OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN PERKEBUNAN

dokumen-dokumen yang mirip
ISS N OUTLOOK TEH Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian 2015

ISSN OUTLOOK KAPAS 2015 OUTLOOK KAPAS

ISSN OUTLOOK LADA 2015 OUTLOOK LADA

OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN SUSU

OUTLOOK KOMODITI KAKAO

OUTLOOK KOMODITI JAHE

ISSN OUTLOOK JERUK 2016 OUTLOOK JERUK. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian

OUTLOOK KOMODITI TOMAT

OUTLOOK KOMODITI CENGKEH

OUTLOOK KOMODITI KELAPA SAWIT

ISSN OUTLOOK BAWANG MERAH 2015 OUTLOOK BAWANG MERAH. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian

OUTLOOK KOMODITI TEBU

ISSN OUTLOOK CABAI 2016 OUTLOOK CABAI

OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUB SEKTOR PETERNAKAN DAGING AYAM

ISSN OUTLOOK NENAS 2015 OUTLOOK NENAS

OUTLOOK KOMODITI PISANG

OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUBSEKTOR PETERNAKAN DAGING SAPI

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

OUTLOOK KAKAO. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian

OUTLOOK KOMODITI TEMBAKAU

OUTLOOK Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2016

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

ISSN OUTLOOK NENAS 2016 OUTLOOK NENAS

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Ubi Kayu

OUTLOOK TELUR Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian 2016

OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN SUB SEKTOR PETERNAKAN TELUR

OUTLOOK KELAPA SAWIT Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian 2016

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Perkebunan Dunia

ISSN OUTLOOK KOPI 2016 OUTLOOK KOPI

OUTLOOK KOMODITI MANGGA

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1. Ekspor, Impor, dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Menurut Sub Sektor, 2014 Ekspor Impor Neraca

ISSN OUTLOOK KARET 2015 OUTLOOK KARET. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Kacang Tanah

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Ubi Kayu

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan Ubi Jalar

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian, Semester I 2014 Ekspor Impor Neraca

V. EKONOMI GULA. dikonsumsi oleh masyarakat. Bahan pangan pokok yang dimaksud yaitu gula.

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam menunjang peningkatan ekspor nonmigas di Indonesia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi.

PROSPEK TANAMAN PANGAN

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan memberikan

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

V. KERAGAAN INDUSTRI GULA INDONESIA

LAPORAN AKHIR PENGEMBANGAN MODEL PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA. Oleh :

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

V. GAMBARAN UMUM. 5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia. hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.

BAB I PENDAHULUAN. dalam membangun perekonomian. Pembangunan ekonomi diarahkan

I. PENDAHULUAN , , , ,3 Pengangkutan dan Komunikasi

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dengan keanekaragaman sumberdaya hayati yang tinggi. Sektor pertanian merupakan

Bab 4 P E T E R N A K A N

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

EKSPOR IMPOR KOMODITAS PERTANIAN

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai Ekspor Sepuluh Komoditas Rempah Unggulan Indonesia

OUTLOOK KARET. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang cukup berpengaruh

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

I. PENDAHULUAN 41,91 (42,43) 42,01 (41,60) 1,07 (1,06) 12,49 (12,37) 0,21 (0,21) 5,07 (5,02) 20,93 (20,73) 6,10 (6,04) 0,15 (0,15) (5,84) 1,33 (1,35)

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

I. PENDAHULUAN. penyumbang devisa, kakao (Theobroma cacao) juga merupakan salah satu

Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan. Kacang Tanah

I. PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu komoditas unggulan dari sub sektor perkebunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Jagung merupakan komoditi yang penting bagi perekonomian Indonesia,

I. PENDAHULUAN. Karet di Indonesia merupakan salah satu komoditas penting perkebunan. selain kelapa sawit, kopi dan kakao. Karet ikut berperan dalam

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara adalah perdagangan internasional. Perdagangan internasional

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF LADA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. keberlangsungan suatu negara dan diyakini merupakan lokomotif penggerak dalam

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. Indonesia terkenal dengan sebutan negara agraris, yang ditunjukkan oleh luas

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara agraris mempunyai peluang yang cukup besar dalam

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

BAB I PENDAHULUAN. ukuran dari peningkatan kesejahteraan tersebut adalah adanya pertumbuhan

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

Transkripsi:

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN PERKEBUNAN Pusat Data Dan Informasi Pertanian Departemen Pertanian 2007 Pusat Data dan Informasi Pertanian i

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 ii Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «OUTLOOK KOMODITAS PERTANIAN PERKEBUNAN ISSN : 1907-1507 Ukuran Buku : 10,12 inci x 7,17 inci (B5) Jumlah Halaman : 111 halaman Penasehat : Dr. Ir. Edi Abdurachman, MS. Penyunting : Ir. Yasid Taufik, MM Ir. Leli Nuryati, MSc Ir. Anna Astrid S., MSi Naskah : Ir. Noviati, MSi Ir. Anna Astrid S., MSi Ir. Ekanantari Puji Nantoro, SSi. MM Design dan Layout : Puji Nantoro, SSi. MM Heri Dwi Martono, AMd Diterbitkan oleh : Pusat Data dan Informasi Pertanian Departemen Pertanian 2007 Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya Pusat Data dan Informasi Pertanian iii

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 iv Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «KATA PENGANTAR Penerbitan Outlook Komoditas Pertanian merupakan publikasi tahunan yang diterbitkan secara reguler oleh Pusat Data dan Informasi Pertanian sejak tahun 1995. Untuk tahun 2007 terdiri dari 4 terbitan yaitu: (1) Outlook Komoditas Pertanian Tanaman Pangan; (2) Outlook Komoditas Pertanian Hortikultura; (3) Outlook Komoditas Pertanian Perkebunan; dan (4) Outlook Komoditas Pertanian Peternakan. Publikasi Outlook Komoditas Pertanian tahun 2007 menyajikan keragaan data series masing-masing komoditas secara nasional dan internasional selama 10-20 tahun terakhir serta dilengkapi dengan hasil analisis proyeksi penawaran dan permintaan domestik untuk masing-masing komoditas dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2009. Publikasi ini disajikan tidak hanya dalam bentuk hard copy namun juga dalam bentuk soft copy (CD) dan dapat dengan mudah diperoleh atau diakses melalui Website Departemen Pertanian yaitu http://www.deptan.go.id. Dengan diterbitkannya publikasi ini diharapkan para pembaca dapat memperoleh gambaran tentang keragaan dan proyeksi masing-masing komoditas strategis pertanian secara lebih lengkap dan menyeluruh. Kepada semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan publikasi ini, kami ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya. Kritik dan saran dari segenap pembaca sangat diharapkan guna dijadikan dasar penyempurnaan dan perbaikan untuk penerbitan publikasi berikutnya. Jakarta, Oktober 2007 Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian, Dr. Ir. Edi Abdurachman, MS. Pusat Data dan Informasi Pertanian v

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1. LATAR BELAKANG...1 1.2. METODOLOGI...2 BAB II. LADA... 5 2.1. PERKEMBANGAN LUAS AREAL, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS LADA DI INDONESIA...6 2.2. PERKEMBANGAN KONSUMSI LADA DI INDONESIA...9 2.3. PERKEMBANGAN HARGA LADA DI INDONESIA... 10 2.4. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR LADA INDONESIA... 10 2.5. PERKEMBANGAN LUAS TANAMAN MENGHASILKAN, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS LADA DUNIA... 12 2.6. PERKEMBANGAN EKSPOR IMPOR LADA DUNIA... 15 2.7. PROYEKSI PENAWARAN LADA 2007-2009... 17 2.8. PROYEKSI PERMINTAAN LADA 2006-2009... 18 2.9. PROYEKSI SURPLUS/DEFISIT LADA 2007-2009... 19 LAMPIRAN... 20 BAB III. KOPI... 29 3.1. PERKEMBANGAN LUAS AREAL, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS KOPI DI INDONESIA... 29 3.2. PERKEMBANGAN KONSUMSI KOPI DI INDONESIA... 35 3.3. PERKEMBANGAN HARGA KOPI DI INDONESIA... 36 3.4. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR KOPI INDONESIA... 38 3.5. PERKEMBANGAN LUAS TANAMAN MENGHASILKAN, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS KOPI DUNIA... 39 3.6. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR KOPI DUNIA... 42 vi Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Halaman 3.7. PROYEKSI PENAWARAN KOPI 2007-2009... 44 3.8. PROYEKSI PERMINTAAN KOPI 2007-2009... 45 3.9. PROYEKSI SURPLUS/DEFISIT KOPI 2007-2009... 47 LAMPIRAN... 48 BAB IV. TEH... 57 4.1. PERKEMBANGAN LUAS AREAL, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TEH DI INDONESIA... 58 4.2. PERKEMBANGAN KONSUMSI TEH DI INDONESIA... 64 4.3. PERKEMBANGAN HARGA TEH DI INDONESIA... 66 4.4. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR TEH INDONESIA... 67 4.5. PERKEMBANGAN LUAS TANAMAN MENGHASILKAN, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TEH DUNIA... 68 4.6. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR TEH DUNIA... 70 4.7. PROYEKSI PENAWARAN TEH 2007-2009... 72 4.8. PROYEKSI PERMINTAAN TEH 2007-2009... 74 4.9. PROYEKSI SURPLUS/DEFISIT TEH 2007-2009... 75 LAMPIRAN... 75 BAB V. KAPAS... 85 5.1. PERKEMBANGAN LUAS AREAL, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS KAPAS DI INDONESIA... 86 5.2. PERKEMBANGAN HARGA KAPAS DI INDONESIA... 90 5.3. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR KAPAS INDONESIA... 92 5.4. PERKEMBANGAN LUAS TANAMAN MENGHASILKAN, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS SERAT KAPAS DUNIA... 93 5.5. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR SERAT KAPAS DUNIA... 98 5.6. PROYEKSI PENAWARAN KAPAS 2007-2009... 99 5.7. PROYEKSI PERMINTAAN KAPAS 2007-2009... 100 5.8. PROYEKSI SURPLUS/DEFISIT KAPAS 2007-2009... 101 LAMPIRAN... 102 DAFTAR PUSTAKA... 111 Pusat Data dan Informasi Pertanian vii

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1. Hasil Analisis Fungsi Respon Produksi Lada.... 17 Tabel 2.2. Hasil Proyeksi Produksi Lada di Indonesia, 2008-2009... 18 Tabel 2.3. Hasil Proyeksi Permintaan Lada oleh Rumah Tangga, 2006-2009... 19 Tabel 2.4. Hasil Proyeksi Surplus/Defisit Lada Indonesia, 2007-2009... 19 Tabel 2.5. Proyeksi Permintaan Konsumsi Daging Sapi, Daging Kambing dan Daging Ayam di Indonesia, 2006-2009... 35 Tabel 2.6. Proyeksi Surplus/Defisit Daging Sapi, Daging Kambing dan Daging Ayam di Indonesia, 2007-2009... 36 Tabel 3.1. Hasil Analisis Fungsi Respon Produksi Telur Ayam Buras... 77 Tabel 3.2. Hasil Analisis Fungsi Respon Produksi Telur Ayam Ras... 78 Tabel 3.3. Proyeksi Produksi Telur Ayam di Indonesia, 2007-2009... 79 Tabel 3.4. Proyeksi Konsumsi Per Kapita dan Total Permintaan Telur Ayam di Indonesia, 2006-2009... 80 Tabel 3.5. Proyeksi Surplus/Defisit Telur Ayam di Indonesia, 2007-2009... 80 Tabel 4.1. Perkembangan Ekspor-Impor Susu Indonesia, 1996-2006... 103 Tabel 4.2. Hasil Analisis Fungsi Respon Produksi Susu Sapi... 108 Tabel 4.3. Proyeksi Produksi Susu Sapi di Indonesia, 2008-2009... 109 Tabel 4.4. Proyeksi Konsumsi per Kapita per Tahun, Jumlah Penduduk dan Total Konsumsi Susu di Indonesia, 2007-2009... 110 Tabel 4.5. Proyeksi Surplus/Defisit Susu di Indonesia, 2007-2009... 111 viii Pusat Data dan Informasi Pertanian

DAFTAR GAMBAR Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Halaman Gambar 2.1. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia, 1984-2007.... 7 Gambar 2.2. Perkembangan Produksi Daging Sapi di Indonesia, 1984-2007... 8 Gambar 2.3. Perkembangan Populasi Kambing di Indonesia, 1984-2007... 9 Gambar 2.4. Perkembangan Produksi Daging Kambing di Indonesia, 1984-2007... 9 Gambar 2.5. Perkembangan Populasi Ayam Ras Pedaging di Indonesia, 1984-2007... 11 Gambar 2.6. Perkembangan Produksi Daging Ayam Ras di Indonesia, 1984-2007... 11 Gambar 2.7. Perkembangan Populasi Ayam Buras di Indonesia, 1984-2007... 12 Gambar 2.8. Perkembangan Produksi Daging Ayam Buras di Indonesia, 1984-2007... 13 Gambar 2.9. Sentra Produksi Daging Sapi di Indonesia, 2003-2007... 14 Gambar 2.10. Sentra Produksi Daging Kambing di Indonesia, 2003-2007... 14 Gambar 2.11. Sentra Produksi Daging Ayam Ras di Indonesia, 2003-2007... 15 Gambar 2.12. Sentra Produksi Daging Ayam Buras di Indonesia, 2003-2007... 16 Gambar 2.13. Perkembangan Konsumsi per Kapita Daging Sapi, Daging Kambing dan Daging Ayam di Indonesia, 1987-2006... 17 Gambar 2.14. Perkembangan Harga Daging Sapi, Daging Kambing dan Daging Ayam di Tingkat Konsumen di Indonesia, 1983-2005... 18 Gambar 2.15. Perkembangan Volume Ekspor dan Volume Impor Daging Sapi Indonesia, 1996-2006... 19 Gambar 2.16. Perkembangan Nilai Ekspor dan Nilai Impor Daging Sapi Indonesia, 1996-2006... 20 Gambar 2.17. Perkembangan Volume Ekspor dan Volume Impor Daging Ayam Indonesia, 1996-2006... 21 Pusat Data dan Informasi Pertanian ix

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Gambar 2.18. Perkembangan Nilai Ekspor dan Nilai Impor Daging Ayam Indonesia, 1996-2006... 21 Gambar 2.19. Perkembangan Produksi Daging Sapi, Daging Kambing dan Daging Ayam Dunia, 1969-2006... 22 Gambar 2.20. Beberapa Negara Produsen Daging Sapi Terbesar di Dunia, 2002-2006... 23 Gambar 2.21. Beberapa Negara Produsen Daging Kambing Terbesar di Dunia, 2002-2006... 23 Gambar 2.22. Beberapa Negara Produsen Daging Ayam Terbesar di Dunia, 2002-2006... 24 Gambar 2.23. Perkembangan Volume Ekspor Daging Sapi dan Daging Ayam Dunia, 1969-2005... 25 Gambar 2.24. Beberapa Negara Eksportir Daging Sapi Terbesar di Dunia, 2001-2005... 25 Gambar 2.25. Beberapa Negara Eksportir Daging Ayam Terbesar di Dunia, 2001-2005... 26 Gambar 2.26. Beberapa Negara Importir Daging Sapi Terbesar di Dunia, 2001-2005... 27 Gambar 2.27. Beberapa Negara Importir Daging Ayam Terbesar di Dunia, 2001-2005... 28 Gambar 2.28. Beberapa Negara Konsumen Daging Sapi Terbesar di Dunia, 2000-2004... 28 Gambar 2.29. Beberapa Negara Konsumen Daging Ayam Terbesar di Dunia, 2001-2005... 29 Gambar 3.1. Perkembangan Populasi Ayam Ras Petelur Berdasarkan Wilayah di Indonesia, 1970-2007... 60 Gambar 3.2. Perkembangan Populasi Ayam Buras Berdasarkan Wilayah di Indonesia, 1970-2007... 61 Gambar 3.3. Perkembangan Produksi Telur Ayam Ras Berdasarkan Wilayah di Indonesia, 1990-2007... 62 Gambar 3.4. Perkembangan Produksi Telur Ayam Buras Berdasarkan Wilayah di Indonesia, 1992-2007... 63 x Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Gambar 3.5. Provinsi Sentra Produksi Telur Ayam Ras di Indonesia, 2003-2007... 64 Gambar 3.6. Provinsi Sentra Produksi Telur Ayam Buras di Indonesia, 2003-2007... 65 Gambar 3.7. Perkembangan Konsumsi Telur Ayam Ras di Indonesia, 1987-2005... 66 Gambar 3.8. Perkembangan Konsumsi Telur Ayam Buras di Indonesia, 1987-2005... 66 Gambar 3.9. Perkembangan Harga Telur di Tingkat Perdagangan Besar di Indonesia, 1983-2005... 67 Gambar 3.10. Perkembangan Harga Telur Ayam Buras di Tingkat Konsumen di Indonesia, 1983-2005... 68 Gambar 3.11. Perkembangan Volume Ekspor Telur Tetas dan Telur Konsumsi Indonesia, 1996-2006... 69 Gambar 3.12. Perkembangan Nilai Ekspor Telur Tetas dan Telur Konsumsi Indonesia, 1996-2006... 70 Gambar 3.13. Perkembangan Volume Impor Telur Tetas dan Telur Konsumsi Indonesia, 1996-2006... 70 Gambar 3.14. Perkembangan Nilai Impor Telur Tetas dan Telur Konsumsi Indonesia, 1996-2006... 71 Gambar 3.15. Perkembangan Produksi Telur Ayam Dunia, 1961-2006... 72 Gambar 3.16. Perkembangan Produktivitas Telur Ayam Dunia, 1961-2006... 72 Gambar 3.17. Sepuluh Negara Produsen Telur Ayam Terbesar di Dunia, 2001-2006... 73 Gambar 3.18. Rata-rata Produktivitas Telur Ayam di Sepuluh Negara Terbesar di Dunia, 2002-2006... 74 Gambar 3.19. Sepuluh Negara Eksportir Telur Ayam Terbesar di Dunia, 2001-2005... 75 Gambar 3.20. Sepuluh Negara Importir Telur Ayam Terbesar di Dunia, 2001-2005... 75 Gambar 3.21. Rata-rata Konsumsi Telur Ayam di Sepuluh Negara Terbesar di Dunia, 2000-2005... 76 Pusat Data dan Informasi Pertanian xi

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Gambar 4.1. Perkembangan Populasi Sapi Perah di Indonesia, 1970-2007... 98 Gambar 4.2. Perkembangan Produksi Susu Sapi di Indonesia, 1970-2007... 98 Gambar 4.3. Provinsi Sentra Populasi Sapi Perah di Indonesia, 2003-2007... 99 Gambar 4.4. Provinsi Sentra Produksi Susu Sapi di Indonesia, 2003-2007... 99 Gambar 4.5. Perkembangan Konsumsi Susu di Indonesia, 1990-2005... 100 Gambar 4.6. Rata-rata Kontribusi Konsumsi Susu Lokal dan Susu Impor Terhadap Total Konsumsi Susu di Indonesia, 1990-2005... 101 Gambar 4.7. Perkembangan Harga Susu Kental Manis di Tingkat Konsumen di Indonesia, 1983-2006... 102 Gambar 4.8. Perkembangan Volume Ekspor dan Volume Impor Susu Indonesia, 1996-2006... 103 Gambar 4.9. Perkembangan Produksi Susu Dunia, 1961-2006... 104 Gambar 4.10. Sepuluh Negara Produsen Susu Terbesar di Dunia, 2002-2006... 105 Gambar 4.11. Sepuluh Negara Konsumen Susu Terbesar di Dunia, 2001-2005... 106 Gambar 4.12. Sepuluh Negara dengan Total Konsumsi Domestik Susu Terbesar di Dunia, 2001-2005... 106 Gambar 4.13. Sepuluh Negara Eksportir Susu Terbesar di Dunia, 2001-2005... 107 Gambar 4.14. Sepuluh Negara Importir Susu Terbesar di Dunia, 2001-2005... 108 xii Pusat Data dan Informasi Pertanian

DAFTAR LAMPIRAN Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Halaman Lampiran 2.1. Perkembangan Populasi Sapi Potong di Indonesia, 1984-2007.... 38 Lampiran 2.2. Perkembangan Produksi Daging Sapi di Indonesia, 1984-2007... 39 Lampiran 2.3. Perkembangan Populasi Kambing di Indonesia, 1984-2007... 40 Lampiran 2.4. Perkembangan Produksi Daging Kambing di Indonesia, 1984-2007... 41 Lampiran 2.5. Perkembangan Populasi Ayam Ras Pedaging di Indonesia, 1984-2007... 42 Lampiran 2.6. Perkembangan Produksi Daging Ayam Ras Pedaging di Indonesia, 1984-2007... 43 Lampiran 2.7. Perkembangan Populasi Ayam Buras di Indonesia, 1984-2007... 44 Lampiran 2.8. Perkembangan Produksi Daging Ayam Buras di Indonesia, 1984-2007... 45 Lampiran 2.9. Sentra Produksi Daging Sapi di Indonesia, 2003-2007... 46 Lampiran 2.10. Sentra Produksi Daging Kambing di Indonesia, 2003-2007... 46 Lampiran 2.11. Sentra Produksi Daging Ayam Ras Pedaging di Indonesia, 2003-2007... 47 Lampiran 2.12. Sentra Produksi Daging Ayam Buras di Indonesia, 2003-2007... 47 Lampiran 2.13. Perkembangan Penggunaan dan Ketersediaan Daging Sapi Indonesia, 1990-2005... 48 Lampiran 2.14. Perkembangan Harga Konsumen Daging Sapi dan Daging Kambing serta Harga Perdagangan Besar Daging Ayam Ras, 1983-2005... 49 Lampiran 2.15. Neraca Ekspor - Impor Daging Sapi dan Daging Ayam di Indonesia, 1996-2005... 50 Pusat Data dan Informasi Pertanian xiii

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 2.16. Perkembangan Produksi Daging Sapi, Daging Kambing dan Daging Ayam Dunia, 1969-2006... 51 Lampiran 2.17. Negara-negara Produsen Daging Sapi Dunia, 2002-2006... 52 Lampiran 2.18. Negara-negara Produsen Daging Kambing Dunia, 2002-2006... 52 Lampiran 2.19. Negara-negara Produsen Daging Ayam Dunia, 2002-2006... 52 Lampiran 2.20. Perkembangan Volume Ekspor Daging Sapi dan Daging Ayam Dunia, 1969-2005... 53 Lampiran 2.21. Perkembangan Volume Impor Daging Sapi dan Daging Ayam Dunia, 1969-2005... 54 Lampiran 2.22. Negara-negara Eksportir Daging Sapi Terbesar Dunia, 2001-2005... 55 Lampiran 2.23. Negara-negara Eksportir Daging Ayam Terbesar Dunia, 2001-2005... 55 Lampiran 2.24. Negara-negara Importir Daging Sapi Terbesar Dunia, 2001-2005... 56 Lampiran 2.25. Negara-negara Importir Daging Ayam Terbesar Dunia, 2001-2005... 56 Lampiran 2.26. Negara Konsumen Daging Sapi Terbesar Dunia, 2000-2004... 57 Lampiran 2.27. Negara Konsumen Daging Ayam Terbesar Dunia, 2001-2005... 57 Lampiran 3.1. Perkembangan Populasi Ayam Ras Petelur Berdasarkan Wilayah di Indonesia, 1970-2007.... 81 Lampiran 3.2. Perkembangan Populasi Ayam Buras Berdasarkan Wilayah di Indonesia, 1970-2007... 82 Lampiran 3.3. Perkembangan Produksi Telur Ayam Ras Berdasarkan Wilayah di Indonesia, 1990-2007... 83 Lampiran 3.4. Produksi Telur Ayam Buras Berdasarkan Wilayah di Indonesia, 1992-2007... 84 Lampiran 3.5. Provinsi Sentra Produksi Telur Ayam Ras di Indonesia, 2003-2007... 85 xiv Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 3.6. Provinsi Sentra Produksi Telur Ayam Buras di Indonesia, 2003-2007... 86 Lampiran 3.7. Konsumsi Telur Ayam Ras dan Telur Ayam Buras di Indonesia, 1987-2005... 87 Lampiran 3.8. Perkembangan Rata-rata Harga Perdagangan Besar Telur Ayam Buras dan Telur Ayam Ras di Indonesia, 1983-2005... 88 Lampiran 3.9. Perkembangan Harga Konsumen Telur Ayam Buras di Indonesia, 1983-2005... 89 Lampiran 3.10. Volume Ekspor Telur Tetas dan Telur Konsumsi Indonesia, 1996-2006... 90 Lampiran 3.11. Nilai Ekspor Telur Tetas dan Telur Konsumsi Indonesia, 1996-2006... 90 Lampiran 3.12. Volume Impor Telur Tetas dan Telur Konsumsi Indonesia, 1996-2006... 91 Lampiran 3.13. Nilai Impor Telur Tetas dan Telur Konsumsi Indonesia, 1996-2006... 91 Lampiran 3.14. Perkembangan Produksi, Populasi dan Produktivitas Telur Ayam Dunia, 1961-2006... 92 Lampiran 3.15. Sepuluh Negara Produsen Telur Ayam Dunia, 2002-2006... 93 Lampiran 3.16. Rata-rata Produktivitas Telur Ayam Sepuluh Negara Terbesar Dunia, 2002-2006... 94 Lampiran 3.17. Volume Ekspor Sepuluh Negara Eksportir Telur Ayam Terbesar di Dunia, 2001-2005... 94 Lampiran 3.18. Volume Impor Sepuluh Negara Importir Telur Ayam Terbesar di Dunia, 2001-2005... 95 Lampiran 3.19. Rata-rata Konsumsi Telur Ayam di Dunia, 2001-2005... 95 Lampiran 4.1. Perkembangan Populasi Sapi Perah dan Produksi Susu Sapi di Indonesia, 1970-2007... 112 Lampiran 4.2. Provinsi Sentra Populasi Sapi Perah di Indonesia, 2003-2007... 113 Lampiran 4.3. Provinsi Sentra Produksi Susu Sapi di Indonesia, 2003-2007... 113 Pusat Data dan Informasi Pertanian xv

