BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan. Menurut Bappenas (2002 dalam Arsyad 2010, 299), kemiskinan di definisikan sebagai situasi atau kondisi yang dialami oleh seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Menurut Ravallion (2001 dalam Arsyad 2010, 209), kemiskinan adalah kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, dan bila sakit tidak memiliki dana untuk berobat. Orang miskin umumnya tidak dapat membaca karena tidak mampu bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, dan kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas. Pengentasan kemiskinan telah menjadi isu dan masalah dalam pembangunan baik pada tingkat global, nasional dan lokal. Amerika Serikat (AS) yang tergolong negara maju dan merupakan salah satu negara yang kaya di dunia masih mempunyai jutaan orang yang tergolong miskin. Demikian pula Indonesia sebagai negara yang sedang melakukan pembangunan diberbagai bidang, kemiskinan menjadi salah satu perhatian pemerintah dalam menanggulanginya. Pada tahun 2000, para pemimpin negara di dunia membuat komitmen dan bekerjasama dalam mencapai target pembangunan dan mengurangi kemiskinan 1
2 dengan membentuk Millenium Developments Goals (MDG S) on developments and eradications of poverty in 2015 dan pada tahun 2015 dilanjutkan dengan Sustainable Developments Goals (SDG S) yang berisi seperangkat tujuan transpormatif sampai dengan tahun 2030. Komitmen global tersebut menekankan kesetaraan antar negara dan antar warga negara yang berlaku untuk semua (universal) negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yakni meningkatan pendapatan yang layak, memberantas kelaparan, ketimpangan gender, kerusakan lingkungan, hambatan untuk mendapatkan pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih/sanitasi, akses energi yang terjangkau, konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, menjaga perdamaian dan keadilan, dan kemitraan global. Penanggulangan kemiskinan di Indonesia dilakukan pemerintah dengan membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di tingkat pusat yang digagas sejak era kepemimpinan Presiden Bambang Susilo Yudhoyono dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, hingga saat ini pada kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 166 Tahun 2014 tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Selanjutnya di bentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) di tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang tugasnya adalah menganalisis, mengendalikan, merancang anggaran dan mengendalikan program-
3 program penanggulangan kemiskinan. Dari upaya-upaya penanggulangan kemiskinan tersebut diharapkan angka kemiskinan di Indonesia dapat ditekan sehingga memberikan dampak yang positif bagi pembangunan. Perkembangan angka kemiskinan di Indonesia dari tahun 2010-2016 secara umum menunjukkan penurunan angka kemiskinan tetapi sangat lamban dan pada tahun 2015 mengalami sedikit kenaikan, dapat dilihat jumlah dan persentase penduduk miskin yang ditunjukkan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin di Indonesia Tahun 2010-2016 Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Juta Jiwa) Persentase Penduduk Miskin (%) 2010 31,02 13,33 2011 30,02 12,39 2012 28,59 11,66 2013 28,55 11,47 2014 27,73 10,96 2015 28,51 11,13 2016 27,76 10,70 Sumber: BPS Indonesia, 2010-2016 (diolah) Tabel 1.1 menunjukkan bahwa penduduk miskin di Indonesia cenderung menurun selama kurun waktu tahun 2010-2016. Pada tahun 2010 persentase penduduk miskin tercatat sebanyak 13,33 % (31,02 juta jiwa), dan pada tahun 2011 persentase penduduk miskin sebesar 12,39 % dengan penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 1,0 juta jiwa dari tahun 2010. Tahun 2012 persentase penduduk miskin kembali menurun menjadi 11,66 % atau turun sebanyak 1,43 juta jiwa dari tahun 2011, dan tahun 2013 menurun sebesar 0,04 juta jiwa dari tahun 2012 dengan persentase penduduk miskin sebesar 11,47 %, serta diikuti penurunan kembali di tahun 2014 (10,96 %) dengan penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 0,82 juta jiwa dari tahun 2013. Pada tahun 2015 penduduk
