BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Umbi porang merupakan bahan baku glukomanan yang saat ini banyak dibudidayakan oleh petani dan petani hutan. Umbi porang banyak tumbuh liar di kawasan hutan dan lereng gunung sekitar Jawa, Bali, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Di Perum Perhutani II Jawa Timur tanaman porang sudah lama diberdayakan oleh masyarakat, seperti di KPH Saradan dan Nganjuk. Sedangkan di Jawa Tengah, tanaman porang banyak dibudidayakan di kabupaten Blora seluas 1.200 hektar (Bina, 2013). Meskipun budidaya tanaman porang telah banyak dilakukan, namun produktivitas umbi porang masih rendah yakni sekitar 2 4 ton per hektar dan ketersediaan bahan baku tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan industri sehingga masih dilakukan impor tepung glukomanan sekitar 20 ton per tahun ( Santosa, 2014). Umbi porang sebagian besar dijual dalam bentuk segar oleh petani dan diolah menjadi chips atau tepung porang oleh pengepul/tengkulak. Produk porang Indonesia diperdagangkan dan diekspor dalam bentuk bahan mentah berupa chips atau tepung porang sehingga harga jual komoditasnya masih rendah. Minimnya penggunaan teknologi di kalangan petani atau industri lokal pengolah umbi porang mengakibatkan tepung porang yang dihasilkan kalah bersaing dengan tepung porang impor (Mulyono, 2010). Kondisi tersebut menyebabkan harga jual tepung porang Indonesia rendah. 1
Harga beli umbi porang segar berkisar Rp 2.700,00 hingga Rp 3.000,00 per kg, sedangkan harga chips porang kering tiap kilogram sekitar Rp 28.000,00. Ketika sudah diolah menjadi tepung porang, harga jualnya meningkat menjadi Rp 200.000,00 hingga Rp 250.000,00 per kg dan setelah dimurnikan menjadi tepung glukomanan harga jualnya Rp 1.450.000,00 per kg ( www.agromaret.com). Berbeda dengan harga tepung porang di Kediri yang masih rendah yaitu berkisar Rp 130.000,00 per kg. Umbi porang memiliki nilai ekonomis tinggi apabila dilakukan proses pengolahan secara tepat untuk menghasilkan tepung porang berkualitas. Berdasarkan perbedaan harga antara umbi porang segar, chips porang, tepung porang dan tepung glukomanan maka peningkatan mutu tepung porang perlu dilakukan melalui optimasi proses pengolahan umbi porang sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi petani dan industri serta mengurangi ketergantungan impor glukomanan. Tahapan awal proses pengolahan umbi porang yaitu pengeringan untuk menghasilkan chips porang kering. Pada proses pengeringan akan menentukan kualitas tepung porang yang selanjutnya digunakan untuk proses ekstraksi glukomanan. Glukomanan akan membentuk gel yang bersifat tahan panas di dalam koagulan basa dengan adanya pemanasan. Ukuran granula pati pada umbi porang berkisar 20 30 µm dengan suhu gelatinisasi 60-65º C (Maekaji, 1974). Oleh karena itu, proses pemanasan melalui pengeringan chips porang harus dilakukan secara tepat agar komponen dalam umbi porang tidak mengalami kerusakan sehingga dapat diekstrak secara optimal. 2
Pengeringan chips porang masih banyak dilakukan secara tradisional dengan memanfaatkan sinar matahari untuk penghematan biaya produksi. Selain itu, pengupasan umbi porang sebelum dikeringkan sering kali tidak dilakukan untuk menghindari losses bahan baku. Hal tersebut dapat menambah beban pada proses pengolahan selanjutnya dan mengurangi kualitas produk akhir yang dihasilkan. Pengeringan chips porang secara tradisional membutuhkan waktu pengeringan lama dan bergantung pada cuaca harian sehingga tidak dapat diprediksi secara tepat. Selain itu, pada proses pengeringan secara tradisional dapat meningkatkan resiko kontaminasi jamur akibat proses pengeringan yang berlangsung lambat. Proses pengeringan chips porang harus dilakukan secara cepat untuk menekan perubahan warna pada chips porang. Proses pengupasan kulit umbi juga harus dilakukan untuk mengurangi kandungan pengotor yaitu pati, protein, lemak, abu dan