BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang sebagian besar menyerang paru-paru tetapi juga dapat mengenai organ tubuh lain dan hingga saat ini masih menjadi masalah di sektor kesehatan internasional, bahkan Indonesia. Hingga diakhir tahun 2013, World Health Organization (WHO) dalam Global Tuberculosis Report 2013 menyatakan terdapat 22 negara yang masuk dalam kategori High-Burden countries (HBCs) terhadap penyakit tuberkulosis. Untuk wilayah Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan kelima setelah India, Korea, Bhutan, dan Bangladesh dalam menyumbang jumlah kasus tuberkulosis (Global Tuberculosis Report, 2013). Meskipun memiliki beban penyakit tuberkulosis yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara High-Burden Countries di wilayah WHO Asia Tenggara yang mampu mencapai target global tuberkulosis untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006 (STRANAS TB, 2011). WHO menyatakan bahwa tuberkulosis merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan sejak belasan tahun 1
lalu. Walaupun strategi DOTS telah terbukti efektif untuk pengendalian tuberkulosis, tetapi beban penyakit tuberkulosis di masyarakat masih tinggi. Dengan banyaknya kemajuan yang telah dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru tuberkulosis, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat tuberkulosis di seluruh dunia (Global Tuberculosis Report, 2013). Setiap tahun, insidensi tuberkulosis di Indonesia meningkat mencapai 528.000 kasus dengan angka kematian mencapai 91.000 orang (Kemenkes, 2011). Kasus kejadian tuberkulosis di Indonesia bertambah sekitar seperempat juta kasus baru setiap tahunnya dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya yang disebabkan oleh tuberkulosis. Sebagian besar penderita tuberkulosis berusia 15 hingga 55 tahun. Di Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor 1 diantara penyakit menular lainnya (Anonim, 2014). Dari laporan pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) pada Tahun 2010 menunjukkan bahwa target 6C yaitu mengendalikan penyebaran dan mulai menurunkan jumlah kasus baru tuberkulosis, merupakan satu satunya target MDGs di bidang kesehatan yang telah tercapai hingga sekkarang (STRANAS TB, 2011). WHO (2012) menyatakan bahwa terdapat penurunan insidensi kasus 2
tuberkulosis sebesar 2,2% antara tahun 2010 hingga 2011. Secara global tingkat mortalitas tuberkulosis menurun sebesar 41% dari tahun 1990 hingga 2008 (Kemenkes, 2011). Keberhasilan pembangunan nasional dalam lima tahun terakhir tercermin dalam pencapaian berbagai indikator. Dilihat dari indikator status kesehatan dan gizi masyarakat, Indonesia secara umum telah menunjukkan perbaikan dalam beberapa tahun terakhir, yang tercermin dari pencapaian Umur Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), dan prevalensi kekurangan gizi pada balita (Bappenas 2010). Sementara itu, untuk masalah tuberkulosis sendiri meskipun secara nasional telah menunjukkan pencapaian yang meningkat dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, untuk pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah. Terdapat sekitar 28 provinsi di Indonesia yang belum dapat mencapai angka Case Detection Rate (CDR) 70% dan hanya 5 provinsi yang menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85% menunjukkan kesembuhan (STRANAS TB, 2011). Menurut American Thoracic Society dan WHO diagnosis pasti tuberkulosis paru adalah adalah dengan menemukan adanya Mycobacterium tuberculosis dalam pemeriksaan sputum ataupun pemeriksaan jaringan paru 3
secara biakan. Tidak semua pasien dapat menunjukkan hasil pemeriksaan sputum yang positif karena kelainan paru-parunya belum berhubungan dengan bronkus ataupun pasien belum dapat mengeluarkan sputumnya dengan baik. Adanya kelainan pada tuberkulosis paru baru akan terlihat jelas setelah penyakit sudah semakin berlanjut. Sebenarnya hanya dengan menemukan kuman Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan sputum pasien secara mikroskopis sudah dapat memastikan diagnosis tuberkulosis paru, tetapi masih banyak yang menegakkan diagnosis tuberkulosis paru berdasarkan hasil radiologis dan pemeriksaan klinis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak dan memberi pengaruh yang cukup besar terhadap efek pengobatan yang bahkan sebenarnya tidak diperlukan (Sudoyo et al., 2009) sehingga dapat menimbulkan multi-drug resistan TB (MDR-TB) yang menjadi ancaman bagi pasien. Untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis, di dasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yaitu dengan menggali informasi tentang riwayat penyakit pasien dan melihat tanda-tanda klinis pasien, serta pemeriksaan laboratorium yang terdiri dari pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan foto toraks, pemeriksaan sputum BTA, tes Peroksidase Anti Peroksidase (PAP), tes tuberkulin/mantoux, pemeriksaan dengan teknik 4