4 miskin Indonesia mengalami sedikit kenaikan sekitar 0,78 juta jiwa sehingga menjadi 28,51 juta jiwa dengan persentase penduduk miskin sebesar 11,13 % dibandingkan dengan persentase penduduk miskin tahun 2014 yang sebesar 10,96 % (27,73 juta jiwa). Tahun 2016 jumlah penduduk miskin dapat ditekan sebesar 10,70 % atau turun sebanyak 0,75 juta jiwa dari tahun 2015 dengan jumlah penduduk miskin menjadi 27,76 juta. Tingkat kemiskinan di Indonesia yang cenderung menurun menunjukkan hal yang positif bagi upaya penanggulangan kemiskinan, tetapi pada kenyataannya kemiskinan masih tetap ada dan memberikan dampak yang negatif bagi pembangunan nasional. Kemiskinan di Indonesia di pengaruhi oleh fluktuasi tingkat kemiskinan secara regional dan menjadi masalah bagi setiap provinsi. Tabel 1.2 menunjukkan perkembangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan. Tabel 1.2 Jumlah penduduk miskin dan persentase penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2010-2016 Tahun Jumlah Penduduk Miskin (Jiwa) Persentase Penduduk Miskin (%) 2010 205.375 5,21 2011 198.608 5,29 2012 190.597 5,01 2013 184.297 4,76 2014 189.495 4,81 2015 198.450 4,72 2016 195.700 4,52 Sumber : BPS Kalsel, 2010-2016 (diolah) Rata-rata 4,90
5 Tabel 1.2 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 205.375 jiwa (5,21 %). Selanjutnya tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 198.608 jiwa (5,29 %), dan diikuti penurunan kembali pada tahun 2012 menjadi 190.597 jiwa (5,01 %), serta di tahun 2013 menjadi 184.297 jiwa (4,76 %). Pada tahun 2014 jumlah penduduk miskin bertambah sebesar 5.198 jiwa atau menjadi 189.495 jiwa (4,81 %), dan mengalami kenaikan kembali di tahun 2015 menjadi 198.450 jiwa namun persentasenya mengalami penurunan menjadi 4,72 %. Tahun 2016 jumlah penduduk miskin mengalami sedikit penurunan dari tahun 2015 sebanyak 2.750 jiwa dengan persentase kemiskinan sebesar 4,52 % dengan jumlah penduduk miskin menjadi 195.700 jiwa. Perbandingan rata-rata tingkat kemiskinan nasional dengan Provinsi Kalimantan Selatan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2016, dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut. Gambar 1.1 Perbandingan tingkat kemiskinan nasional dengan tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2010-2016 (%) Sumber: BPS Indonesia, 2010-2016 (diolah)
6 Gambar 1.1 menunjukkan tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan berada di bawah rata-rata tingkat kemiskinan nasional. Pada tahun 2010, tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 5,21 %, dengan ratarata tingkat kemiskinan nasional sebesar 13,33 % dan di tahun 2016 tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan menurun menjadi 4,52% dengan ratarata tingkat kemiskinan nasional sebesar 10,70 %. Selama kurun waktu tahun 2010-2013, tren tingkat kemiskinan nasional dan Provinsi Kalimantan Selatan mengalami penurunan, kecuali di tahun 2014 di mana tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan mengalami sedikit kenaikan. Pada tahun 2015 tingkat kemiskinan nasional mengalami kenaikan dibanding dengan tahun 2014 (10,96 %) dengan tingkat kemiskinan sebesar 11,13 %, berbanding terbalik dengan tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan yang mengalami penurunan dari 4,81% (2014) menjadi 4,72 % pada tahun 2015. Tahun 2016 tingkat kemiskinan nasional dan Provinsi Kalimantan Selatan sama-sama mengalami penurunan dimana pada tahun 2015 tingkat kemiskinan nasional turun dari 11,13 % (2015) menjadi 10,70 % ditahun 2016, diikuti dengan penurunan tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 0,2% dari tahun 2014 (4,72 %) menjadi 4,52 % di tahun 2016. Secara umum selama kurun waktu tahun 2010-2016 apabila tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan dirata-ratakan, akan nampak kesenjangan (gap) tingkat kemiskinan yang cukup mencolok antarkabupaten/kota seperti pada Gambar 1.2
7 5,31 4,49 4,37 3,08 3,97 5,62 4,88 4,35 6,86 5,88 7,11 6,27 6,56 Gambar 1.2 Rata-rata tingkat kemiskinan kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2010-2016 (%) Sumber: BPS Kalimantan Selatan, 2010-2016 (diolah) Gambar 1.2 menunjukkan perbedaan tingkat kemiskinan di kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan, di mana dari 13 kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan, tingkat kemiskinan tertinggi berada di Kabupaten Hulu Sungai Utara yakni rata-rata sebesar 7,11 % dan tingkat kemiskinan terendah di Kabupaten Banjar sebesar 3,08 %. Gap tingkat kemiskinan antar kabupaten/kota yang ditunjukkan Gambar 1.2 menunjukkan bahwa masalah kemiskinan merupakan masalah bersama yang harus segera ditanggulangi dan menjadi perhatian yang serius pihak-pihak terkait khususnya Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan pemerintah kabupaten/kota karena tingkat kemiskinan di kabupaten/kota memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan.
