BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nelayan merupakan suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Imron dalam (Mulyadi, 2005:7) Secara geografis, masyarakat nelayan hidup, tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara darat dan laut (Kusnadi, 2009). Potensi sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia yang sangat besar dapat dikatakan yang terbesar di dunia, sangatlah kontradiktif dengan realitas yang terjadi saat ini dimana 98,7 % nelayan Indonesia termasuk kategori nelayan kecil dan 25,14 % penduduk miskin Indonesia adalah nelayan (Ono, 2015:27). Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia mempunyai panjang pantai 81.000 km dan memiliki 17.508 buah pulau serta dua pertiga dari luar wilayahnya berupa perairan laut yang terdiri dari laut pesisir, laut lepas, teluk dan selat yang luasnya 3,1 juta km 2 (Dendi, 2005:1). Indonesia memiliki potensi perikanan yang besar serta mempunyai hak pengelolaan dan pemanfaatan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sekitar 2,7 juta km 2 sehingga luas wilayah laut yang dapat dimanfaatkan sumberdaya alam hayati dan non hayati di perairan yang luasnya sekitar 5,8 juta ton per tahun (Nikijuluw, 2002: 15). 1
Laut dapat berfungsi sebagai sumber kehidupan, penyediaan makanan, obat-obatan dan bahan-bahan material. Laut juga sebagai media transportasi dan komunikasi sehingga akan mempunyai kontribusi dalam perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Ahmad, 1996: Dahuri, dalam (Sugandi, 1996). Potensi lestari total ikan laut terdapat 7,5 persen (6,4 juta ton/tahun) dari potensi dunia berada di perairan laut Indonesia. Selain itu, berkisar 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budi daya laut seperti budi daya ikan kakap, ikan kerapu, teripang, rumput laut, dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi, dengan potensi produksi 47 juta ton/tahun. Secara keseluruhan nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia diperkirakan mencapai 82 miliar dolar AS per tahun. Berdasarkan potensi ini, masyarakat Indonesia yang kebanyakan hidup di wilayah pesisir terkhususnya nelayan sewajarnya memiliki tingkat kualitas hidup yang baik dan sejahtera. Namun, kekayaan alam Indonesia tidak cukup mampu membuat masyarakatnya luput dari ancaman kemiskinan. Kemiskinan menjadi agenda nasional yang terus dikaji secara konsisten oleh pemerintah, menyangkut kehidupan masyarakat miskin baik di perkotaan, pedesaan hingga ke daerah pesisir. Sebagai masalah global, kemiskinan sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan di berbagai keadaan hidup. Suatu ironi bagi negara maritim seperti Indonesia adalah masyarakat nelayannya merupakan golongan masyarakat paling miskin di Asia bahkan dunia (Suara Pembaruan, 18 November 2005). Walau data agregatif dan kuantitatif yang terpercaya tidak mudah diperoleh, pengamatan visual atau langsung ke kampung- 2
kampung nelayan dapat memberikan gambaran yang jauh lebih gamblang tentang kemiskinan nelayan ditengah kekayaan laut yang begitu besar. Pemandangan yang sering dijumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada beberapa rumah yang menunjukkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat tergantung pada individu yang bersangkutan. (Zainul, 2007: 36) Nelayan teridentifikasi sebagai golongan miskin, dimana sedikitnya 14,58 juta jiwa atau sekitar 90% dari 16, 2 juta jumlah nelayan di Indonesia masih berada di bawah garis kemiskinan. Padahal negara Indonesia adalah negara bahari yang pulau-pulaunya dikelilingi oleh lautan yang didalamnya terkandung berbagai potensi ekonomi khususnya di bidang perikanan, namun sampai saat ini kehidupan nelayan tetap saja masih berada dalam jurang kemiskinan. (Martadiningrat dalam Antara, 2008:1) Berdasarkan data Survei Sosial dan Ekonomi Nasional 2013 (Badan Pusat Statistik) diketahui bahwa 2,2 persen rumah tangga di Indonesia memiliki kepala rumah tangga berprofesi sebagai nelayan. Jumlahnya sekitar 1,4 juta kepala rumah tangga nelayan. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga di Indonesia sekitar empat orang. Maknanya, ada sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang kehidupannya bergantung kepada kepala rumah tangga yang berprofesi sebagai nelayan. Sebagian besar nelayan tinggal tersebar di 3.216 desa 3
