BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Prevalensi penyakit infeksi memiliki kecenderungan yang masih cukup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat-obat andalan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Demam tifoid merupakan suatu infeksi tropis yang masih menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB 1 PENDAHULUAN. neonatus dan 50% terjadi pada minggu pertama kehidupan (Sianturi, 2011). Menurut data dari

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di Rumah Sakit di Australia, sekitar 1 % dari seluruh pasien mengalami adverse

Peranan KARS dalam mengatasi Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit. Dr Henry Boyke Sitompul,SpB Komisi Akreditasi Rumah Sakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai contoh, setiap tahunnya pengeluaran United States (US) health

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

KAJIAN DRUG RELATED PROBLEMs PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN PEDIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG TESIS

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-1. Diajukan Oleh : RIA RIKI WULANDARI J

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan masyarakat maupun dalam lingkungan rumah sakit. Penggunaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasien dengan kasus infeksi dan penggunaannya dapat bersifat empiris atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kualitas hidup pasien dan menimbulkan masalah ekonomi (Ducel dkk., 2002). Pada

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. yang rasional dimana pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. Antibiotik merupakan obat yang sering diberikan dalam menangani

BAB 1 PENDAHULUAN. yang penting khususnya di negara berkembang (Kemenkes, 2011). Di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. konsolidasi paru yang terkena dan pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB I PENDAHULUAN. Di berbagai negara khususnya negara berkembang, peranan antibiotik dalam

BAB II LANDASAN TEORI A. TINJAUAN PUSTAKA. pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Kejadian medication error (kesalahan pengobatan) merupakan indikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

ANALISIS KUALITATIF PENGGUNAAN ANTIBIOTIK GOLONGAN SEFALOSPORIN DI RUMAH SAKIT X KUPANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masalah medication error tidak dapat dipisahkan dengan Drug

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

Ringkasan dalam bahasa Indonesia (Indonesian summary)

POLA KUMAN DAN MANFAATNYA DALAM PELAKSANAAN ANTIMICROBIAL STEWARDSHIP BAHASAN

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ABSTRAK PREVALENSI GEN OXA-24 PADA BAKTERI ACINETOBACTER BAUMANII RESISTEN ANTIBIOTIK GOLONGAN CARBAPENEM DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rumah Sakit dr. Raden Soedjati Soemodiardjo merupakan rumah sakit umum milik pemerintah daerah Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN UKDW. keseluruhan yang memberikan pelayanan kuratif maupun preventif serta

BAB 1 PENDAHULUAN. mikroba yang terbukti atau dicurigai (Putri, 2014). Sepsis neonatorum adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pseudomonas aeruginosa adalah kuman patogen oportunistik yang dapat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

SASARAN, STANDAR, MAKSUD DAN TUJUAN, SERTA ELEMEN PENILAIAN SASARAN I: PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN BAYI SERTA PENINGKATAN KESEHATAN IBU DAN BAYI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PORGRAM NASIONAL STANDAR 4 PENYELENGARAAN PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIMIKROBA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

PERBEDAAN KUALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA ANAK DENGAN DEMAM TIFOID DI KELAS III DAN NON KELAS III LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

BAB I PENDAHULUAN. Obat merupakan salah satu intervensi medis yang paling efektif, jika

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Community Acquired Pneumonia (CAP) adalah penyakit saluran

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Infeksi yang diperoleh dari fasilitas pelayanan kesehatan adalah salah satu penyebab utama kematian dan peningkatan morbiditas pada pasien rawat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan Nasional (UU No.40 Tahun 2004 tentang SJSN) yang menjamin

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. kecenderungan konsumsi (pola penggunaan) obat, sebagai ukuran untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Praktek Kerja Profesi di Rumah Sakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, karena morbiditas dan mortalitasnya masih tinggi, bahkan

dalam terapi obat (Indrasanto, 2006). Sasaran terapi pada pneumonia adalah bakteri, dimana bakteri merupakan penyebab infeksi.