Polymerase Chain Reaction, pemeriksaan Becton Dickinson Diagnostic Instrumen System (BACTEC), dan pemeriksaan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (Sudoyo et al., 2009). Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan sediaan langsung dengan menggunakan mikroskop, pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop fluoresens, pemeriksaan dengan biakan (kultur) dan pemeriksaan terhadap resistensi obat (Sudoyo et al., 2009). Standar baku (gold standard) dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis adalah dengan kultur bakteri (Guillerm et al., 2006). Kemungkinan untuk menemukan kuman BTA dalam spesimen sputum dengan apusan mikroskopik secara langsung berhubungan dengan konsentrasi basil yang terdapat dalam sputum. Pada konsentrasi kurang dari 1000 organisme per ml, kesempatan untuk mengobservasi basil dalam apusan kurang dari 10%. Pemeriksaan kultur dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis bisa mendeteksi mikroorganisme dengan jumlah yang jauh lebih sedikit. Batas jumlah deteksi adalah sekitar 100 organisme per ml. Sementara itu apusan mikroskopis secara langsung tidak bisa membedakan antara berbagai mikobakteria 5
patogenik dan non-patogenik, dimana semuanya tahan asam dan mempunyai morfologi yang sama. Karena itu, untuk mendiagnosis tuberkulosis, sensitivitas dan spesifisitas metode kultur lebih baik daripada apusan mikroskopik (Toman, K., 2004). Pada pemeriksaan dengan biakan (kultur), akan tampak koloni kuman tuberkulosis setelah 4 hingga 6 minggu penanaman sputum dalam medium. Jika dalam waktu lebih dari 8 minggu penanaman koloni tidak tampak, maka biakan atau kultur dinyatakan negatif (Sudoyo et al., 2009). Kultur bakteri ini dilakukan dalam media LÖwenstein-Jensen (LJ). Kelebihan dari kultur dengan media LJ ini adalah biaya yang murah dengan prosedur yang sederhana. Sedangkan kelemahan dari media LJ adalah dibutuhkan waktu yang lama untuk menentukan diagnosis. Kultur menggunakan medium LJ membutuhkan waktu sekitar 20 hingga 56 hari untuk mendiagnosis tuberkulosis dan 4 hingga 6 minggu setelah kultur untuk tes sensitivitas obat (Drug Sensitibility Test = DST) (Guillerm et al., 2006). Nantinya hal ini berdampak pada penundaan terapi bagi pasien yang dinyatakan positif pada pemeriksaan kultur. Pada penelitian Fitrah, Nurul., 2007 tentang perbandingan metode diagnosis BTA dan kultur 6
Mycobacterium tuberculosis, didapatkan hasil sensitivitas BTA lebih tinggi dibandingkan dengan spesifisitasnya, yaitu 85% : 84%. Definisi sensitivitas adalah zat terkecil yang dapat diukur secara terpercaya dengan menggunakan metode analisa tertentu, atau dengan kata lain sensitivitas adalah pasien yang didiagnosis positif benar-benar menderita penyakit tertentu. Sementara spesifisitas adalah keadaan kemungkinan bahwa seseorang tidak menderita penyakit yang akan secara tepat teridentifikasi melalui uji klinis, atau pasien yang terdiagnosis negatif benar-benar tidak menderita penyakit tersebut (Setiawan, et al., 2002). I.2 Rumusan Masalah Bagaimana hasil pemeriksaan Bakteri Tahan Asam dibandingkan dengan kultur pada spesimen sputum yang diperiksa di laboratorium mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada pada periode 2010 hingga 2013? I.3 Tujuan Penelitian Mengetahui hasil pemeriksaan Bakteri Tahan Asam dibandingkan dengan kultur pada spesimen sputum yang diperiksa di laboratorium mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. 7
I.4 Keaslian Penelitian Berikut ini adalah penelitian sebelumnya yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini : 1. Fitrah, Nur. 2005. Perbandingan Metode Diagnosis BTA dan Kultur Mycobacterium tuberculosis di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Periode 2005. I.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai metode pemeriksaan mikroskopis dan kultur dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis. 8