8 Kemiskinan merupakan suatu masalah yang kompleks yang terdiri dari banyak faktor baik dari faktor internal (dari diri individu/keluarga) maupun dari faktor eksternal (lingkungan, kebijakan pemerintah dan keadaan perekonomian). Sharp, et al. (1996 dalam Kuncoro 2010, 69) mengidentifikasi penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi, yakni pertama, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang, di mana penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitas rendah. Kedua, kemiskinan muncul karena perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia, dan yang ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal. Pemerintah daerah sebagai regulator dalam pembangunan memegang peranan aktif dalam merangsang gerak perekonomian wilayah. Peran pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanja pembangunan dalam hal ini belanja pemerintah yang merupakan salah satu komponen kebijakan fiskal dengan tujuan untuk meningkatkan laju investasi, kesempatan kerja, memelihara kestabilan ekonomi dan menciptakan distribusi pendapatan yang merata (Amalia, dkk. 2015), tentu akan memberikan dampak yang sangat positif dalam pembangunan dan berperan dalam mengatasi kemiskinan di daerah. Fundamental ekonomi daerah pada hakikatnya merupakan indikator yang mencerminkan kondisi riil daerah, yang meliputi pertumbuhan ekonomi daerah, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, pengangguran, ketimpangan, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan indikator ini
9 diharapkan dapat dilakukan identifikasi mengenai profil maupun klasifikasi daerah kabupaten/kota dalam suatu wilayah provinsi, identifikasi mengenai profil maupun klasifikasi daerah provinsi dalam suatu wilayah negara, menjadi pedoman investor untuk memilih lokasi investasi di daerah, dan menjadi pedoman menteri terkait untuk mempercepat pembangunan daerah-daerah yang relatif tertinggal (Kuncoro 2013, 243). Tugas pemerintah daerah dalam rangka mengentaskan kemiskinan sebagaimana sasaran dari Sustainable Development Goals-SDG S tidaklah mudah apabila dikaitkan dengan hal-hal yang telah disebutkan di atas, di mana diperlukan kerja keras dan kerjasama semua pihak sehingga angka kemiskinan dapat ditekan serendah-rendahnya walaupun tidak mungkin menghilangkan sepenuhnya tingkat kemiskinan yang ada di daerah. Berdasarkan latar belakang belakang yang telah diuraikan, maka diperlukan kajian dan analisis seberapa jauh faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan yakni kebijakan fiskal pemerintah daerah yang dilihat dari pengeluaran pemerintah, kualitas hidup manusia yang dicerminkan oleh IPM, dan pertumbuhan ekonomi. 1.2 Rumusan Masalah Tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan yang berada di bawah rata-rata kemiskinan nasional menjadikan tantangan bagi daerah ini untuk mempertahankan dan menekan angka kemiskinan ke level yang terendah, keadaan ini bukan hal yang mudah karena tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan
10 Selatan sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan di tingkat kabupaten/kota, ini ditunjukkan oleh gap rata-rata tingkat kemiskinan kabupaten/kota yang sebagian masih berada di atas rata-rata tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan (4,90 %). Penerapan otonomi daerah pada saat ini menimbulkan perbedaan kemampuan finansial daerah. Pengeluaran pemerintah yang cenderung naik tiap tahunnya akan memengaruhi prioritas belanja pembangunan. Berdasarkan data dari Badan Keuangan Daerah dan Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Selatan, selama kurun waktu 2010-2016 rata-rata pengeluaran pemerintah kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan mengalami pertumbuhan sekitar 16,36 %, ini merupakan sinyalemen positif bagi bagi pemerintah dalam menyusun program penanggulangan kemiskinan. Demikian pula dengan IPM Provinsi Kalimantan Selatan yang tiap tahunnya mengalami kenaikan. Tahun 2016, IPM Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 69,05, tetapi angka ini masih berada di bawah IPM nasional (70,18). Pertumbuhan ekonomi Provinsi Kalimantan Selatan kurun waktu tahun 2010-2016 cukup berfluktuasi, di mana tahun 2016 pertumbuhan ekonomi mencapai 4,38 %, angka ini juga masih berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yaitu 5,16 % (BPS, 2017). Berdasarkan informasi di atas, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh pengeluaran pemerintah, IPM, dan pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.
