PERSPEKTIF SOSIOLOGI-MAKRO (MACROSOCIOLOGICAL) TENTANG PENYIMPANGAN SOSIAL Tidak seperti biologi atau teori-teori psikologi yang, untuk sebagian besar, mengeksplorasi faktor-faktor yang terkait kejahatan yang bersifat internal terhadap individu, teori-teori sosiologis tentang kejahatan mencari korelasi kejahatan yang bersifat eksternal bagi individu yang terlibat. Contoh kemungkinan yang termasuk sebab-sebab eksternal kejahatan adalah organisasi lingkungan, kemiskinan, pengasuhan yang buruk, dan teman-teman yang nakal. Bagian ini berfokus pada teori sosiologi-makro, yang meneliti bagaimana organisasi atau struktur suatu masyarakat dapat menghasilkan lingkungan yang kondusif untuk kejahatan. 1. Penyimpangan Sosial sebagai Fungsi Solidaritas Sosial Perspektif Fungsionalisme-Struktural awalnya adalah pemikiran Emile Durkheim. Emile Durkheim dikenal sebagai penggagas utama perspektif ini, yang menekankan bahwa masyarakat adalah sebuah fakta sosial, dan semua yang terjadi di masyarakat memiliki fungsi. Anda bisa melihat kembali penjelasan ini pada modul 7 mengenai tatanan sosial. Perspektif ini memberian gagasan bahw penyimpangan sosial dan tindakan kejahatan memiliki fungsi dalam kehidupan manusia. Adanya penyimpangan sosial dan tindakan kejahatan akan memunculkan kembali kesadaran bersama orang-orang dalam masyarakat modern. Masyarakat modern mengalami penurunan ikatan bersama yang didasari oleh kesadaran kolektif (collective conscience), yakni sebuah kesadaran yang mengacu pada pendirian umum moralitas zaman atau keyakinan dan sikap bersama yang menyatukan masyarakat, namun ikatan kolektif mereka hanya ditentukan oleh saling ketergantungan antara satu sama lain yang didasarkan keahlian pada bidang-bidang pekerjaan yang ada di satu masyarakat. Masyarakat modern dicirikan dengan gejala anomie, yakni sebuah gejala sosial spesifik karena
terlepasnya norma-norma sosial atau pemisahan individu dari kesadaran kolektif dan diungkapkan dalam dua cara yang saling terkait: kurangnya regulasi dan kurangnya integrasi. Kurangnya regulasi mengacu pada keadaan di mana kesadaran kolektif tidak dapat mengatur keinginan manusia; kurangnya integrasi berarti "individualisme" dipromosikan sedemikian rupa sehingga orang menjadi begitu egois atau egois sehingga mereka tidak lagi peduli dengan kesejahteraan manusia lain. Dengan demikian, masyarakat modern hanya mengejar kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dirinya, dan ini dapat mendorong orang melakukan tindakan kejahatan dan perilaku menyimpang agar ia bisa memperoleh sesuatu yang diinginkannya. Durkheim tidak hanya percaya bahwa kejahatan adalah aspek normal masyarakat, ia juga percaya bahwa kejahatan itu berfungsi untuk masyarakat. Fungsi pertama adalah kejahatan menegaskan moralitas dalam masyarakat. Misalnya, kejahatan menandai batas-batas moralitas orang yang menyimpang adalah orang yang kegiatannya telah bergerak di luar batas kelompok, dan ketika masyarakat memanggilnya untuk menjelaskan bahwa ketidakmenentuan cara hidupnya itu membuat pernyataan tentang sifat dan penempatan batas-batasnya. Dengan kata lain, orang tidak akan tahu apa perilaku yang dapat diterima jika bukan karena kejahatan. Fungsi kedua adalah kejahatan mempromosikan solidaritas sosial dengan menyatukan orang-orang yang taat hukum melawan kejahatan. Ketika penjahat diadili dan dihukum, kejahatan memberikan kesempatan dramatis untuk mempublikasikan aturan masyarakat kepada semua anggotanya. Artinya, hukuman bagi penjahat adalah imbalan kepada warga yang mematuhi hukum. Menurut Durkheim, kejahatan memiliki fungsi solidaritas sosial yang sangat penting, sehingga kejahatan harus diciptakan jika belum ada. Fungsi ketiga adalah, kejahatan menyediakan sarana untuk mencapai perubahan sosial yang diperlukan melalui, misalnya, pembangkangan sipil, di mana orang-orang yang membangkang telah melakukan suatu perilaku penyimpangan atau tindakan
