya Alam. Sumber dana bagi daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK) dan Pinjaman Daerah, Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Tiga sumber pertama langsung dikelola oleh Pemerintah Daerah melalui APBD, sedangkan yang lain dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui kerja sama dengan Pemerintah Daerah (Halim dan Syaf, 2012). Pemerintah daerah sangat bergantung pada Anggaran dan Realisasi Dana Alokasi Umum daripada mengupayakan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penerimaan daerah yang berasal dari Selisih Anggaran dan Realisasi Dana Perimbangan menunjukkan jumlah yang terus meningkat dari tahun ke tahun sedangkan penerimaan yang berasal dari Selisih Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari tahun ke tahun semakin menurun. Pemerintah cenderung memiliki ketergantungan yang tinggi

3 terhadap pemerintah pusat dan menganggarkan peningkatan belanja dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. (Halim dan Syaf, 2012) Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yang dikukuhkan oleh Undang-Undang telah membawa konsekuensi tersendiri bagi daerah untuk bisa melaksanakan pembangunan di segala bidang dengan harapan agar dapat dilaksanakan secara mandiri oleh pemerintah daerah. Kebijakan tersebut dirancang oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kemudian Undang- Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Sedangkan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah telah ditetapkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 yang menegaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah harus dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperlihatkan keadilan dan kepatuhan. Apabila pengelolaan keuangan daerah dilakukan dengan baik sesuai dengan peraturan pemerintah maka akan meningkatkan kinerja pemerintah daerah itu sendiri. Kebijakan tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang. Sudut pandang yang pertama adalah tantangan, sedangkan sudut pandang kedua adalah peluang Pemerintah Daerah. Hal ini dikarenakan dalam Undang-Undang diamanatkan

4 segala bidang terutama dalam pembangunan dan pengelolaan sarana dan prasarana. Pembangunan ini diharapkan dapat dilaksanakan dengan mandiri oleh daerahnya, baik dari sisi pembangunan, perencanaan, pengelolaan dan pembiayaan, Daerah diberi kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Tujuan kewenangan ini adalah untuk mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk mengontrol dana keluar yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan terutama yang paling penting adalah untuk menciptakan persaingan segar antar daerah sehingga mendorong timbulnya inovasi (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Sejalan dengan hal ini, Pemerintah Daerah diharapkan dapat menggali sumber-sumber keuangan khususnya untuk memenuhi pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan adanya otonomi daerah ini berarti Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih mandiri, tak terkecuali juga mandiri dalam masalah finansial. Meski begitu Pemerintah Pusat tetap memberi dana bantuan yang berupa Dana Alokasi Umum (DAU) yang di transfer ke Pemerintah Daerah. Dalam praktiknya, transfer dari Pemerintah Pusat merupakan sumber pendanaan utama Pemerintah Daerah untuk membiayai operasional daerah, yang oleh Pemerintah Daerah dilaporkan di perhitungan anggaran. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antar pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum di seluruh negeri (Maimunah, 2008).

5 Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan tulang punggung pembiayaan daerah. Karena itu kemampuan suatu daerah menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) sangatlah penting karena akan mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di daerah tersebut. Di samping itu, semakin besar konstribusi Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah maka semakin sedikit pula ketergantungan terhadap Pemerintah Pusat. Optimalisasi penerimaan Pendapatan Asli Daerah hendaknya didukung upaya Pemerintah Daerah dengan meningkatkan kualitas layanan publik. Sumber keuangan yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) lebih penting di bandingkan sumber keuangan yang berasal dari luar Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini dikarenakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat digunakan sesuai kehendak dan inisiatif pemerintah daerah demi kelancaran penyelenggara urusan daerah (Mardiasmo, 2011). Seiring dengan meningkatnya Pendapatan Asli Daerah, diharapkan tingkat kemandirian pemerintah daerah semakin meningkat dan akan meningkatkan kinerja keuangan pemerintah pusat. Tingkat kemandirian ini ditunjukkan dengan kontribusi (share) Pendapatan Asli Daerah untuk mendanai belanja-belanja daerahnya. Dengan adanya peningkatan (pertumbuhan) meningkatnya pemberian pelayanan publik, diharapkan kontribusi masyarakat semakin meningkat pula sehingga penerimaan Pendapatan Asli Daerah menjadi semakin tinggi. Kontribusi pemerintah pusat semakin menurun, seiring dengan