yang terkategori sebagai desa nelayan (mayoritas penduduknya berprofesi sebagai nelayan). Masyarakat nelayan dikategorikan sebagai masyarakat miskin dengan indikasi bahwa tingkat perekonomiannya masih lemah karena tingkat pendapatan yang rendah, kualitas hidupnya rendah, kesejahteraan sosial rendah, dan hidup dalam kesulitan. Nelayan terjebak dalam perangkap kemiskinan yang pelik, tidak memiliki akses yang memadai terhadap pendidikan dan kesehatan. Nelayan juga kesulitan mendapatkan akses kredit karena sebagian besar bank beranggapan bahwa pinjaman bagi nelayan berisiko tinggi (survei Lembaga Demografi di Sulawesi Utara, 2014). Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat multi dimensi dan disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, infrastruktur (DKP, 2005:10). Disamping itu kurang kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi tawar masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan diwilayah pesisir. (Zainul, 2007:37). Pendapatan nelayan diperkirakan menjadi lebih kecil dengan adanya krisis ekonomi yang telah melanda bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena meningkatnya biaya operasional dari tahun sebelumnya, sementara depresiasi nilai rupiah terhadap dollar Amerika tidak dinikmati oleh nelayan kecil karena pangsa pasar nelayan tradisional ini masih terfokus dalam negeri. Hal berbeda justru dialami pengusaha perikanan yang berorientasi ekspor, dimana nilai produksi 4
perikanan mengalami peningkatan karena adanya depresiasi rupiah terhadap dollar. Tingkat pendapatan nelayan dapat diketahui dengan melihat proporsi produksi ikan dengan jumlah nelayan per hari. Indonesia memiliki proporsi produksi ikan lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Rusia (140 kg/nelayan/hari), Jepang (75 kg/nelayan/hari), USA (100 kg/nelayan/hari) dan Norwegia (98 kg/nelayan/hari) sedangkan Indonesia (5,5 kg/nelayan/hari) Dahuri, 2005: 18 dalam. Kondisi semakin diperparah lagi dengan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Hal ini dapat dilihat dari berita berbagai media massa yang menggambarkan penderitaan para nelayan akibat kenaikan BBM tersebut. Banyak nelayan yang berhenti melaut sejak pemerintah menaikkan harga BBM. (Zainul, 2007: 38) Menurut data, jumlah nelayan di Sumatera Utara sekitar 321.000 orang yang tersebar di 13 kabupaten dan kota, dari jumlah tersebut nelayan tradisional mencapai 70 persen, nelayan menengah 20 persen dan nelayan skala besar 10 persen. Berarti, nelayan yang termarginalkan adalah sekitar 70 persen dari jumlah nelayan (sekitar 224 ribu lebih) nelayan masih berada di bawah garis kemiskinan (BPS Sumut, 2009). Kabupaten Deli Serdang sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara menunjukkan jumlah penduduk miskin mulai tahun 2009-2010 mengalami penurunan. Dari 94.800 jiwa (5,7%) menjadi 91.440 (5,17%). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2016) Kabupaten Deli Serdang memiliki luas wilayah 4.339 km 2 yang terbagi dalam 33 kecamatan dan 617 desa/kelurahan, dan dihuni oleh berbagai ragam etnik/suku, agama dan budaya, antara lain suku 5