BAB I PENDAHULUAN. dunia. Tahun 2006, World Health Organization melaporkan lebih dari seperempat

Menurut PP 51 pasal 1 ayat 4 tahun 2009 tentang Pelayanan Kefarmasian yaitu suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang

BAB IV METODE PENELITIAN. Ruang lingkup keilmuan dalam penelitian ini adalah bidang Ilmu. Mikrobiologi Klinik dan ilmu penyakit infeksi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang paling sering dijumpai pada pasien-pasien rawat jalan, yaitu sebanyak

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

DRUG RELATED PROBLEMS KATEGORI DOSIS LEBIH, DOSIS KURANG, DAN OBAT SALAH DI INTENSIVE CARE UNIT RUMAH SAKIT ISLAM SURAKARTA PERIODE TAHUN 2007 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. dapat menurunkan tingkat kesadaran (Rahmatillah et al., 2015). Demam tifoid

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Enterobacter sp. merupakan bakteri gram negatif. berbentuk batang. Enterobacter sp.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat. Semua usaha yang dilakukan dalam upaya kesehatan tentunya akan

BAB I PENDAHULUAN. keluaran klinik yang diharapkan. Kesalahan pemberian obat (drug administration)

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Infeksi masih merupakan salah satu penyebab utama kematian dan kesakitan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya di Indonesia. Infeksi merupakan salah satu penyebab utama kematian ibu dan bayi baru lahir. Salah satu permasalahan infeksi yang paling sering dijumpai adalah infeksi oleh bakteri. Pemberian antibiotik masih merupakan pilihan utama untuk mengatasi infeksi saat ini (Kementerian Kesehatan RI, 2011 a ). Antibiotik merupakan golongan obat yang paling banyak digunakan di pelayanan kesehatan. Lebih dari seperempat anggaran rumah sakit dikeluarkan untuk biaya penggunaan antibiotik (Smith et al., 1991). Di negara maju 13-37% dari seluruh penderita yang dirawat di rumah sakit mendapatkan antibiotik baik secara tunggal maupun kombinasi, sedangkan di negara berkembang 30-80% penderita yang dirawat di rumah sakit mendapat antibiotik (Thawani et al., 2006). Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotik digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Pada penelitian tentang kualitas penggunaan antibiotik diberbagai bagian rumah sakit ditemukan 30-80% tidak didasarkan pada indikasi yang tepat (Kementerian Kesehatan RI, 2011 b ). Suatu survei yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta menunjukkan bahwa 76,8% penggunaan antibiotik untuk profilaksis bedah tidak rasional dalam hal indikasi atau lama pemberian. Survei serupa juga pernah dilakukan oleh tim peneliti Antimicrobial 1

Resistane in Indonesia (AMRIN-study) di RS Dr Soetomo Surabaya dan RSUP Dr Kariadi Semarang yang menunjukkan 83% pasien mendapat antibiotik dan 60% diantara penggunaan antibiotik tersebut tidak rasional. Hasil penilaian lebih lanjut tentang kualitas penggunaan antibiotik di RSUP Dr Kariadi antara lain menunjukkan 19-76% tidak ada indikasi untuk diberikan antibiotik, 9-45% antibiotik yang diberikan tidak tepat baik dosis, jenis dan lama pemberiannya, dan 1-8% tidak ada indikasi penggunaan antibiotik untuk profilaksis. Di Bagian Bedah di rumah sakit tersebut menunjukkan tingkat penggunaan antibiotik yang rasional kurang dari 20% (Hadi et al., 2008). Berbagai jenis antibiotik generasi baru telah banyak digunakan saat ini, namun tidak jarang gagal dalam mengendalikan infeksi. Salah satu faktor penyebab kegagalan tersebut adalah munculnya berbagai macam multi-drug resistant organism (MDRO) tidak sensitif lagi terhadap antibiotik dalam melawan infeksi, atau biasa disebut dengan fenomena resistensi antibiotik (Sjamsiah, 2007). Infeksi oleh MDRO seringkali tidak merespon terhadap pengobatan standar sehingga mengakibatkan perpanjangan penyakit dan lamanya waktu rawat inap, meningkatkan risiko kematian dan bahkan menjadi sumber penularan infeksi bagi pasien lain. Infeksi oleh MDRO sering memerlukan terapi antibiotik lini kedua bahkan lini ketiga yang harganya lebih mahal (WHO, 2012). Salah satu antibiotik lini ketiga dari golongan karbapenem yang masih poten secara empirik dan definitif melawan infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri multi-drug resistant (MDR) adalah meropenem. Karena sifatnya yang tidak mudah dirusak oleh betalaktamase, termasuk extended spectrum betalactamase (ESBL) dan tipe Amp C chromosomal, meropenem aktif melawan 2