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 4.4. Perkembangan Konsumsi Susu Sapi di Indonesia, 1990-2005... 114 Lampiran 4.5. Perkembangan Harga Susu Kental Manis di Indonesia, 1983-2006... 115 Lampiran 4.6. Perkembangan Produksi Susu Sapi Dunia, 1961-2006... 116 Lampiran 4.7. Sepuluh Negara Produsen Susu Sapi Terbesar di Dunia, 2002-2006... 117 Lampiran 4.8. Sepuluh Negara Konsumen Susu Terbesar di Dunia, 2001-2005... 118 Lampiran 4.9. Sepuluh Negara dengan Total Konsumsi Domestik Susu Terbesar di Dunia, 2001-2005... 118 Lampiran 4.10. Sepuluh Negara Eksportir Susu Terbesar di Dunia, 2001-2005... 119 Lampiran 4.11. Sepuluh Negara Importir Susu Terbesar di Dunia, 2001-2005... 119 xvi Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Sub sektor perkebunan merupakan salah satu kontributor utama dalam penciptaan nilai tambah di sektor pertanian. Tahun 2007 sub sektor perkebunan tercatat memberikan kontribusi sebesar 15,43% dari PDB sektor pertanian secara luas. Selain itu sub sektor perkebunan juga merupakan penyumbang devisa terbesar diantara sub sektor pertanian lainnya. Pada tahun 2006 sektor pertanian mencapai surplus neraca perdagangan sebesar US$ 8.901,89 juta. Surplus neraca perdagangan tersebut berasal dari surplus neraca perdagangan sub sektor perkebunan sebesar US$ 12.297,00 juta, sedangkan sub sektor lainnya mengalami defisit. Menurut Rencana Strategik Direktorat Jenderal Perkebunan tahun 2005-2009, peranan pembangunan sektor perkebunan dalam pembangunan nasional masih harus terus ditingkatkan, tidak hanya sebagai penyedia devisa negara tetapi juga sebagai penyedia lapangan kerja, pendorong pengembangan industri hilir perkebunan di dalam negeri, serta pendukung pengembangan wilayah dan kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Dalam rangka pembangunan sub sektor perkebunan, Departemen Pertanian telah menyusun kebijakan strategis dan program pembangunan yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kebijakan pengembangan masing-masing komoditas perkebunan. Kebijakan dan program pengembangan tersebut disusun berdasarkan hasil evaluasi terhadap kinerja dan keragaan pembangunan perkebunan di masa lalu serta proyeksi penawaran dan permintaan setiap komoditas perkebunan di masa yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut, Pusat Data dan Informasi Pertanian (PUSDATIN) menyusun Outlook Komoditas Perkebunan untuk mengetahui perkembangan beberapa komoditas utama sub sektor perkebunan yang dilengkapi dengan proyeksi penawaran dan permintaan. Outlook Komoditas Perkebunan tersebut diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pengguna data dan informasi serta bagi pengambil kebijakan sektor pertanian. 1 Pusat Data dan Informasi Pertanian 1

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 1.2. METODOLOGI Sumber Data dan Informasi Outlook Komoditas Perkebunan tahun 2007 disusun berdasarkan data dan informasi yang diperoleh baik dari data primer maupun data sekunder yang bersumber dari daerah, instansi terkait di lingkup Departemen Pertanian dan instansi di luar Departemen Pertanian seperti Biro Pusat Statistik (BPS) dan Food and Agriculture Organization (FAO). Metode Analisis Metode yang digunakan dalam penyusunan Outlook Komoditas Perkebunan adalah sebagai berikut: a. Analisis keragaan atau perkembangan komoditas perkebunan dilakukan berdasarkan ketersediaan data series yang mencakup indikator luas areal, produksi, konsumsi, ekspor-impor serta harga di tingkat produsen, harga di tingkat konsumen maupun harga di pasar dunia dengan analisis deskriptif sederhana. b. Analisis Penawaran Analisis penawaran komoditas perkebunan dilakukan berdasarkan analisis fungsi produksi. Model analisis yang digunakan adalah model Regresi Berganda (Multivariate Regression). Secara teoritis bentuk umum dari model ini adalah : Y b0 b1 X 1 b2 X 2... bn X b 0 n j 1 b j X j n dimana : Y = Peubah respons/tak bebas X n = Peubah penjelas/bebas n = 1,2, b 0 = nilai konstanta b n = koefisien arah regresi atau parameter model regresi untuk peubah x n = sisaan 2 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Produksi pada periode ke-t diduga merupakan fungsi dari produksi pada periode sebelumnya, luas areal pada periode sebelumnya, harga di tingkat produsen atau harga di pasar dunia, dan pengaruh inflasi. Dengan memperhatikan ketersediaan data, analisis penawaran dilakukan berdasarkan data produksi dalam periode tahunan. Untuk peubahpeubah bebas yang tidak tersedia datanya dalam periode waktu yang bersesuaian maka dilakukan proyeksi terlebih dahulu dengan menggunakan model analisis trend (Trend Analysis) atau model pemulusan eksponensial berganda (Double Exponential Smoothing). c. Analisis Permintaan Analisis permintaan komoditas perkebunan merupakan analisis permintaan langsung masyarakat terhadap komoditas perkebunan yang dikonsumsi oleh konsumen dalam bentuk tanpa diolah maupun telah diolah. Sama halnya seperti pada analisis penawaran, analisis permintaan juga menggunakan Model Regresi Berganda, namun karena keterbatasan ketersediaan data, maka analisis permintaan untuk beberapa komoditas menggunakan model pemulusan eksponensial berganda (Double Exponential Smoothing). Periode series data yang digunakan adalah tahunan. d. Kelayakan Model Ketepatan sebuah model regresi dapat dilihat dari Uji-F, Uji-t, koefisien determinasi (R 2 ). Koefisien determinasi diartikan sebagai besarnya keragaman dari peubah tak bebas (Y) yang dapat dijelaskan oleh peubah peubah bebas (X). Koefisien determinasi dihitung dengan menggunakan persamaan: R 2 SS Regresi SS Total dimana : SS Regresi adalah jumlah kuadrat regresi SS Total adalah jumlah kuadrat total 3 Pusat Data dan Informasi Pertanian 3

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 4 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «BAB II. LADA Lada atau merica adalah salah satu rempah penting yang memiliki berbagai khasiat obat. Lada tergolong tumbuhan memanjat, bagian yang dipakai sebagai rempah dan obat adalah buahnya (Anonim, 2007b). Buah lada dipetik setelah sebagian besar buah lada matang penuh, kemudian dihilangkan kulit luarnya, dikeringkan dan dibersihkan (BSN, 1995). Lada banyak digunakan untuk industri makanan, khususnya dalam industri pengolahan daging. Lada juga digunakan sebagai bahan pengawet. Sedangkan untuk skala rumah tangga lada digunakan sebagai bumbu masakan. Penggunaan lada lainnya adalah untuk industri farmasi dan sebagai salah satu bahan wewangian (Anonim, 2007a). Sejak jaman dahulu kala, Indonesia dikenal sebagai negara penghasil rempah-rempah yang terkenal. Sebagian besar rempah-rempah yang diperdagangkan di dunia adalah lada, atau yang dalam bahasa Latinnya bernama Peper ningrum Linn, sehingga lada mendapat julukan sebagai raja rempah-rempah atau King of Spice. Namun, kejayaan rempah-rempah Indonesia kini hanya tinggal kenangan. Produksi rempah-rempah, khususnya lada, pada satu dekade terakhir ini mengalami fluktuasi yang cukup drastis dan cenderung semakin menurun, bahkan semakin sulit menembus dan bersaing dalam perdagangan internasional. Sebagai akibatnya, Indonesia bukan lagi sebagai negara pemasok utama lada dunia, bahkan sekarang ini semakin jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara penghasil utama lada lainnya, seperti Malaysia dan Brazil. Lebih lanjut, dengan rendahnya mutu lada yang dihasilkan oleh petani menyebabkan lada asal Indonesia sering mengalami penahanan (detention) oleh Food and Drugs Administration (FDA) di Amerika Serikat. Penahanan tersebut terjadi karena adanya pencemaran oleh mikroorganisme, bahan asing, kadar air dan kadar minyak lada yang tidak memenuhi syarat (BPPT, 2007). 5 Pusat Data dan Informasi Pertanian 5

1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006 (Ha)» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 2.1. PERKEMBANGAN LUAS AREAL, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS LADA DI INDONESIA Perkembangan luas areal lada di Indonesia sejak tahun 1970 terus meningkat hingga tahun 2007 (Gambar 2.1), dengan rata-rata laju pertumbuhan per tahun sebesar 4,42% (Lampiran 2.1). Hampir 100% lada di Indonesia masih diusahakan oleh perkebunan rakyat (99,98% luas areal lada merupakan perkebunan rakyat). Bila dilihat dari laju pertumbuhannya, luas areal perkebunan besar swasta pada periode 1970-1997 mengalami pertumbuhan yang tinggi yaitu sebesar 37,49% per tahun dibandingkan perkebunan rakyat yang hanya sebesar 3,70% per tahun. Pada periode berikutnya (1998-2007) luas areal perkebunan besar swasta mengalami penurunan sebesar 11,86% per tahun, sedangkan perkebunan rakyat justru mengalami peningkatan yang lebih besar dari periode sebelumnya yaitu 6,36% per tahun. Pada tahun 2007 tercatat luas areal lada perkebunan rakyat sebesar 199.189 hektar dan luas luas areal lada perkebunan besar swasta sebesar 33 hektar, sehingga total luas areal lada di Indonesia adalah 199.222 hektar. Secara rinci luas areal lada di Indonesia disajikan pada Lampiran 2.1. 200.000 175.000 150.000 125.000 100.000 75.000 50.000 25.000 PR Indonesia Gambar 2.1. Perkembangan Luas Areal Lada Perkebunan Rakyat dan Indonesia, 1970-2007 Berdasarkan data rata-rata luas areal perkebunan lada tahun 2003-2007, menurut jenis pengusahaannya, luas areal lada nasional didominasi oleh 6 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «perkebunan rakyat sebesar 99,93%. Sementara sisanya hanya sebesar 0,07% yang dikuasai oleh perkebunan besar swasta (Gambar 2.2). 0,07% 99,93% PR PBS Gambar 2.2. Kontribusi Luas Areal Lada di Indonesia Menurut Jenis Pengusahaan, 2003-2007 Sejalan dengan perkembangan luas areal yang didominasi perkebunan rakyat, perkembangan produksi lada di Indonesia juga terus mengalami peningkatan sejak tahun 1970 hingga tahun 2007 (Gambar 2.3), dengan ratarata laju pertumbuhan per tahun sebesar 5,61% (Lampiran 2.2). Produksi lada Indonesia tahun 1970 sebesar 17.219 ton meningkat menjadi 77.295 ton pada tahun 2007 (Lampiran 2.2). Berdasarkan data rata-rata produksi lada tahun 2003-2007, terdapat tiga provinsi sentra lada yang memberikan kontribusi lebih dari 10% terhadap total produksi lada nasional. Provinsi tersebut adalah Lampung dengan kontribusi sebesar 27,67%, Bangka Belitung sebesar 25,68% dan Kalimantan Timur sebesar 10,82% (Lampiran 2.3). 7 Pusat Data dan Informasi Pertanian 7

1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007*) (Kg/ha)» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Gambar 2.3. Perkembangan Produksi Lada Perkebunan Rakyat dan Indonesia, 1970-2007 Lebih dari satu dekade terakhir (1990-2007) produktivitas tanaman lada di Indonesia cukup fluktuatif namun cenderung menurun (Gambar 2.4). Rata-rata pertumbuhan produktivitas lada pada periode tersebut sebesar -0,74% per tahun (Lampiran 2.4). Diduga rendahnya tingkat produktivitas lada tersebut karena 90,93% perkebunan lada nasional adalah perkebunan rakyat yang pada umumnya tidak dirawat (dibiarkan apa adanya), sehingga semakin umur tanaman bertambah (melewati umur maksimum panen) produksinya menurun drastis. 950 900 850 800 750 700 650 600 550 500 450 400 Gambar 2.4. Perkembangan Produktivitas Lada Indonesia, 1990-2007 8 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «2.2. PERKEMBANGAN KONSUMSI LADA DI INDONESIA Data konsumsi lada di Indonesia bersumber dari hasil Survei Sosial Ekonomi (Susenas) yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik setiap 3 tahun sekali, sedangkan data konsumsi untuk tahun-tahun antara pelaksanaan survei merupakan hasil interpolasi. Secara umum konsumsi lada per kapita di Indonesia pada tahun 1984-2005 menunjukkan kecenderungan berfluktuasi (Gambar 2.5). Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada periode tahun 1988-1993 dengan laju pertumbuhan berkisar antara 14,47%-17,84%. Krisis moneter yang terjadi antara tahun 1997-1999 ternyata berdampak pada penurunan konsumsi lada di Indonesia. Harga lada yang melambung tinggi menyebabkan rumah tangga mengurangi konsumsi ladanya. Setelah periode tersebut secara perlahan terjadi peningkatan konsumsi lada hingga tahun 2005 konsumsi lada per kapita mencapai 1,20 ons per tahun. Rata-rata laju pertumbuhan lada tahun 1984-2005 sebesar 3,22% per tahun (Lampiran 2.5). Gambar 2.5. Perkembangan Konsumsi Lada di Indonesia, 1984-2005 9 Pusat Data dan Informasi Pertanian 9

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 2.3. PERKEMBANGAN HARGA LADA DI INDONESIA Perkembangan harga lada di tingkat produsen di Indonesia sejak tahun 1987 hingga tahun 2006 cukup berfluktuasi (Gambar 2.6) dengan rata-rata laju pertumbuhan per tahun sebesar 10,63% (Lampiran 2.6). Lonjakan harga yang cukup besar terjadi pada periode tahun 1997-1999. Hal ini diduga disebabkan oleh adanya krisis moneter di Indonesia, dimana nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sangatlah rendah, sementara komoditas lada merupakan salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Harga lada tertinggi dicapai pada tahun 2000, yaitu sebesar Rp. 31.254,37 per kg. Sejalan dengan semakin menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, maka harga lada di tingkat produsen Indonesia juga ikut menurun. Selain itu penurunan harga diduga disebabkan juga oleh semakin rendahnya mutu lada yang dihasilkan petani sehingga lada Indonesia sering mengalami penahanan oleh FDA di Amerika Serikat. Gambar 2.6. Perkembangan Harga Lada di Tingkat Produsen di Indonesia, 1987-2006 2.4. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR LADA INDONESIA Ekspor lada Indonesia dilakukan dalam bentuk biji kering. Perkembangan volume ekspor lada Indonesia selama tujuh tahun terakhir (2000-2006) menunjukkan penurunan (Gambar 2.7) dengan laju penurunan rata-rata sebesar 10 Pusat Data dan Informasi Pertanian

(Ton) Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «6,93% per tahun. Pada tahun 2000 total volume ekspor lada Indonesia sebesar 65.011 ton dengan nilai US$ 221.090 ribu, kemudian pada tahun 2006 menurun menjadi 36.953 ton dengan nilai sebesar US$ 77.258 ribu (Lampiran 2.7). Volume ekspor lada pada tahun 2006 naik sebesar 7,01% dari tahun sebelumnya dan nilai ekspornya naik sebesar 32,21% dari tahun sebelumnya. Peningkatan ekspor lada tersebut antara lain disebabkan oleh upaya dari Dinas Perkebunan di daerah sentra produksi, seperti Dinas Perkebunan Bangka Belitung, yang mulai melakukan pembinaan penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan berdasarkan HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) pada beberapa tahun terakhir. Sistem HACCP merupakan sistem jaminan mutu dan keamanan yang menekankan konsep pengendalian bahaya sejak dini, mulai dari pra proses sampai produk siap dipasarkan (Anonim, 2007c). 70.000 65.000 60.000 55.000 50.000 45.000 40.000 35.000 30.000 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Gambar 2.7. Perkembangan Volume Ekspor Lada Indonesia, 2000-2006 Disamping mengekspor lada, Indonesia juga melakukan impor lada. Perkembangan volume impor lada di Indonesia menunjukkan kecenderungan meningkat (Gambar 2.8) dengan laju pertumbuhan sebesar 101,39% per tahun. Volume impor lada yang relatif cukup tinggi terjadi pada tahun 2001, 2002 dan 2006, masing-masing sebesar 3.309 ton, 2.283 ton dan 2.339 ton (Lampiran 2.7). 11 Pusat Data dan Informasi Pertanian 11

(Ton)» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 3.500 3.000 2.500 2.000 1.500 1.000 500 0 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 Gambar 2.8. Perkembangan Volume Impor Lada Indonesia, 2000-2006 Berdasarkan nilai ekspor dan nilai impor diperoleh neraca perdagangan lada Indonesia, dimana selama tahun 2000-2006 menunjukkan posisi surplus yang cenderung menurun. Jika pada tahun 2000 surplus perdagangan lada Indonesia mencapai US$ 218.435 ribu, maka pada tahun 2006 menjadi US$ 76.267 ribu (Lampiran 2.7). 2.5. PERKEMBANGAN LUAS TANAMAN MENGHASILKAN, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS LADA DUNIA Perkembangan luas tanaman menghasilkan lada dunia pada periode tahun 1961-2006 cenderung mengalami peningkatan (Gambar 2.9). Pertumbuhan luas tanaman menghasilkan tertinggi terjadi pada tahun 1991 hingga mencapai 601,32% terhadap tahun sebelumnya, tetapi pertumbuhan produktivitas pada tahun tersebut hanya sebesar 12,70%, bahkan produksi turun sebesar 19,72%. Ini menunjukkan adanya perluasan tanaman lada yang cukup tinggi, yang juga berarti bahwa kebutuhan dunia akan lada amatlah tinggi, karena lada digunakan tidak hanya sebagai bumbu masak tetapi juga sebagai obat dan wewangian (industri). Rata-rata laju pertumbuhan luas tanaman menghasilkan lada dunia tahun 1961-2006 sebesar 18,23% per tahun, sementara laju pertumbuhan produksi lada dunia sebesar 4,97% dan pertumbuhan produktivitas lada dunia hanya sebesar 0,90% (Lampiran 2.8). 12 Pusat Data dan Informasi Pertanian

1961 1964 1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 (Ha) Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «600.000 500.000 400.000 300.000 200.000 100.000 0 Gambar 2.9. Perkembangan Luas Tanaman Menghasilkan Lada Dunia, 1961-2006 Berdasarkan rata-rata luas tanaman menghasilkan lada dunia selama periode tahun 2002-2006, Indonesia adalah negara terbesar kedua yang memberikan kontribusi luas tanaman menghasilkan lada sebesar 18,89% atau seluas 91.200 hektar terhadap total luas tanaman menghasilkan lada dunia. India menempati urutan pertama dengan kontribusi sebesar 45,50% (Gambar 2.10). 9,40% 6,28% 5,79% 14,15% 18,89% 45,50% India Indonesia Viet Nam Sri Lanka Brazil Lainnya Gambar 2.10. Negara-negara dengan Luas Tanaman Menghasilkan Lada Terbesar di Dunia, 2002-2006 Perkembangan produksi lada dunia pada periode tahun 1961-2006 cukup fluktuatif dengan kecenderungan meningkat (Gambar 2.11). Rata-rata laju pertumbuhan produksi lada pada periode tersebut sebesar 4,97% per tahun. (Lampiran 2.8). 13 Pusat Data dan Informasi Pertanian 13

1961 1964 1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 (Kg/Ha) 1961 1964 1967 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 (Ton)» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 455.000 405.000 355.000 305.000 255.000 205.000 155.000 105.000 55.000 Gambar 2.11. Perkembangan Produksi Lada Dunia, 1961-2006 Seperti halnya produksi, perkembangan produktivitas lada dunia juga fluktuatif dan cenderung meningkat pada periode tahun 1961-2006 (Gambar 2.12) dengan rata-rata laju pertumbuhan sebesar 0,90% per tahun (Lampiran 2.8). 1.500,00 1.400,00 1.300,00 1.200,00 1.100,00 1.000,00 900,00 800,00 700,00 Gambar 2.12. Perkembangan Produktivitas Lada Dunia, 1961-2006 Berdasarkan data rata-rata produksi lima tahun terakhir (2002-2006), terdapat 4 (empat) negara produsen lada terbesar dunia. Indonesia menempati urutan pertama dengan kontribusi sebesar 23,10% dari total produksi lada dunia. Urutan kedua adalah Brazil dengan kontribusi sebesar 17,29%. Urutan ketiga dan keempat adalah Vietnam dan India dengan kontribusi masing-masing sebesar 16,18% dan 13,89% (Gambar 2.13). 14 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Gambar 2.13. Negara Produsen Lada Terbesar di Dunia, 2002-2006 2.6. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR LADA DUNIA Perkembangan volume ekspor lada dunia tahun sejak tahun 1961 juga berfluktuasi, namun cenderung meningkat hingga tahun 2005 (Gambar 2.14). Gambar 2.14. Perkembangan Volume Ekspor Lada Dunia, 1961-2005 Berdasarkan rata-rata volume ekspor lada dunia selama lima tahun (2001-2005), terdapat 5 (lima) negara eksportir lada terbesar dunia (Gambar 2.15). Vietnam berada pada urutan pertama dengan kontribusi sebesar 18,83% terhadap total ekspor dunia. Indonesia berada pada urutan ketiga dengan kontribusi sebesar 12,89%, yang sebelumnya adalah USA pada urutan kedua 15 Pusat Data dan Informasi Pertanian 15

