24 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Panjang Tubuh Anak Ayam Lokal Panjang tubuh anak ayam lokal dapat menjadi acuan untuk memprediksi perkembangan ayam. Hasil penelitian panjang tubuh anak ayam yang diinkubasi menggunakan empat mesin tetas dengan pola temperatur yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Panjang Tubuh Anak Ayam Lokal Panjang Tubuh Mesin M1 M2 M3 M4 Rata-rata (cm) 16,70 16,14 16,25 15,09 Nilai Terendah (cm) 15,00 14,50 15,00 14,50 Nilai Tertinggi (cm) 18,00 17,40 18,00 15,60 Standar Deviasi (s) 0,67 0,74 0,71 0,41 Koefisien Variasi (%) 4,00 5,37 4,34 2,73 Pendugaan Parameter (cm) 16,70 ± 0,26 16,14 ± 0,32 16,25 ± 0,23 15,09 ± 0,31 Jumlah data (n) 25 20 35 7 Keterangan : M1: (temperatur 37,8 o C (hari 1-18) ; 37,3 o C (hari 19-21) M2: (temperatur 37,8 o C (hari (1-10); 37,3 o C (hari 11-18); 36,8 o C (hari 18-21) M3: (temperatur 37,5 o C (hari 1-18) ; 37,0 o C (hari 19-21) M4: (temperatur 37,5 o C (hari (1-10); 37,0 o C (hari 11-18); 36,5 o C (hari 18-21) Dari Tabel 2, dapat dilihat rataan panjang tubuh anak ayam lokal yang menetas beragam dari mesin satu hingga mesin empat. Rata-rata panjang tubuh anak ayam lokal memiliki niali taksiran antara 15,09 ± 0,31 cm hingga 16,70 ± 0,26 cm. Nilai tersebut merupakan taksiran suatu parameter dengan mengukur nilai ratarata dengan selang kepercayaan untuk menduga nilai rata-rata dari populasi. Panjang tubuh rata-rata anak ayam lokal pada mesin M1 mendapat hasil tertinggi
25 yakni 16,70 ± 0,26 cm, kemudian berturut-turut M3 16,25 ± 0,32 cm, M2 16,14 ± 0,32 cm dan M4 15,09 ± 0,31 cm. Mesin M1 mendapat rataan panjang tubuh yang lebih tinggi diantara ketiga mesin lainnya dengan pengaturan suhu masa setter (hari 1-18) 37,8 o C dan diturunkan menjadi 37,3 o C pada masa hatcher (hari 19-21). Hal ini sesuai dengan yang pernyataan Lourens dkk., (2005) bahwa temperatur yang konstan pada 37,8 o C sampai hari ke 18 (fase setter) menghasilkan perkembangan embrio terbaik. Perkembangan embrio yang baik salah satunya dapat dilihat dari panjang tubuh sesuai dengan pendapat Hill (2001) bahwa pengukuran kuantitatif seperti panjang tubuh ayam mencerminkan anak ayam dengan kualitas yang baik. Faktor suhu yang terlalu rendah bisa berpengaruh terhadap panjang tubuh anak ayam lokal seperti yang diperoleh Mesin M2 dan M4. Temperatur kedua mesin tersebut diturunkan sebanyak dua kali akan tetapi Mesin M2 memiliki hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan M4 dengan rataan panjang tubuh 16,14 ± 0,32 cm. Pada M2 suhu awal (37,8 o C) kemudian diturunkan pada hari 10-18 menjadi 37,3 o C dan suhu akhir 36,8 o C. Pada mesin M4 pada hari 1-10 suhu berada pada 37,5 o C, kemudian diturunkan menjadi 37,0 o C dan terakhir diturunkan menjadi 36,5 o C. Mesin M4 menghasilkan panjang tubuh paling rendah dengan rataan 15,09 ± 0,31 cm. Ensminger dkk., (2004) menyatakan bahwa suhu optimal untuk perkembangan embrio pada saat inkubasi adalah 37,2-39,4 C. Meski suhu M2 dan M4 pada awalnya diantara 37,2 39,4 C akan tetapi pada akhir inkubasi suhu inkubasi di bawah kisaran yakni 37,2 C. Srigandono (1997) menyatakan bahwa secara umum kepekaan embrio terhadap fluktuasi temperatur secara berlebihan, bervariasi dari minggu ke minggu. Minggu pertama sangat peka, minggu kedua dan
26 ketiga kurang peka dan kembali peka pada minggu ke empat. Di minggu pertama dan keempat embrio rentan terhadap perubahan suhu inkubasi yang dapat menyebabkan terganggunya perkembangan embrio dalam telur, namun tidak menutup kemungkinan juga pada minggu kedua dan ketiga terjadi kegagalan jika terjadi perubahan suhu inkubasi. Telur ayam akan menetas jika disediakan lingkungan dengan suhu yang optimal. Temperatur optimal untuk penetasan pada ayam adalah antara 37,0-38,0 o C (98,0 100,4 o F) meski pada temperatur 35.0-42.2 o C masih memungkinkan untuk dilakukan penetasan (Nick, 2010), akan tetapi suhu pada mesin M4 menjadi suhu yang terendah dibandingkan dengan mesin lainnya yang menyebabkan keterlambatan dalam perkembangan embrio. Perkembangan tulang dipengaruhi oleh mineral kalium (K) dan Kalsium (Ca). Dalam penelitian Molenaar dkk., (2010) menyatakan dengan suhu sangat tinggi diatas 38,2 o C dapat menurunkan panjang tubuh anak ayam jika dibandingkan dengan suhu tinggi diantara 37,8 o C 38,2 o C dan secara signifikan ukuran tulang lebih panjang dibandingkan dengan suhu yang rendah. Kurtul dkk., (2009) melaporkan bahwa perkembangan tulang yang lebih tinggi pada masa inkubasi dengan suhu inkubasi yang tinggi diantara 37,8 o C 38,2 o C menyebabkan absorpsi kalsium dan phosphor yang lebih banyak, sebagai dampak terhadap peningkatan absoprsi mineral. Hal ini berdampak pada pertumbuhan tulang pada anak ayam lokal menghasilkan tubuh lebih panjang. 4.2 Prosentase Berat Yolk Sac Anak Ayam Lokal Prosentase berat yolk sac didapatkan dari yolk sac yang tersisa dibagi dengan berat tubuh anak ayam. Semakin rendah prosentase yolk sac diperkirakan