6 meningkatnya kemampuan daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya. Kinerja keuangan pemerintah sesudah dilaksanakannya otonomi seharusnya mengalami perbaikan yang ditandai dengan semakin baiknya nilai rasio-rasio kinerja keuangan. Hal tersebut disebabkan oleh semakin luasnya kesempatan yang diberikan kepada daerah untuk menggali potensi potensi yang daerah miliki (Mardiasmo, 2011). Untuk menyelenggarakan roda pemerintahan yang kuat dalam membangun daerah nya, diperlukan kewenangan dan kemampuan yang menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dalam hal ini kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Dalam menjamin terselenggaranya pemerintahan daerah yang semakin mantap, maka diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri yakni dengan upaya peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), baik dengan meningkatkan penerimaan sumber Pendapatan Asli Daerah yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber Pendapatan Asli Daerah yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa selain Pendapatan Asli Daerah (PAD), Anggaran dan Realisasi Dana Perimbangan juga merupakan salah satu sumber penerimaan daerah yang memiliki kontribusi besar terhadap struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah suatu sistem pembagian

7 yang adil, demokratis, transaparan dan efisien dalam penyelenggaraan dana desentralisasi dengan menimbang potensi dan kebutuhan daerah (UU Nomor 33 tahun 2004). Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan memiliki peranan yang besar sebagai sumber pembiayaan pembangunan dan akhirnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Penurunan kegiatan ekonomi di daerah juga memberikan dampak negatif bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga menghambat pelaksanaan kegiatan pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat oleh pemerintah secara otonomi. Peningkatan kegiatan ekonomi diberbagai daerah akan meningkatkan Selisih Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga pelaksanaan daerah pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat oleh pemerintah tidak terhambat (Bastian, 2006). Perimbangan keuangan merupakan suatu sistem hubungan keuangan yang bersifat vertikal antara pemerintah pusat dan daerah. Hal tersebut sebagai konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dalam bentuk penyerahan sebagian wewenang pemerintahan, Besarnya nilai transfer yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbangan, seharusnya menjadi insentif untuk meningkatkan pendapatan daerah. Berdasarkan fungsinya, pendapatan asli daerah (PAD) merupakan aspek penting dalam keberhasilan pelaksanaan otonomi. Namun, Kenyataan yang terjadi adalah dana transfer justru dijadikan sebagai sumber penerimaan utama daerah dibandingkan dengan Pendapatan Asli Daerah. Kondisi ini ditunjukkan dengan besarnya dana

8 perimbangan yang diterima pemerintah daerah yang tidak sebanding dengan nilai pendapatan asli daerah (PAD) yang mampu dikumpulkan oleh daerah. Fenomena ini oleh diindikasikan sebagai ilusi fiskal (fiscal illusion). Ilusi fiskal secara sederhana diidentifikasi dari peningkatan Pendapatan Asli Daerah yang tidak seimbang dengan peningkatan dana perimbangan terhadap belanja daerah dan kinerja keuangan, sehingga belanja daerah dan kinerja keuangan didominasi oleh dana perimbangan (Bastian, 2006). Manajemen keuangan daerah adalah pengorganisasian dan pengelolaan sumber-sumber daya atau kekayaan yang ada pada suatu daerah untuk mencapai tujuan tersebut disebut sebagai kinerja pemerintah daerah. Sehubungan dengan adanya efektivitas otonomi daerah maka kinerja pemerintah dalam keuangan daerah sangatlah dituntut untuk membiayai aktivitas daerah melalui kekayaan asli daerah (Mardiasmo,2011). Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 10 menyatakan bahwa yang menjadi sumber pembiayaan untuk pembangunan daerah (capital investment) antara lain berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan yang diterima oleh daerah-daerah dari Pemerintah Pusat. Upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik daerah, Pemerintah wajib mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran modal ini didasarkan pada kebutuhan daerah akan sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Selama ini belanja daerah lebih banyak digunakan untuk belanja rutin yang relatif kurang produktif.

9 Salah satu ketetapan MPR yaitu Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah, Merupakan landasan hukum dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai dasar penyelenggaraan Otonomi Daerah. Dimana hal ini telah diperbaharui dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.32 tahun 2004 dan Undang-Undang No.33 tahun 2004, lebih menegaskan bahwa untuk pelaksanaan Otonomi Daerah, Pemerintah pusat akan mentransfer dana perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Bagian Daerah Dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak. Disamping itu Pemerintah Daerah diharapkan mampu memenuhi kebutuhan Belanja Daerahnya melalui PAD, maupun sumbersumber penerimaan lainnya. Menurut Eka dan Winston (2013) Pemerintah daerah perlu meningkatkan investasi modal dalam aktiva tetap, seperti: peralatan, bangunan, infrastruktur, dan aset tetap lainnya. Alokasi belanja modal didasarkan pada kebutuhan lokal untuk sarana dan prasarana. Semakin tinggi tingkat investasi modal diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik, karena aktiva tetap dalam belanja modal adalah kunci untuk pelaksanaan tugas pemerintahan dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Otonomi daerah membawa dampak yang luas terhadap akuntansi pemerintah daerah. Meskipun demikian, pemerintah pusat tidak serta-merta melepaskan daerah otonom sepenuhnya.