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 dengan kontribusi sebesar 17,29%. Sementara pada urutan keempat dan kelima adalah Brazil dan Singapura dengan kontribusi masing-masing sebesar 10,73% dan 6,92%. Gambar 2.15. Lima Negara Eksportir Lada Dunia, 2001-2005 Seperti halnya ekspor lada, perkembangan volume impor lada dunia sejak tahun 1961 terus meningkat hingga tahun 2005, seperti terlihat pada Gambar 2.16. Gambar 2.16. Perkembangan Volume Impor Lada Dunia, 1961-2005 Selama 5 tahun terakhir, yaitu tahun 2001-2002 terdapat 5 (lima) negara importir lada terbesar di dunia. Kelima negara tersebut adalah USA, Jerman, India, Belanda dan Singapura, dengan masing-masing kontribusi seperti terlihat pada Gambar 2.17. Indonesia meskipun melakukan impor lada namun jumlahnya 16 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «sangat kecil yaitu hanya sebesar 0,52%, dan berada pada urutan ke-33 dari seluruh negara importir lada di dunia. Gambar 2.17. Lima Negara Importir Lada Dunia, 2001-2005 2.7. PROYEKSI PENAWARAN LADA 2007-2009 Produksi lada nasional umumnya digunakan untuk kepentingan ekspor, oleh sebab itu penawaran lada didasarkan pada perilaku harga ekspor lada dan luas areal tanaman lada. Berdasarkan penelusuran model dengan menggunakan model regresi berganda, diketahui bahwa produksi lada nasional dipengaruhi oleh luas areal dan harga ekspor tiga tahun sebelumnya. Koefisien determinasi dari fungsi respons diperoleh sebesar 91,0%, yang menunjukkan bahwa peubahpeubah yang digunakan dalam model dapat menjelaskan keragaman model produksi lada sebesar 91,0%. Hasil analisis fungsi respon produksi lada secara lengkap disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Hasil Analisis Fungsi Respon Produksi Lada Peubah Koefisien Standar Error T P Konstanta 2,4277 0,4846 5,01 0,000 Ln Luas Areal 0,63841 0,05222 12,23 0,000 Ln Harga Ekspor (t-3) 0,14009 0,04638 3,02 0,005 R 2 = 91,0% ; P(F-stat) = 0,000 17 Pusat Data dan Informasi Pertanian 17

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Angka koefisien regresi menunjukkan bahwa produksi lada dipengaruhi secara nyata oleh luas areal dan harga ekspor lada tiga tahun sebelumnya. Jika luas areal meningkat 1 satuan, maka produksi akan meningkat sebesar 0,63841 satuan. Sementara bila harga ekspor meningkat 1 satuan, maka produksi akan meningkat sebesar 0,14009 satuan. Tabel 2.2. Hasil Proyeksi Produksi Lada di Indonesia, 2008-2009 Tahun Produksi (Ton) 2007*) 77.295 Pertumbuhan (%) 2008 76.943-0,46 2009 80.395 4,49 Rata-rata Pertumbuhan (%/th.) 2,02 Keterangan : *) Angka Sementara, Direktorat Jenderal Perkebunan Berdasarkan model regresi tersebut dilakukan proyeksi terhadap produksi lada di Indonesia. Hasil proyeksi menunjukkan bahwa produksi lada tahun 2008 diperkirakan sebesar 76.943 ton atau mengalami sedikit penurunan dibandingkan Angka Sementara 2007, namun kembali meningkat pada tahun 2009 menjadi sebesar 80.395 ton. Rata-rata pertumbuhan per tahun diperkirakan sebesar 2,02% (Tabel 2.2). 2.8. PROYEKSI PERMINTAAN LADA 2006-2009 Proyeksi permintaan lada didasarkan pada proyeksi konsumsi domestik lada. Data konsumsi lada bersumber dari BPS yang merupakan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) setiap 3 tahun sekali. Data yang digunakan sebagai proyeksi permintaan adalah data SUSENAS tahun 1984-2005. Untuk tahun-tahun yang tidak dilakukan survei, dihitung dengan menggunakan interpolasi. Permintaan lada diproyeksikan dengan metode pemulusan eksponensial berganda (double exponential smoothing). Berdasarkan hasil perhitungan dengan metode tersebut, diperoleh angka proyeksi tahun 2006-2009, dengan 18 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «laju pertumbuhan rata-rata sebesar 20,26% per tahun (Tabel 2.3). Pada tahun 2006 diperkirakan total konsumsi lada oleh rumah tangga di Indonesia akan mencapai 33.010 ton, dan tahun 2009 diperkirakan akan mencapai 57.409 ton. Tabel 2.3. Hasil Proyeksi Total Konsumsi Lada oleh Rumah Tangga di Indonesia, 2006-2009 Tahun Konsumsi Nasional (Ton) 2006 33.010 Pertumbuhan (%) 2007 39.701 20,27 2008 47.744 20,26 2009 57.409 20,24 Rata-rata Pertumbuhan (%/thn.) 20,26 2.9. PROYEKSI SURPLUS/DEFISIT LADA 2007-2009 Jika penawaran komoditi lada berdasarkan produksi dan total konsumsi rumah tangga merupakan gambaran dari total permintaan, maka dalam periode tahun 2007-2009 diperkirakan akan terjadi surplus lada (Tabel 2.4). Surplus tersebut merupakan ekspor nasional, karena lada merupakan komoditi ekspor Indonesia, disamping itu juga merupakan permintaan industri. Pada tahun 2007 surplus lada Indonesia diperkirakan sebesar 37.594 ton, tahun 2008 sebesar 29.200 ton dan akan mencapai 22.986 ton pada tahun 2009. Tabel 2.4. Hasil Proyeksi Surplus/Defisit Lada di Indonesia, 2007-2009 Tahun Produksi (Ton) Total Permintaan Rumah Tangga (Ton) Surplus/Defisit (Ton) 2007 77.295 39.701 37.594 2008 76.943 47.744 29.200 2009 80.395 57.409 22.986 19 Pusat Data dan Informasi Pertanian 19

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 2.1. Luas Areal Lada Menurut Jenis Pengusahaan, 1970-2007 Luas Areal (Ha) Tahun Pertumb. Pertumb. Pertumb. PR PBS Nasional (%) (%) (%) 1970 45.063 45.063 1971 50.965 13,10 3-50.968 13,10 1972 45.831-10,07 3 0,00 45.834-10,07 1973 46.286 0,99 0-100,00 46.286 0,99 1974 48.903 5,65 0-48.903 5,65 1975 51.074 4,44 0-51.074 4,44 1976 53.817 5,37 0-53.817 5,37 1977 56.142 4,32 58-56.200 4,43 1978 64.397 14,70 180 210,34 64.577 14,91 1979 63.332-1,65 244 35,56 63.576-1,55 1980 68.310 7,86 244 0,00 68.554 7,83 1981 76.594 12,13 188-22,95 76.782 12,00 1982 76.955 0,47 109-42,02 77.064 0,37 1983 78.066 1,44 116 6,42 78.182 1,45 1984 80.949 3,69 19-83,62 80.968 3,56 1985 79.720-1,52 16-15,79 79.736-1,52 1986 81.105 1,74 10-37,50 81.115 1,73 1987 105.842 30,50 15 50,00 105.857 30,50 1988 106.647 0,76 83 453,33 106.730 0,82 1989 115.090 7,92 145 74,70 115.235 7,97 1990 127.398 10,69 184 26,90 127.582 10,71 1991 126.540-0,67 243 32,07 126.783-0,63 1992 126.706 0,13 494 103,29 127.200 0,33 1993 130.086 2,67 590 19,43 130.676 2,73 1994 127.185-2,23 488-17,29 127.673-2,30 1995 134.287 5,58 402-17,62 134.689 5,50 1996 126.292-5,95 340-15,42 126.632-5,98 1997 110.957-12,14 306-10,00 111.263-12,14 1998 130.885 17,96 380 24,18 131265 17,98 1999 136.522 4,31 320-15,79 136.842 4,25 2000 150.213 10,03 318-0,63 150.531 10,00 2001 185.704 23,63 318 0,00 186.022 23,58 2002 203.772 9,73 296-6,92 204.068 9,70 2003 204.128 0,17 236-20,27 204.364 0,15 2004 201.248-1,41 236 0,00 201.484-1,41 2005 191.801-4,69 191-19,07 191.992-4,71 2006 192.572 0,40 32-83,25 192.604 0,32 2007*) 199.189 3,44 33 3,13 199.222 3,44 Rata-rata Pertumbuhan (%) 1970-2007 4,42 21,04 4,42 1970-1997 3,70 37,49 3,71 1998-2007 6,36-11,86 6,33 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Keterangan : *) Angka Sementara PR = Perkebunan Rakyat PBS = Perkebunan Besar Swasta 20 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 2.2. Produksi Lada Menurut Jenis Pengusahaan, 1970-2007 Produksi (Ton) Tahun Pertumb. Pertumb. Pertumb. PR PBS Nasional (%) (%) (%) 1970 17.219 0 17.219 1971 26.656 54,81 5 26.661 54,83 1972 30.801 15,55 1 30.802 15,53 1973 28.510-7,44 0 28.510-7,44 1974 27.492-3,57 0 27.492-3,57 1975 22.934-16,58 0 22.934-16,58 1976 36.854 60,70 0 36.854 60,70 1977 42.791 16,11 3 42.794 16,12 1978 46.135 7,81 24 700,00 46.159 7,86 1979 32.331-29,92 23-4,17 32.354-29,91 1980 36.603 13,21 23 0,00 36.626 13,20 1981 39.810 8,76 23 0,00 39.833 8,76 1982 39.599-0,53 48 108,70 39.647-0,47 1983 45.774 15,59 51 6,25 45.825 15,58 1984 46.048 0,60 2-96,08 46.050 0,49 1985 40.514-12,02 2 0,00 40.516-12,02 1986 46.368 14,45 5 150,00 46.373 14,46 1987 49.256 6,23 15 200,00 49.271 6,25 1988 65.257 32,49 21 40,00 65.278 32,49 1989 67.824 3,93 25 19,05 67.849 3,94 1990 69.850 2,99 49 96,00 69.899 3,02 1991 62.479-10,55 70 42,86 62.549-10,52 1992 64.886 3,85 128 82,86 65.014 3,94 1993 65.669 1,21 113-11,72 65.782 1,18 1994 53.952-17,84 91-19,47 54.043-17,85 1995 58.847 9,07 108 18,68 58.955 9,09 1996 52.080-11,50 88-18,52 52.168-11,51 1997 46.644-10,44 64-27,27 46.708-10,47 1998 64.469 38,21 69 7,81 64.538 38,17 1999 61.162-5,13 62-10,14 61.224-5,13 2000 68.963 12,75 124 100,00 69.087 12,84 2001 81.968 18,86 110-11,29 82.078 18,80 2002 90.097 9,92 84-23,64 90.181 9,87 2003 90.644 0,61 46-45,24 90.690 0,56 2004 76.959-15,10 49 6,52 77.008-15,09 2005 78.272 1,71 56 14,29 78.328 1,71 2006 77.521-0,96 12-78,57 77.533-1,01 2007*) 77.277-0,31 18 50,00 77.295-0,31 Rata-rata Pertumbuhan (%) 1970-2007 5,61 43,23 5,61 1970-1997 5,44 64,36 5,45 1998-2007 6,06 0,97 6,04 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Keterangan : *) Angka Sementara PR = Perkebunan Rakyat PBS = Perkebunan Besar Swasta 21 Pusat Data dan Informasi Pertanian 21

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 2.3. Sepuluh Provinsi Sentra Produksi Lada di Indonesia, 2003-2007 No. Provinsi Produksi (Ton) 2003 2004 2005 2006 2007*) Rata-rata Share (%) Kumulatif (%) 1 Lampung 23.517 20.211 24.011 21.573 21.612 22.185 27,67 27,67 2 Bangka Belitung 31.567 22.140 16.398 16.292 16.536 20.587 25,68 53,35 3 Kalimantan Timur 7.067 6.957 9.280 9.962 10.111 8.675 10,82 64,17 4 Kalimantan Tengah 5.534 6.602 5.793 4.395 4.461 5.357 6,68 70,85 5 Sulawesi Selatan 6.021 4.350 5.182 5.817 4.791 5.232 6,53 77,38 6 Kalimantan Barat 4.529 4.288 4.184 5.272 5.278 4.710 5,88 83,25 7 Sumatera Selatan 6.757 2.710 3.601 3.374 3.441 3.977 4,96 88,21 8 Sulawesi Tenggara 2.073 2.863 2.908 3.485 3.544 2.975 3,71 91,93 9 Bengkulu 372 3.384 3.470 3.702 3.758 2.937 3,66 95,59 10 Jawa Tengah 486 599 625 956 984 730 0,91 96,50 11 Lainnya 2.767 2.904 2.876 2.706 2.779 2.806 3,50 100,00 Nasional 90.690 77.008 78.328 77.534 77.295 80.171 100,00 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Keterangan : *) Angka Sementara 22 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 2.4. Perkembangan Produktivitas Lada di Indonesia, 1990-2007 Sumber Tahun 1990 934,78 Produktivitas Pertumbuhan (Kg/Ha) (%) 1991 824,92-11,75 1992 847,33 2,72 1993 754,54-10,95 1994 765,34 1,43 1995 759,98-0,70 1996 461,64-39,26 1997 429,89-6,88 1998 480,19 11,70 1999 717,67 49,46 2000 800,45 11,53 2001 836,14 4,46 2002 821,97-1,69 2003 819,23-0,33 2004 662,00-19,19 2005 688,00 3,93 2006 668,39-2,85 2007*) 640,62-4,15 Rata-rata Pertumbuhan (%) : Direktorat Jenderal Perkebunan Keterangan : *) Angka Sementara -0,74 23 Pusat Data dan Informasi Pertanian 23

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 2.5. Konsumsi Lada per Kapita di Indonesia, 1984-2005 Tahun Konsumsi Pertumbuhan (Ons/kapita/tahun) (%) 1984 0,78 1985*) 0,70-9,82 1986*) 0,63-9,82 1987 0,57-9,82 1988*) 0,67 17,84 1989*) 0,79 17,84 1990 0,94 17,84 1991*) 1,07 14,47 1992*) 1,23 14,47 1993 1,40 14,47 1994*) 1,49 5,83 1995*) 1,57 5,83 1996 1,66 5,83 1997*) 1,35-19,01 1998*) 1,09-19,01 1999 0,88-19,01 2000*) 1,01 13,72 2001*) 1,14 13,72 2002 1,30 13,72 2003 0,94-28 2004 0,99 5,56 2005 1,20 21,05 Rata-rata Pertumbuhan (%) 1984-2005 3,22 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah Pusdatin Keterangan : *) Hasil interpolasi 24 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 2.6. Perkembangan Harga Lada di Tingkat Produsen di Indonesia, 1987-2006 Tahun Harga Pertumbuhan (Rp/Kuintal) (%) 1987 582.070 1988 576.531-0,95 1989 499.491-13,36 1990 437.553-12,40 1991 454.114 3,78 1992 402.416-11,38 1993 402.798 0,10 1994 358.158-11,08 1995 441.859 23,37 1996 457.117 3,45 1997 992.453 117,11 1998 1.682.348 69,51 1999 2.850.973 69,46 2000 3.125.437 9,63 2001 2.001.070-35,97 2002 1.495.801-25,25 2003 1.551.092 3,70 2004 1.489.500-3,97 2005 1.490.219 0,05 2006 1.731.594 16,20 Rata-rata Pertumbuhan (%) 10,63 Sumber : Badan Pusat Statistik 25 Pusat Data dan Informasi Pertanian 25

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 2.7. Perkembangan Ekspor-Impor Lada Indonesia, 2000-2006 Tahun Ekspor Impor Volume Pertumb. Nilai Pertumb. Volume Pertumb. Nilai Pertumb. (Ton) (%) (000 US$) (%) (Ton) (%) (000 US$) (%) Neraca (000 US$) 2000 65.011 221.090 707 2.655 218.435 2001 53.639-17,49 100.507-54,54 3.309 367,74 4.301 61,97 96.206 2002 63.214 17,85 89.197-11,25 2.283-31,02 3.120-27,46 86.077 2003 51.546-18,46 93.445 4,76 249-89,07 174-94,44 93.271 2004 32.364-37,21 55.637-40,46 343 37,53 333 91,84 55.304 2005 34.531 6,70 58.437 5,03 844 146,03 518 55,50 57.920 2006 36.953 7,01 77.258 32,21 2.339 177,16 991 91,40 76.267 Rata-rata Pertumb. (%) -6,93-10,71 101,39 29,80 Sumber : Badan Pusat Statistik 26 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 2.8. Perkembangan Luas Tanaman Menghasilkan, Produksi dan Produktivitas Lada Dunia, 1961-2006 Tahun Luas Tanaman Produksi Produktivitas Menghasilkan Pertumb. (%) Pertumb. (%) (Ton) (Kg/Ha) (Ha) Pertumb. (%) 1961 9.191 71.314 847,70 1962 9.205 0,15 111.399 56,21 863,64 1,88 1963 9.988 8,51 116.422 4,51 913,01 5,72 1964 10.035 0,47 103.299-11,27 905,85-0,78 1965 10.736 6,99 74.438-27,94 869,44-4,02 1966 10.772 0,34 100.414 34,90 852,92-1,90 1967 12.571 16,70 88.682-11,68 875,82 2,69 1968 13.008 3,48 127.545 43,82 993,43 13,43 1969 12.610-3,06 102.611-19,55 964,40-2,92 1970 12.619 0,07 102.607 0,00 993,77 3,04 1971 13.911 10,24 110.387 7,58 978,54-1,53 1972 14.475 4,05 114.035 3,30 985,66 0,73 1973 16.655 15,06 121.563 6,60 950,88-3,53 1974 16.885 1,38 128.357 5,59 998,18 4,97 1975 18.304 8,40 127.041-1,03 966,29-3,19 1976 20.766 13,45 156.081 22,86 1.003,05 3,80 1977 21.983 5,86 154.930-0,74 915,06-8,77 1978 25.150 14,41 168.612 8,83 902,79-1,34 1979 29.102 15,71 168.164-0,27 847,14-6,16 1980 32.324 11,07 178.582 6,20 874,91 3,28 1981 32.230-0,29 161.331-9,66 849,11-2,95 1982 32.222-0,02 165.976 2,88 814,20-4,11 1983 30.988-3,83 151.937-8,46 804,91-1,14 1984 30.438-1,77 154.151 1,46 810,09 0,64 1985 29.689-2,46 141.904-7,94 934,79 15,39 1986 34.012 14,56 169.362 19,35 849,37-9,14 1987 34.334 0,95 217.992 28,71 796,04-6,28 1988 39.260 14,35 288.414 32,30 862,57 8,36 1989 47.140 20,07 314.109 8,91 915,71 6,16 1990 51.129 8,46 371.848 18,38 1.026,13 12,06 1991 358.576 601,32 298.502-19,72 1.156,42 12,70 1992 360.959 0,66 255.867-14,28 1.188,79 2,80 1993 372.533 3,21 257.887 0,79 1.156,11-2,75 1994 363.822-2,34 237.445-7,93 1.148,47-0,66 1995 365.706 0,52 251.201 5,79 1.200,82 4,56 1996 379.229 3,70 251.155-0,02 1.177,32-1,96 1997 355.763-6,19 245.229-2,36 1.217,66 3,43 1998 367.141 3,20 264.500 7,86 1.202,45-1,25 1999 432.084 17,69 303.771 14,85 1.280,44 6,49 2000 411.230-4,83 317.704 4,59 1.157,20-9,62 2001 449.999 9,43 363.814 14,51 1.158,89 0,15 2002 466.444 3,65 384.635 5,72 1.199,64 3,52 2003 454.166-2,63 396.625 3,12 1.383,35 15,31 2004 489.498 7,78 416.071 4,90 1.413,65 2,19 2005 499.858 2,12 436.460 4,90 1.205,33-14,74 2006 499.668-0,04 380.012-12,93 1.154,87-4,19 Rata-rata Pertumbuhan (%) 1961-2006 18,23 4,97 0,90 1961-1990 6,32 7,37 0,84 1991-2006 39,83 0,61 1,00 Sumber : FAO 27 Pusat Data dan Informasi Pertanian 27

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 28 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «BAB III. KOPI Komoditas kopi merupakan salah satu komoditas ekspor andalan Indonesia. Sejak jaman Hindia Belanda hingga saat ini, Indonesia menjadi salah satu negara produsen kopi terbesar dunia. Posisi Indonesia lima tahun terakhir ada pada urutan keempat setelah Brazil, Kolombia dan Vietnam bahkan sebelumnya posisi Indonesia berada pada posisi ketiga. Keberhasilan negara Vietnam antara lain disebabkan tingginya produktivitas dalam budidaya kopi yang mencapai 1,8 ton per hektar, sedangkan produktivitas budidaya kopi Indonesia hanya mencapai 0,58 ton per hektar (Irawan dan Joko, 2004). Peranan kopi sebagai komoditas ekspor perlu terus didorong, salah satunya dengan meningkatkan produksi kopi melalui penggunaan klon-klon unggul dan konversi kopi robusta ke arabika dengan teknik penyambungan. Konversi dilakukan dengan pertimbangan beberapa masalah, antara lain harga kopi arabika yang lebih mahal dibandingkan dengan harga kopi robusta, khususnya di pasar dunia, komposisi produksi kopi secara nasional didominasi oleh kopi robusta (± 90 %), banyak kopi robusta ditanam di lahan tinggi yang sebenarnya lebih cocok untuk kopi arabika. Umumnya upaya konversi tanaman berakibat terputusnya pendapatan sehingga memberatkan perekonomian petani, untuk itu teknik konversi yang dikembangkan adalah penyambungan di lapangan dengan metode swing. Metode ini memberikan hasil kopi sebesar 50% dari sisa tajuk yang tidak di swing dan arabika hasil konversi berproduksi lebih awal (Ipard, 2007). 3.1. PERKEMBANGAN LUAS AREAL, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS KOPI DI INDONESIA Perkembangan luas areal kopi nasional selama 40 tahun (1967-2007) menunjukkan kecenderungan meningkat (Gambar 3.1). Rata-rata pertumbuhan dari tahun 1967-2007 meningkat sebesar 3,70% per tahun. Krisis ekonomi yang terjadi berpengaruh pada pertumbuhan luas areal kopi yang tercermin dari melambatnya pertumbuhan pada periode 1998-2007 sebesar 1,27% per tahun (Tabel 3.1). 29 Pusat Data dan Informasi Pertanian 29

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Gambar 3.1. Perkembangan Luas Areal Kopi di Indonesia, 1967-2007 Tabel 3.1. Laju Pertumbuhan dan Kontribusi Luas Areal dan Produksi Kopi di Indonesia Tahun Pertumbuhan (%) 1967-2007 1967-1997 1998-2007 Kontribusi (%) 1967 2007 1967-2007 Luas Areal Produksi PR PBN PBS Total PR PBN PBS Total 3,90 4,72 1,44 89,51 95,91 94,18 2,18 3,22-0,96 5,00 2,03 2,83 2,22 3,03-0,22 5,50 2,06 2,98 3,70 4,52 1,27 100,00 100,00 100,00 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, diolah Pusdatin Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat PBN = Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta 4,25 3,84 5,47 91,43 95,66 93,68 4,96 6,86-0,75 4,81 2,48 3,89 5,78 5,58 6,39 3,76 1,86 2,43 4,11 3,77 5,12 100,00 100,00 100,00 Di Indonesia terdapat 3 jenis pengusahaan perkebunan, yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS). Secara umum luas areal kopi nasional didominasi oleh perkebunan rakyat yang memiliki kontribusi sebesar 89,51% dari total luas areal kopi nasional pada tahun 1967. Pada tahun 2007 kontribusi luas areal perkebunan rakyat naik menjadi 95,91%. Sementara itu kontribusi luas areal perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta berimbang. Perkembangan luas areal di kedua jenis perkebunan besar tersebut tampak berfluktuasi dan cenderung lebih tinggi di perkebunan besar swasta (Gambar 3.2). 30 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Gambar 3.2. Perkembangan Luas Areal Kopi Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS), 1967-2007 Dari Tabel 3.1 tampak bahwa rata-rata pertumbuhan luas areal kopi per tahun selama tahun 1967-2007 di tiga jenis pengusahaan perkebunan meningkat dan tertinggi di perkebunan rakyat sebesar 3,90%, sedangkan di perkebunan besar negara dan besar swasta masing-masing meningkat sebesar 2,18% dan 2,22%. Setelah krisis ekonomi (1998-2007), pertumbuhan rata-rata per tahun menunjukkan perkembangan berbeda dimana di perkebunan besar negara dan perkebunan swasta pertumbuhannya menurun masing-masing sebesar 0,96% dan 0,22%, sedangkan perkebunan rakyat meningkat sebesar 1,44%. Secara rinci perkembangan luas areal kopi di Indonesia menurut jenis pengusahaan disajikan pada Lampiran 3.1. Secara umum perkembangan produksi kopi selama tahun 1967-2007 sejalan dengan perkembangan luas arealnya, yaitu berfluktuasi namun cenderung meningkat (Gambar 3.3). Rata-rata pertumbuhan produksi kopi nasional kurun waktu 1967-2007 meningkat 4,11% per tahun, sedangkan menurut jenis pengusahaannya dalam kurun waktu tersebut pertumbuhan tertinggi dicapai oleh perkebunan besar swasta sebesar 5,78% per tahun. Setelah krisis ekonomi (1998-2007) pertumbuhan rata-rata produksi di perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta meningkat masing-masing sebesar 5,47% dan 6,39%, sedangkan di perkebunan besar negara justru menurun sebesar 0,75% (Tabel 3.1). 31 Pusat Data dan Informasi Pertanian 31