kejahatan. Contoh pembangkangan sipil adalah kelompok besar pedagang kaki lima (PKL) yang menempati suatu jalan ramai yang tidak diperuntukkan untuk mereka berjualan dan bahkan menimbulkan ketidaknyamanan bagi orang lain, sehingga terjadi perubahan peruntukkan lahan tersebut yang memenangkan kepentingan PKL. 2. Teori Disorganisasi Sosial (Social Disorganization Theory) Bagi para ahli teori Chicago, disorganisasi sosial adalah kondisi di mana (1) kontrol yang lazim atas penjahat sebagian besar tidak ada, (2) perilaku nakal sering disetujui oleh orang tua dan tetangga, (3) banyak peluang yang tersedia untuk perilaku nakal, dan (4) terdapat sedikit dorongan, pelatihan, atau peluang untuk pekerjaan yang sah. Beberapa asumsi utama teori disorganisasi sosial tentang sebab terjadinya kenalakan dan kejahatan: 1. Kemiskinan, karakteristik lingkungan, kepadatan penduduk, dan gangguan keluarga pada tingkat kejahatan di unit geografis seperti kota atau kabupaten adalah factor-faktor tingkat makro sebab terjadinya kenakalan dan kejahatan. 2. Kepribadian atau kelompok sebaya berkontribusi pada kriminalitas individu merupakan factor-faktor tingkat mikro sebab terjadinya kenakalan dan kejahatan. 3. Komunitas yang dicirikan oleh jaringan pertemanan yang jarang, kelompok remaja yang tidak diawasi, dan partisipasi organisasi yang rendah memiliki tingkat kejahatan dan kenakalan yang sangat tinggi. 4. Warga di lingkungan yang tidak memiliki keampuhan kolektif tidak memiliki keterpaduan untuk bertindak dengan cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah masyarakat. 5. Karakteristik struktural tertentu dari masyarakat mempengaruhi kemampuan penduduk untuk memaksakan mekanisme kontrol sosial atas anggota mereka, dan bahwa hilangnya mekanisme kontrol tersebut mempengaruhi tingkat kejahatan.
6. Pada wilayah yang terdapat konsentrasi tinggi kehidupan orang-orang yang kurang beruntung terdapat bukti-bukti empiris yang kuat tentang teori disentegrasi sosial dan deprivasi ekonomi. 7. Peluang menjadi korban kejahatan lebih tinggi tidak hanya di lingkungan yang kurang beruntung, tetapi juga di lingkungan yang sedang mengalami peningkatan sosio-ekonomi yang kuat, khususnya kasus gentrifikasi atau dimana properti di lingkungan tersebut awalnya merupakan properti lama orang-orang yang kurang beruntung dan sekarang diambil alih dan direnovasi oleh orang-orang berpendapatan tinggi menjadi properti yang bernilai tinggi. Dapat anda lihat diatas bahwa komunitas urban sangat mudah untuk muncul kenakalan dan kejahatan, karena integrasi sosial masyarakat urban sangat lemah, seperti jaringan pertemanan yang jarang, kelompok remaja yang tidak diawasi, dan partisipasi organisasi yang rendah. Masyarakat urban juga sangat tergantung dengan institusi pemerintah dan swasta untuk menyelesaikan masalah masyarakat, misalnya seperti pembangunan jalan, sehingga semakin tinggi tingkat kebergantungannya kepada pemerintah dan swasta, maka mekanisme kontrol sosial masyarakat akan semakin hilang. Wilayah-wilayah konsentrasi tinggi kehidupan orang-orang yang kurang beruntung banyak kita dapatkan di kota, dan saat ini orang-orang tersebut mengalami pemindahan ke wilayah atau perumahan yang sudah disediakan dari pemerintah, sehingga tempat mereka diambil alih dan direnovasi oleh pemerintah maupun swasta untuk dijadikan kawasan yang memiliki properti yang bernilai tinggi. Salah satu faktor yang berkontribusi pada menurunnya komunitas kota adalah praktik redlining (garis-merah) yang telah berlangsung selama puluhan tahun di mana bank menolak meminjamkan uang untuk perbaikan rumah di suatu daerah karena ras atau etnis penduduk. Apa yang biasanya terjadi di area redline (praktek, kebetulan, yang masih terjadi hari ini meskipun ini ilegal) adalah bahwa lingkungan dan nilai properti menurun secara dramatis sampai mereka mencapai titik di mana spekulan tanah dan pengembang, biasanya bersama dengan para