selulosa yang sebagian besar terdapat pada kulit umbi. Penentuan karakteristik pengeringan pada umbi porang (Amorphophallus oncophyllus) belum banyak dilakukan. Sebagian besar penelitian menitik beratkan pada proses ekstraksi glukomanan dan pemisahan kandungan pengotor pada tepung porang. Selain itu, minimnya pemanfaatan chips, tepung porang dan glukomanan porang dalam industri pangan dan non pangan di Indonesia membuat penelitian ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, melalui penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi baru terkait proses pengeringan chips porang yan selanjutnya diolah menjadi tepung porang sebagai bahan baku ekstraksi glukomanan. Kualitas glukomanan ditentukan oleh mutu tepung porang hasil pengeringan chips porang. 3
Pada penelitian ini dilakukan analisa pengaruh ketebalan irisan dan suhu pengeringan chips porang menggunakan cabinet dryer dengan cara menentukan parameter-parameter pada proses pengeringan yang melibatkan perpindahan panas dan massa secara simultan yaitu penentuan nilai konstanta laju penurunan kadar air, koefisien perpindahan panas konveksi, faktor frekuensi dan energi aktivasi. Apabila nilai parameter tersebut telah diketahui maka dapat dilakukan prediksi karakteristik pengeringan pada berbagai variasi suhu pengeringan yang digunakan. Faktor suhu pengeringan, ketebalan irisan dan lama proses pengeringan yang dilakukan akan mempengaruhi kualitas mutu chips porang yang dihasilkan. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan penentuan kondisi optimal pengeringan chips porang agar menghasilkan tepung porang mutu terbaik yaitu berdasarkan kandungan kalsium dan rendemen glukomanan yang dihasilkan. Pada proses pengeringan terjadi perpindahan massa uap air pada bahan dan perpindahan panas secara konveksi. Fenomena tersebut memperngaruhi lama proses pengeringan yang juga bergantung pada suhu pengeringan, massa dan ketebalan irisan bahan yang dikeringkan. Oleh karena itu dilakukan analisis perpindahan panas dan massa pada proses pengeringan irisan umbi porang dengan variasi suhu pengeringan dan ketebalan irisan bahan yang dikeringkan untuk menentukan energi dan biaya produksi yang dibutuhkan dalam proses pengeringan. Kualitas chips porang hasil pengeringan pada berbagai variasi ditentukan berdasarkan kandungan kalsium dan rendemen glukomanan dalam tepung porang. 4
1.2 Tujuan Tujuan utama penelitian yaitu optimasi pengeringan irisan umbi porang menjadi chips porang menggunakan cabinet dryer dengan menentukan parameter perpindahan panas dan massa selama proses pengeringan. Adapun tujuan khususnya : a. Menentukan nilai koefisien perpindahan panas konveksi secara simultan dengan penentuan konstanta laju penurunan kadar air yang diselesaikan menggunakan metode Rungge Kutta. b. Menentukan faktor frekuensi dan energi aktivasi pada proses pengeringan porang menggunakan persamaan Arrhenius. c. Menentukan pengaruh ketebalan irisan umbi porang dan suhu pengeringan terhadap kandungan kalsium dan rendemen glukomanan tepung porang. 1.3 Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : a. Memberikan informasi baru mengenai proses pengeringan chips porang sehingga mampu mengembangkan pengetahuan yang telah ada dan sebagai pembanding untuk penelitian selanjutnya. b. Bagi industri pengolahan tepung porang, memberikan informasi mengenai optimasi pengeringan chips porang sehingga dapat dilakukan tahapan proses pengolahan porang secara tepat untuk menghasilkan produk berkualitas. 5
1.4 Batasan Masalah Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini terkait perpindahan massa dan perpindahan panas konveksi untuk penentuan konstanta laju penurunan kadar air (k), koefisien perpindahan panas konveksi (h), faktor frekuensi (A) dan energi aktivasi (Ea). Penelitian ini dibatasi pada pengukuran s uhu dan kadar air bahan dengan dua variasi ketebalan irisan dan tiga variasi suhu pengeringan. 6