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Gambar 3.3. Perkembangan Produksi Kopi di Indonesia, 1967-2007 Perkembangan produksi di perkebunan besar negara dan swasta berbeda dengan perkembangan arealnya. Di perkebunan besar negara, perkembangan areal relatif lebih rendah dibanding perkebunan besar swasta tetapi perkembangan produksi menunjukkan lebih tinggi (Gambar 3.4). Hal ini dimungkinkan karena banyak tanaman yang merupakan umur produktif sehingga produksi yang dihasilkan tinggi. Secara rinci perkembangan produksi kopi disajikan pada Lampiran 3.2. Gambar 3.4. Perkembangan Produksi Kopi di Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS), 1967-2007 Kontribusi produksi kopi menurut jenis pengusahaan menunjukkan bahwa kopi rakyat mendominasi produksi kopi nasional. Berdasarkan data rata-rata produksi kopi selama 5 tahun terakhir (2003-2007), sebesar 95,82% produksi kopi nasional merupakan produksi kopi rakyat. Sementara itu kontribusi 32 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «perkebunan besar negara sebesar 2,56% dan perkebunan besar swasta sebesar 1,63% (Gambar 3.5). Gambar 3.5. Kontribusi Produksi Kopi Indonesia Menurut Jenis Pengusahaan, 1967-2007 Kopi rakyat mendominasi produksi maupun luas areal di Indonesia. Berdasarkan rata-rata produksi tahun 2003-2007, daerah penghasil utama atau sentra produksi kopi rakyat adalah Provinsi Sumatera Selatan, Riau, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Keenam provinsi tersebut memberi kontribusi sebesar 72,98% terhadap total produksi kopi nasional. Kontribusi terbesar berasal dari Provinsi Sumatera Selatan sebesar 21,92%, disusul oleh Lampung sebesar 21,34%. Bengkulu, Sumatera Utara, Jatim dan Aceh berada di urutan berikutnya dengan kontribusi antara 6,13% - 9,24%. Besarnya kontribusi produksi kopi dari provinsi sentra disajikan pada Gambar 3.6 dan secara rinci pada Lampiran 3.3. Gambar 3.6. Kontribusi Sentra Produksi Kopi di Indonesia, 2003-2007 33 Pusat Data dan Informasi Pertanian 33

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Perkembangan produktivitas kopi di Indonesia pada periode tahun 2003-2007 menurut jenis pengusahaannya, meskipun berfluktuasi namun cenderung meningkat. Fluktuasi yang tajam terjadi pada perkebunan besar swasta (Gambar 3.7). Rata-rata produktivitas tahun 2003-2007 tertinggi di perkebunan rakyat sebesar 714 kg/ha, diikuti di perkebunan besar negara sebesar 696 kg/ha dan perkebunan besar swasta sebesar 620 kg/ha. Pertumbuhan rata-rata produktivitas kopi per tahun pada kurun waktu tersebut turun landai di perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara masing-masing sebesar 0,34% dan 0,01%, tetapi meningkat signifikan di perkebunan besar swasta sebesar 9,17% per tahun (Tabel 3.2) Gambar 3.7. Produktivitas Kopi Indonesia Menurut Jenis Pengusahaan, 2003-2007 Tabel 3.2. Perkembangan Produktivitas Kopi Indonesia, 2003-2007 Tahun PR Pertumb. (%) PBN Produktivitas (Kg/Ha) Pertumb. (%) PBS Pertumb. (%) Indonesia Pertumb. (%) 2003 728 696 589 725 2004 664-8,78 697 0,12 702 19,20 666-8,11 2005 687 3,46 697-0,03 449-35,96 683 2,60 2006 697 1,36 696-0,13 655 45,81 696 1,86 2007 714 2,56 696 0,10 705 7,62 714 2,58 Rata-rata 714-0,34 696-0,01 620 9,17 697-0,27 Sumber : Ditjen Perkebunan diolah oleh Pusdatin 34 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Berdasarkan data rata-rata tahun 2003-2007, sebesar 89,50% produksi kopi Indonesia adalah kopi robusta dan sisanya merupakan kopi arabika (Gambar 3.8). Secara rinci produksi kopi menurut jenis kopi disajikan pada Lampiran 3.4. Gambar 3.8. Kontribusi Produksi Kopi Indonesia Menurut Jenis Kopi, 2003-2007 3.2. PERKEMBANGAN KONSUMSI KOPI DI INDONESIA Permintaan kopi untuk konsumsi rumah tangga berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) berupa kopi bubuk dan kopi biji. Perkembangan konsumsi kopi oleh rumah tangga dari setiap periode survei secara umum menunjukkan peningkatan, kecuali pada tahun 1987 dan 1999 yang mengalami penurunan cukup besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Gambar 3.9). Gambar 3.9. Perkembangan Konsumsi Kopi di Indonesia, 1984-2005 35 Pusat Data dan Informasi Pertanian 35

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Permintaan kopi di Indonesia sebagian untuk ekspor dan sebagian lagi untuk kebutuhan dalam negeri termasuk yang dikonsumsi rumah tangga. Perkembangan konsumsi rumah tangga selama tahun 1984-2005 tumbuh ratarata sebesar 6,45% per periode survei. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2002 sebesar 57,59% (Tabel 3.3). Kecenderungan meningkatnya konsumsi kopi diduga sebagai dampak semakin beragamnya produk minuman berbahan baku kopi yang di pasarkan di Indonesia. Tabel 3.3. Perkembangan Konsumsi Kopi di Indonesia, 1984-2005 Tahun Konsumsi/Kapita Konsumsi/Kapita Pertumbuhan (Ons/Minggu) (Ons/Tahun) (%) 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005 0,186 0,157 0,184 0,199 0,195 0,158 0,249 0,246 9,67 8,16 9,57 10,35 10,14 8,22 12,95 12,79-15,59 17,20 8,15-2,01-18,97 57,59-1,20 Rata-rata 6,45 Sumber : BPS (Susenas), diolah oleh Pusdatin 3.3. PERKEMBANGAN HARGA KOPI DI INDONESIA Kopi di Indonesia sekitar 90% merupakan kopi jenis robusta dan sisanya merupakan kopi jenis arabika. Karena sebagian besar adalah jenis robusta, maka perkembangan harga yang disajikan adalah harga kopi jenis robusta. Secara umum perkembangan harga rata-rata kopi robusta di pasar dalam negeri berfluktuasi namun cenderung meningkat (Gambar 3.10). Peningkatan harga rata-rata kopi di pasar dalam negeri pada tahun 1987-1997 sebesar 5,77% per tahun. Perkembangan selanjutnya pada periode tahun 1998-2006 (setelah krisis ekonomi) harga kopi di pasar dalam negeri meningkat cukup signifikan akibat perubahan nilai tukar yang tinggi, yaitu sebesar 68,86% per tahun (Lampiran 3.5). Peningkatan yang besar ini dipicu peningkatan signifikan di tahun 1998 sebesar 609,07%, karena pertumbuhan tahun berikutnya mengecil bahkan menurun pada tahun 2000-2003. Harga rata-rata kopi robusta di pasar dalam 36 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «negeri sebelum krisis pada tahun 1997 adalah Rp. 1.738,00 meningkat menjadi Rp. 12.321,00 pada tahun 1998. Gambar 3.10. Perkembangan Harga Kopi Robusta di Pasar Dalam Negeri, 1987-2006 Sementara itu harga kopi robusta di pasar dunia dari tahun ke tahun tampak lebih fluktuatif (Gambar 3.11). Selama tahun 1987-2006 harga kopi tertinggi dicapai pada tahun 1997 sebesar US$ 184,92 cent/lb. Selanjutnya perkembangan harga kopi robusta di pasar dunia terus merosot dan mencapai harga terendah pada tahun 2004 sebesar US$ 75,40 cent/lb. Setelah tahun 2004 harga kopi robusta mulai merangkak naik hingga tahun 2006. Rata-rata pertumbuhan pada tahun 1989-1997 meningkat cukup tinggi sebesar 10,45% per tahun dan setelah krisis (1998-2005) pertumbuhan meningkat landai sebesar 0,89% per tahun. Secara rinci perkembangan harga kopi robusta disajikan pada Lampiran 3.5. Gambar 3.11. Perkembangan Harga Kopi Robusta di Pasar Dunia, 1987-2006 37 Pusat Data dan Informasi Pertanian 37

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 3.4. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR KOPI INDONESIA Sebagian produksi kopi Indonesia adalah untuk ekspor. Rata-rata tiga tahun terakhir kebutuhan ekspor kopi sekitar 60% dari produksi kopi nasional. Perkembangan ekspor kopi Indonesia selama tahun 1969-2006 berfluktuasi tetapi mempunyai kecenderungan meningkat (Gambar 3.12). Gambar 3.12. Perkembangan Volume Ekspor Kopi di Indonesia, 1969-2006 Volume ekspor kopi di Indonesia pada periode tahun 1969-2006 tumbuh rata-rata 5,11% per tahun. Selama kurun waktu tersebut, pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1996, yaitu meningkat sebesar 56,25% dan terendah pada tahun 1992, yaitu turun sebesar 29,24%. Volume ekspor kopi tertinggi dicapai pada tahun 2005 sebesar 445,83 ribu ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 503,84 juta. Sementara itu perkembangan nilai ekspor kopi Indonesia lebih fluktuatif dibandingkan volume ekspornya (Gambar 3.13). Nilai ekspor kopi Indonesia tahun 1969-2006 meningkat rata-rata sebesar 14,71% per tahun. Selama kurun waktu tersebut pertumbuhan nilai ekspor kopi tertinggi terjadi pada tahun 1977 sebesar 152,31%. Nilai ekspor kopi tertinggi dicapai pada tahun 1986 senilai US$ 818,39 juta. Secara rinci perkembangan ekspor impor kopi disajikan pada Lampiran 3.6. 38 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Gambar 3.13. Perkembangan Nilai Ekspor Kopi di Indonesia, 1969-2006 Meskipun kecil, Indonesia juga melakukan kegiatan impor kopi. Neraca ekspor-impor kopi baik dilihat dari sisi volume maupun nilainya menunjukkan perkembangan yang cenderung positif, artinya lebih tinggi ekspor daripada impornya. Neraca perdagangan ekspor-impor menunjukkan posisi surplus tertinggi pada tahun 1986 dengan nilai sebesar US$ 818,13 juta. Krisis ekonomi juga terasa dampaknya pada neraca perdagangan kopi dimana pada tahun 1998-2001 surplus tampak terus menurun dan mulai meningkat kembali pada tahun 2002-2006. Secara rinci perkembangan neraca perdagangan kopi disajikan pada Lampiran 3.6. 3.5. PERKEMBANGAN LUAS TANAMAN MENGHASILKAN, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS KOPI DUNIA Perkembangan luas tanaman menghasilkan komoditas kopi dunia selama tahun 1967-2006 menunjukkan kecenderungan meningkat meski landai (Gambar 3.14). Rata-rata pertumbuhan dalam kurun waktu tersebut sebesar 0,28% per tahun. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1977 yaitu sebesar 13,35% dengan luas areal sebesar 8,99 juta ha. Secara rinci luas tanaman menghasilkan kopi dunia disajikan pada Lampiran 3.7. 39 Pusat Data dan Informasi Pertanian 39

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Gambar 3.14. Perkembangan Luas Areal Tanaman Menghasilkan Kopi Dunia, 1967-2006 Tidak berbeda dengan luas areal menghasilkan kopi, produksi kopi dunia selama periode tahun 1967-2006 juga menunjukkan kecenderungan meningkat (Gambar 3.15). Peningkatan produksi kopi dunia lebih banyak ditentukan oleh pertumbuhan produktivitasnya. Menurut data FAO, produksi kopi dunia tahun 1967-2006 rata-rata tumbuh sebesar 2,16% per tahun dengan pertumbuhan meningkat cukup signifikan pada tahun 1977 sebesar 24,90% dan pada tahun 1981 sebesar 25,68%. Secara rinci perkembangan produksi kopi dunia disajikan pada Lampiran 3.7. Gambar 3.15. Perkembangan Produksi Kopi Dunia, 1967-2006 Berdasarkan produksi kopi dunia rata-rata tahun 2002-2006, terdapat 5 negara produsen kopi terbesar di dunia yang memberikan kontribusi produksi kopi sebesar 63,51% terhadap total produksi kopi dunia. Kelima negara tersebut adalah Brazil, Vietnam, Kolombia, Indonesia dan Mexico (Gambar 3.16). Negara 40 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «produsen kopi terbesar dunia pada urutan pertama adalah Brazil dengan ratarata tingkat produksi sebesar 2.37 juta ton dan memberikan kontribusi produksi kopi sebesar 31,28%. Vietnam berada di urutan kedua dengan tingkat produksi sebesar 0,79 juta ton serta berkontribusi sebesar 10,40%. Negara produsen kopi terbesar lainnya berkontribusi kurang dari 10%. Indonesia berada pada urutan keempat dengan tingkat produksi sebesar 0,66 juta ton dan berkontribusi sebesar 8,69%. Besarnya kontribusi produksi masing-masing negara produsen disajikan pada Lampiran 3.8. Gambar 3.16. Negara-negara Produsen Kopi Terbesar di Dunia, 2002-2006 Perkembangan produktivitas kopi dunia pada tahun 1967-2006 menunjukkan kecenderungan meningkat dan rata-rata pertumbuhannya lebih tinggi dari arealnya (Gambar 3.17). Menurut data FAO, selama kurun waktu 1967-2006 rata-rata pertumbuhan produktivitas kopi dunia meningkat sebesar 1,74% per tahun, produktivitas tertinggi dicapai pada tahun 2006 sebesar 769 kg/ha. Sementara rata-rata produktivitas kopi Indonesia pada tahun yang sama sebesar 714 kg/ha, masih di bawah rata-rata produktivitas kopi dunia. Secara rinci perkembangan produktivitas kopi dunia disajikan pada Lampiran 3.7. 41 Pusat Data dan Informasi Pertanian 41

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Gambar 3.17. Perkembangan Produktivitas Kopi Dunia, 1967-2006 3.6. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR KOPI DUNIA Secara umum perkembangan volume ekspor dan volume impor kopi dunia pada periode tahun 1967-2005 menunjukkan kecenderungan meningkat (Gambar 3.18). Selama kurun waktu tersebut (1967-2005), rata-rata pertumbuhan volume ekspor sebesar 1,74% per tahun. Ekspor tertinggi terjadi pada tahun 2004 sebesar 5,58 juta ton dengan nilai US$ 7.058,19 juta. Sedangkan rata-rata pertumbuhan volume impor kopi dunia sebesar 1,82% per tahun dan impor tertinggi juga terjadi pada tahun 2004 sebesar 5,49 juta ton dengan nilai US$ 7.494,05 juta. Secara rinci perkembangan ekspor-impor kopi dunia disajikan pada Lampiran 3.9. Gambar 3.18. Perkembangan Volume Ekspor dan Volume Impor Kopi Dunia, 1967-2005 42 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Berdasarkan data rata-rata volume ekspor kopi tahun 2001-2005, Brazil merupakan negara eksportir kopi terbesar di dunia dengan volume ekspor sebesar 1,39 juta ton. Ekspor kopi Brazil tersebut memberikan kontribusi volume ekspor sebesar 25,68% terhadap total volume ekspor kopi dunia. Peringkat kedua diduduki oleh Vietnam dengan volume ekspor sebesar 0,76 juta ton yang memberikan kontribusi volume ekspor sebesar 14,06%, diikuti oleh Kolombia di urutan ketiga dengan volume ekspor sebesar 0,58 juta ton yang memberikan kontribusi sebesar 10,77%. Indonesia berada pada urutan keempat sebagai negara eksportir kopi terbesar dunia dengan volume ekspor sebesar 0,34 juta ton dan memberikan kontribusi sebesar 6,21% terhadap total volume ekspor dunia (Gambar 3.19). Secara rinci besarnya kontribusi disajikan pada Lampiran 3.10. Gambar 3.19. Negara-negara Eksportir Kopi Terbesar di Dunia, 2001-2005 Dari sisi impor kopi dunia, berdasarkan data FAO (2001-2005) USA adalah negara importir kopi terbesar di dunia. Besarnya rata-rata volume impor kopi yang diserap oleh USA mencapai 1,20 juta ton dan berkontribusi sebesar 22,51% terhadap volume impor kopi dunia. Jerman berada pada urutan kedua dengan volume impor kopi sebesar 0,89 juta ton dan berkontribusi sebesar 16,63%. Negara importir kopi dunia lainnya hanya memberikan kontribusi volume impor dibawah 8%. Negara-negara importir kopi terbesar di dunia disajikan pada Gambar 3.20, sedangkan besarnya kontribusi negara-negara importir tersebut secara rinci disajikan pada Lampiran 3.11. 43 Pusat Data dan Informasi Pertanian 43

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Gambar 3.20. Negara-negara Importir Kopi Terbesar di Dunia, 2001-2005 3.7. PROYEKSI PENAWARAN KOPI 2007-2009 Hasil analisis fungsi penawaran komoditas kopi menunjukkan bahwa produksi kopi dipengaruhi oleh peubah-peubah luas areal periode (t), produksi satu tahun sebelumnya (t-1) dan harga riil kopi periode (t) dengan koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 95,4, yang berarti bahwa 95,4% sebaran produksi kopi dapat dijelaskan oleh sebaran peubah-peubah bebas yang digunakan didalam model (Tabel 3.4.). Tabel 3.4. Hasil Analisis Fungsi Respon Produksi Kopi Peubah Koefisien p_value Intercept -331 329 0.005 Luas Areal periode (t) 0,4002 0,005 Produksi periode (t-1) 0,7004 0,000 Harga Riil Kopi periode (t) 217,72 0,020 R 2 = 95,4% ; p(f_stat) = 0,00 Dari Tabel 3.4 tampak bahwa koefisien-koefisien di dalam model bersifat nyata. Angka koefisien menunjukkan bahwa produksi kopi dipengaruhi oleh harga riil kopi dalam negeri, jika harga kopi meningkat satu satuan maka 44 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «produksi kopi akan meningkat sebesar 217,72 satuan dan jika luas areal meningkat satu satuan maka produksi akan meningkat sebesar 0,40 satuan. Hasil proyeksi disajikan pada Tabel 3.6. Tabel 3.5. Hasil Proyeksi Produksi Kopi di Indonesia, 2008-2009 Tahun Produksi Kopi (Ton) 2007*) 686.764 Pertumbuhan (%) 2008 689.964 0,47 2009 693.303 0,48 Pertumbuhan 0,47 (%/th.) Keterangan : *) Angka Sementara, Direktorat Jenderal Perkebunan Proyeksi produksi kopi nasional menunjukkan hasil meningkat hingga tahun 2009. Produksi kopi tahun 2008-2009 diperkirakan meningkat sebesar 0,47% per tahun (Tabel 3.5), dimana produksi kopi tahun 2008 diperkirakan sebesar 689.964 ton dan tahun 2009 sebesar 693.303 ton. Potensi lahan dan tenaga kerja Indonesia yang cukup besar masih belum tergali secara optimal sehingga memungkinkan hasil proyeksi produksi kopi ini terwujud. Disamping itu teknik konversi ke kopi arabika yang memiliki harga lebih baik di pasar dunia diharapkan dapat menarik minat petani untuk membudidayakan kopi. Hal ini tentu akan mendorong peningkatan produksi kopi. Upaya peningkatan produksi kopi ke depan diantaranya dengan melakukan peremajaan tanaman kopi yang telah tua dan dilakukan secara bertahap, penggunaan klon unggul serta pengembangan industri hilir. 3.8. PROYEKSI PERMINTAAN KOPI 2007-2009 Permintaan kopi di Indonesia untuk konsumsi rumah tangga dalam bentuk kopi bubuk dan untuk ekspor. Analisis fungsi permintaan ekspor dilakukan dengan menggunakan analisis trend linear (univariate), sedangkan konsumsi kopi oleh rumah tangga dengan analisis regresi. Hasil analisis menunjukkan 45 Pusat Data dan Informasi Pertanian 45

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 bahwa konsumsi kopi per kapita dipengaruhi oleh konsumsi satu tahun sebelumnya (t-1), harga riil kopi dalam negeri periode (t) dan produksi periode (t). Koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 92,6%, artinya 92,6% keragaman dalam konsumsi kopi dapat dijelaskan oleh sebaran peubah-peubah bebas yang digunakan dalam model. Secara rinci disajikan pada Tabel 3.6. Tabel 3.6. Hasil Analisis Fungsi Respon Konsumsi Kopi Peubah Koefisien p-value Intercept 2,2064 0,022 Konsumsi per Kapita (t-1) 0,5293 0,000 Harga Riil Kopi (t) -0,005788 0,003 Produksi (t) 0,00000162 0,001 R 2 = 92,6% Koefisien-koefisien di dalam model bersifat nyata yang ditunjukkan oleh p-value yang kurang dari 5%. Angka koefisien harga riil kopi bertanda negatif menunjukkan bahwa konsumsi dipengaruhi oleh harga, dimana jika harga kopi meningkat satu satuan maka konsumsi kopi akan menurun sebesar 0,5293 satuan. Hasil proyeksi permintaan yang dijelaskan dengan konsumsi dalam negeri kopi dan permintaan ekspor kopi disajikan pada Tabel 3.7. Tabel 3.7. Hasil Proyeksi Permintaan Kopi di Indonesia, 2007-2009 Tahun Ekspor (Ton) Konsumsi Domestik (Ton) Total Permintaan (Ton) 2007 416.699 223.351 640.050 2008 424.627 228.100 652.727 2009 432.555 232.221 664.776 Pertumbuhan (%/th) 1,88 1,97 1,91 Permintaan kopi untuk ekspor diperkirakan akan meningkat sebesar 1,88% per tahun. Pada tahun 2007 volume ekspor kopi Indonesia diperkirakan sebesar 46 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «416.699 ton dan akan terus meningkat hingga tahun 2009 mencapai 432.555 ton. Proyeksi pertumbuhan konsumsi kopi oleh rumah tangga ternyata lebih tinggi dari permintaan untuk ekspornya yaitu sebesar 1,97% per tahun. Tingginya laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga perlu mendapat perhatian karena merupakan peluang dalam meningkatkan produksi dan pengembangan komoditas kopi di masa mendatang. Berdasarkan hasil proyeksi tersebut diperkirakan total permintaan kopi tahun 2007 sebesar 640.050 ton, tahun 2008 sebesar 652.727 ton dan tahun 2009 sebesar 664.776 ton. 3.9. PROYEKSI SURPLUS/DEFISIT KOPI 2007-2009 Selama periode tahun 2007-2009 diperkirakan masih terjadi surplus komoditas kopi di Indonesia (Tabel 3.8), namun karena pertumbuhan permintaan kopi lebih tinggi dari produksinya, maka surplus akan semakin menurun. Pada tahun 2007 surplus kopi di Indonesia diperkirakan sebesar 46.714 ton, dan akan terus menurun hingga tahun 2009 menjadi 28.527 ton. Surplus ini merupakan stok untuk industri kopi dalam negeri maupun untuk ekspor. Dengan demikian harus segera dilakukan langkah-langkah peningkatan produksi kopi dalam negeri untuk mengantisipasi kebutuhan kopi yang semakin meningkat. Tabel 3.8. Proyeksi Surplus/Defisit Kopi di Indonesia, 2007-2009 Tahun Produksi (Ton) Total Permintaan (Ton) Suplus/Defisit (Ton) 2007 686.764 640.050 46.714 2008 689.964 652.727 37.237 2009 693.303 664.776 28.527 47 Pusat Data dan Informasi Pertanian 47

