1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat pasangan laki-laki dan perempuan mencapai tahap pernikahan. Melalui pernikahan dan menjalani hidup bersama menjadi suami istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu hidup dengan pasangan. Pernikahan adalah landasan penting dalam membentuk keluarga (Darahim, 2015). Menurut Santrock (2002), pernikahan merupakan penyatuan dua pribadi yang unik, dengan membawa pribadi masing-masing berdasar latar belakang budaya serta pengalamannya. Hal tersebut menjadikan pernikahan bukanlah sekedar bersatunya dua individu, tetapi lebih pada persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem yang baru. Artinya, perbedaan-perbedaan yang ada perlu disesuaikan satu sama lain untuk membentuk sistem baru bagi keluarga mereka. Koentjaraningrat (2005) mengungkapkan selain sebagai regulasi, perkawinan juga memiliki fungsi lain berupa perlindungan kepada anak-anak hasil pernikahan, pemenuhan kebutuhan manusia akan teman hidup, memenuhi kebutuhan akan harta dan gengsi serta pemeliharaan jaringan berhubungan baik dengan kelompok-kelompok kekerabatan tertentu. 1
2 Mempertahankan pernikahan merupakan tanggung jawab dari pasangan suami istri itu sendiri. Bahkan pengorbanan dilakukan oleh pasangan suami istri untuk mempertahankan stabilitas hubungannya dalam keadaan sulit dan bahagia (Darahim, 2015). Setiap orang yang memasuki gerbang kehidupan berkeluarga melalui pernikahan, tentu menginginkan terciptanya suatu keluarga yang bahagia lahir dan batin. Hal ini sesuai dengan tujuan pernikahan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 yang menyebutkan bahwa pernikahan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sekalipun dasar-dasar dan tujuan pernikahan telah disebutkan begitu mulia, namun saat ini banyak sekali rumah tangga yang tidak dapat meraih tujuan dari pernikahan itu. Perceraian dapat dialami oleh semua usia pasangan suami istri, baik pasangan muda yang baru menikah maupun pasangan suami istri yang memasuki usia dewasa madya yang sudah menikah lebih dari 20 tahun. Berdasarkan data Pengadilan Agama Purwokerto tahun 2016 mencapai angka 3.108 kasus. Hal ini tidak akan terjadi bila masing-masing pasangan menyadari bahwa pada usia dewasa madya tersebut merupakan masa yang istimewa karena merupakan jembatan dari masa dewasa awal ke lansia (Desmita, 2009).
3 Masa dewasa madya ini, individu memasuki peran kehidupan yang lebih luas. Menurut Erickson, orang-orang telah siap dan ingin menyatukan identitasnya dengn orang lain. Mereka mendambakan hubungan-hubungan yang intim-akrab, dilandasi rasa persaudaraan, serta siap mengembangkan daya-daya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen ini sekalipun mungkin harus berkorban. Selain itu, masa ini orang-orang yang mempunyai tempat untuk berbagi ide, perasaan dan masalah, merasa lebih bahagia dan lebih sehat dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki tempat untuk berbagi. Kemajuan pekerjaan, perkawinan, meningkatnya ekonomi, aktif untuk mengikuti kegiatan sosial dan dorongan seks bertambah sehingga disebut masa puber kedua, itu semua terjadi pada dewasa madya ini. Pada awal masa dewasa madya kemampuan fisik mencapai puncaknya, dan sekaligus mengalami penurunan selama periode ini. Namun, banyak penyesuaian yang sulit dilakukan oleh pria dan wanita yang berusia madya. Baik pria maupun wanita selalu terdapat ketakutan bahwa penampilan usia madya mereka dapat menghambat kemampuan untuk mempertahankan pasangan mereka ataupun kurang daya tarik terhadap lawan jenisnya (Papalia, 2007). Banyak orang usia madya khususnya pria secara konstan menentang perubahan-perubahan yang terjadi, mereka cenderung menolak dan tidak mau dibatasi perilakunya. Akan bahaya jika dalam penyesuaian diri seseorang pada masa dewasa madya ini timbul penolakkan, mereka akan mencari dan mengembangkan keinginan baru yang cukup menarik sehingga dapat membebaskannya dari perasaan tertekan dan tidak enak karena kehilangan