pemimpin politik, membeli tanah untuk pembaruan perkotaan atau gentrifikasi dan menghasilkan keberuntungan dalam prosesnya. Singkatnya, elit politik dan ekonomi dapat menyebabkan disorganisasi sosial, pemisahan dari kelompok tetapnya, dan kenakalan, mungkin tidak disengaja, oleh keputusan sadar yang mereka buat. 3. Teori Kesempatan dan Teori Aktivitas Rutin Kedua teori ini berfokus pada bagaimana peluang untuk melakukan kejahatan ditawarkan oleh lingkungan fisik dan tindakan individu sehari-hari. Menurut teori kesempatan (opportunity theory) kesempatan melakukan tindakan kejahatan berkaitan dengan dua faktor: adanya peluang fisik yang diperlukan untuk melakukan kejahatan dan kecilnya risiko tertangkap. Peluang fisik termasuk barang-barang berharga yang tidak diawasi, pintu yang tidak dikunci, dan pejalan kaki yang terganggu. Seseorang dapat tertangkap oleh seorang petugas polisi, atau oleh pengamat yang cenderung mengambil tindakan terhadap pelanggar, seperti pemilik rumah, penjaga pintu, petugas parkir, dan petugas keamanan. Bangunan-bangunan yang dirancang dengan buruk dan lingkungan proyek perumahan berpenghasilan rendah dan menengah memiliki tingkat kejahatan jauh lebih tinggi daripada proyek-proyek yang dirancang lebih baik yang memiliki tipe penduduk dan kepadatan yang sama. Teori kesempatan memberikan hipotesis bahwa cara yang utama untuk mengurangi kejahatan adalah dengan menciptakan defensible space (ruang pertahanan). Ruang pertahanan atau defensible space adalah model untuk lingkungan perumahan yang dirancang untuk menghambat kriminalitas melalui berbagai mekanisme yang mencakup "hambatan nyata dan simbolis, wilayah pengaruh yang sangat kuat, dan peluang yang ditingkatkan untuk pengawasan. Teori aktivitas rutin (routine activity theory) menjelaskan bahwa perubahan struktural dalam kegiatan rutin kehidupan sehari-hari mempengaruhi kejahatan terhadap orang dan properti. Perubahan struktural dalam kegiatan rutin
mempengaruhi kejahatan tersebut melalui efeknya pada salah satu dari tiga faktor: (1) "pelanggar termotivasi" (misalnya, remaja laki-laki, pengangguran, pecandu narkoba), (2) "target yang sesuai" (seperti tidak terkunci rumah atau mobil), dan (3) "tidak adanya penjaga yang mampu melawan pelanggaran" (misalnya, tidak adanya petugas polisi, pemilik rumah, sistem keamanan). Ketiga faktor tersebut diperlukan untuk keberhasilan terselesaikannya kejahatan. Kegiatan kriminal dipandang sebagai kegiatan rutin. Mereka menyimpulkan bahwa kejahatan sangat berakar dalam struktur peluang yang sah dari masyarakat kita dan dalam kebebasan dan kemakmuran yang dinikmati banyak orang, bahwa untuk mengurangi kejahatan akan membutuhkan perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari kita. Dengan demikian, implikasi pencegahan kejahatan dari teori aktivitas rutin fokus pada korban kejahatan potensial yang harus mengubah gaya hidup mereka sehingga mereka tidak lagi menjadi sasaran empuk bagi pelaku kejahatan. Sebagian besar penekanannya adalah untuk mengamankan lingkungan langsung melalui penciptaan ruang pertahanan, menguatkan target kejahatan, dan meningkatkan keberadaan pelindung yang cakap. 4. Teori Anomie Robert K. Merton Robert K. Merton dipengaruhi oleh teori anomie Emile Durkheim dan fungsionalisme Talcott Parsons, dan ia melakukan modifikasi terhadap teori anomie. Merton berpendapat bahwa anomie merupakan gejala sosial yang berbentuk kontradiksi anomie. Merton menjelaskan bahwa individu memiliki tujuan untuk mengejar kesejahteraan dan ia juga mencari dan melakukan cara untuk mencapai tujuan tersebut. Nilai-nilai kesejahteraan dan cara-cara yang dipakai ini dibatasi oleh nilai-nilai budya, sehingga pencapaian tujuan seringkali bertentangan atau berkontradiksi dengan cara-cara pencapaian tujuan yang lazim dalam masyarakat. Hal ini membuat individu harus melakukan beberapa cara adaptasi dalam masyarakat agar tujuannya bisa tercapai.