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 3.1. Perkembangan Luas Areal Kopi di Indonesia Menurut Jenis Pengusahaan, 1967-2006 Tahun PR Pertumb. (%) PBN Pertumb. (%) PBS Pertumb. (%) Indonesia Pertumb. (%) 1967 289.226 16.142 17.764 323.132 1968 299.356 3,50 22.297 38,13 17.765 0,01 339.418 5,04 1969 337.266 12,66 20.243-9,21 22.125 24,54 379.634 11,85 1970 351.096 4,10 20.412 0,83 23.365 5,60 394.873 4,01 1971 366.301 4,33 20.605 0,95 20.748-11,20 407.654 3,24 1972 356.850-2,58 29.327 42,33 18.956-8,64 405.133-0,62 1973 340.511-4,58 21.024-28,31 19.688 3,86 381.223-5,90 1974 346.719 1,82 20.442-2,77 19.410-1,41 386.571 1,40 1975 361.329 4,21 20.146-1,45 18.422-5,09 399.897 3,45 1976 401.958 11,24 19.876-1,34 18.177-1,33 440.011 10,03 1977 454.300 13,02 20.260 1,93 23.266 28,00 497.826 13,14 1978 477.083 5,01 21.815 7,68 21.676-6,83 520.574 4,57 1979 577.583 21,07 20.716-5,04 25.804 19,04 624.103 19,89 1980 663.601 14,89 20.925 1,01 22.938-11,11 707.464 13,36 1981 749.829 12,99 23.016 9,99 24.001 4,63 796.846 12,63 1982 759.182 1,25 23.635 2,69 20.211-15,79 803.028 0,78 1983 766.134 0,92 24.426 3,35 24.427 20,86 814.987 1,49 1984 837.488 9,31 22.440-8,13 34.283 40,35 894.211 9,72 1985 874.340 4,40 23.499 4,72 33.290-2,90 931.129 4,13 1986 888.862 1,66 23.593 0,40 22.744-31,68 935.199 0,44 1987 908.584 2,22 24.280 2,91 28.776 26,52 961.640 2,83 1988 969.789 6,74 25.484 4,96 30.674 6,60 1.025.947 6,69 1989 984.234 1,49 21.800-14,46 30.516-0,52 1.036.550 1,03 1990 1.014.125 3,04 25.834 18,50 29.889-2,05 1.069.848 3,21 1991 1.063.289 4,85 25.891 0,22 30.674 2,63 1.119.854 4,67 1992 1.075.474 1,15 26.092 0,78 31.332 2,15 1.132.898 1,16 1993 1.090.050 1,36 26.325 0,89 31.192-0,45 1.147.567 1,29 1994 1.080.532-0,87 26.593 1,02 33.260 6,63 1.140.385-0,63 1995 1.109.499 2,68 25.616-3,67 32.396-2,60 1.167.511 2,38 1996 1.103.615-0,53 24.169-5,65 31.295-3,40 1.159.079-0,72 1997 1.105.114 0,14 32.232 33,36 32.682 4,43 1.170.028 0,94 1998 1.068.064-3,35 39.139 21,43 46.166 41,26 1.153.369-1,42 1999 1.059.245-0,83 39.316 0,45 28.716-37,80 1.127.277-2,26 2000 1.192.322 12,56 40.645 3,38 27.720-3,47 1.260.687 11,83 2001 1.258.628 5,56 26.954-33,68 27.801 0,29 1.313.383 4,18 2002 1.318.020 4,72 26.954 0,00 27.210-2,13 1.372.184 4,48 2003 1.240.222-5,90 26.597-1,32 25.091-7,79 1.291.910-5,85 2004 1.251.326 0,90 26.597 0,00 26.020 3,70 1.303.943 0,93 2005 1.202.392-3,91 26.641 0,17 26.239 0,84 1.255.272-3,73 2006 1.255.104 4,38 26.644 0,01 26.983 2,84 1.308.731 4,26 2007*) 1.258.397 0,26 26.644 0,00 26.989 0,02 1.312.030 0,25 Rata-rata Pertumbuhan (%) 1967-2007 3,90 2,18 2,22 3,70 1967-1997 4,72 3,22 3,03 4,52 1998-2007 1,44-0,96-0,22 1,27 Kontribusi (%) 1967 89,51 5,00 5,50 100,00 2007 95,91 2,03 2,06 100,00 1967-2007 94,18 2,83 2,98 100,00 Sumber Keterangan : Direktorat Jenderal Perkebunan : *) Angka Sementara PR : Perkebunan Rakyat PBN : Perkebunan Besar Negara PBS : Perkebunan Besar Swasta Luas Areal (Ha) 48 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 3.2. Perkembangan Produksi Kopi di Indonesia Menurut Jenis Pengusahaan, 1967-2006 Tahun PR Pertumb. (%) PBN Pertumb. (%) PBS Pertumb. (%) Indonesia Pertumb. (%) 1967 140.323 7.389 5.766 153.478 1968 143.746 2,44 7.243-1,98 6.358 10,27 157.347 2,52 1969 160.765 11,84 7.871 8,67 4.977-21,72 173.613 10,34 1970 170.089 5,80 8.951 13,72 6.051 21,58 185.091 6,61 1971 161.985-4,76 10.935 22,17 7.996 32,14 180.916-2,26 1972 158.073-2,42 12.289 12,38 8.373 4,71 178.735-1,21 1973 140.290-11,25 5.625-54,23 4.248-49,27 150.163-15,99 1974 132.430-5,60 10.242 82,08 7.139 68,06 149.811-0,23 1975 155.359 17,31 9.614-6,13 5.399-24,37 170.372 13,72 1976 177.956 14,55 9.797 1,90 5.624 4,17 193.377 13,50 1977 177.886-0,04 10.307 5,21 5.773 2,65 193.966 0,30 1978 205.641 15,60 9.671-6,17 7.377 27,78 222.689 14,81 1979 256.812 24,88 11.271 16,54 5.592-24,20 273.675 22,90 1980 276.295 7,59 13.212 17,22 5.466-2,25 294.973 7,78 1981 290.401 5,11 16.189 22,53 8.309 52,01 314.899 6,76 1982 262.247-9,69 13.297-17,86 5.707-31,32 281.251-10,69 1983 287.183 9,51 10.147-23,69 8.318 45,75 305.648 8,67 1984 291.291 1,43 14.775 45,61 9.423 13,28 315.489 3,22 1985 288.404-0,99 12.635-14,48 10.359 9,93 311.398-1,30 1986 329.605 14,29 17.664 39,80 9.553-7,78 356.822 14,59 1987 367.835 11,60 13.043-26,16 7.791-18,44 388.669 8,93 1988 362.311-1,50 16.072 23,22 12.712 63,16 391.095 0,62 1989 376.579 3,94 13.466-16,21 11.003-13,44 401.048 2,54 1990 384.464 2,09 15.566 15,59 12.737 15,76 412.767 2,92 1991 399.088 3,80 16.755 7,64 12.462-2,16 428.305 3,76 1992 408.808 2,44 16.890 0,81 11.232-9,87 436.930 2,01 1993 410.048 0,30 17.266 2,23 11.554 2,87 438.868 0,44 1994 421.682 2,84 17.468 1,17 11.041-4,44 450.191 2,58 1995 429.569 1,87 16.824-3,69 11.408 3,32 457.801 1,69 1996 435.757 1,44 13.184-21,64 10.265-10,02 459.206 0,31 1997 396.155-9,09 21.050 59,66 11.213 9,24 428.418-6,70 1998 469.671 18,56 25.759 22,37 19.021 69,63 514.451 20,08 1999 493.940 5,17 26.208 1,74 11.539-39,34 531.687 3,35 2000 514.896 4,24 29.754 13,53 9.924-14,00 554.574 4,30 2001 541.476 5,16 18.111-39,13 9.647-2,79 569.234 2,64 2002 654.281 20,83 18.128 0,09 9.610-0,38 682.019 19,81 2003 644.657-1,47 17.007-6,18 9.591-0,20 671.255-1,58 2004 618.227-4,10 17.025 0,10 12.134 26,51 647.385-3,56 2005 615.556-0,43 17.034 0,06 7.775-35,92 640.365-1,08 2006 653.261 6,13 17.017-0,10 11.880 52,80 682.158 6,53 2007*) 656.964 0,57 17.019 0,01 12.780 7,58 686.763 0,68 Rata-rata Pertumbuhan (%) 1967-2006 4,25 4,96 5,78 4,11 1977-1999 3,84 6,86 5,58 3,77 2000-2007 5,47-0,75 6,39 5,12 Kontribusi (%) 1967 91,43 4,81 3,76 100,00 2007 95,66 2,48 1,86 100,00 1967-2007 93,68 3,89 2,43 100,00 Sumber Keterangan : Direktorat Jenderal Perkebunan : *) Angka Sementara PR : Perkebunan Rakyat PBN : Perkebunan Besar Negara PBS : Perkebunan Besar Swasta Produksi (Ton) 49 Pusat Data dan Informasi Pertanian 49

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 3.3. Kontribusi Provinsi Sentra Produksi Kopi di Indonesia, 2003-2007 Provinsi Produksi (Ton) 2003 2004 2005 2006 2007*) Rata-rata Share (%) Kumulatif (%) Sumsel 148.390 140.812 140.463 150.167 149.538 145.874 21,92 21,92 Lampung 142.523 142.599 142.761 141.305 140.983 142.034 21,34 43,26 Bengkulu 54.845 64.043 61.187 63.757 63.821 61.531 9,24 52,50 Sumatera Utara 57.351 46.560 41.493 50.032 50.475 49.182 7,39 59,89 Jawa Timur 43.285 44.237 43.009 50.132 51.116 46.356 6,96 66,85 N. Aceh Darussalam 47.576 37.100 35.012 41.894 42.308 40.778 6,13 72,98 Lainnya 177.284 172.034 176.440 184.871 188.522 179.830 27,02 100,00 Indonesia 671.254 647.385 640.365 682.158 686.763 665.585 100,00 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka Sementara Lampiran 3.4. Produksi Kopi Indonesia Menurut Jenis Kopi, 2003-2007 Robusta (Ton) Arabika (Ton) Tahun PR PBN PBS Indonesia PR PBN PBS Indonesia 2003 606.386 12.549 8.964 627.899 38.271 4.458 627 43.356 2004 569.104 12.564 10.492 592.161 49.123 4.460 1.642 55.225 2005 560.979 12.574 6.557 580.110 54.576 4.460 1.218 60.255 2006 565.234 12.559 9.592 587.385 88.027 4.458 2.288 94.773 2007*) 567.766 12.559 10.492 590.817 89.198 4.460 2.288 95.946 Rata2 573.894 12.561 9.219 595.674 63.839 4.459 1.613 69.911 Share (%) 89,50 10,50 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, diolah Pusdatin Keterangan : *) Angka Sementara 50 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 3. 5. Harga Kopi Robusta di Pasar Dalam Negeri dan Pasar Dunia, 1987-2006 Harga Pasar Harga Pasar Pertumb. Tahun Dalam Negeri Dunia (%) (Rp/Kg) (Cent US$/lb) Pertumb. (%) 1987 2.425 117,36 1988 2.321-4,30 132,38 12,80 1989 1.517-34,65 104,57-21,01 1990 1.350-10,99 90,51-13,45 1991 1.437 6,44 85,34-5,71 1992 1.409-1,93 67,02-21,47 1993 1.889 34,07 68,45 2,13 1994 4.295 127,35 144,56 111,19 1995 4.768 11,01 145,41 0,59 1996 4.308-9,65 115,67-20,45 1997 1.738-59,67 184,92 59,87 1998 12.321 609,07 132,11-28,56 1999 13.439 9,07 104,17-21,15 2000 8.800-34,52 89,92-13,68 2001 5.308-39,69 54,91-38,93 2002 4.940-6,94 56,36 2,64 2003 4.840-2,02 60,64 7,59 2004 5.379 11,14 75,4 24,34 2005 6.802 26,45 111,5 47,88 2006 10.013 47,20 142,6 27,89 Rata-rata Pertumbuhan (%) 1987-1997 5,77 10,45 1998-2006 68,86 0,89 Sumber : Direktorat Jenderal PPHP 51 Pusat Data dan Informasi Pertanian 51

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 3.6. Perkembangan Ekspor-Impor Kopi Indonesia, 1969-2006 Ekspor Impor Tahun Volume Pertumb. Nilai Pertumb. Volume Pertumb. Nilai Pertumb. (Ton) (%) (000 US$) (%) (Ton) (%) (000 US$) (%) Neraca (000 US$) 1969 123.144 59.760 0 0 59.760 1970 101.063-17,93 69.169 15,74 0-0 - 69.169 1971 71.967-28,79 55.296-20,06 0-0 - 55.296 1972 93.712 30,22 68.315 23,54 105-83 - 68.232 1973 93.562-0,16 71.913 5,27 167 59,05 109 31,33 71.804 1974 111.857 19,55 98.154 36,49 124-25,75 153 40,37 98.001 1975 128.401 14,79 99.836 1,71 71-42,74 176 15,03 99.660 1976 136.272 6,13 237.516 137,91 141 98,59 362 105,68 237.154 1977 160.363 17,68 599.279 152,31 209 48,23 558 54,14 598.721 1978 215.870 34,61 491.305-18,02 108-48,33 428-23,30 490.877 1979 220.205 2,01 614.263 25,03 50-53,70 235-45,09 614.028 1980 238.677 8,39 656.005 6,80 46-8,00 349 48,51 655.656 1981 210.595-11,77 345.943-47,27 71 54,35 492 40,97 345.451 1982 226.985 7,78 341.701-1,23 54-23,94 301-38,82 341.400 1983 241.238 6,28 427.258 25,04 36-33,33 227-24,58 427.031 1984 294.471 22,07 265.261-37,92 19-47,22 151-33,48 265.110 1985 282.671-4,01 556.203 109,68 41 115,79 83-45,03 556.120 1986 298.124 5,47 818.387 47,14 75 82,93 259 212,05 818.128 1987 286.316-3,96 535.566-34,56 103 37,33 207-20,08 535.359 1988 298.998 4,43 550.237 2,74 42-59,22 113-45,41 550.124 1989 357.035 19,41 493.549-10,30 39-7,14 112-0,88 493.437 1990 421.833 18,15 377.154-23,58 96 146,15 273 143,75 376.881 1991 380.666-9,76 372.431-1,25 1.365 1321,88 820 200,37 371.611 1992 269.352-29,24 236.774-36,42 1.208-11,50 1.081 31,83 235.693 1993 349.916 29,91 344.208 45,37 1.663 37,67 915-15,36 343.293 1994 289.288-17,33 745.744 116,66 901-45,82 1.238 35,30 744.506 1995 230.201-20,42 606.369-18,69 377-58,16 1.299 4,93 605.070 1996 366.602 59,25 595.268-1,83 309-18,04 573-55,89 594.695 1997 313.430-14,50 511.284-14,11 10.226 3209,39 13.890 2324,08 497.394 1998 357.550 14,08 584.244 14,27 2.825-72,37 3.962-71,48 580.282 1999 352.967-1,28 467.858-19,92 2.917 3,26 3.303-16,63 464.555 2000 340.887-3,42 326.256-30,27 13.748 371,31 11.227 239,90 315.029 2001 250.818-26,42 188.493-42,23 8.294-39,67 5.085-54,71 183.408 2002 325.009 29,58 223.916 18,79 7.637-7,92 4.413-13,22 219.503 2003 323.520-0,46 258.795 15,58 4.396-42,44 5.892 33,51 252.903 2004 344.077 6,35 294.113 13,65 5.690 29,44 6.867 16,55 287.246 2005 445.829 29,57 503.836 71,31 3.195-43,85 6.220-9,42 497.616 2006 414.105-7,12 588.502 16,80 6.600 106,57 11.760 89,07 576.742 Rata-rata Pertumbuhan (%) 1969-1997 5,29 17,36 189,14 117,62 1998-2006 4,54 6,44 33,81 23,73 1969-2006 5,11 14,71 148,02 92,76 Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah oleh Direktorat Jenderal Perkebunan dan Pusdatin 52 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 3.7. Luas Tanaman Menghasilkan, Produksi dan Produktivitas Kopi Dunia, 1967-2006 Tahun Luas TM Pertumb. Produksi Pertumb. Produktivitas Pertumb. (Ha) (%) (Ton) (%) (Kg/Ha) (%) 1967 9.416.532 4.337.104 461 1968 9.088.468-3,48 3.940.869-9,14 434-5,86 1969 9.004.407-0,92 4.277.412 8,54 475 9,55 1970 8.895.593-1,21 3.854.451-9,89 433-8,79 1971 9.081.746 2,09 4.668.098 21,11 514 18,63 1972 8.952.141-1,43 4.575.021-1,99 511-0,58 1973 8.886.505-0,73 4.190.037-8,41 472-7,74 1974 8.984.137 1,10 4.774.456 13,95 531 12,71 1975 9.007.043 0,25 4.607.019-3,51 511-3,75 1976 7.936.717-11,88 3.526.044-23,46 444-13,14 1977 8.995.994 13,35 4.404.102 24,90 490 10,19 1978 9.411.289 4,62 4.729.902 7,40 503 2,66 1979 9.774.801 3,86 4.975.648 5,20 509 1,28 1980 10.072.827 3,05 4.841.310-2,70 481-5,58 1981 10.393.758 3,19 6.084.624 25,68 585 21,80 1982 9.810.931-5,61 4.936.794-18,86 503-14,04 1983 10.150.601 3,46 5.586.016 13,15 550 9,36 1984 10.180.113 0,29 5.225.653-6,45 513-6,72 1985 10.367.330 1,84 5.829.443 11,55 562 9,54 1986 10.597.171 2,22 5.242.238-10,07 495-12,02 1987 10.871.030 2,58 6.390.272 21,90 588 18,83 1988 11.183.217 2,87 5.651.022-11,57 505-14,04 1989 11.282.281 0,89 5.932.151 4,97 526 4,05 1990 11.355.978 0,65 6.072.181 2,36 535 1,70 1991 10.933.801-3,72 6.107.337 0,58 559 4,46 1992 10.485.227-4,10 6.093.655-0,22 581 4,04 1993 10.179.119-2,92 5.561.450-8,73 546-5,99 1994 10.031.092-1,45 5.768.377 3,72 575 5,25 1995 9.801.944-2,28 5.539.260-3,97 565-1,73 1996 9.878.202 0,78 6.216.238 12,22 629 11,36 1997 9.849.462-0,29 5.983.709-3,74 608-3,46 1998 10.061.299 2,15 6.657.656 11,26 662 8,92 1999 10.295.293 2,33 6.766.264 1,63 657-0,68 2000 10.759.077 4,50 7.486.330 10,64 696 5,87 2001 10.690.211-0,64 7.274.711-2,83 681-2,20 2002 10.338.055-3,29 7.858.104 8,02 760 11,70 2003 10.354.390 0,16 7.177.348-8,66 693-8,81 2004 10.559.811 1,98 7.695.399 7,22 729 5,13 2005 10.420.008-1,32 7.301.186-5,12 701-3,85 2006 10.203.407-2,08 7.843.145 7,42 769 9,70 Rata-rata Pertumbuhan (%) 1967-1997 0,24 1,82 1,40 1998-2006 0,42 3,29 2,87 1967-2006 0,28 2,16 1,74 Sumber : FAO 53 Pusat Data dan Informasi Pertanian 53

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 3.8. Kontribusi Negara Produsen Kopi Terbesar di Dunia, 2002-2006 Produksi (Ton) Share Kumulatif Negara 2002 2003 2004 2005 2006 Rata-rata (%) (%) 1. Brazil 2.649.610 1.987.074 2.465.710 2.140.169 2.592.592 2.367.031 31,28 31,28 2. Vietnam 699.500 793.700 836.000 752.100 853.500 786.960 10,40 41,69 3. Kolombia 696.840 694.080 680.580 693.480 696.000 692.196 9,15 50,83 4. Indonesia 682.019 663.571 647.385 640.365 652.668 657.202 8,69 59,52 5. Mexico 313.027 310.861 310.861 287.555 287.555 301.972 3,99 63,51 6. Lainnya 2.817.108 2.728.062 2.754.863 2.787.517 2.716.422 2.760.794 36,49 100,00 Dunia 7.858.104 7.177.348 7.695.399 7.301.186 7.798.737 7.566.155 100,00 Sumber : FAO, diolah Pusdatin 54 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 3.9. Perkembangan Ekspor - Impor Kopi Dunia, 1967-2005 Ekspor Impor Tahun Volume Pertumb. Nilai Pertumb. Volume Pertumb. Nilai Pertumb. (000 Ton) (%) (000 US$) (%) (000 Ton) (%) (000 US$) (%) 1967 3.173 2.255.320 3.006 2.356.279 1968 3.368 6,16 2.444.820 8,40 3.401 13,16 2.624.522 11,38 1969 3.408 1,19 2.454.986 0,42 3.242-4,67 2.495.083-4,93 1970 3.251-4,61 3.045.963 24,07 3.249 0,21 3.178.966 27,41 1971 3.260 0,29 2.692.616-11,60 3.348 3,04 3.064.890-3,59 1972 3.541 8,61 3.194.056 18,62 3.440 2,74 3.335.490 8,83 1973 3.763 6,26 4.277.644 33,93 3.613 5,05 4.415.718 32,39 1974 3.361-10,68 4.232.168-1,06 3.426-5,18 4.696.704 6,36 1975 3.519 4,71 4.153.525-1,86 3.624 5,78 4.857.892 3,43 1976 3.604 2,40 8.153.047 96,29 3.716 2,52 8.420.875 73,34 1977 2.888-19,87 12.188.414 49,50 3.060-17,65 13.851.908 64,49 1978 3.396 17,60 10.742.712-11,86 3.367 10,05 12.047.602-13,03 1979 3.739 10,12 11.760.167 9,47 3.823 13,54 13.152.549 9,17 1980 3.677-1,66 12.081.220 2,73 3.714-2,85 13.656.063 3,83 1981 3.665-0,32 8.193.999-32,18 3.735 0,55 9.869.382-27,73 1982 3.887 6,04 8.963.442 9,39 3.799 1,72 9.970.138 1,02 1983 3.947 1,56 9.018.156 0,61 3.895 2,52 10.165.741 1,96 1984 4.128 4,58 10.502.088 16,45 3.941 1,18 11.151.959 9,70 1985 4.302 4,21 10.822.007 3,05 4.085 3,67 11.420.289 2,41 1986 3.977-7,54 14.625.155 35,14 4.108 0,56 16.125.614 41,20 1987 4.366 9,77 9.942.390-32,02 4.429 7,82 11.656.191-27,72 1988 4.112-5,82 9.961.301 0,19 4.121-6,96 11.031.629-5,36 1989 4.655 13,20 9.050.586-9,14 4.537 10,07 10.533.478-4,52 1990 4.403-5,40 6.139.901-32,16 3.842-15,31 6.316.498-40,03 1991 4.329-1,70 6.097.763-0,69 4.652 21,08 7.533.413 19,27 1992 4.682 8,16 5.177.265-15,10 4.811 3,41 6.655.999-11,65 1993 4.670-0,25 5.636.354 8,87 4.767-0,92 6.574.180-1,23 1994 4.432-5,11 10.748.819 90,71 4.666-2,10 11.349.419 72,64 1995 4.228-4,59 12.386.302 15,23 4.310-7,63 14.469.990 27,50 1996 4.802 13,56 9.969.801-19,51 4.740 9,98 11.513.708-20,43 1997 4.633-3,51 13.014.679 30,54 4.838 2,05 13.798.590 19,84 1998 5.009 8,11 12.171.295-6,48 4.929 1,89 13.009.763-5,72 1999 5.052 0,85 9.585.001-21,25 5.150 4,49 10.178.508-21,76 2000 5.263 4,18 8.263.074-13,79 5.248 1,90 9.198.315-9,63 2001 5.226-0,70 5.328.704-35,51 5.169-1,51 6.309.302-31,41 2002 5.482 4,91 5.112.324-4,06 5.272 2,00 5.648.254-10,48 2003 5.188-5,36 5.705.000 11,59 5.255-0,32 6.478.991 14,71 2004 5.583 7,61 7.058.188 23,72 5.488 4,42 7.494.055 15,67 2005 5.532-0,91 9.683.023 37,19 5.434-0,98 10.077.376 34,47 Rata-rata Pertumbuhan (%) 1967-1997 1,58 9,55 1,91 9,20 1998-2005 2,34-1,07 1,49-1,77 1967-2005 1,74 7,31 1,82 6,89 Sumber : FAO, diolah Pusdatin 55 Pusat Data dan Informasi Pertanian 55