bakteri yang telah resisten terhadap sefalosporin generasi ketiga dan beberapa bakteri MDR gram negatif seperti Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter spp. Meropenem menjadi pilihan utama dan pertahanan terakhir untuk terapi berbagai infeksi serius (Ayalew et al., 2003). Namun demikian, kini penggunaan meropenem terancam oleh munculnya beberapa laporan kasus resistensi. Adanya resistensi beberapa strain P. aeruginosa, Acinetobacter spp. dan Enterobacteriaceae penghasil ESBL terhadap meropenem telah dilaporkan oleh Hong et al. (2005) dan Wolter et al. (2008). Centre for Disease Control and Prevention (CDC) menyatakan bahwa resistensi terhadap antibiotik golongan karbapenem telah menyebar atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain di seluruh dunia. Infeksi oleh Klebsiella pneumoniae carbapenemase yang resisten terhadap karbapenem, pertama kali ditemukan pada tahun 2001 terbatas hanya di Amerika Serikat, namun sekarang telah menyebar ke 37 tempat lain di dunia. Tipe Carbapenem resistant- Enterobacteriaceae (CRE) yang lain, yakni NDM-1 (New Delhi metallo-betalactamase), yang pertama kali teridentifikasi di India dan Pakistan, sekarang telah pula ditemukan di Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Inggris dan Australia (CDC, 2011 b ). Resistensi bakteri yang terjadi secara cepat umumnya terjadi akibat perilaku peresepan antibiotik dan perilaku petugas kesehatan yang masih jauh dari rasional (Dwiprahasto, 2005). Penggunaan antibiotik yang tidak rasional seperti penggunaan yang berlebihan, dosis yang tidak adekuat dan lama terapi yang tidak tepat merupakan pemicu utama terjadinya resistensi antibiotik (CDC, 2011 a ; 3

WHO, 2012). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2011) menyatakan bahwa munculnya bakteri yang resisten terhadap antibiotik disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak bijak. Sementara beberapa studi juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan antibiotik yang tidak tepat dengan kejadian resistensi antibiotik (Adisasmito dan Tumbelaka, 2006; Fauziyah et al., 2011). Dampak akibat resistensi tersebut harus ditanggulangi bersama dengan cara yang efektif, antara lain dengan menggunakan antibiotik secara rasional, melakukan intervensi untuk mengoptimalkan penggunaan antibiotik dan melakukan monitoring serta evaluasi penggunaan antibiotik terutama di rumah sakit yang merupakan tempat paling banyak ditemukan penggunaan antibiotik (Kementerian Kesehatan RI, 2011 b ). Apoteker klinik di rumah sakit sebagai drug expert memiliki tanggung jawab dan peran besar dalam hal rasionalitas pengobatan kepada pasien (ACCP, 2005). Apoteker tidak hanya bertanggung jawab atas obat sebagai produk dengan segala implikasinya, melainkan juga bertanggung jawab terhadap efek terapetik dan keamanan suatu obat agar mencapai efek yang optimal. Memberikan pelayanan kefarmasian secara paripurna dengan memperhatikan faktor keamanan pasien, antara lain dalam proses pengelolaan sediaan farmasi, melakukan monitoring dan mengevaluasi keberhasilan terapi, memberikan pendidikan dan konseling serta bekerja sama erat dengan pasien dan tenaga kesehatan lain merupakan suatu peran penting Apoteker rumah sakit yang harus dilakukan (Depkes, 2008). Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit dijelaskan bahwa Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) wajib melakukan 4

pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan, dimana salah satu kegiatannya adalah melakukan pengkajian penggunaan obat. Pengkajian penggunaan obat merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai dengan indikasi, efektif, aman dan terjangkau oleh pasien dan bertujuan mendapatkan gambaran penggunaan obat serta menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan obat di rumah sakit (Depkes, 2004). Beberapa studi menunjukkan bahwa Apoteker memiliki peran yang sangat besar dalam keberhasilan terapi pasien rawat inap di rumah sakit. Dengan melakukan berbagai kegiatan pharmacy on ward seperti ronde atau visite pasien baik secara sendiri atau bersama dengan tenaga kesehatan lain, melakukan skrining resep dan mengkaji penggunaan obat, maka Apoteker berperan menurunkan angka kejadian medication error (Kaushal et al., 2008), mencegah dan mengatasi terjadinya adverse drug reaction (ADR) serta mencegah dan mengatasi terjadinya interaksi obat baik potensial maupun aktual. Bahkan MacLaren et al. (2008) menemukan bahwa angka rata-rata mortalitas, lama masa rawat inap atau length of stay (LOS) dan biaya obat pasien infeksi di ruang intensive care unit (ICU) yang di dalamnya tidak ada Apoteker yang terlibat, nilainya lebih besar dibanding di ruang ICU yang didalamnya terdapat Apoteker klinik. Pelayanan informasi obat merupakan salah satu kegiatan pelayanan kefarmasian dalam penggunaan obat dan alat kesehatan yang wajib dilakukan oleh farmasi rumah sakit sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik 5

Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi Rumah Sakit. Pemberian informasi obat yang akurat, tidak bias, dan terkini yang dilakukan oleh Apoteker baik kepada pasien, dokter dan tenaga kesehatan lain diharapkan mampu meningkatkan kualitas pengobatan yang efektif, aman, rasional dan terjangkau oleh masyarakat (Depkes RI, 2004). Di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Jombang Jawa Timur, tren penggunaan antibiotik meropenem kini semakin meningkat. Rata-rata lebih dari 10 pasien menerima terapi meropenem setiap bulannya, namun sampai saat ini belum ada data tentang rasionalitas penggunaannya. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penelitian ini akan mengkaji kualitas (ketepatan/rasionalitas) penggunaan antibiotik meropenem di RSUD Kabupaten Jombang yang dinilai menggunakan alur kategori Gyssens serta menilai pengaruh pemberian informasi obat oleh Apoteker kepada dokter pemberi terapi terhadap kualitas penggunaan antibiotik tersebut. Metode penilaian menggunakan alur kategori Gyssens dipilih sesuai dengan petunjuk evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 tentang pedoman umum penggunaan antibiotik. B. Perumusan Masalah Penelitian ini akan mencari jawaban atas bagaimanakah kualitas penggunaan antibiotik meropenem sebelum dan sesudah pemberian informasi 6

obat oleh Apoteker kepada dokter pemberi terapi di bangsal rawat inap RSUD Kabupaten Jombang? C. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotik meropenem sebelum dan sesudah pemberian informasi obat oleh Apoteker kepada dokter pemberi terapi di bangsal rawat inap RSUD Kabupaten Jombang. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi rumah sakit Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada tenaga kesehatan di rumah sakit tentang bagaimana kualitas penggunaan antibiotik meropenem serta menjadi bahan pertimbangan penggunaan antibiotik meropenem yang tepat sebagai upaya pencegahan resistensi antibiotik dan mendukung program patient safety. 2. Bagi apoteker Dengan penelitian ini, diharapkan dapat menunjukkan peran apoteker dalam sistem pelayanan kesehatan di rumah sakit. E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang kajian kualitas penggunaan antibiotik meropenem di RSUD Jombang terkait pemberian informasi obat belum pernah dilakukan. 7

