8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hijauan Pakan Dalam meningkatkan meningkatkan produksi ternak, ketersediaan hijauan makanan ternak merupakan bagian yang terpenting, karena lebih dari 70% ransum ternak terdiri dari pakan hijauan, untuk itu diperlukan penyediaan hijauan yang berkualitas dan berkesinambungan (Farizaldi, 2011). Pengadaan hijauan makanan ternak di Indonesia sepanjang tahun masih merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak sulit didapat, baik di tingkat peternakan rakyat maupun peternakan besar. Padahal produksi hijauan makanan ternak ini pada musim hujan sangat berlimpah (Susilawai dkk, 2012). Pertambahan populasi ternak menyebabkan peningkatan kebutuhan pakan hijauan. Sumber pakan hijauan umumnya dari padang rumput atau padang penggembalaan yang luasnya semakin lama semakin berkurang karena secara bertahap telah terjadi perubahan fungsi menjadi pemukiman penduduk, kawasan industri dan perkebunan. Perubahan fungsi tersebut dapat menyebabkan area yang digunakan unuk penanaman hijauan makanan ternak terbatas, akibatnya produksi ternak menurun (Farizaldi, 2011). 2.2 Brachiaria humidicola
9 Brachiaria humidicola adalah salah satu rumput unggul yang telah beradaptasi dan dikenal oleh peternak di Indonesia. Rumput ini bisa tumbuh di hampir sebagian besar wilayah Indonesia, karena sesuai dengan iklim di Indonesia yang tropis dan toleran terhadap berbagai jenis tanah, termasuk tanah asam. Tumbuhnya semi tegak membentuk hamparan dengan ketinggian sekitar 45 cm. Bisa dipanen pada umur 3-5 bulan. Brachiaria humidicola mengandung nilai nutrisi yang baik, dicirikan dengan nilai palatabilitas dan protein yang tinggi (Fanindi dan Prawiradiputra, 2006). Rumput ini tumbuh baik pada daerah tropis dan dapat tumbuh pada musim kering kurang dari 6 bulan. Tumbuh baik pada jenis tanah apapun termasuk tanah berpasir atau tanah asam. Tinggi tempat yang cocok untuk tanaman ini sampai 3000 m dpl dengan suhu optimal tumbuh adalah 30-35 0 C (Anonim, 1999 dalam Fanindi dan Prawiraduputra, 2006). Tanaman ini dapat berkembang melalui stolon yang begitu cepat tumbuh sehingga bila ditanam di lapang segera membentuk hamparan dan dapat pula diperbanyak dengan biji. Perbanyakan dengan stolon dengan panjang 1-2 m. Produksi bahan kering 34.018 kg/ha. Dengan pemupukan nitrogen 452 kg/ha. Tanaman ini sangat palatabel apabila dipangkas pada waktu muda dan pada produsi maksimum palatabilitasnya menurun. Produksi biji dapat mencapai 10 50 kg/ha. (Permana, 2012). 2.3 Ubi Jalar
10 Ubi jalar merupakan salah satu hasil pertanian yang relatif murah dan mudah diperoleh. Ubi jalar merupakan sumber energi yang baik dalam bentuk karbohidrat. Jika dilihat dari segi komposisi, tepung ubi jalar/ ubi cilembu memiliki kandungan air 12,0%, abu 4,88%, Protein Kasar (PK) 9,47%, Serat Kasar (SK) 13,37%, Lemak Kasar (LK) 3,64%, Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) 68,64%, Total Digestible Nutrien (TDN) 80,42%, Energi Bruto (EB) 4968 kkal/kg, kalsium (Ca) 0,39%, dan fospor (P) 0,64% (Laboratorium Nutrisi Makanan Ternak Ruminansia Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, 2015), amilosa dan amilopektin sekitar 16,86-21,58% dan 20-28% (Ali dan Dewi, 2009). Ubi jalar merupakan tanaman yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan perekat karena kandungan karbohidratnya yang tinggi, disamping itu kandungan vitamin A dan mineral seperti Ca dan Fe juga menjadi kelebihan dari ubi jalar. Salah satu potensi pengembangan ubi jalar adalah dengan diolah menjadi tepung. Proses pembuatan tepung cukup sederhana dan dapat dilakukan dalam skala rumah tangga maupun industri kecil (Hackiki, 2012). 2.4 Binder Binder adalah suatu bahan yang dijadikan sebagai perekat berbagai bahan pakan. Binder memiliki beberapa fungsi, diantaranya membantu membentuk dan menstabilkan emulsi. Bahan yang biasa digunakan sebagai binder adalah bahanbahan sumber energi, misalnya molase, onggok, tepung tapioca dan tepung ubi jalar (Arif, 2010).