4 keinginan. Pada wanita sebagaian akan mengeluh dan mengomeli suaminya karena tidak mencukupi keinginannya. Periode ini berbahaya bagi laki-laki, sering terjadi dimana ia masih mempunyai istri namun terlibat juga dalam urusan cinta dengan perempuan lain, para laki-laki merasa jenuh dengan dengan kegiatan rutinitas sehari-hari dan kehidupan keluarga yang hanya sedikit memberikan hiburan atau merasakan kehidupannya monoton. Demikian dengan wanita yang membaktikan seluruh masa hidup dewasanya untuk mengurusi rumah tangga, menjadi bosan di usia madya. Rasa bosan tersebut berakibat semakin memperburuk situasi dan merasa tidak senang juga merasa tidak bisa dibanggakan. Kemudian apabila wanita melakukan kesenangan baru dengan meninggalkan pekerjaan rumah tangga, motivasinya akan menurun selama ukuran keluarganya mengecil, karena anak-anaknya telah meninggalkan rumah. Pada wanita di fase madya mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian hubungan yang memuaskan dengan pasangan, karena masalah yang dihadapinya terhadap peran baru yakni bahwa anak-anak telah meninggalkan rumah, serta perubahan seksual. Wanita yang memasuki masa menopause akan kehilangan kemampuan memelihara anak, merasa gelisah dan semakin membuat wanita merasa takut saat memasuki masa tersebut (Hurlock,1983). Semua pola respon tersebut merupakan tanda betapa besar keinginan seseorang memperoleh simbol status yang dapat menimbulkan percekcokan. Dan yang menyebabkan banyak laki-laki menjawab dan bersikap tidak
5 menyenangkan. Pada masa dewasa madya ini orang akan mempunyai keinginan yang tidak realistis tentang apa yang ingin dicapai, dalam menghadapi masalah yang serius dalam proses penyesuaian diri dan sosial. Meskipun konflik dalam pernikahan tidak terhindarkan, namun banyak juga orang yang berusaha keras untuk menciptakan suatu bentuk ikatan yang memuaskan, yakni dimana kedua pasangan saling memperoleh kepuasan. Myers menjelaskan bahwa ikatan cinta akan lebih menyenangkan dan langgeng apabila didasarkan pada persamaan minat dan nilai serta saling berbagi perasaan dan dukungan materi, serta keterbukaan diri secara intim (Desmita, 2009). Pelitian yang dilakukan oleh (Douvan dkk, 2009), dilaporkan bahwa hampir 60% pria dan wanita dari seluruh partisipan menginformasikan bahwa kadang-kadang mereka mengalami berbagai problem dalam kehidupan pernikahan mereka. Problem-problem pernikahan ini muncul disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya : 1) pasangan gagal mempertemukan dan menyesuaikan kebutuhan dan harapan satu sama lain; 2) salah satu pasangan mengalami kesulitan menerima perbedaan-perbedaan nyata dalam kebiasaan kebutuhan, pendapat, kerugian, dan nilai; 3) adanya perasaan cemburu dan perasaan memiliki yang berlebihan, embuat masing-masing merasa kurang mendapat kebebasan; 4) pembagian tugas dan wewenang yang tidak adil; 5) kegagalan dam berkomunikasi; 6) masing-masing pasangan tumbuh dan berkembang ke arah yang berbeda, tidak sejalan mencari minat dan tujuan sendiri-sendiri (Desmita, 2009).