karo, Melayu, Tapanuli, dan Simalungun, dll. Mata pencaharian penduduk Deli Serdang juga beragam seperti nelayan, petani/pekebun, pegawai negri, pengusaha, buruh dan sebagainya (Badan Pusat Statistik 2016). Salah satu desa yang berada di Kabupaten Deli Serdang yang penduduknya mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan adalah dusun Bagan Percut. Bagan Percut terletak di wilayah kecamatan Percut Sei Tuan yang mempunyai luas 10.63 km 2 yang terdiri dari sembilan belas dusun. Dengan jumlah penduduk 15.183 jiwa. Jumlah penduduk yang bermatapencaharian sebagai nelayan tersebar di desa Percut, dusun 16-18 adalah 919 nelayan (Badan Pusat Statistik, 2016). Jumlah KK dusun 16 terdapat 219 KK, dusun 17 terdapat 169 KK, dan dusun 18 terdapat 236 KK. Secara teknologi yang digunakan di desa Bagan Percut, nelayan terbagi atas nelayan tradisional dan nelayan modern. Nelayan yang tergolong tradisional dilihat dari alat tangkap dan perahu yang digunakan, seperti yang menggunakan perahu dayung dengan alat tangkap jala, bubu/nama lain untuk nelayan yang menggunakan perahu dayung untuk menangkap kepiting dengan menggunakan perangkap/ranjau, dan pencari kerang yang menggunakan tangan. Nelayan yang menggunakan perahu dayung dengan alat tangkap jala dapat memperoleh bahan (hasil tangkapan) seperti udang dan ikan karena daya jangkau yang terbatas mengakibatkan terbatasnya pula bahan (hasil tangkapan) yang diperoleh nelayan. Nelayan pencari kerang menggunakan tangan untuk menangkap kerang, bahan yang diperoleh hanya jenis kerang. Waktu melaut nelayan tradisional tergantung pada pasang air laut. Ketika pasang mati maka nelayan tradisional tidak dapat melaut karena air laut naik sedangkan pada saat pasang besar/timpas nelayan 6
tradisonal akan dapat melaut karena air laut mengalami naik dan surut sehingga aktivitas melaut dapat dilakukan. Nelayan yang tergolong modern dapat dilihat dari perahu bermesin dan alat tangkap yang digunakan disesuaikan dengan perahu. Nelayan di Desa Bagan Percut menggunakan teknologi mesin yaitu mesin Jandong dan Dompeng dengan ukuran 22,25-30 kaki. Alat tangkap yang digunakan yaitu: pukat layang, trawel/katrol, jaring, pancing, dll. Perahu dengan mesin memiliki daya jangkau lebih luas dibandingkan dengan perahu dayung, sehingga melalui alat tangkap yang disesuaikan dengan perahu maka dapat menghasilkan jenis tangkapan lebih beragam seperti: ikan, udang, kepiting, cumi-cumi, songket, dll. Jam berangkat untuk melaut tergantung pasang air laut, biasanya nelayan berangkat pukul 05.00-15.00 atau 12.00-08.00. Waktu untuk melaut nelayan dengan perahu bermesin dan alat tangkap modern tidak tergantung pada pasang air laut. Baik pasang mati atau pasang besar nelayan dengan perahu bermesin dan lengkap dengan alat tangkap dapat melaut. Kehidupan masyarakat nelayan di Desa Bagan Percut sangat memprihatinkan terlihat semakin jelas sejak diterapkannya kebijakan modernisasi perikanan, untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya perikanan laut yaitu: modernisasi melalui penggunaan motorisasi dan teknologi alat tangkap yang modern. Sehingga nelayan yang tidak memiliki modal tidak dapat mengikuti perkembangan seperti pemilikan kapal dengan peralatan modern maupun pemilikan alat tangkap yang lebih modern dan keterbatasan penggunaan teknologi. Para nelayan besar/pemilik modal mampu bersaing sedangkan nelayan kecil dengan keterbatasan modal dan kemampuan terbatas pula untuk menunjukkan 7
eksistensinya. Selanjutnya berbagai program pembangunan perikanan juga tidak berpihak kepada nelayan kecil. Kondisi sanitasi nelayan masih sangat memprihatinkan, masih terdapat beberapa rumah tangga yang tidak memiliki kamar mandi dan akses air bersih sangat terbatas. Sehingga kegiatan menyuci pakaian, mandi dan kegiatan lainnya yang membutuhkan air bersih dilakukan di sungai yang juga kondisi airnya tidak layak untuk digunakan. Di desa nelayan ini terlihat beberapa rumah yang masih terbuat dari anyaman bambu dan papan, dengan beralaskan papan dan beberapa diantaranya rumah bara karena tanah tempat rumah dibangun merupakan rawa. Beberapa rumah seperti tidak terawat dan dipenuhi dengan barang-barang yang berantakan, di sekitar rumah nelayan akan tercium bau amis yang berasal