11 Penggunaan binder pada ransum dapat mempertahankan nilai sifat fisik hingga ke tingkat konsumen, sehingga perlu dicari bahan alternatif yang berharga murah, ketersediaannya banyak, mempunyai daya rekat yang tinggi, mudah dicerna oleh organisme, dapat bersatu dengan bahan-bahan ransum lainnya dan tidak mengandung racun (Retnani dkk, 2011). Binder diperlukan untuk mengikat komponen-komponen bahan pakan agar mempunyai struktur yang kompak sehingga tidak mudah hancur dan mudah dibentuk selama proses pembuatannya. Salah satu contoh bahan perekat alami yang dapat digunakan dalam pakan adalah pati (Retnani dkk, 2010). 2.5 Gelatinisasi Gelatinisasi adalah suatu proses pemecahan bentuk kristalin granula pati, sehingga setiap lapisan permukaan molekulnya dapat menyerap air atau larut dan bereaksi dengan bahan lain dan kondisinya tidak dapat kembali seperti semula. Beberapa manfaat gelatinisasi pada pati yaitu mampu meningkatkan penyerapan sejumlah air, dapat meningkatkan kecepatan reaksi enzimatis (amilase) untuk memecah ikatan pati menjadi bentuk sederhana yang mudah larut dan meningkatkan konversi dan kecernaan pakan (Smith, 1985 dalam Uhi, 2006). Pati tersusun dari unit-unit glukosa namun umumnya granula pati memiliki dua komponen utama, yaitu amilosa (20-30%) dan amilopektin (70-80%). Granula pati tidak larut dalam air dingin tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat maka naiknya suhu pemanasan akan meningkatkan pengembangan granula pati.
12 Pengembangan pati bersifat bolak-balik dan akan menjadi tidak bolak-balik ketika telah mencapai suhu gelatinisasi yaitu 83 o C (Fajar, 2006). 2.6 Pelet Pelet dikenal sebagai bentuk massa dari bahan pakan atau ransum yang dibentuk dengan cara menekan dan memadatkan melalui lubang cetakan secara mekanis (Suryanagara, 2006). Pakan dalam bentuk pelet merupakan salah satu bentuk pengawetan bahan pakan dalam bentuk yang lebih terjamin tingkat pengadaan dan kontinuitas penyediaannya untuk mempertahankan kualitas pakan (Retnani, 2011). Faktor yang mempengaruhi kualitas pelet antara lain kadar air, ukuran partikel, bahan penyusun dan bahan pengikat. Tujuan pembuatan pakan dalam bentuk pelet adalah untuk meringkas volume bahan sehingga mudah dalam proses pemindahan dan menurunkan biaya pengangkutan (Suryanagara, 2006). 2.7 Proses Pembuatan Pelet Pengolahan pelet terdiri dari 3 tahap, yaitu pengolahan pendahuluan (pencacahan, pengeringan dan penghancuran menjadi tepung, pembuatan pelet (pencetakan, pendinginan dan pengeringan), perlakuan akhir (sortasi, pengepakan dan penggudangan) (Tjokroadikoesoemo, 1989 dalam Krisnan dan Ginting, 2009). Pada saat penghancuran bahan akan sangat berpengaruh pada kualitas pelet karena semakin halus bahan maka pelet yang dihasilkan akan semakin padat dan berbeda dengan hasil penghancuran yang menghasilkan bahan tidak halus karena pelet yang dihasilkan
13 menjadi tidak padat dan tingkat keambaan pelet tinggi sehingga pelet mudah hancur karena ukuran partikel bahan penyusun pelet sangat berpengaruh pada kualitas pelet itu sendiri. Proses pembuatan pelet diawali dengan menggiling bahan yang dalam bentuk potongan rumput menggunakan hammer mill, sementara bahan-bahan yang sudah dalam bentuk tepung tidak perlu digiling lagi. Selanjutnya bahan dimasukkan satu persatu ke dalam wadah sesuai dengan formulasi. Bahan yang telah dimasukkan ke dalam wadah lalu diangkat menuju mixer untuk proses pencampuran. Pencampuran bahan dilakukan di dalam