Tabel 7.1. Teori Anomie atau Teori Ketegangan Penyimpangan Merton Perilaku menyimpang terjadi saat adanya penghormatan pada tujuan, tetapi bukan pada sarana bagi setaip orang untuk mencapainya Cara Adaptasi Tujuan Budaya Cara-cara Institusional Deskripsi Conformist contoh: patuh pada hukum Innovator contoh: kriminal Bekerja keras untuk mencapai kesuksesan dan kekayaan Memperoleh kekayaan melalui cara-cara yang tidak sah Ritualist contoh: birokrat Berdiri pada hukum, tapi menurunkan tujuan Retreatist contoh: pecandu obat-obatan terlarang Menolak tujuan dan cara yang ada dengan cara tidak lagi Rebel contoh: teroris, pejuang kebebasan bermasyarakat ( ) ( ) Menolak tujuan dan cara, tetapi menggantinya dengan tujuan dan cara sendiri Conformist mengejar tujuan budaya kekayaan hanya melalui sarana institusional yang sah. Inovasi adalah adaptasi di akar sebagian besar kejahatan. Setelah menolak sarana kelembagaan yang sah, para innovator mengejar tujuan budaya kekayaan melalui cara yang tidak sah. Ritualisme adalah adaptasi dari individu yang "tidak mau mengambil risiko," biasanya seorang anggota kelas menengahbawah. Ritualist tidak secara aktif mengejar tujuan budaya kekayaan (mereka bersedia menerima lebih sedikit, seringkali berharap bahwa anak-anak mereka akan berhasil di mana mereka belum) tetapi mengikuti sarana institusional yang sah. Retreatist termasuk pecandu alkohol, pecandu narkoba, psikotik, dan orangorang buangan lainnya dari masyarakat. Retreatist tidak mengejar tujuan budaya kekayaan, sehingga mereka tidak menggunakan sarana kelembagaan yang sah. Ketika perilaku mereka didefinisikan sebagai kriminal, retreat juga merupakan sumber kejahatan. Terakhir adalah adaptasi pemberontakan. Rebel (pemberontak) menolak tujuan budaya kekayaan dan cara kelembagaan yang sah untuk mencapainya dan mengganti kedua tujuan yang berbeda dan cara yang berbeda. Pemberontakan bisa menjadi sumber kejahatan lain.
Tabel dan penjelasan tabel di atas menjelaskan bahwa perilaku menyimpang (deviance) terjadi saat adanya penghormatan pada tujuan, tetapi bukan pada sarana bagi setaip orang untuk mencapainya. Jika anda menyimak dengan baik, anda akan bertanya bagaimana seseorang bisa mendapatkan pengetahuan tentang kesempatan dan cara-cara yang tidak sah untuk mencapai tujuannya. Albert K. Cohen, seorang murid dari Robert K. Merton menjelaskan bahwa pengetahuan tentang cara-cara yang tidak sah tersebut didapatkan oleh seseorang pada saat remaja, yakni saat ia bersosialisasi dengan teman-teman sebaya saat umur sekolah pada saat ini ia mengenal adanya orang-orang yang berbeda dalam cara mencapai status sosial. Seorang anak remaja yang berasala dari keluarga dengan status kelas bawah dan kelas menengah-bawah secara sosial-ekonomi, akan menghadapi ketegangan berupa pilihan apakah ia akan masuk pada kelompok anak remaja dengan status kelas menengah dan tinggi, atau ia akan masuk pada kelompok anak berstatus kelas bawah. Jika mereka memilih untuk masuk pada kelompok anak berstatus kelas menengah dan tinggi, ia harus dapat menyesuaikan diri dengan nilai-nilai kelas menengah, yang dihasilkan terutama melalui sekolah umum, dan memposisikan diri ke posisi bawahan di antara rekan-rekannya. Jika ketegangan tersebut lebih mendorongnya untuk menjauhi kelas tersebut, maka ia masuk pada kelompok kelas bawah yang memiliki kemampuan rendah untuk menyesuaikan dengan cara-cara lazim dalam mencapai kesuksesan, seperti sulit bersaing dalam nilai pelajaran dan sering diabaikan keberadaannya. Akhirnya, ia dan kelompoknya tersebut mencari harga diri dengan menciptakan subkultur yang buruk yang mendefinisikan layaknya sifat-sifat tersebut yang dimiliki anak muda ini. Contohnya, mereka akan mencoba melakukan sesuatu sehingga mendapatkan sifat untuk menjadi ditakuti di jalanan, yang tidak memperoleh nilai apa pun di masyarakat, tapi cukup memuaskan hasrat seseorang untuk diakui sebagai seseorang dalam lingkungan lokal disekitarnya. Baru pada saat itulah, seseorang belajar bahwa ia telah melakukan dengan jelas perilaku menyimpang dan mungkin tindakan kejahatan di masyarakat.