dari hasil tangkapan dari laut yang kurang dibersihkan. Potensi laut yang dimiliki Indonesia tidak berbanding lurus dengan kondisi kehidupan masyarakat yang hidup dan bergantung pada hasil laut. Hampir seluruh daerah nelayan di Indonesia masyarakatnya mengalami kemiskinan dan merupakan kondisi lebih rendah apabila dibandingkan dengan kehidupan petani. Tingkat pendidikan yang rendah sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi nelayan seperti rendahnya pendapatan karena faktor pemilikan kapal maupun modal yang terbatas, sehingga berpengaruh juga terhadap kondisi permukiman yang kumuh dan rumah yang tidak layak. Beberapa perkampungan nelayan yang diketahui penulis di daerah Sumatera mengalami kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi tersebut. Kehidupan masyarakat nelayan daerah Bagan Percut lebih memprihatinkan lagi karena merupakan desa yang dekat 8
dengan kota Medan dan nelayan desa ini cukup memperoleh perhatian dan bantuan dari pemerintah. Gambaran kehidupan sosial ekonomi penduduk nelayan yang buruk terlihat dengan kasat mata melalui keadaan pemukiman, rumah yang tidak layak huni, sanitasi yang tidak baik, remaja dan anak-anak yang ikut melaut sehingga putus sekolah, pernikahan usia remaja, dll. Berdasarkan kondisi tersebut peneliti tertarik untuk meneliti mengenai Kehidupan Sosial Ekonomi Nelayan Desa Percut (Dusun Bagan) Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang. 1.2 Perumusan Masalah Dari uraian latar belakang diatas, maka masalah penelitian dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana kehidupan sosial ekonomi nelayan tradisional desa Bagan Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang? 2. Apa saja faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan pada nelayan tradisional di Desa Bagan Percut? 1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui Kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan di Desa Bagan Percut dan faktor yang menyebabkan kemiskinan nelayan Desa Bagan Percut. 9
1.3.2 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam pengembangan : 1. Secara Akademis, sebagai pengembangan konsep dan teori yang berkenaan dengan kehidupan sosial ekonomi dan penyebab kemiskinan nelayan, dan dapat memberikan sumbangan positif terhadap keilmuan di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial dan menambah referensi dan kajian bagi peneliti mendatang. 2. Secara teoritis, a. Menambah pengetahuan, pemahaman serta pengalaman tentang masalah yang diteliti. b. Membentuk pola fikir yang dinamis serta untuk mengetahui kemampuann peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh. c. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan karya ilmiah. 3. Secara Praktis dapat digunakan sebagai bahan masukan, pertimbangan dan sebagai bahan evaluasi khususnya bagi masyarakat nelayan yang miskin serta bagi Pemerintah maupun pihak-pihak luar secara umum guna mempertimbangkan pemberian bantuan kepada nelayan. 1.4 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan akan disajikan dalam enam bab sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Pendahuluan berisikan latar belakang masalah, perumusanmasalah, tujuan, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. 10
BAB II : TINJAUAN PUSATAKA Bab ini berisikan uraian konsep yang berkaitan dengan masalah dan objek yang diteliti, kerangka pemikiran beserta bagannya, defenisi konsep dan defenisi operasional. BAB III : METODE PENELITIAN Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data. BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini berisikan uraian tentang gambaran lokasi penelitian, yaitu Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. BAB V : ANALISIS DATA Berisi tentang uraian dan analisis data yang diperoleh dalam penelitian. BAB VI : PENUTUP Bab ini berisikan Kesimpulan dan Saran yang bermanfaat sehubungan dengan penelitian yang dilakukan. 11