mixer selama 10 menit. Ransum yang telah homogen dicampur dengan air panas agar mempermudah proses geltinisasi. Selanjutnya ransum dimasukkan ke mesin pelet dan akan dicetak menjadi pelet (Retnani dkk, 2010). Pada proses pembuatan pelet terjadi pengkondisian dimana bahan dicampurkan dengan air panas dengan tujuan untuk gelatinisasi. Tujuan gelatinisasi yaitu agar memudahkan dalam penyerapan dan agar terjadi pencetakan antar partikel sehingga penampakan pelet kompak, tekstur dan kekerasannya bagus (Krisnan dan Ginting, 2009). Setelah semua bahan baku tercampur secara homogen, selanjutnya adalah mencetak campuran tadi ke dalam bentuk pelet. Perbedaan mendasar mesin pencetak pelet sederhana dan yang digunakan di industri terletak pada sistem kerja mesin tersebut. Sistem kerja mesin cetak sederhana adalah dengan mendorong bahan pakan campuran di dalam sebuah tabung besi atau baja dengan menggunakan ulir menuju lubang die berupa pelat berbentuk lingkaran dengan lubang-lubang berdiameter 2-3
14 mm. Kelemahan sistem ini adalah diperlukannya penambahan air yang dimaksudkan untuk membuat campuran pakan menjadi lunak sehingga bisa keluar melalui cetakan dan jika tidak dilakukan penambahan air ke dalam campuran bahan pakan maka mesin akan macet dan di samping itu pelet yang dihasilkan biasanya kurang padat, pengeringgan dilakukan dengan cara penjemuran dibawah sinar matahari (Muslim, 2011). Secara ringkas sebenarnya tahapan pembuatan pelet hanya meliputi beberapa proses penting yaitu pencampuran, pengaliran uap, pencetakan dan pendinginan. Bagi industri atau pabrik pakan unggas dan pakan ikan, hal tersebut umum dilakukan mengingat dukungan peralatan dan mesin yang modern pada skala usaha industri. Namun berbeda halnya dengan industri pakan ruminansia yang umumnya masih menggunakan mesin sederhana pada skala usaha menengah atau kecil. Perbedaan yang mencolok terjadi pada proses pemanasan dengan uap air yang menyebabkan pati dari bahan baku pakan menjadi gelatin melalui proses gelatinisasi agar terjadi perekatan antar partikel bahan penyusun sehingga penampakan pelet menjadi kompak, tekstur dan kekerasannya bagus. Untuk mendapatkan pelet dengan kualitas tersebut, industri modern pakan unggas atau pakan ikan akan memastikan peralatan mesin peletnya dilengkapi conditioner dan cooler. Tetapi sebagian besar pabrik pakan ruminansia masih menggunakan mesin pelet yang masih sederhana tanpa dilengkapi conditioner, akibatnya pelet yang dihasilkan banyak yang pecah atau kualitas pelet menjadi terkoreksi (Krisnan dan Ginting, 2009). 2.8 Berat Jenis
15 Berat jenis adalah perbandingan berat dari suatu volume bahan pada suatu temperatur terhadap berat air dengan volume yang sama pada temperatur tersebut. Nilai berat jenis pada ransum menunjukan tingkat kemudahan yang setara dalam pengangkutan dan kapasitas ruang penyimpanan. Semakin tinggi berat jenis maka akan semakin meningkatkan kapasitas ruang penyimpanan dan memudahkan pengangkutan dalam transportasi sehingga akan menekan biaya produksi (Syarifudin, 2001 dalam Retnani dkk, 2011). Berat jenis juga dipengaruji ukuran partikel bahan pembuat pelet. Pelet dengan bahan berserat kasar yang tinggi akang sulit dicetak, karena binder akan sulit mengikat bahan sehingga pelet tidak terbentuk dengan baik. Hal ini juga didukung pada pernyataan Johnson (1994) dalam Retnani (2011) yang menyatakan bahwa semakin banyak partikel yang halus dalam pelet, maka akan meningkatkan berat jenis.