10 Namun perlu adanya bantuan-bantuan dana transfer yang diserahkan ke daerah. Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan suatu pos pendapatan bagi pemerintah daerah untuk digunakan dalam Belanja Daerah (BD). Hal ini disebabkan oleh tingkat kemandirian pemerintah daerah yang tidak bergantung pada PAD dimana fokus pemerintah daerah bukan pada laba atau menghasilkan pendapatan melainkan pada pelayanan publik. Kemudian peranan DAU yang lebih pada belanja operasional daripada belanja modal karena tingginya belanja pegawai yang tidak mampu dibiayai oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD). Menurut Kristanto, Sifrid dan Heince (2013) Otonomi daerah membawa dampak yang luas terhadap akuntansi pemerintah daerah. Antara lain terpisahnya kekuasaan pusat yang diserahkan kepada daerah. Meskipun demikian, pemerintah pusat tidak serta-merta melepaskan daerah otonom sepenuhnya. Namun perlu adanya bantuan-bantuan dana transfer yang diserahkan ke daerah. Salah satu dana transfer adalah Dana Alokasi Umum yang dapat secara bebas digunakan oleh pemerintah daerah baik untuk belanja operasional maupun belanja modal. Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan suatu pos pendapatan bagi pemerintah daerah untuk digunakan dalam Belanja Daerah (BD). Menurut Widalsin (2009) transfer antar pemerintah hanya salah satu unsur dalam seluruh sistem hubungan fiskal dan peraturan antar pemerintah.

11 Melalui pajak dan pengeluaran kebijakan, Federal dan pemerintah negara bagian secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi kemampuan pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan melalui pajak, tuntutan pengeluaran ditempatkan atas mereka, dan kemampuan mereka untuk mengumpulkan dana dengan menerbitkan utang. Selain itu, tanggung jawab dan kekuasaan pemerintah daerah berkembang terus dari waktu ke waktu, diilustrasikan oleh evolusi program yang menyediakan uang tunai dan bantuan kesehatan untuk rendah. Selain itu, Oman, Havid dan Fitria (2006) mengemukakan Transfer antar pemerintah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua negara di dunia terlepas dari sistem pemerintahan dan bahkan telah menjadi fitur yang paling menonjol dari keuangan hubungan antara pusat dan daerah. Tujuan pelaksanaan transfer adalah untuk menginternalisasikan eksternalitas fiskal yang timbul di seluruh wilayah, meningkatkan sistem perpajakan, koreksi fiskal inefisiensi dan pemerataan fiskal antar daerah. Transfer Indonesia didasarkan pada Undang- Undang No. 32 Tahun 2004 dalam pelaksanaan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan mentransfer Dana Perimbangan dari lokal hibah (DAU), hibah Khusus (DAK), dan daerah DBH terdiri dari pajak dan sumber daya alam. Selain dana perimbangan, pemerintah daerah memiliki sumber dana mereka sendiri pendapatan asli daerah (PAD), dana, dan pendapatan lainnya. Bahkan, transfer di negara-negara memperluas sumber pendanaan utama untuk pemerintah daerah untuk pengeluaran operasi pendanaan, yang dilaporkan diperhitungkan oleh anggaran pemerintah daerah. Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi

12 (Jika tidak mungkin menghilangkan) kesenjangan fiskal antara pemerintah dan jaminan pencapaian standar minimum pelayanan publik di seluruh negeri (di Simanjuntak, 2002, Maimunah, 2008). Oaets (dalam Halim, 2002) menyatakan bahwa ketika respon (belanja) melebihi besar dari pendapatan dari mentransfer sendiri, itu disebut efek flaypaper. Sayangnya, alokasi transfer di negara-negara berkembang pada umumnya telah didasarkan pada aspek pengeluaran, tapi kurang memperhatikan pajak daerah kemampuan pengumpulan (Naganathan dan Sivagnanam, 1999). Akibatnya, lokal Pemerintah setiap tahun selalu menuntut lebih dan lebih transfer dari pusat (Shah, 1994), bukannya mengeksplorasi basis pajak daerah secara lebih optimal. Data menunjukkan proporsi pendapatan asli daerah (PAD) hanya mampu untuk membiayai pemerintahan yang lebih tinggi menghabiskan sebagian besar wilayah sebesar 20 persen. Dengan transfer dana pusat ke daerah juga menunjukkan tingkat korupsi juga terjadi menjadi pemerintahan yang terdesentralisasi atau lokal. Menurut Halim dan Syaf (2012) ciri dari suatu daerah yang mampu melaksanakan otonomi daerah, yaitu (1) kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumbersumber keuangan, mengelola dan menggunakan kewenangan sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahnya, dan (2) ketergantungan kepada bantuan harus seminimal mungkin, agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) dapat