11 1.3 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian ini adalah; Bagaimana pengaruh pengeluaran pemerintah, IPM, dan pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh pengeluaran pemerintah, IPM, dan pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan. 1.5 Motivasi Penelitian Penelitian ini penting dilakukan untuk memperoleh bukti empiris pengaruh pengeluaran pemerintah, IPM, dan pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Secara empiris memberikan bukti pengaruh pengeluaran pemerintah, IPM, dan pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan; 2. Secara teori penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang;
12 3. Hasil penelitian dapat berperan sebagai referensi kebijakan pemerintah daerah dalam program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan. 1.7 Kontribusi Penelitian Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan sebelumnya dapat diketahui bahwa penelitian mengenai tingkat kemiskinan dan variabel-variabel yang memengaruhinya telah banyak dilakukan. Penelitian ini mempunyai persamaan dengan beberapa penelitian sebelumnya yakni pada alat analisis yang digunakan berupa analisis regresi data panel, sedangkan perbedaan spesifik sekaligus menunjukkan keaslian dari penelitian ini dibanding penelitian sebelumnya terletak pada lokasi penelitian yaitu di Provinsi Kalimantan Selatan, periode data selama 7 tahun, dan unit analisis sejumlah 13 kabupaten/kota. Diharapkan penelitian ini dapat mengisi gap pada literatur yang sudah ada dengan menekankan perhatian pada faktor-faktor yang memengaruhi tingkat kemiskinan khususnya pengeluaran pemerintah, IPM, dan pertumbuhan ekonomi. 1.8 Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian 1.8.1 Ruang lingkup Penelitian ini menganalisis pengaruh pengaruh pengeluaran pemerintah, IPM, dan pertumbuhan ekonomi terhadap tingkat kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan. Wilayah studi penelitian ini adalah Provinsi Kalimantan Selatan yang yang mencakup 13 kabupaten/kota. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
13 1. Persentase kemiskinan kabupaten/kota, sebagai variabel dependen. 2. Belanja langsung pemerintah kabupaten/kota, sebagai variabel independen. 3. Indeks pembangunan manusia kabupaten/kota, sebagai variabel independen. 4. Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota, sebagai variabel independen. 5. Listrik yang tersalurkan, sebagai variabel kontrol. 1.8.2 Batasan penelitian Penelitian ini dilakukan di tahun 2017 dengan menggunakan data publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Selatan dari tahun 2010-2016 yakni berupa persentase kemiskinan, IPM, dan pertumbuhan ekonomi. Data pengeluaran pemerintah berasal dari Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Kabupaten/Kota se- Kalimantan Selatan tahun 2010-2016 yang bersumber dari Badan Keuangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. 1.9 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari lima bab dan disusun berdasarkan sistematika berikut. Bab I Pendahuluan, berisi latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, manfaat penelitian, kontribusi penelitian, ruang lingkup dan batasan penelitian serta sistematika penulisan. Bab II Tinjauan Pustaka dan Hipotesis, berisi landasan teori, uraian penelitian terdahulu dan rumusan hipotesis. Bab III Metodologi Penelitian, berisi tentang jenis dan sumber data, definisi operasional variabel, dan instrumen penelitian. Bab IV Hasil Analisis dan Pembahasan, berisi tentang deskripsi data, pengujian hipotesis dan
14 pembahasan. Bab V Simpulan, berisi tentang uraian simpulan dan implikasi penelitian.