6 Pada masa ini, pasangan suami istri dapat menyesuaikan diri terhadap perubahan jasmani dan mental yang dapat mempengaruhi hubungan dengan pasangannya. Karena pernikahan menuntut adanya penyesuaian diri terhadap tuntutan peran dan tanggung jawab baru dari kedua pasangan, harapanharapan tersebut sering kandas di tengah jalan dan tidak menjadi kenyataan (Anindita & Bashori, 2012). Papalia, Old dan Feldman (2008), menyebutkan banyak pernikahan yang berujung pada perceraian, akan tetapi pasangan yang terus bersama sering kali masih dapat menikmati hidup pernikahan untuk dua puluh tahun atau lebih setelah anak terakhir mereka meninggalkan rumah. Menurut Erikson Kebutuhan untuk menciptakan hubungan yang kuat, stabil, dekat dan peduli menjadi motivator yang sangat kaut bagi tingkah lau individu. Dalam membina hubungan intim, individu perlu memiliki pemahaman diri, kemampuan dalam mengekspresikan emosi, kemampuan dalam berkomitmen dan pengambilan keputusan dalam seksualitas. Pernikahan yang telah lama berjalan berkecenderungan lebih kecil untuk bercerai dibandingkan yang baru. Karena ketika pasangan tinggal bersama, mereka membangun marital capital (modal pernikahan), yakni keuntungan finansial dan emosional pernikahan yang terbentuk sepanjang pernikahan yang telah berlangsung lama, yang cenderung melanggengkan pasangan tersebut. Berkenaan dengan mempertahankan hubungan jangka panjang, merupakan hal yang penting bagi individu untuk mampu mengekspresikan emosi, komitmen, dan keputusan dalam seksualitas. Hal ini merujuk pada
7 kemampuan individu dalam melakukan penetapan, perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai hubungan yang sedang dijalani (McCabe dan Barnett, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryanti Enik dan kawan-kawan, menginformasikan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keintiman dengan komitmen pernikahan. Keintiman secara efektif menyumbang sebesar 38, 1% demi bertahannya komitmen pernikahan. (https://digilib.uns.ac.id) Penelitian yang dilakukan oleh Setyo. W. R. (2012) menginformasikan bahwa keintiman dapat terlihat dari ketergantungan tingkah laku, pemenuhan kebutuhan, kelekatan emosional, komitmen, saling berbagi, keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan, merasakan kebahagiaan, menghormati, bisa mengandalkan, saling pengertian, berbagi waktu dan kepemilikan, menerima dan memberikan dukungan emosional, berkomunikasi secara intim, dan menganggap pasangan paling berharga dalam hidup. Faktor penyebab keintiman: mengenal dan menyukai diri sendiri, kepercayaan dan perhatian, kejujuran, komitmen, mempertahankan individualitas seseorang, dan komunikasi. Sternberg (Byron & Byrne, 2001) memformulasi tiga emosi dasar yang melandasi bangunan cinta, yakni keintiman, hasrat dan komitmen. Keintiman merupakan kedekatan dua orang yang merasakan adanya perasaan yang kuat mengikat diantara mereka. Orientasi keintiman adalah pada kebahagiaan dan kenyamanan pasangannya melalui keberbagian dan saling memahami satu
8 sama lain. Sedangkan hasrat lebih berbicara pada motivasi dan ketertarikan seksual dan komitmen adalah pembicaraan tentang rasionalitas individu untuk meyakini bahwa keputusan untuk mencintai dan mempertahankan cinta itu bukan suatu yang sia-sia belaka. Namun cinta bukanlah semudah membalik telapak tangan. Meski setiap orang mengharapkan keseimbangan diantara tiga pilar emosi tersebut, namun sangat mungkin cinta lebih condong pada kebodohan, hampa, persahabatan dan romantisme. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada pasangan suami istri usia madya dengan usia 52 tahun dan istri berusia 43 tahun. Berdasarkan hasil wawancara awal dengan pasangan suami istri AM yang lama pernikahannya 23 tahun, didapatkan informasi bahwa faktor intimacy pada pasangan tersebut yaitu di awal pernikahan, ketertarikan suami terhadap istrinya karena istrinya tersebut termasuk orang yang rajin dan sederhana, sangat menghormati orangtua juga keluarga. Meskipun setelah beberapa tahun pernikahan sering terjadi perbedaan pendapat satu sama lain, tetapi mereka mencoba saling mengerti ketika ada perbedaan pendapat. Walaupun terkadang istri merasa kurang setuju dengan pendapat suami tetapi suaminya selalu memberikan pengertian agar perbedaan pendapat tersebut tidak menimbulkan pertengkaran dan menjadi masalah besar dalam pernikahannya. Menyikapi hal tersebut istrinya menyebutkan bahwa suami itu kepala keluarga, kepala rumah tangga, apapun yang menjadi keputusan suami pasti yang terbaik, sehingga istri sewajarnya menghargai keputusan suami.