13 menjadi sumber keuangan terbesar sehingga peranan Pemerintah Daerah menjadi lebih besar. Menurut Mardiasmo (2011) Pemerintah Daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan. Sumber daya keuangan inilah yang merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri dan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah. Dengan demikian masalah keuangan merupakan masalah penting dalam setiap kegiatan pemerintah di dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah karena tidak ada kegiatan pemerintah yang tidak membutuhkan biaya, selain itu faktor keuangan ini merupakan faktor penting dalam mengukur tingkat kinerja keuangan pemerintah. Menurut informasi dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Surya,Sri dan Agus dalam (www.academia.edu; 2014) Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi dengan nilai APBD dan PAD terbesar di Indonesia. Tingkat Varians Anggaran dan Realisasi PAD yang tinggi membuat DAU yang diterima oleh Provinsi Kalimantan Timur sangat kecil, itu artinya bahwa Provinsi Kalimantan Timur mampu untuk melaksanakan otonomi daerah dan pemerintahan di daerah tanpa terlalu bergantung pada pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) yang diterima, Namun cukup kontras ketika kita melihat bagaimana kontribusi PAD dan DAU terhadap belanja daerah pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Kalimantan Timur, dimana ada beberapa

14 Kabupaten/Kota dengan Varians Anggaran dan Realisasi PAD yang sangat kecil sehingga mendapatkan DAU yang cukup besar yang artinya Kabupaten/Kota tersebut masih belum bisa untuk memaksimal potensi daerahnya dalam menghasilkan PAD untuk membiayai pengeluaran daerahnya dan masih sangat bergantungpada pemerintah pusat melalui dana perimbangan dalam hal ini adalah Dana Alokasi Umum(DAU), namun ada juga beberapa Kabupaten/Kota yang memiliki Varians Anggaran dan Realisasi PAD dan sumber penerimaan pendapatan lain yang cukup besar sehingga mendapatkan DAU dalam jumlahyang relatif kecil dan bahkan ada beberapa Kabupaten dan Kota yang tidak mendapatkandau seperti Kabupaten Kutai Kartanegara di tahun 2009, 2010, 2011 dan 2012, Kabupaten Kutai Barat di tahun 2007, kemudian Kabupaten Penajam Paser Utara di tahun 2010, serta Kota Bontang juga ditahun 2010. Beberapa Kabupaten dan Kota tersebut tidak mendapatkan DAU karena berdasarkan formula yang tertuang dalam UU No. 34 tahun 2004 dimana jika celah fiskal suatu daerah negatif dan nilai negatifnya lebih besar atau sama dengan alokasi dasar maka DAU sama dengan nol atau daerah tersebut tidak layak mendapatkan dana transfer berupa Dana Alokasi Umum (DAU). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Pradana dalam (www.portalgaruda.org; 2011) di Kabupaten Karangasem, transfer Pemerintah Pusat dioptimalkan sebagai potensi pendapatan yang dimiliki untuk memberikan proporsi belanja modal yang lebih besar untuk pembangunan pada sektor-sektor

15 yang produktif di daerah, berdasarkan Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Bali laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Karangasem 6 (enam) tahun. Bantuan pemerintah pusat dan provinsi masih sangat diharapkan dalam menutupi sebagian besar pengeluaran pemerintah daerah. Pemerintah kabupaten Karangasem masih harus bekerja keras dalam menggali dan mengembangkan potensi daerah yang dimiliki, untuk mewujudkan tujuan dari otonomi daerah, yaitu mampu meningkatkan kemandirian daerah dalam menjalankan pemerintahannya. Berdasarkan informasi dari Saefullah dalam (www.beritajakarta.com;2014) DKI Jakarta mengalami defisit Anggaran dan Realisasi Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2014. Jumlahnya pun cukup fantastis yakni mencapai RP 12 triliun. Namun, Pemprov DKI tetap optimis bisa mengejar target pencapaian pendapatan dari pos dana perimbangan pusat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor pajak yang saat ini jumlahnya dinilai belum signifikan. Setidaknya ada beberapa pos anggaran yang meleset dari target penerimaan. Semula pendapatan dan penerimaan pembiayaan daerah senilai Rp.72,9 triliun, namun hanya bisa mencapai Rp 60 triliun. Sekretaris Daerah (Sekda) DKI Jakarta, Saefullah mengakui, pendapatan DKI tidak bisa mencapai target. Padahal, APBD 2014 telah ditetapkan sebesar Rp 72,9 triliun. Berdasarkan penghitungan dalam dua bulan terakhir tahun 2014, angka tersebut tidak bisa tercapai.sekda DKI Jakarta menyebutkan penyebab defisitnya pendapatan karena