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 3.10. Kontribusi Negara Eksportir Kopi Terbesar di Dunia, 2001-2005 Negara Volume Ekspor (000 Ton) Share Kumulatif 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata (%) (%) 1. Brazil 1.252 1.551 1.369 1.411 1.352 1.387 25,68 25,68 2. Vietnam 695 710 689 864 840 760 14,06 39,74 3. Kolombia 560 579 578 575 616 582 10,77 50,51 4. Indonesia 249 323 321 340 443 335 6,21 56,71 5. Guatemala 247 207 250 208 202 223 4,13 60,84 6. Lainnya 2.222 2.111 1.981 2.185 2.079 2.116 39,16 100,00 Dunia 5.226 5.482 5.188 5.583 5.532 5.402 100,00 Sumber : FAO, diolah Pusdatin Lampiran 3.11. Kontribusi Negara Importir Kopi Terbesar di Dunia, 2001-2005 Negara Volume Impor (000 Ton) Share Kumulatif 2001 2002 2003 2004 2005 Rata-rata (%) (%) 1. USA 1.158 1.163 1.220 1.239 1.214 1.199 22,51 22,51 2. Jerman 835 858 872 959 901 885 16,63 39,14 3. Jepang 382 401 378 401 413 395 7,42 46,56 4. Italia 369 368 390 395 409 386 7,26 53,81 5. Perancis 312 302 287 240 215 271 5,10 58,91 6. Spanyol 223 218 227 226 241 227 4,26 63,17 7. Lainnya 1.891 1.961 1.881 2.028 2.042 1.961 36,83 100,00 Dunia 5.169 5.273 5.255 5.488 5.434 5.324 100,00 Sumber : FAO, diolah Pusdatin 56 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «BAB IV. TEH Tanaman teh umumnya ditanam di perkebunan, dipanen secara manual, dan dapat tumbuh pada ketinggian 200-2.300 m dpl. Teh berasal dari kawasan India bagian Utara dan Cina Selatan. Ada dua kelompok varietas teh yang terkenal, yaitu varietas assamica yang berasal dari Assam dan varietas sinensis yang berasal dari Cina. Varietas assamica daunnya agak besar dengan ujung yang runcing, sedangkan varietas sinensis daunnya lebih kecil dan ujungnya agak tumpul. Pohonnya kecil karena seringnya pemangkasan maka tampak seperti perdu. Bila tidak dipangkas, akan tumbuh kecil ramping setinggi 5-10 m, dengan bentuk tajuk seperti kerucut (Anonim, 2007d). Negeri Cina dipercayai sebagai tempat kelahiran tanaman teh. Kisah yang paling banyak diikuti tentang asal usul Teh, adalah cerita tentang Kaisar Shen Nung yang hidup sekitar tahun 2737 sebelum masehi. Kaisar Shen Nung juga disebut sebagai Bapak Tanaman Obat-Obatan Tradisional Cina saat itu. Konon kabarnya, pada suatu hari ketika sang Kaisar sedang bekerja di salah satu sudut kebunnya, terlebih dahulu ia merebus air di kuali di bawah rindangan pohon. Secara kebetulan, angin bertiup cukup keras dan menggugurkan beberapa helai daun pohon tersebut dan jatuh kedalam rebusan air dan terseduh. Sewaktu sang Kaisar meminum air rebusan tersebut, ia merasa bahwa air yang diminumnya lebih sedap daripada air putih biasa, dan menjadikan badan lebih segar. Daun yang terseduh kedalam rebusan air sang Kaisar adalah daun teh dan sejak saat itu teh mulai dikenal dan disebarluaskan(anonim, 2007e). Teh dikenal di Indonesia sejak tahun 1686 ketika seorang Belanda bernama Dr. Andreas Cleyer membawanya ke Indonesia yang pada saat itu penggunaannya hanya sebagai tanaman hias. Baru pada tahun 1728, pemerintah Belanda mulai memperhatikan teh dengan mendatangkan biji-biji teh secara besar-besaran dari Cina untuk dibudayakan di pulau Jawa. Usaha tersebut tidak terlalu berhasil dan baru berhasil setelah pada tahun 1824 Dr. Van Siebold, seorang ahli bedah tentara Hindia Belanda yang pernah melakukan penelitian alam di Jepang, mempromosikan usaha pembudidayaan dengan bibit teh dari Jepang. Usaha Pusat Data dan Informasi Pertanian 57

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 perkebunan teh pertama dipelopori oleh Jacobson pada tahun 1828 dan sejak itu menjadi komoditas yang menguntungkan pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Gubernur Van Den Bosh, teh menjadi salah satu tanaman yang harus ditanam rakyat melalui politik Tanam Paksa (Culture Stetsel). Pada masa kemerdekaan, usaha perkebunan dan perdagangan teh diambil alih oleh pemerintah RI. Sekarang, perkebunan dan perdagangan teh juga dilakukan oleh pihak swasta(anonim, 2007f). Untuk mengetahui sejauh mana prospek komoditas teh dalam mendukung sektor pertanian di Indonesia, berikut ini akan disajikan perkembangan teh serta proyeksi penawaran dan permintaan teh untuk beberapa tahun ke depan. 4.1. PERKEMBANGAN LUAS AREAL, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TEH DI INDONESIA Perkembangan luas areal teh di Indonesia pada periode tahun 1970-2007 cenderung mengalami peningkatan (Gambar 4.1) dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 0,45%. Pertumbuhan positif luas areal teh terjadi pada periode 1970-1998 dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 1,20%, sedangkan periode sesudahnya mengalami penurunan rata-rata luas areal sebesar 1,86%. Penurunan luas areal teh yang cukup tinggi terjadi pada tahun 1971 dengan penurunan sebesar 12,07%. Sementara itu peningkatan luas areal teh terbesar terjadi pada tahun 1998 yakni sebesar 10,42% (Lampiran 4.1). 58 Pusat Data dan Informasi Pertanian

1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 (Ha) Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «160,000 150,000 140,000 130,000 120,000 110,000 100,000 90,000 Gambar 4.1. Perkembangan Luas Areal Teh di Indonesia, 1970 2007 Perkembangan luas areal teh berdasarkan pengusahaan pada periode tahun 1970-1979 sebagian besar merupakan perkebunan besar negara dengan rata-rata kontribusi sebesar 38,71%, diikuti perkebunan rakyat 36,20% dan sisanya merupakan perkebunan besar swasta. Tetapi setelah periode tersebut, perkebunan rakyat yang justru lebih mendominasi, diikuti perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Pada periode selanjutnya yaitu tahu 1980-2007, luas areal perkebunan rakyat mampu menggeser dominasi perkebunan besar negara dengan memberikan kontribusi sebesar 42,10%, sedangkan perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta memberikan kontribusi masing-masing sebesar 34,35% dan 23,55%. Untuk kondisi tahun 2007 (angka sementara) luas areal teh perkebunan rakyat sebesar 61.735 ha (46,58 %), perkebunan besar negara 42.747 ha (32,25 %) dan perkebunan besar swasta 28.049 ha (21,16 %). Secara rinci perkembangan luas areal teh per periode disajikan pada Tabel 4.1. Pusat Data dan Informasi Pertanian 59

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Tabel 4.1. Perkembangan Luas Areal Teh Per Periode, 1970-2007 Periode PR PBN PBS Jumlah 1970-1979 (Ha) 37.170 39.752 25.771 102.693 Kontribusi (%) 36,20 38,71 25,09 100,00 1980-2007(Ha) 56.724 46.279 31.725 134.727 Kontribusi (%) 42,10 34,35 23,55 100,00 2007(Ha) 61.735 42.747 28.049 132.531 Kontribusi (%) 46,58 32,25 21,16 100,00 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, diolah oleh Pusdatin Perkembangan luas areal teh secara umum berdasarkan pengusahaannya pada periode 1970-2007 cenderung mengalami peningkatan. Peningkatan ratarata tertinggi terjadi pada perkebunan besar swasta yaitu sebesar 0,94%, diikuti perkebunan rakyat dan perkebunan besar negara masing-masing sebesar 0,71% dan 0,41%. Peningkatan luas areal perkebunan besar swasta yang cukup tinggi mampu meningkatkan kontribusi luas areal teh pada tahun 1995. Sementara itu luas areal teh pada perkebunan besar negara sejak tahun 1991 sudah tidak banyak mengalami peningkatan luas areal bahkan cenderung terus menurun (Lampiran 4.1). Pola penurunan luas areal teh berdasarkan pengusahaannya, untuk perkebunan besar negara sudah dimulai sejak tahun 1991, diikuti perusahaan besar swasta semenjak tahun 1996 dan luas areal perkebunan rakyat mengalami penurunan sejak tahun 2002. Kondisi tersebut berlangsung sampai dengan tahun 2007 ini. Pola perkembangan luas areal teh menurut pengusahaannya dapat dilihat pada Gambar 4.2. 60 Pusat Data dan Informasi Pertanian

1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 (Ha) Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «70,000 65,000 60,000 55,000 50,000 45,000 40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 PR PBN PBS Gambar 4.2. Perkembangan Luas Areal Teh di Indonesia Menurut Pengusahaan, 1970 2007 Perkembangan produksi teh di Indonesia pada periode tahun 1970 2007 cenderung mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,42% per tahun walaupun dua tahun terakhir mengalami penurunan (Gambar 4.3). Seperti halnya produksi teh nasional, perkembangan produksi teh menurut pengusahaan dari tahun 1970-2007 juga cenderung mengalami peningkatan. Pertumbuhan produksi teh yang berasal dari perkebunan rakyat rata-rata setiap tahun meningkat sebesar 2,99%, perkebunan besar negara rata-rata tumbuh 2,34% dan rata-rata pertumbuhan tertinggi dicapai perkebunan besar swasta yakni sebesar 3,71% (Lampiran 4.2). Menurunnya produksi teh nasional pada dua tahun terakhir lebih banyak dikarenakan menurunnya produksi teh perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta. Dari dua pengusahaan ini lebih banyak produksi teh mengalami penurunan pada tahun 2006-2007 (Gambar 4.4). Pusat Data dan Informasi Pertanian 61

1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006 (Ton) 1970 1973 1976 1979 1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 (Ton)» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 180,000 160,000 140,000 120,000 100,000 80,000 60,000 40,000 Gambar 4.3. Perkembangan Produksi Teh di Indonesia, 1970-2007 110,000 95,000 80,000 65,000 50,000 35,000 20,000 5,000 PR PBN PBS Gambar 4.4. Perkembangan Produksi Teh di Indonesia Menurut Pengusahaan, 1970-2007 Pola perkembangan produksi teh nasional serupa dengan pola perkembangan produksi teh perkebunan besar negara. Hal ini tidak luput dari besarnya kontribusi produksi teh dari perkebunan besar negara terhadap produksi teh nasional. Sementara itu perkembangan produksi teh yang berasal dari perkebunan rakyat dan perkebunan besar swasta juga cenderung meningkat 62 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «tetapi 2-3 tahun terakhir mengalami penurunan, hanya saja penurunannya tidak sedrastis perkebunan besar negara. Peningkatan produksi teh perkebunan besar cenderung melandai sejak tahun 1990 sampai sekarang, bahkan cenderung mengalami penurunan. Sementara itu perkebunan besar swasta mengalami pertumbuhan yang stagnan bahkan cenderung mengalami penurunan sejak tahun 1998. Sedangkan produksi teh hasil perkebunan rakyat tetap mengalami peningkatan yang stabil walaupun peningkatannya tidak terlalu tinggi. Rata-rata pertumbuhan produksi teh perkebunan rakyat pada periode 1970-1990 sebesar 3,79% per tahun dengan rata-rata produksi 20.634 ton. Pada periode yang sama, perkebunan besar negara rata-rata tumbuh 5,59% per tahun dengan produksi rata-rata sebesar 63.061 ton. Sementara itu dari perkebunan besar swasta tumbuh sebesar 6,45% pertahun dengan produksi rata-rata sebesar 16.007 ton. Pada periode berikutnya yaitu 1991-1998 rata-rata pertumbuhan produksi teh untuk perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan swasta masing-masing sebesar 1,67%, 0,02% dan 5,42% per tahun. Pada periode 1999-2007 pertumbuhan positif hanya diperoleh dari perkebunan rakyat yakni sebesar 2,63%, sedangkan perkebunan besar negara dan swasta masing-masing mengalami penurunan sebesar 2,23% dan 0,81% (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Perkembangan Produksi Teh Menurut Pengusahaan, 1970 2007 Periode Produksi (Ton) PR PBN PBS Pertbh (%) Produksi (Ton) Pertbh (%) Produksi (Ton) Pertbh (%) 1970-1990 20.634 3,79 63.061 5,59 16.007 6,45 1991-1998 32.533 1,67 89.370 0,02 33.265 5,42 1999-2007 39.641 2,63 83.980-2,23 37.224-0,81 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, diolah oleh Pusdatin Berdasarkan produksi teh nasional, Jawa Barat merupakan penyumbang produksi nasional terbesar dengan kontribusi sebesar 71,65%. Provinsi Jawa Pusat Data dan Informasi Pertanian 63

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Tengah menempati posisi kedua dengan kontribusi sebesar 7,00%. Sumatera Utara menempati posisi ketiga dengan kontribusi sebesar 6,82% diikuti Jambi (3,24 %) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2,77 %) (Gambar 4.5). Provinsi Jambi dan Nanggroe Aceh Darussalam masuk dalam 5 provinsi sentra produksi teh nasional berasal dari perkebunan besar negara yang ada di provinsi tersebut. 71,65% 8,53% 2,77% 3,24% 6,82% 7,00% Jawa Barat Jawa Tengah Sumatera Utara Jambi NAD Lainnya Gambar 4.5. Provinsi Sentra Produksi Teh di Indonesia, 2005 4.2. PERKEMBANGAN KONSUMSI TEH DI INDONESIA Konsumsi teh (teh dalam bentuk produk konsumsi) per kapita per minggu berdasarkan data Susenas BPS sejak tahun 1984-2005 cenderung mengalami peningkatan walaupun berfluktuatif (Gambar 4.6). Pada tahun 1984, konsumsi teh per kapita per minggu sebesar 10,20 gram, kemudian mengalami penurunan sampai tahun 1990 menjadi 9,50 gram/minggu. Setelah itu konsumsi teh mengalami peningkatan menjadi 13,30 gram per minggu pada tahun 1996 (Tabel 4.3). Pada tahun 1999 terjadi penurunan konsumsi teh per kapita per minggu yang cukup signifikan, konsumsi per kapita pada tahun tersebut sebesar 11,20 gram/minggu. Pada tahun-tahun berikutnya konsumsi teh per kapita per minggu mengalami peningkatan sampai tahun 2002 menjadi 14,80 gram/minggu. Setelah itu konsumsi teh per kapita per minggu mengalami sedikit penurunan sampai dengan tahun 2005 menjadi sebesar 13,70 gram. 64 Pusat Data dan Informasi Pertanian

1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002 2005 (Gram/Minggu) Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «16,00 15,00 14,00 13,00 12,00 11,00 10,00 9,00 8,00 Gambar 4.6. Perkembangan Konsumsi Teh Per Kapita Per Minggu, 1984 2005 Tabel 4.3. Perkembangan Konsumsi Teh Per Kapita Per Minggu, 1984 2005 Tahun Gram/Minggu 1984 10,20 1985*) 10,13 1986*) 10,07 1987 10,00 1988*) 9,83 1989*) 9,66 1990 9,50 1991*) 9,95 1992*) 10,41 1993 10,90 1994*) 11,65 1995*) 12,45 1996 13,30 1997*) 12,56 1998*) 11,86 1999 11,20 2000 12,29 2001 13,49 2002 14,80 2003 13,60 2004 12,90 2005 13,70 Sumber : Susenas, BPS Keterangan : *) Hasil interpolasi Pusdatin Pusat Data dan Informasi Pertanian 65

1983 1986 1989 1992 1995 1998 2001 2004 (Rp/Kg)» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 4.3. PERKEMBANGAN HARGA TEH DI INDONESIA Perkembangan harga teh rata-rata di tingkat produsen di Indonesia pada periode tahun 1983 2006 cenderung terus meningkat (Gambar 4.7). Harga teh daun kering di tingkat produsen rata-rata pada tahun 1983 sebesar Rp. 682,56/kg dan pada tahun 2006 sudah mencapai Rp. 4.347,22/kg atau sudah lebih dari 6 kali lipat dibandingkan tahun 1983. Peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 1998 dimana peningkatannya mencapai 31,04% dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara itu penurunan harga teh selama periode 1983-2006 hanya terjadi pada tahun 2004 (Lampiran 4.6). Peningkatan harga teh pada tahun 1998 disebabkan karena menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini terjadi mengingat bahwa sebagian besar komoditas teh merupakan komoditas ekspor sehingga turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS berpengaruh pada meningkatnya harga teh di dalam negeri. 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0 Gambar 4.7. Perkembangan Harga Teh, 1983 2006 66 Pusat Data dan Informasi Pertanian

1969 1973 1977 1981 1985 1989 1993 1997 2001 2005 4.4. PERKEMBANGAN EKSPOR- IMPOR TEH INDONESIA Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Gambar 4.8 menyajikan perkembangan volume ekspor dan impor teh Indonesia pada periode tahun 1969 2006. Perkembangan ekspor teh Indonesia berfluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Fluktuasi ekspor teh Indonesia terjadi selama periode 1981-1990 dengan perubahan jumlah ekspor yang sangat tinggi. Perkembangan ekspor teh sejak tahun 1994 sampai sekarang cenderung stabil tanpa mengalami peningkatan berarti. Periode sebelumnya justru peningkatan ekspor teh terlihat sangat tinggi walaupun memang berfluktuasi. Pada sisi impor, volume impor teh Indonesia sangat kecil bila dibandingkan dengan volume ekspornya. Volume impor tertinggi selama periode 1969-2006 terjadi pada tahun 1990 dengan volume impor sebesar 6.699 ton. Setelah tahun tersebut volume impor masih dibawah 6.000 ton. Pada tahun 2006 volume impor Indonesia sebesar 5.293 ton (Lampiran 4.7). (Ton) 140.000 120.000 100.000 80.000 60.000 40.000 20.000 - Ekspor Impor Gambar 4.8. Perkembangan Volume Ekspor dan Volume Impor Teh Indonesia, 1969 2006 Pusat Data dan Informasi Pertanian 67

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 4.5. PERKEMBANGAN LUAS TANAMAN MENGHASILKAN, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TEH DUNIA Perkembangan luas tanaman menghasilkan, produksi dan produktivitas teh dunia selama periode tahun 1960-2006 disajikan pada Gambar 4.9, Gambar 4.10, dan Gambar 4.11. Secara umum perkembangan luas tanaman menghasilkan teh di dunia terus meningkat dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2006, hanya saja pada tahun 1984-1985 terjadi penurunan luas yang signifikan. Namun setelah tahun-tahun tersebut luas tanaman menghasilkan teh dunia mengalami peningkatan secara perlahan-lahan (Gambar 4.9). Gambar 4.4. Perkembangan Luas Tanaman Menghasilkan Teh Dunia, 1960-2006 Perkembangan produksi teh dari tahun 1960 sampai dengan tahun 2006 juga cenderung meningkat, walaupun pada tahun-tahun tertentu terjadi penurunan produksi. Namun penurunan produksi tersebut tidak signifikan. Bahkan pada tahun 1984 1985 walaupun luas areal teh mengalami penurunan tetapi dari segi produksi justru mengalami peningkatan (Gambar 4.10). Hal tersebut dikarenakan konversi luas areal teh yang terjadi pada tahun 1984-1985 berasal dari tanaman tua ataupun tanaman rusak sehingga tidak signifikan berpengaruh pada produksi teh dunia. 68 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Gambar 4.10. Perkembangan Produksi Teh Dunia, 1960-2006 Perkembangan produktivitas teh dunia selama periode tahun 1960-2006 mempunyai pola meningkat. Hanya saja pada tahun 1984-1985 terjadi peningkatan produktivitas yang tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan produktivitas tersebut terjadi karena menurunnya jumlah luas areal teh yang kurang produktif akibat dari konversi luasan. Namun pada tahun-tahun berikutnya pertumbuhan produktivitas teh dunia juga kembali pada kisaran pertubuhan produktivitas sebelumnya (Gambar 4.11). Gambar 4.11. Perkembangan Produktivitas Teh Dunia, 1960-2006 Separuh dari rata-rata produksi teh dunia selama periode 2002-2006 disumbang dari dua negara penghasil teh terbesar dunia, yaitu Cina (26,95%) dan Pusat Data dan Informasi Pertanian 69

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 India (25,12%). Menempati posisi ketiga sampai kelima sebagai penghasil teh dunia adalah Srilangka (9,11%), Kenya (9,08%) dan Turki (5,37%). Indonesia menempati posisi keenam diikuti oleh Vietnam dengan kontribusi masing-masing sebesar 4,94% dan 3,49% (Gambar 4.12). Gambar 4.12. Rata-rata Kontribusi Produksi Teh Dunia, 2002-2006 4.6. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR TEH DUNIA Kontribusi volume ekspor teh dunia disajikan pada Gambar 4.13. Selama kurun waktu 2002-2006 negara pengekspor teh terbesar di dunia adalah China dengan persentase sebesar 27,65%. Hal tersebut dapat dimaklumi karena China juga merupakan negara produsen teh terbesar di dunia. Disusul Kenya dan India dengan volume ekspor masing-masing sebesar 24,12% dan 17,63% dari ekspor dunia. Sementara itu Indonesia berada pada posisi keempat sebagai negara terbesar pengekspor teh dunia dengan persentase 9,94% diikuti oleh Argentina (6,31%). 70 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «24,12% 17,63% 27,65% 14,36% 6,31% 9,94% China Kenya India Indonesia Argentina Lainnya Gambar 4.13. Kontribusi Volume Ekspor Teh Dunia, 2002-2006 Pada sisi impor, persentase volume impor teh dunia disajikan pada Gambar 4.14. Selama kurun waktu 2002-2006 negara pengimpor teh terbesar di dunia adalah Jepang dengan persentase sebesar 12,42%. Hal tersebut dapat dipahami mengingat Jepang merupakan negara dengan tingkat konsumsi teh per kapita tinggi di dunia setelah Inggris, namun dari sisi produksinya relatif kecil. Disusul Jerman dan Mesir dengan volume impor masing-masing sebesar 9,72% dan 8,30% dari impor dunia. China sebagai negara produsen dan eksportir teh terbesar dunia juga memiliki volume impor dengan persentase 7,95%. Sementara itu Indonesia berada pada posisi ke-21 sebagai negara pengimpor teh dunia. Pusat Data dan Informasi Pertanian 71