9 Tentunya hal tersebut membuat suami merasa dihargai oleh istrinya sebagai kepala keluarga, hal tersebut sesuai dengan aspek nonverbal intimacy pasangan suami istri. Studi pendahuluan lainnya dilakukan pada pasangan suami istri dengan usia suami 51 tahun dan istri 47 tahun. Berdasarkan hasil wawancara pada pasangan JN yang lama pernikahannya 23 tahun, mendapatkan informasi bahwa di awal pernikahan ketertarikan suami terhadap istrinya karena istrinya sangat menghormati suami, juga termasuk istri yang penyayang dan baik. Meskipun begitu di 5 tahun awal pernikahan, istri pernah merasa kesal kepada suami. Karena menganggap suaminya tidak menghargai pendapatnya, bahkan mementingkan diri sendiri. Ketika hal tersebut sering dipermasalahkan oleh sang istri, keduanya memutuskan untuk lebih sering berdiskusi mengenai permasalahan yang terjadi agar tidak menimbulkan keributan besar. Suami beranggapan bahwa dengan sering berdiskusi akan meminimalisir perbedaan pendapat yang terjadi antara keduanya, cara demikian selalu mereka lakukan ketika menghadapi permasalahan apapun, dari keterangan tersebut sesuai dengan aspek nonverbal dari intimacy. Segrin & Jones (2005) menandaskan, bahwa keterikatan pasangan suami istri ditandai dengan perilaku komunikasi, yakni mengekspresikan keintiman dan afeksi, keterbukaan dengan pasangan, penggunaan bahasa verbal yang positif dan supportif, penggunaan bahasa non-verbal yang intim dan penuh afeksi, melakukan banyak kegiatan bersama-sama, mengeosiasikan perbedaan,
10 mengupayakan penyelesaian masalah dan memperbaiki dengan segera hubungan yang sempat kisruh dan bersedia mendengarkan pasangan dengan tulus. Keberhasilan dalam pernikahan harus diusahakan bersama. Suami dan istri harus bekerjasama dalam membangun keberhasilan dalam rumah tangga, muncul saling pengertian, saling melengkapi, saling menunjukkan penghargaan satu sama lain serta merasa saling memiliki yang termasuk kedalam sebuah intimacy pasangan pada pernikahan. Karena intimacy itulah pasangan suami istri mempertahankan hubungan jangka panjang dan merupakan hal yang penting bagi keduanya untuk mampu mengekspresikan emosi, komitmen, dan pengambilan keputusan. Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang faktor-faktor yang mempengaruhi intimacy pada pasangan suami istri fase dewasa madya. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah faktor-faktor apa yang mempengaruhi intimacy pada pasangan suami istri di fase dewasa madya? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi intimacy pada pasangan suami istri di fase dewasa madya.
11 D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat baik dari segi keilmuan maupun praktis. 1. Manfaat dari segi keilmuan, yaitu memberikan sumbangan pengetahuan dan referensi mengenai intimacy pada pasangan suami istri di fase dewasa madya. 2. Manfaat dari segi praktis bagi peneliti yaitu penelitian ini bermanfaat untuk dapat memahami intimacy dalam pernikahan, serta untuk masyarakat khususnya bagi pasangan suami istri di fase madya agar lebih memahami mengenai intimacy dalam mewujudkan rumah tangga yang bahagia.