16 target penerimaan dari berbagai pos meleset. Seperti dana perimbangan tidak tercapai sebesar Rp 6 triliun, proyek Electronic Road Pricing (ERP) sebesar Rp 2 triliun dan sisanya adalah penerimaan pajak yang tidak tercapai yakni Rp 4 triliun. Akibat adaya defisit pendapatan ini, juga menjadi acuan bagi Pemprov DKI Jakarta untuk menyusun APBD 2015. Semula nilai yang diajukan untuk APBD tahun depan yakni sebesar Rp 81,5 triliun, kemudian dikoreksi menjadi Rp 76 triliun.kepala Bidang Pendapatan Daerah Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta, Yulius Darmawijaya mengklaim, mampu mengejar pencapaian target pendapatan daerah Rp 12 triliun hingga Desember 2014 mendatang. Di antaranya adalah dengan meminta pencairan dana perimbangan dari pemerintah pusat. Selain itu, lanjutnya, Pemprov DKI akan mencoba meningkatkan pendapatan dari sektor pajak dan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Penelitian dilakukan oleh Wenny (2012) di Provinsi Sumatra Selatan menunjukkan bahwa Varians Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan namun, secara parsial hanya lain-lain Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang sah yang dominan mempengaruhi kinerja keuangan. Penelitian yang dilakukan oleh Nasution (2010) di Provinsi Sumatera Utara mengenai Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah menunjukkan hasil bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan terhadap Belanja Daerah. Penelitian yang telah dilakukan di antaranya Pengaruh Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan terhadap Kinerja

17 Keuangan Pemerintah Kabupaten / Kota di Provinsi Aceh. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa Varians Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan secara simultan dan parsial berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten/ Kota di Provinsi Aceh (Julitawati, Darwanis dan Jalaluddin, 2012). Berdasarkan penelitian di atas maka penulis tertarik untuk menyajikan penelitian dengan judul : PENGARUH SELISIH ANGGARAN DAN REALISASI PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN DANA PERIMBANGAN TERHADAP KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH (Survey pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah Tahun Periode 2014). 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan, penulis mengidentifikasi masalah yang akan menjadi pokok pemikiran dari pembahasan adalah sebagai berikut : 1. Apakah selisih Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah berpengaruh secara parsialterhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun periode 2014. 2. Apakah selisih Anggaran dan Realisasi Dana Perimbangan berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun periode 2014. 3. Apakah selisih Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan berpengaruh terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah

18 Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun periode 2014. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah untuk mencari, mengumpulkan dan menghasilkan informasi mengenai pengaruh Varians Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun periode 2014. Adapun tujuan yang dicapai melalui penelitian ini adalah mendapatkan bukti empiris mengenai: 1. Pengaruh parsial selisih Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun periode 2014. 2. Pengaruh parsial selisih Anggaran dan Realisasi Dana Perimbangan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun periode 2014. 3. Pengaruh simultan selisih Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah

19 Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah tahun periode 2014. 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak antara lain adalah sebagai berikut : 1. Bagi Penulis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi penulis terutama mengenai pengaruh selisih Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. 2. Bagi Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah Penulis berharap agar pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah dapat meningkatkan penggunaan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Asli Daerah yang tujuannya untuk membiayai belanja daerah sendiri sehingga mengurangi beban Dana Perimbangan dari Pemerintah Pusat sebagai wujud kemandirian daerah dalam membiayai belanjanya. Kemampuan belanja tersebut membuktikan bahwa pemerintah daerah telah efisien dalam mengelola Kinerja Keuangan yang berada di Kabupaten dan Kota Jawa Barat dan Kabupaten dan Kota Jawa Tengah. 3. Bagi Masyarakat

20 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang positif kepada masyarakat mulai dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. 1.5 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dan pengumpulan data dilakukan pada Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sedangkan waktu pelaksanaan ini dimulai dari bulan Juni 2015 sampai Oktober 2015.