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 12,42% 48,42% 9,72% 5,07% 7,95% 8,13% 8,30% Jepang Jerman Mesir Irak China Afganistan Lainnya Gambar 4.14. Kontribusi Volume Impor Teh Dunia, 2002-2006 4.7. PROYEKSI PENAWARAN TEH 2007-2009 Penawaran suatu komoditas biasanya dicerminkan oleh respon atau keputusan produsen terhadap mekanisme pasar dan pengaruh faktor non pasar (faktor produksi). Dalam hal ini penawaran suatu komoditas direpresentasikan oleh produksi dari komoditas tersebut. Pada analisis ini dilakukan permodelan berdasarkan tahun, sehingga series data yang digunakan adalah data per tahun. Hasil analisis fungsi respons produksi teh dengan menggunakan metode analisis regresi berganda menunjukkan bahwa produksi teh dipengaruhi beberapa peubah, yaitu luas areal teh dan harga ril teh daun kering di tingkat produsen. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh koefisien determinasi (R 2 ) sebesar 71,80%. Hal ini berarti 71,80% keragaman pada produksi teh dapat dijelaskan oleh peubah-peubah yang digunakan dalam model tersebut. Parameter estimasi produksi teh bersifat nyata terhadap pengaruh faktor luas areal dan harga ril teh daun kering di tingkat produsen. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa produksi teh sebenarnya sangat dipengaruhi oleh faktor dari produksi yakni luas areal dan faktor pasar yakni harga ril teh daun kering di tingkat produsen. Artinya kedua faktor tersebut cukup berpengaruh terhadap produksi teh nasional. 72 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa komoditas teh merupakan tanaman tahunan yang luasannya tidak dapat berubah dalam jangka pendek karena faktor-faktor tersebut di atas sehingga produksi hanya dipengaruhi oleh luas areal dan produksi tahun sebelumnya. Dengan demikian sebenarnya produksi teh lebih banyak dipengaruhi oleh luas areal teh dan umur tanaman teh yang mempengaruhi terhadap produktivitas teh. Sementara itu faktor produksi dan harga teh secara nyata tidak berpengaruh pada produksi teh. Koefisien untuk peubah luas areal teh sebesar 0,8437 menunjukkan bahwa jika luas areal meningkat meningkat sebesar satu satuan luas maka produksi teh tahun ini akan meningkat sebesar 0,8437 satuan produksi. Sedangkan koefisien harga ril teh daun kering di tingkat produsen sebesar 5,416 artinya setiap kenaikan harga ril teh daun kering di tingkat produsen sebesar satu satuan harga maka akan meningkatkan produksi teh sebesar 5,416 satuan produksi (Tabel 4.4). Tabel 4.4. Hasil Analisis Fungsi Respon Produksi Teh Peubah Koefisien P Value Intersep 27.295 0,255 Luas Areal Teh 0,8437 0,000 Harga Ril Daun Teh Kering di Tingkat Produsen 5,416 0,027 R 2 = 71,80% Berdasarkan hasil analisis fungsi repon produksi teh tersebut dilakukan proyeksi tingkat ketersediaan teh pada tahun 2008-2009 (Tabel 4.5). Pada tahun 2008 diproyeksikan produksi teh di Indonesia mencapai 154.752 ton, namun pada tahun 2009 diperkirakan produksi teh akan mengalami penurunan sebesar 1,46% menjadi 152.487 ton. Ketersediaan teh nasional selama periode 2007-2009 diperkirakan akan meningkat rata-rata sebesar 5,64% per tahun. Peningkatan produksi ini diharapkan dapat tercapai dengan melakukan perbaikan dan pengembangan areal tanaman teh. Pusat Data dan Informasi Pertanian 73

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Tabel 4.5. Proyeksi Produksi Teh di Indonesia, 2007 2009 Tahun Produksi (Ton) Pertumb. (%) 2007*) 137.248 2008 154.752 12,75 2009 152.487-1,46 Rata-rata Pertumbuhan (%/Tahun) 5,64 Keterangan : *) Angka Sementara, Direktorat Jenderal Perkebunan 4.8. PROYEKSI PERMINTAAN TEH 2007-2009 Proyeksi permintaan teh di Indonesia dilakukan dengan menggunakan pendekatan ketersediaan teh daun kering untuk kebutuhan/konsumsi dalam negeri. Ketersediaan teh daun kering untuk kebutuhan/konsumsi dalam negeri merupakan pengurangan produksi daun teh kering dikurangi dengan neraca ekspor impor teh di Indonesia. Proyeksi permintaan teh dilakukan dengan menggunakan analisis trend berdasarkan series data Susenas BPS dari tahun 1970-2006. Hasil proyeksi tersebut disajikan pada Tabel 2.5. Tabel 4.6. Hasil Proyeksi Permintaan Teh di Indonesia, 2007-2009 Tahun Proyeksi Permintaan Langsung (Ton) 2007 75.480 2008 77.066 2009 78.652 Rata-rata pertumbuhan (%/th) 2,08 74 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Secara umum permintaan teh di Indonesia diproyeksikan akan mengalami peningkatan rata-rata sebesar 2,08% per tahun. Peningkatan ini sudah mencakup peningkatan jumlah penduduk. 4.9. PROYEKSI SURPLUS/DEFISIT TEH 2007-2009 Berdasarkan hasil perhitungan fungsi penawaran dan fungsi permintaan, maka diperoleh proyeksi penawaran dan permintaan teh untuk tahun 2007-2009 dalam bentuk teh daun kering. Berdasarkan hasil tersebut pada tahun 2007 diperkirakan ketersediaan teh di Indonesia masih mengalami surplus sebesar 61.768 ton. Pada 2008 posisi surplus ketersediaan teh meningkat menjadi 77.686 ton, namun tahun 2009 sedikit menurun menjadi 73.835 ton (Tabel 4.7). Surplus ketersediaan teh tersebut akan diserap oleh pasar internasional melalui kegiatan ekspor teh. Tabel 4.7. Proyeksi Surplus/Defisit Teh, 2007 2009 Tahun Ketersediaan (Ton) Konsumsi Langsung Dalam Negeri (Ton) Surplus/Defisit (Ton) 2007 137.248 75.480 61.768 2008 154.752 77.066 77.686 2009 152.487 78.652 73.835 Pusat Data dan Informasi Pertanian 75

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 4.1. Perkembangan Luas Areal Teh Menurut Pengusahaan di Indonesia, 1970-2006 LUAS AREAL (Ha) Tahun Pertbh. Pertbh. Pertbh. PR PBN PBS Jumlah (%) (%) (%) 1970 51.721 39.887 24.474 116.082 Pertbh. (%) 1971 36.230-29,95 39.850-0,09 25.994 6,21 102.074-12,07 1972 34.612-4,47 33.603-15,68 30.771 18,38 98.986-3,03 1973 33.339-3,68 41.227 22,69 26.551-13,71 101.117 2,15 1974 34.049 2,13 41.401 0,42 26.056-1,86 101.506 0,38 1975 34.249 0,59 41.401 0,00 24.880-4,51 100.530-0,96 1976 35.396 3,35 41.100-0,73 24.764-0,47 101.260 0,73 1977 35.181-0,61 38.721-5,79 21.468-13,31 95.370-5,82 1978 37.097 5,45 39.519 2,06 25.386 18,25 102.002 6,95 1979 39.829 7,36 40.807 3,26 27.362 7,78 107.998 5,88 1980 41.329 3,77 40.442-0,89 30.929 13,04 112.700 4,35 1981 42.288 2,32 40.939 1,23 23.310-24,63 106.537-5,47 1982 45.414 7,39 41.143 0,50 24.798 6,38 111.355 4,52 1983 45.944 1,17 42.624 3,60 23.128-6,73 111.696 0,31 1984 50.859 10,70 45.605 6,99 21.582-6,68 118.046 5,69 1985 52.652 3,53 48.005 5,26 21.883 1,39 122.540 3,81 1986 54.374 3,27 48.606 1,25 23.313 6,53 126.293 3,06 1987 50.252-7,58 47.872-1,51 22.392-3,95 120.516-4,57 1988 50.770 1,03 47.567-0,64 26.908 20,17 125.245 3,92 1989 52.152 2,72 49.543 4,15 27.680 2,87 129.375 3,30 1990 51.238-1,75 49.495-0,10 28.347 2,41 129.080-0,23 1991 51.468 0,45 51.662 4,38 30.575 7,86 133.705 3,58 1992 53.040 3,05 51.322-0,66 33.145 8,41 137.507 2,84 1993 55.678 4,97 51.296-0,05 35.609 7,43 142.583 3,69 1994 57.517 3,30 50.507-1,54 37.500 5,31 145.524 2,06 1995 61.202 6,41 49.390-2,21 41.839 11,57 152.431 4,75 1996 65.372 6,81 43.282-12,37 33.828-19,15 142.482-6,53 1997 64.498-1,34 43.240-0,10 34.484 1,94 142.222-0,18 1998 65.841 2,08 50.446 16,67 40.752 18,18 157.039 10,42 1999 65.272-0,86 49.157-2,56 42.410 4,07 156.839-0,13 2000 67.100 2,80 44.263-9,96 42.312-0,23 153.675-2,02 2001 67.580 0,72 44.554 0,66 38.738-8,45 150.872-1,82 2002 66.289-1,91 44.608 0,12 39.810 2,77 150.707-0,11 2003 64.742-2,33 41.988-5,87 36.874-7,38 143.604-4,71 2004 61.902-4,39 44.768 6,62 35.878-2,70 142.548-0,74 2005 60.771-1,83 44.066-1,57 34.284-4,44 139.121-2,40 2006 60.990 0,36 46.661 5,89 27.939-18,51 135.590-2,54 2007*) 61.735 1,22 42.747-8,39 28.049 0,39 132.533-2,25 Rata-rata 51.574 0,71 44.687 0,41 30.312 0,94 126.573 0,45 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 76 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 4.2. Perkembangan Produksi Teh Menurut Pengusahaan di Indonesia, 1970-2006 Tahun PR Pertbh. (%) PBN Pertbh. (%) PBS Pertbh. (%) Jumlah Pertbh. (%) 1970 20.563 34.326 9.277 64.166 1971 14.511-29,43 36.527 6,41 9.954 7,30 60.992-4,95 1972 11.947-17,67 37.442 2,50 10.535 5,84 59.924-1,75 1973 14.263 19,39 43.252 15,52 10.069-4,42 67.584 12,78 1974 13.833-3,01 40.148-7,18 11.036 9,60 65.017-3,80 1975 14.096 1,90 46.221 15,13 9.772-11,45 70.089 7,80 1976 13.280-5,79 49.449 6,98 11.036 12,93 73.765 5,24 1977 17.303 30,29 51.391 3,93 14.234 28,98 82.928 12,42 1978 17.424 0,70 58.977 14,76 15.709 10,36 92.110 11,07 1979 19.069 9,44 61.240 3,84 16.908 7,63 97.217 5,54 1980 20.489 7,45 68.184 11,34 17.502 3,51 106.175 9,21 1981 23.769 16,01 71.886 5,43 13.480-22,98 109.135 2,79 1982 16.511-30,54 60.648-15,63 15.573 15,53 92.732-15,03 1983 22.858 38,44 70.360 16,01 17.099 9,80 110.317 18,96 1984 24.290 6,26 84.475 20,06 17.678 3,39 126.443 14,62 1985 30.056 23,74 80.149-5,12 17.259-2,37 127.464 0,81 1986 31.124 3,55 79.314-1,04 19.043 10,34 129.181 1,35 1987 25.394-18,41 79.801 0,61 20.901 9,76 126.096-2,39 1988 25.564 0,67 84.772 6,23 23.464 12,26 133.800 6,11 1989 25.590 0,10 90.368 6,60 26.416 12,58 142.374 6,41 1990 31.381 22,63 95.346 5,51 29.192 10,51 155.919 9,51 1991 27.898-11,10 84.035-11,86 27.587-5,50 139.520-10,52 1992 31.834 14,11 94.023 11,89 27.844 0,93 153.701 10,16 1993 36.631 15,07 95.126 1,17 33.237 19,37 164.994 7,35 1994 30.294-17,30 78.383-17,60 30.545-8,10 139.222-15,62 1995 32.593 7,59 87.432 11,54 33.988 11,27 154.013 10,62 1996 34.256 5,10 96.624 10,51 38.537 13,38 169.417 10,00 1997 32.619-4,78 88.259-8,66 32.770-14,96 153.648-9,31 1998 34.137 4,65 91.076 3,19 41.612 26,98 166.825 8,58 1999 34.561 1,24 86.099-5,46 40.343-3,05 161.003-3,49 2000 39.466 14,19 84.132-2,28 38.989-3,36 162.587 0,98 2001 40.160 1,76 86.207 2,47 40.500 3,88 166.867 2,63 2002 44.773 11,49 80.426-6,71 39.995-1,25 165.194-1,00 2003 47.079 5,15 82.082 2,06 40.660 1,66 169.821 2,80 2004 40.200-14,61 89.303 8,80 36.448-10,36 165.951-2,28 2005 37.746-6,10 89.959 0,73 38.386 5,32 166.091 0,08 2006 37.355-1,04 81.847-9,02 27.657-27,95 146.858-11,58 2007*) 40.929 9,57 68.666-16,10 27.653-0,01 137.248-6,54 Rata-rata : 1970-2007 27.785 2,99 73.367 2,34 24.550 3,71 125.694 2,42 1970-1998 23.916 3,18 70.318 4,00 20.767 6,16 114.992 3,86 1999-2007 40.252 2,41 83.191-2,84 36.737-3,90 160.180-2,04 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan PRODUKSI (Ton) Pusat Data dan Informasi Pertanian 77

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 4.3. Perkembangan Tanaman Menghasilkan (TM) dan Produksi Teh Perkebunan Rakyat Menurut Provinsi di Indonesia, 2003-2007 Perkebunan Rakyat No Provinsi Luas Tanaman Menghasilkan (Ha) Produksi (Ton) 2003 2004 2005 2006 2007 2003 2004 2005 2006 2007 1. NANGGROE ACEH D. - - - - - - - - - - 2. SUMATERA UTARA 270 270 - - - 356 356 - - - 3. SUMATERA BARAT 1.310 1.310 971 1.295 2.255 1.254 1.060 812 373 2.345 4. R I A U - - - - - - - - - - 5. KEPULAUAN RIAU - - - - - - - - - - 6. JAMBI - - - - - - - - - - 7. SUMATERA SELATAN - - - - - - - - - - 8. BANGKA BEUTUNG 1 1 - - - 1 - - - - 9. BENGKULU 29 - - - - 21 - - - - 10. LAMPUNG 42 33 - - - 34 28 - - - SUMATERA 1.652 1.614 971 1.295 2.255 1.666 1.444 812 373 2.345 11. D.KJ. JAKARTA - - - - - - - - - - 12. JAWA BARAT 47.164 37.804 37.330 37.328 37.328 38.674 33.449 33.755 32.301 33.903 13. BANTEN - - - 18 18 - - - 4 4 14. JAWA TENGAH 4.753 4.586 4.571 4.552 4.552 6.561 5.010 2.861 4.400 4.400 15. D.I. YOGYAKARTA 236 267 269 192 192 95 276 297 252 252 16. JAWA TIMUR 182 58 58 32 32 83 21 21 25 25 JAWA 52.335 42.715 42.228 42.122 42.122 45.413 38.756 36.934 36.982 38.584 17. BALI - - - - - - - - - - 18. NUSA TENGGARA BARAT - - - - - - - - - - 19. NUSA TENGGARA TIMUR - - - - - - - - - - NUSA TENGGARA - - - - - - - - - - 20. KALIMANTAN BARAT - - - - - - - - - - 21. KALIMANTAN TENGAH - - - - - - - - - - 22. KALIMANTAN SELATAN - - - - - - - - - - 23. KALIMANTAN TIMUR - - - - - - - - - - KALIMANTAN - - - - - - - - - - 24. SULAWESI UTARA - - - - - - - - - - 25. GORONTALO - - - - - - - - - - 26. SULAWESI TENGAH - - - - - - - - - - 27. SULAWESI SELATAN - - - - - - - - - - 28. SULAWESI BARAT - - - - - - - - - - 29. SULAWESI TENGGARA - - - - - - - - - - SULAWESI - - - - - - - - - - 30. M A L U K U - - - - - - - - - - 31. MALUKU UTARA - - - - - - - - - - 32. PAPUA - - - - - - - - - - 33. PAPUA BARAT - - - - - - - - - - MALUKU + PAPUA - - - - - - - - - - INDONESIA 53.987 44.329 43.199 43.417 44.377 47.079 40.200 37.746 37.355 40.929 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 78 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 4.4. Perkembangan Tanaman Menghasilkan (TM) dan Produksi Teh Perkebunan Besar Negara Menurut Provinsi di Indonesia, 2003-2007 No Provinsi Perkebunan Besar Negara Luas Tanaman Menghasilkan (Ha) Produksi (Ton) 2003 2004 2005 2006 2007 2003 2004 2005 2006 2007 1. NANGGROE ACEH D. - - - 7.993 4.611 - - - 17.503 4.322 2. SUMATERA UTARA 8.193 7.993 7.992 - - 16.820 17.503 17.500 - - 3. SUMATERA BARAT 577 1.686 577 577 577 1.555 2.128 1.338 1.338 1.338 4. R I A U - - - - - - - - - - 5. KEPULAUAN RIAU 2.575 - - - - 5.850 - - - - 6. JAMBI 1.463 2.510 2.525 2.553 2.553 2.637 5.630 5.630 5.817 5.817 7. SUMATERA SELATAN - 1.481 1.481 1.245 1.245-1.962 2.371 2.375 2.375 8. BANGKA BEUTUNG - - - - - - - - - - 9. BENGKULU - 790 790 797 797-1.185 1.185 1.175 1.175 10. LAMPUNG - - - - - - - - - - SUMATERA 12.808 14.460 13.365 13.165 9.783 26.862 28.408 28.024 28.208 15.027 11. D.KJ. JAKARTA - - - - - - - - - - 12. JAWA BARAT 23.705 25.436 26.283 28.468 28.468 53.766 56.642 58.463 48.939 48.939 13. BANTEN - - - - - - - - - - 14. JAWA TENGAH 1.439 1.454 1.454 1.455 1.455 2.415 2.325 2.325 232 2.320 15. D.I. YOGYAKARTA - - - - - - - - - - 16. JAWA TIMUR 2.577 1.954 2.333 1.345 1.345 4.113 3.113 2.332 238 2.380 JAWA 27.721 28.844 30.070 31.268 31.268 60.294 62.080 63.120 49.409 53.639 17. BALI - - - - - - - - - - 18. NUSA TENGGARA BARAT - - - - - - - - - - 19. NUSA TENGGARA TIMUR - - - - - - - - - - NUSA TENGGARA - - - - - - - - - - 20. KALIMANTAN BARAT - - - - - - - - - - 21. KALIMANTAN TENGAH - - - - - - - - - - 22. KALIMANTAN SELATAN - - - - - - - - - - 23. KALIMANTAN TIMUR - - - - - - - - - - KALIMANTAN - - - - - - - - - - 24. SULAWESI UTARA - - - - - - - - - - 25. GORONTALO - - - - - - - - - - 26. SULAWESI TENGAH - - - - - - - - - - 27. SULAWESI SELATAN - - - - - - - - - - 28. SULAWESI BARAT - - - - - - - - - - 29. SULAWESI TENGGARA - - - - - - - - - - SULAWESI - - - - - - - - - - 30. M A L U K U - - - - - - - - - - 31. MALUKU UTARA - - - - - - - - - - 32. PAPUA - - - - - - - - - - 33. PAPUA BARAT - - - - - - - - - - MALUKU + PAPUA - - - - - - - - - - INDONESIA 40.529 43.304 43.435 44.433 41.051 87.156 90.488 91.144 77.617 68.666 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Pusat Data dan Informasi Pertanian 79

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 4.5. Perkembangan Tanaman Menghasilkan (TM) dan Produksi Teh Perkebunan Besar Swasta Menurut Provinsi di Indonesia, 2003-2007 No Provinsi Perkebunan Besar Swasta Luas Tanaman Menghasilkan (Ha) Produksi (Ton) 2003 2004 2005 2006 2007 2003 2004 2005 2006 2007 1. NANGGROE ACEH D. - - - - - - - - - - 2. SUMATERA UTARA 21 129 129 129 129 34 299 299 299 299 3. SUMATERA BARAT 2.127 1.310 1.686 40 40 3.700 1.060 2.047 74 74 4. R I A U - - - - - - - - - - 5. KEPULAUAN RIAU - - - - - - - - - - 6. JAMBI - - - - - - - - - - 7. SUMATERA SELATAN - - - - - - - - - - 8. BANGKA BEUTUNG - - - - - - - - - - 9. BENGKULU 1.424 790 790 - - 1.859 1.185 840 - - 10. LAMPUNG 18 30 30 - - 9 26 26 - - SUMATERA 3.590 2.259 2.635 169 169 5.602 2.570 3.212 373 373 11. D.KJ. JAKARTA - - - - - - - - - - 12. JAWA BARAT 21.392 19.840 19.668 19.277 19.277 27.120 27.210 28.448 21.830 21.818 13. BANTEN - - - - - - - - - - 14. JAWA TENGAH 3.620 3.844 3.844 2.431 2.431 5.239 4.885 4.915 3.681 3.681 15. D.I. YOGYAKARTA - - - - - - - - - - 16. JAWA TIMUR 1.406 661 704 396 396 1.339 631 672 641 641 JAWA 26.418 24.345 24.216 22.104 22.104 33.698 32.726 34.035 26.152 26.140 17. BALI - - - - - - - - - - 18. NUSA TENGGARA BARAT - - - - - - - - - - 19. NUSA TENGGARA TIMUR - - - - - - - - - - NUSA TENGGARA - - - - - - - - - - 20. KALIMANTAN BARAT - - - - - - - - - - 21. KALIMANTAN TENGAH - - - - - - - - - - 22. KALIMANTAN SELATAN - - - - - - - - - - 23. KALIMANTAN TIMUR - - - - - - - - - - KALIMANTAN - - - - - - - - - - 24. SULAWESI UTARA - - - - - - - - - - 25. GORONTALO - - - - - - - - - - 26. SULAWESI TENGAH 750 801 801 805 910 945 1.002 1.021 1.005 1.010 27. SULAWESI SELATAN 111 118 118 127 127 121 150 118 127 130 28. SULAWESI BARAT - - - - - - - - - - 29. SULAWESI TENGGARA - - - - - - - - - - SULAWESI 861 919 919 932 1.037 1.066 1.152 1.139 1.132 1.140 30. M A L U K U - - - - - - - - - - 31. MALUKU UTARA - - - - - - - - - - 32. PAPUA - - - - - - - - - - 33. PAPUA BARAT - - - - - - - - - - MALUKU + PAPUA - - - - - - - - - - INDONESIA 30.869 27.523 27.770 23.205 23.310 40.366 36.448 38.386 27.657 27.653 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan 80 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 4.6. Perkembangan Harga Teh di Tingkat Produsen dalam Bentuk Daun Kering, 1983-2006 Tahun Harga Produsen (Rp/Kg) 1983 682,56 Pertumbuhan (%) 1984 804,84 17,91 1985 868,60 7,92 1986 943,15 8,58 1987 995,81 5,58 1988 1.088,58 9,32 1989 1.113,91 2,33 1990 1.159,88 4,13 1991 1.283,76 10,68 1992 1.365,11 6,34 1993 1.377,32 0,89 1994 1.454,91 5,63 1995 1.719,21 18,17 1996 1.919,12 11,63 1997 2.073,81 8,06 1998 2.717,45 31,04 1999 3.141,78 15,62 2000 3.814,27 21,40 2001 3.949,92 3,56 2002 4.170,98 5,60 2003 4.817,50 15,50 2004 4.130,83-14,25 2005 4.208,33 1,88 2006 4.347,22 3,30 Sumber : Badan Pusat Statistik Pusat Data dan Informasi Pertanian 81