27 akan semakin baik perkembangan ayam. Prosentase berat yolk sac hasil penelitian disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Prosentase Berat Yolk Sac Anak Ayam Lokal Bobot Yolk Sac Mesin M1 M2 M3 M4 Prosentase Yolk Sac (%) 4,94 6,54 5,66 6,76 Rata-rata (gram) 1,51 1,95 1,88 1,80 Nilai Terendah (gram) 0,80 0,80 0,60 1,50 Nilai Tertinggi (gram) 2,50 3,00 3,90 2,30 Standar Deviasi (s) 0,64 0,68 0,94 0,36 Koefisien Variasi (%) 42,39 35,00 49,79 19,77 Pendugaan Parameter (g) 1,51 ± 0,44 1,95 ± 0,55 1,88 ± 0,55 1,80 ± 0,44 Jumlah sample (n) 8 6 11 3 Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa kisaran rataan berat yolk sac anak ayam lokal pada penelitian ini yakni antara 1,51 ± 0,44 gram 1,95 ± 0,55 gram. Nilai tersebut merupakan interval nilai rata-rata sample yang memuat suatu parameter dengan mengukur nilai rata-rata dengan selang kepercayaan untuk mendapat nilai rata-rata dari populasi. Yolk sac ini memiliki ptrosentase berat antara 4,94 % - 6,76%. Rataan prosentase berat yolk sac berturut-turut pada penelitian ini adalah mesin M1 4,94%, M3 5,66%, M2 6,55% dan M4 6,76%. Sisa yolk sac tertinggi yakni M4 dengan prosentase 6,76% sedangkan berat yolk sac terendah yakni M1 dengan prosentase 4,94%. Secara keseluruhan prosentase dalam penelitian ini lebih baik dibandingkan pada penelitan Elsayed dkk., (2009) yang melaporkan bahwa prosentase anak ayam yang baru menetas berkisar antara 7 % - 12%. Namun hal ini bisa terjadi karena perbedaan jenis ayam yang digunakan serta pola pengaturan suhu yang diberikan.
28 Sisa yolk sac pada mesin M4 lebih tinggi dibandingkan dengan mesin yang lainnya menunjukan penyerapan kuning telur selama inkubasi kurang optimal. Faktor yang dapat menyebabkan gangguan absorpsi kuning telur yakni fluktuasi temperatur pada M4 terjadi perubahan sebanyak dua kali serta suhu inkubasi di bawah 37 o C sehingga menyebabkan kekurangan panas dalam mengabsorpsi kuning telur, begitu pula dengan mesin M2. Penyerapan kuning telur mempengaruhi perkembangan dan pematangan saluran pencernaan sehingga menghasilkan pertumbuhan post-hatch yang lebih berhasil. Selama masa inkubasi keseluruhan massa kuning telur sebaiknya dipertahankan konstan agar dapat diserap dengan baik oleh embrio. Sisa kuning telur yang tidak terserap dari proses penetasan akan diserap dan dimanfaatkan pada posthatching (Vieira dan Moran (1999)). Mesin M1 dan M3 menunjukan residu kuning telur yang dihasilkan lebih rendah dengan prosentase masing-masing 4,94% dan 5,66%. Kedua mesin ini menggunakan pola temperatur optimal pada suhu 37 o C dan stabil dari awal hingga akhir penetasan. Hal ini menyebabkan penyerapan sekresi protein dan lemak oleh Yolk Sac Membrane (YSM) berjalan dengan baik. Powell dkk., (2004) menyatakan bahwa pada penetasan ayam yang diinkubasi pada temperatur di atas atau di bawah 37 o C sampai 38 o C menghasilkan sisa kuning telur yang banyak, sedangkan anak ayam yang diinkubasi pada kondisi yang optimal pada 37 o C memiliki sisa kuning telur yang lebih sedikit. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Lourens dkk., (2005) bahwa temperatur yang konstan pada 37,8 o C sampai hari ke 18 (fase setter) masa inkubasi menjadi temperatur yang optimal untuk mendapatkan perkembangan embrio terbaik. Hal ini dapat dilihat dari bobot kuning telur yang lebih rendah. Hal ini
29 senada dengan Esteban dkk., (1991) yang menyatakan bahwa penyerapan kuning telur diperkirakan bisa memastikan perkembangan dan pematangan saluran pencernaan sehingga menghasilkan pertumbuhan post-hatch yang lebih baik. Pada saat menetas fungsi fisiologis anak ayam menunjukan tingkat perkembangan yang berbeda, masuk akal bila nutrisi dari sisa kuning telur memfasilitasi adaptasi kebutuhan nutrisi dari anak ayam yang dipengaruhi oleh faktor fisiologis dan lingkungan.