Sepengetahuan peneliti berdasarkan penelusuran pustaka yang ada, penelitian terkait yang pernah dilakukan adalah : 1. Prospective drug utilization evaluation of three broad-spectrum antimicrobials : cefepime, piperacillin-tazobactam and meropenem yang dilakukan oleh Raveh et al. (2006) di University-affiliated general hospital, Jerusalem. Penelitian ini menyusun sebuah guideline atau pedoman penggunaan tiga antibiotik yang diteliti, kemudian membandingkan ketepatan atau rasionalitas penggunaannya pada dua fase penelitian, sebelum dan sesudah pemberian edukasi menggunakan defined daily dose DDD/1000. Perbedaan kualitas pada dua fase tersebut dianalisa menggunakan two-tailed student s t-test. Kedua data, sebelum dan sesudah educational intrvention, diambil secara prospektif. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa rasionalitas berbeda secara signifikan antar departemen (p < 0,001) dan diantara 2 fase (p < 0,05). Perbedaan mayor dari 2 survei yang dilakukan adalah penurunan penggunaan meropenem (p < 0,05). 2. Pengaruh Pemberian Informasi Obat Berdasarkan Beers Criteria Terhadap Pola Pemberian Obat Pada Pasien Usia Lanjut Rawat Inap Penyakit Dalam Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Periode Mei-Agustus 2010 yang dilakukan oleh Januar (2010). Pemberian informasi obat tentang beers criteria diberikan kepada dokter yang bertugas di rawat inap penyakit dalam menggunakan metode discussion grup. Hasil penelitian membuktikan bahwa pemberian informasi obat berdasarkan beers criteria tabel I dan II berpengaruh terhadap penurunan penggunaan obat-obat dalam cakupan beers 8

criteria pasien usia lanjut rawat inap masing-masing sebesar 20,27% dan 2,27%. 3. Pengaruh Pemberian Informasi Obat Terhadap Potensi Interaksi Obat pada Pasien Rawat Inap Penyakit Dalam Di RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Periode Mei-Agustus 2010 yang dilakukan oleh Sari (2010). Pemberian informasi obat tentang interaksi obat diberikan kepada dokter yang bertugas di rawat inap penyakit dalam menggunakan metode discussion grup. Hasil penelitian membuktikan bahwa pelayanan informasi obat berpengaruh menurunkan potensi interaksi obat 2,66% dimana sebelumnya sebesar 56,76% (n=259) dan 54,10% (n=366). Potensi interaksi obat sebelum dan sesudah pelayanan informasi obat masing-masing 16,6% dan 15,3%. 4. Evaluasi Kualitatif Penggunaan Antibiotika Dengan Metode Gyssens Di Ruang Kelas 3 Infeksi Departemen ilmu Kesehatan Anak RSCM Secara Prospektif yang dilakukan oleh Pamela (2011). Penelitian ini mengevaluasi pengaruh intervensi apoteker dalam meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik. Intervensi berupa rekomendasi diberikan kepada penulis resep atas masalah ketidaktepatan penggunaan antibiotik yang ditemukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi meningkatkan ketepatan penggunaan antibiotik dari 0% menjadi 67,1%). Sedangkan penelitian yang akan dilakukan ini adalah melakukan kajian kualitas penggunaan antibiotik meropenem yang dinilai menggunakan alur kategori Gyssens sebelum dan sesudah adanya pemberian infromasi obat di bangsal rawat inap RSUD Jombang, sehingga dapat dinyatakan bahwa penelitian 9

yang akan dilakukan ini berbeda dengan penelitian yang telah ada dalam hal waktu, tempat dan metode penelitian yang digunakan. 10