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 4.7. Perkembangan Ekspor Impor Teh di Indonesia, 1969-2006 Tahun Volume (Ton) EKSPOR Nilai (000 US$) Volume (Ton) Nilai (000 US$) Volume (Ton) NERACA Nilai (000 US$) 1969 32.472 8.978 - - 32.472 8.978 1970 36.897 18.299 - - 36.897 18.299 1971 43.999 32.527 25 11 43.974 32.516 1972 42.772 32.369 74 25 42.698 32.344 1973 44.676 3.478 40 9 44.636 3.469 1974 5.567 46.278 62 33 5.505 46.245 1975 45.962 51.642 36 43 45.926 51.599 1976 47.492 56.574 59 105 47.433 56.469 1977 51.272 1.148 65 116 51.207 1.032 1978 56.251 94.755 60 178 56.191 94.577 1979 53.582 83.388 51 147 53.531 83.241 1980 74.711 112.669 51 156 74.660 112.513 1981 71.259 100.837 56 192 71.203 100.645 1982 6.366 89.493 51 182 6.315 89.311 1983 68.624 120.435 65 124 68.559 120.311 1984 8.565 226.291 58 110 8.507 226.181 1985 90.121 149.083 59 115 90.062 148.968 1986 7.904 99.094 251 303 7.653 98.791 1987 90.422 118.736 83 120 90.339 118.616 1988 92.687 125.309 146 224 92.541 125.085 1989 11.471 162.735 540 641 10.931 162.094 1990 110.963 181.017 6.699 8.906 104.264 172.111 1991 110.217 14.313 713 1.018 109.504 13.295 1992 121.259 140.909 411 713 120.848 140.196 1993 127.926 155.696 582 776 127.344 154.920 1994 79.056 87.921 453 678 78.603 87.243 1995 79.227 87.719 260 291 78.967 87.428 1996 101.532 112.342 190 329 101.342 112.013 1997 66.843 88.837 2.817 2.871 64.026 85.966 1998 67.219 113.208 3.995 4.359 63.224 108.849 1999 97.847 9.714 619 615 97.228 9.099 2000 105.582 112.105 2.632 3.091 102.950 109.014 2001 107.144 112.524 2.632 3.091 104.512 109.433 2002 100.184 103.427 3.526 3.651 96.658 99.776 2003 88.894 9.597 4.000 3.807 84.894 5.790 2004 98.572 116.018 3.925 5.531 94.647 110.487 2005 102.389 121.777 5.479 7.161 96.910 114.616 2006 95.338 134.515 5.293 8.703 90.045 125.812 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan IMPOR 82 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Lampiran 4.8. Perkembangan Luas Tanaman Menghasilkan, Produksi dan Produktivitas Teh Dunia, 1961-2006 Tahun Luas Tanaman Menghasilkan (Ha) Pertbh. (%) Produksi (Ton) Pertbh. (%) Produktivitas (Kg/Ha) Pertbh. (%) 1961 1.366.126 983.785 720 1962 1.379.866 1,01 987.350 0,36 716-0,64 1963 1.397.016 1,24 1.021.949 3,50 732 2,23 1964 1.415.496 1,32 1.063.199 4,04 751 2,68 1965 1.442.275 1,89 1.092.631 2,77 758 0,86 1966 1.454.455 0,84 1.144.061 4,71 787 3,83 1967 1.503.397 3,36 1.161.581 1,53 773-1,77 1968 1.553.831 3,35 1.216.441 4,72 783 1,32 1969 1.598.201 2,86 1.238.984 1,85 775-0,97 1970 1.668.290 4,39 1.286.757 3,86 771-0,51 1971 1.737.148 4,13 1.308.424 1,68 753-2,35 1972 1.801.084 3,68 1.405.269 7,40 780 3,59 1973 1.933.553 7,35 1.465.134 4,26 758-2,88 1974 2.053.260 6,19 1.492.601 1,87 727-4,06 1975 2.167.122 5,55 1.549.347 3,80 715-1,65 1976 2.245.608 3,62 1.591.872 2,74 709-0,85 1977 2.317.781 3,21 1.771.000 11,25 764 7,79 1978 2.379.015 2,64 1.805.757 1,96 759-0,66 1979 2.363.163-0,67 1.834.132 1,57 776 2,25 1980 2.369.480 0,27 1.893.527 3,24 799 2,96 1981 2.384.664 0,64 1.885.907-0,40 791-1,04 1982 2.449.667 2,73 1.961.781 4,02 801 1,26 1983 2.483.658 1,39 2.062.325 5,13 830 3,69 1984 2.417.035-2,68 2.200.532 6,70 910 9,64 1985 2.152.785-10,93 2.304.834 4,74 1.071 17,60 1986 2.193.147 1,87 2.293.102-0,51 1.046-2,34 1987 2.204.518 0,52 2.358.977 2,87 1.070 2,34 1988 2.214.688 0,46 2.448.034 3,78 1.105 3,30 1989 2.245.429 1,39 2.472.861 1,01 1.101-0,37 1990 2.260.328 0,66 2.524.165 2,07 1.117 1,40 1991 2.285.833 1,13 2.561.050 1,46 1.120 0,33 1992 2.308.157 0,98 2.492.432-2,68 1.080-3,62 1993 2.319.281 0,48 2.612.797 4,83 1.127 4,33 1994 2.310.606-0,37 2.637.418 0,94 1.141 1,32 1995 2.298.290-0,53 2.621.082-0,62 1.140-0,09 1996 2.303.506 0,23 2.692.866 2,74 1.169 2,51 1997 2.287.504-0,69 2.758.006 2,42 1.206 3,14 1998 2.286.293-0,05 2.989.032 8,38 1.307 8,43 1999 2.382.781 4,22 3.077.368 2,96 1.292-1,21 2000 2.383.496 0,03 2.964.287-3,67 1.244-3,70 2001 2.415.160 1,33 3.072.842 3,66 1.272 2,30 2002 2.476.397 2,54 3.191.745 3,87 1.289 1,30 2003 2.505.494 1,17 3.227.926 1,13 1.288-0,04 2004 2.589.422 3,35 3.392.172 5,09 1.310 1,68 2005 2.636.063 1,80 3.539.307 4,34 1.343 2,49 2006 2.717.398 3,09 3.649.256 3,11 1.343 0,02 Rata-rata 2.122.995 1,58 2.115.346 2,99 970 1,46 Sumber : FAO Pusat Data dan Informasi Pertanian 83

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Lampiran 4.9. Beberapa 2002-2006 Negara Produsen Teh Terbesar di Dunia, No. Negara Produksi (Ton) Share (%) Kumulatif (%) 1 Cina 882.652 25,95 25,95 2 India 854.496 25,12 51,07 3 Srilanka 309.864 9,11 60,18 4 Kenya 308.879 9,08 69,27 5 Turki 182.517 5,37 74,63 6 Indonesia 167.930 4,94 79,57 7 Vietnam 118.565 3,49 83,06 8 Jepang 93680 2,75 85,81 9 Lainnya 482.656 14,19 100,00 Sumber : FAO Dunia 3.401.238 100,00 e g a r a P r o d u k s i (T o n ) S h a r e (% ) Lampiran 4.10. Rata-rata Volume Ekspor dan Impor Teh Terbesar di Dunia, 2002-2006 8 8 2.6 5 2 2 5,9 5 a Volume Ekspor 8 5 4.4 9 6 Volume 2 5,1 Impor No. Negara Share (%) Negara 2 Share (%) (000 Ton) (000 Ton) 3 0 9.8 6 4 9,1 1 1 China 272,16 27,65 Jepang 53,49 12,42 3 0 8.8 7 9 9,0 8 2 Kenya 237,38 24,12 Jerman 41,86 9,72 3 India 173,51 1 8 2.5 1 7 17,63 Mesir 5,3 7 35,74 8,30 a 4 Indonesia 97,81 1 6 9,94 7.9 Irak 3 0 4,9 35,04 4 8,13 5 Argentina 62,08 1 16,31 8.5China 6 5 3,434,24 9 7,95 6 Malawi 33,65 93,42 3.6Afghanistan 8 0 2,721,84 5 5,07 7 Jerman 19,65 4 82,00 2.6Kanada 5 6 1 4,119,519 4,53 8 Belanda 12,38 3.4 01,26 1.2India 3 8 1 0 0,0 18,87 0 4,38 9 Iran 9,58 0,97 Kazakhstan 18,31 4,25 10 Georgia 8,06 0,82 Perancis 17,10 3,97 Sub Total 926,26 94,11 Sub Total 295,99 68,71 Lainnya 57,99 5,89 Lainnya 134,82 31,29 Dunia 984,26 100,00 Dunia 430,81 100,00 Indonesia ke-21 Sumber : FAO 84 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «BAB V. KAPAS Sub sektor perkebunan merupakan salah satu sub sektor penyumbang devisa negara yang cukup besar, bahkan dari tahun ke tahun kontribusinya terhadap devisa negara semakin meningkat dibandingkan sub sektor lainnya. Namun tidak semua komoditas perkebunan mampu menjadi kontributor devisa negara, salah satunya adalah kapas. Meskipun pengembangan tanaman kapas di Indonesia hingga tahun 2006 telah mencapai luasan 6.263 ha dengan produksi 1.627 ton, namun neraca perdagangan komoditas kapas masih mengalami defisit. Ekspor komoditas kapas tahun 2006 mencapai nilai US$ 225 dengan volume ekspor sebesar 1.538 ton, sedangkan nilai impor kapas mencapai US$ 765 dengan volume impor sebesar 383 ton. Iklim yang kurang cocok masih merupakan kendala bagi perkebunan kapas di Indonesia. Di satu pihak tanaman kapas membutuhkan air untuk pertumbuhannya, dilain pihak tanaman ini membutuhkan musim kering pada saat berbunga sampai panen. Oleh karena itu kontribusi kapas terhadap produksi perkebunan di Indonesia termasuk kecil, hanya 1% dari produksi perkebunan Indonesia, namun jumlah ini diharapkan dapat meningkat seiring dengan dibukanya lahan pertanaman kapas baru. Secara umum, pengembangan kapas masih mempunyai prospek yang baik ditinjau dari harga, ekspor dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (Departemen Pertanian, 2006). Selain serat kapas yang merupakan produk utama, dapat dihasilkan pula biji kapas yang dapat diolah menjadi minyak dan bungkilnya (Wikipedia Indonesia, 2007). Mengingat hal tersebut, Pemerintah telah berupaya mengembangkan komoditas kapas agar mampu bersaing dengan komoditas perkebunan lainnya. Kebijakan Pemerintah untuk mendukung pengembangan kapas hingga tahun 2010 adalah (1) peningkatan produktivitas dan mutu kapas, (2) pengembangan industri hilir dan peningkatan nilai tambah, (3) pemberdayaan petani, (4) pemantapan dan penataan kelembagaan, dan (5) fasilitasi dukungan penyediaan dana (Departemen Pertanian, 2006). Untuk mengetahui perkembangan komoditas kapas dan prospeknya dalam mendukung sektor pertanian Indonesia, berikut ini disajikan perkembangan Pusat Data dan Informasi Pertanian 85

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 komoditas kapas serta prospeknya melalui proyeksi penawaran dan permintaan kapas beberapa tahun ke depan. 5.1. PERKEMBANGAN LUAS AREAL, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS KAPAS DI INDONESIA Luas areal perkebunan kapas di Indonesia menunjukkan peningkatan pada periode tahun 1970-1985, namun setelah periode tersebut terjadi penurunan luas areal kapas yang cukup signifikan (Gambar 5.1). Jika tahun 1970-1985 pertumbuhan luas areal kapas di Indonesia mencapai 88,94% per tahun, maka pada tahun 1986-2007 terjadi penurunan luas areal kapas hingga mencapai 1,65% per tahun (Tabel 5.1). Gambar 5.1. Luas Areal Kapas Menurut Jenis Pengusahaan di Indonesia, 1970-2006 Persentase peningkatan luas areal kapas tertinggi terjadi pada tahun 1982, yaitu dari 5.156 ha pada tahun 1981 menjadi 34.706 ha atau meningkat 573,12%. Setelah tahun 1985 luas areal pertanaman kapas cenderung menurun, terutama setelah krisis moneter melanda Indonesia. Beberapa hal diduga menjadi penyebab penurunan tersebut, antara lain kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menyebabkan naiknya harga sarana produksi terutama pupuk dan pestisida. Selain itu pada tahun 2001 terjadi penolakan petani kapas di Sulawesi Selatan terhadap pengembangan kapas Bollgard Bt 86 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «(kapas transgenik hasil bioteknologi) oleh PT Monagro Kimia (gabungan perusahaan Monsanto dari Amerika dan perusahaan lokal), padahal Sulawesi Selatan merupakan provinsi sentra komoditas kapas terbesar di Indonesia. Penurunan luas areal kapas masih terjadi hingga tahun 2005. Dengan adanya program pengembangan kapas, maka pada tahun 2006 mulai terjadi peningkatan luas areal kapas. Perkembangan luas areal kapas di Indonesia menurut jenis pengusahaannya secara rinci disajikan dalam Lampiran 5.1. Tabel 5.1. Rata-rata Laju Pertumbuhan dan Kontribusi Luas Areal dan Produksi Kapas di Indonesia Tahun Pertumbuhan (%) PR PBN PBS Total PR PBN PBS Total 1970-2007 66,77 30,95-29,47 35,08 24,84 12,69 32,79 15,10 1970-1985 167,01 37,56 2,08 88,94 71,57 36,67 164,81 47,71 1986-2007 -1,57 6,16-52,00-1,65-7,03-77,22-61,52-7,13 Kontribusi (%) Luas Areal Produksi 1970-2007 94,07 4,66 1,27 100,00 92,86 5,92 1,21 100,00 1970-1985 84,57 12,28 3,16 100,00 83,58 13,78 2,64 100,00 1986-2007 99,41 0,38 0,21 100,00 99,78 0,07 0,15 100,00 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, diolah Pusdatin Secara umum bentuk pengusahaan perkebunan kapas di Indonesia terbagi atas 3 jenis utama yaitu Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Swasta (PBS). Pada periode tahun 1970-2007 sebagian besar luas areal perkebunan kapas di Indonesia dikuasai oleh perkebunan rakyat dengan persentase mencapai 94,07% dari total luas areal kapas di Indonesia (Tabel 5.1). Kontribusi luas areal perkebunan kapas rakyat setelah tahun 1985 menunjukkan kenaikan dibandingkan sebelumnya, namun dari sisi pertumbuhannya, luas areal perkebunan kapas rakyat setelah tahun 1985 justru cenderung menurun dengan rata-rata penurunan sebesar 1,57% per tahun. Perkebunan kapas di Indonesia tersebar di empat provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah. Luas areal kapas Pusat Data dan Informasi Pertanian 87

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 di empat provinsi tersebut mencapai 99,38% dari total luas areal kapas Indonesia. Berdasarkan data tahun 2003-2007, Sulawesi Selatan mempunyai luas areal pertanaman kapas terbesar yang mencapai 46,36% dari total luas areal kapas di Indonesia. Jawa Timur berada di urutan kedua dengan luas areal kapas mencapai 21,93%, sedangkan luas areal kapas di Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah masing-masing mencapai 15,57% dan 15,51% dari total luas areal kapas Indonesia (Lampiran 5.2) Seperti halnya perkembangan luas areal kapas, secara umum perkembangan produksi kapas nasional periode 1970-2007 juga menunjukan fluktuasi yang cenderung menurun setelah tahun 1985 (Gambar 5.2). Meskipun demikian, rata-rata produksi kapas Indonesia masih mengalami peningkatan sebesar 15,10% per tahun (Tabel 5.1). Penurunan luas areal kapas cukup signifikan terjadi sejak tahun 1986. Hal tersebut disebabkan oleh menurunnya luas areal kapas di Sulawesi Selatan. Selain itu krisis ekonomi ekonomi juga berandil besar dalam penurunan produksi kapas di Indonesia. Tercatat mulai periode 1986-2007 laju pertumbuhan produksi rata-rata menurun sebesar 7,13% per tahun. Secara rinci perkembangan produksi kapas disajikan pada Lampiran 5.3. Gambar 5.2. Perkembangan Produksi Kapas di Indonesia, 1970-2007 Produksi kapas Indonesia juga didominasi oleh produksi yang berasal dari perkebunan rakyat dengan kontribusi rata-rata tahun 1970-2007 mencapai 92,86%, sedangkan perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta 88 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «masing-masing hanya memberikan kontribusi sebesar 5,92% dan 1,21% (Tabel 5.1). Daerah sentra produksi kapas di Indonesia terdapat di Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Tengah. Sulawesi Selatan merupakan provinsi sentra produksi kapas terbesar Sulawesi Selatan dengan kontribusi rata-rata sebesar 35,04%, diikuti oleh Jawa Timur dengan kontribusi rata-rata sebesar 29,89%. Jawa Tengah berada di posisi ketiga dengan kontribusi rata-rata sebesar 17,50%, sedangkan Nusa Tenggara Barat yang luas arealnya lebih besar daripada Jawa Tengah ternyata hanya memberikan kontribusi 14,05% (Gambar 5.3). Sentra produksi kapas di Indonesia dan kontribusinya disajikan secara rinci pada Lampiran 5.4. Gambar 5.3. Kontribusi Sentra Produksi Kapas di Indonesia, 2003-2007 Perkembangan produktivitas kapas di Indonesia tahun 2003-2007 menunjukkan kecenderungan menurun (Gambar 5.4). Jika pada tahun 2003 produktivitas kapas Indonesia, khususnya perkebunan rakyat, sebesar 0,568 ton/ha, maka pada tahun 2006 turun menjadi 0,298 ton/ha. Bahkan menurut Angka Sementara yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, produktivitas kapas tahun 2007 semakin turun menjadi 0,205 ton/ha. Rata-rata produktivitas pada kurun waktu 2003-2007 sebesar 0,382 ton/ha (Tabel 5.2). Pusat Data dan Informasi Pertanian 89

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Gambar 5.4. Perkembangan Produktivitas Kapas di Indonesia, 2003-2007 Tabel 5.2. Rata-rata Produktivitas Kapas di Indonesia, 2003-2007 Tahun PR Pertumb. (%) PBN Produktivitas (Ton/Ha) Pertumb. Pertumb. PBS (%) (%) Indonesia 2003 0,568 0,00 0,00 0,568 Pertumb. (%) 2004 0,409-27,97 0,00-0,00-0,409-27,97 2005 0,433 5,68 0,00-0,00-0,433 5,68 2006 0,298-31,17 0,00-0,00-0,298-31,17 2007*) 0,205-31,29 0,00-0,00-0,205-31,29 Rata-rata 0,382-21,19 0,00-0,00-0,382-21,19 Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan Keterangan : *) Angka Sementara 5.2. PERKEMBANGAN HARGA KAPAS DI INDONESIA Secara umum perkembangan harga kapas di pasar domestik tahun 2001-2006 mengalami kecenderungan meningkat (Gambar 5.5). Harga kapas terendah terjadi pada tahun 2002 sebesar Rp. 1.450,00/kg. Setelah tahun 2002 terjadi peningkatan harga kapas hingga pada tahun 2006 mencapai Rp. 2.400,00/kg. Rata-rata pertumbuhan harga kapas per tahun pada periode tersebut sebesar 6,40% (Lampiran 5.5). 90 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Gambar 5.5. Perkembangan Harga Kapas di Pasar Domestik Indonesia, 2001-2006 Sementara itu perkembangan harga kapas di pasar dunia dari periode tahun 1987-2005 tampak lebih fluktuatif namun cenderung menurun setelah tahun 1995 (Gambar 5.6). Harga kapas tertinggi dicapai pada tahun 1995, yaitu sebesar US$ 92,85 cent/lb. Setelah itu harga kapas terus turun hingga mencapai harga terendah pada tahun 2002, yaitu sebesar US$ 40,34 cent/lb. Pada tahun 2003 terjadi kenaikan harga kapas di pasar dunia, namun turun kembali pada tahun 2004 dan 2005. Dengan demikian terjadi penurunan harga kapas di pasar dunia pada kurun waktu tahun 1987-2005 sebesar 0,16% per tahun. Secara rinci perkembangan harga kapas di pasar dunia disajikan pada Lampiran 5.5. Pusat Data dan Informasi Pertanian 91

» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 Gambar 5.6. Perkembangan Harga Kapas di Pasar Dunia, 1987-2005 5.3. PERKEMBANGAN EKSPOR-IMPOR KAPAS INDONESIA Perkembangan ekspor kapas Indonesia selama periode tahun 1970-2006 berfluktuasi namun cenderung meningkat (Gambar 5.7). Jika pada tahun 1970 ekspor kapas Indonesia hanya sebesar 81 ton, maka tahun 2006 telah mencapai 75,93 ribu ton. Pada periode tersebut laju pertumbuhan ekspor kapas Indonesia mencapai 83,89% per tahun. Seiring dengan penguatan nilai mata uang dolar Amerika terhadap rupiah, maka nilai ekspor kapas Indonesia juga mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 124,26% per tahun (Lampiran 5.6). Volume ekspor kapas tertinggi terjadi pada tahun 2003 sebesar 109.172 ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 24.720 ribu. Sementara itu impor kapas Indonesia jauh lebih besar dibandingkan ekspornya. Pada tahun 1970 volume impor kapas Indonesia sebesar 18,11 ribu ton, meningkat menjadi 468,42 ribu pada tahun 2006. Laju pertumbuhan volume impor tidak sepesat laju pertumbuhan volume ekspornya, yaitu hanya sebesar 8,74% per tahun. Impor kapas tertinggi terjadi pada tahun 2001 dengan volume impor mencapai 760,32 ribu ton dan nilai impor sebesar US$ 1,07 milyar (Lampiran 5.6). Berdasarkan nilai ekspor dan nilai impor diperoleh neraca perdagangan kapas Indonesia, dimana selama tahun 1970-2006 menunjukkan posisi defisit kecuali tahun 1974 dan 1975 karena tidak ada impor. Defisit neraca 92 Pusat Data dan Informasi Pertanian

Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «perdagangan kapas Indonesia terbesar terjadi pada tahun 2001 sebesar US$ 1,05 milyar. Gambar 5.7. Perkembangan Volume Ekspor dan Volume Impor Kapas Indonesia, 1970-2006 5.4. PERKEMBANGAN LUAS TANAMAN MENGHASILKAN, PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS SERAT KAPAS DUNIA Perkembangan luas tanaman menghasilkan serat kapas di dunia secara umum berfluktuasi, namun tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan (Gambar 5.8). Selama periode 1970-2006 rata-rata luas tanaman menghasilkan serat kapas hanya meningkat sebesar 0,21% per tahun. Jika pada tahun 1970 tercatat luas tanaman menghasilkan serat kapas di dunia sebesar 34,15 juta ha, maka pada tahun 2006 sedikit meningkat menjadi 34,64 juta ha. Luas tanaman menghasilkan tertinggi dicapai pada tahun 1995 sebesar 35,50 juta ha. Secara rinci perkembangan luas tanaman menghasilkan serat kapas disajikan pada Lampiran 5.7. Pusat Data dan Informasi Pertanian 93

1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006 (000 Ha)» Outlook Komoditas Perkebunan 2007 36.000 35.000 34.000 33.000 32.000 31.000 30.000 Gambar 5.8. Perkembangan Luas Tanaman Menghasilkan Serat Kapas Dunia, 1970-2006 Menurut FAO, terdapat enam negara dengan luas tanaman menghasilkan serat kapas terbesar di dunia, yaitu India, USA (Amerika Serikat), China, Pakistan, Uzbekistan dan Brazil (Gambar 5.9). Rata-rata kontribusi keenam negara tersebut pada tahun 2002-2006 mencapai 72,90% dari total luas tanaman menghasilkan serat kapas di dunia. India memiliki rata-rata luas tanaman menghasilkan serat kapas terbesar dengan kontribusi rata-rata sebesar 25,17% per tahun. Amerika Serikat dan China pada urutan kedua dan ketiga dengan kontribusi rata-rata masing-masing sebesar 15,84% dan 15,31%. Posisi berikutnya ditempati oleh Pakistan, Uzbekistan dan Brazil dengan kontribusi masing-masing sebesar 9,13%, 4,34% dan 3,11% (Lampiran 5.8). Indonesia sebagai salah satu negara penghasil serat kapas berada di posisi ke-50 dengan kontribusi sebesar 0,07% terhadap total luas tanaman menghasilkan serat kapas di dunia. 94 Pusat Data dan Informasi Pertanian

1970 1974 1978 1982 1986 1990 1994 1998 2002 2006 (000 Ton) Outlook Komoditas Perkebunan 2007 «Gambar 5.9. Beberapa Negara dengan Luas Tanaman Menghasilkan Serat Kapas Terbesar di Dunia, 2002-2006 Sementara itu perkembangan produksi serat kapas dunia selama tahun 1970-2006 juga berfluktuasi namun menunjukkan kecenderungan meningkat (Gambar 5.10). Pada periode tersebut terjadi peningkatan produksi rata-rata sebesar 2,48% per tahun. Tahun 1970 produksi serat kapas dunia sebesar 12,05 juta ton dan meningkat pada tahun 2006 menjadi 24,81 juta ton. Peningkatan produksi yang cukup besar terjadi pada tahun 1984 dan 2004, yaitu sebesar 26,94% dan 26,61%. Perkembangan produksi serat kapas dapat dilihat pada Lampiran 5.7. 25.000,00 22.000,00 19.000,00 16.000,00 13.000,00 10.000,00 Gambar 5.10. Perkembangan Produksi Serat Kapas Dunia, 1970-2006 Pusat Data dan Informasi Pertanian 95