HASIL. Rasio Panjang Panjang. Varietas

dokumen-dokumen yang mirip
HASIL Hubungan ciri morfologi malai jantan dan stadia mikrospora

TINJAUAN PUSTAKA Morfologi Bunga Kedelai Induksi Androgenesis

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 2,4-D terhadap induksi pembelahan sporofitik mikrospora anggrek bulan

INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK MIKROSPORA KEDELAI MELALUI KULTUR ANTERA PADA SISTEM MEDIA DUA LAPIS BUDIANA

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan

BAB III METODE PENELITIAN. Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga. Untuk analisis sitologi

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB I PENDAHULUAN. dan usaha komersil pada mulanya hanya dikenal di negara-negara maju, namun

ABSTRACT. Key word: hormone 2,4-D, microspore, P. amabilis, sporofitik cleavage.

Kultur Invitro untuk Tanaman Haploid Androgenik. Yushi Mardiana, SP, Msi Retno Dwi Andayani, SP, MP

INDUKSI HAPLOID Dianthus chinensis MELALUI ANDROGENESIS SECARA IN VITRO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D.

BAHAN DAN METODE. I. Uji Daya Hasil Galur-galur Padi Gogo Hasil Kultur Antera.

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Padi

RINGKASAN. Induksi Pembelahan Sporofitik Mikrospora Anggrek Bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Bl.) dengan Perlakuan Hormon 2,4-D

STUDI KULTUR ANTER SEMANGKA (Citrullus lanatus (Thunb.) Matsum & Nakai) Oleh YOGO ADHI NUGROHO A

INDUKSI EMBRIOGENESIS MIKROSPORA Nicotiana tabacum L. cv. Vorstenlanden DENGAN STRES PANAS DAN PELAPARAN

PENGARUH STRES PELAPARAN DAN SUHU TINGGI TERHADAP INDUKSI EMBRIOGENESIS MIKROSPORA TEMBAKAU

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Gedung

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

Percobaan 2: Pengaruh Paclobutrazol terhadap Pertumbuhan dan Pembungaan Jahe

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada awalnya kedelai dikenal dengan beberapa nama botani yaitu Glycine soja

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TEKNIK PERSILANGAN BUATAN

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Brokoli (Brassica oleracea L. var. italica Plenck) Struktur morfologi brokoli berupa akar, tangkai, daun dan bunga (Gambar

Gambar 3. Tanaman tanpa GA 3 (a), Tanaman dengan perlakuan 200 ppm GA 3 (b)

13/10/2012 PENDAHULUAN. REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.)

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

MORFOLOGI TANAMAN KEDELAI

BAB I PENDAHULUAN. terutama di negara-negara berkembang dan yang sedang berkembang baik di

HASIL DA PEMBAHASA. Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

TINJAUAN PUSTAKA. antara cm, membentuk rumpun dan termasuk tanaman semusim.

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lampiran 1. Deskripsi Tanaman Kedelai Varietas Argomulyo VARIETAS ARGOMULYO

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Penentuan Karakter Morfologi Penciri Ketahanan Kekeringan Pada Beberapa Varietas Kedelai

Gambar 2.1 Pembentukan gametofit jantan (Sumber Fahn, 1991)

(Glycine max (L. ) Merr. )

BAB III METODE PENELITIAN. Tanaman cabai rawit (Capsicum frutescens L.) varietas Dewata F1

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan / Ilmu Tanaman Fakultas

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian Percobaan I: Pengaruh Tingkat Berbuah Sebelumnya dan Letak Strangulasi Terhadap Pembungaan Jeruk Pamelo Cikoneng

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini disusun menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

PENGERTIAN. tanaman atau bagian tanaman akibat adanya

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Tanaman

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

SET 5 REPRODUKSI SEL 2 (GAMETOGENESIS) Gametogenesis adalah pembentukan gamet pada tubuh makhluk hidup. a. GametOGenesis pada manusia dan hewan

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kacang Tanah

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

Tugas Akhir - SB091358

III. BAHAN DAN METODE

BAHAN AJAR DASAR-DASAR GENETIKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PROSES PEMBENTUKAN BIJI PADA ANGIOSPERMAE

BIOTEKNOLOGI TERMINOLOGI DAN MACAM KULTUR JARINGAN

EMBRIOGENESIS IN VIVO PADA BIJI MELINJO (Gnetum gnemon L.) DAN PENGARUH ASAM ABSISAT TERHADAP PERKEMBANGAN IN VITRO BAKAL EMBRIO

1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan

Hasil dan pembahasan. A. Pertumbuhan tanaman. maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. jaman Romawi (Stephens, 2009). Brokoli masuk ke Indonesia sekitar 1970-an dan

POKOK BAHASAN XIV. POLIEMBRIONI, APOMIKSIS DAN EMBRIOLOGI EKSPERIMENTAL

Tabel Perbedaan Sel Prokariotik dan Sel Eukariotik Perbedaan Sel Prokariotik Sel Eukariotik Ukuran Sel

Isi Materi Kuliah. Pengertian Kalus. Aplikasi Kultur Kalus. Kultur Kalus 6/30/2011

DUNIA TUMBUHAN. Plant 1. 1/24

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

KERAGAAN KARAKTER PURWOCENG (Pimpinella pruatjan Molk.) HASIL INDUKSI MUTASI SINAR GAMMA DI TIGA LOKASI. Oleh Muhammad Yusuf Pulungan A

PEMBUATAN MEDIA KULTUR JARINGAN TANAMAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Morfologi dan Syarat Tumbuh Tanaman Kedelai. Kedelai merupakan tanaman asli subtropis dengan sistem perakaran terdiri dari

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember Maret 2012,

POKOK BAHASAN V. GYMNOSPERMAE STRUKTUR OVULUM DAN PERKEMBANGAN GEMETOFIT BETINA

PERKEMBANGAN MIKROSPORA DAN INDUKSI PEMBELAHAN SPOROFITIK PADA KULTUR ANTERA KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq.) POPI SEPTIANI

TINJAUAN PUSTAKA. Botani dan Morfologi Kacang Tanah

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERSAINGAN TEKI (Cyperus rotundus L.) TERHADAP PRODUKSI TANAMAN KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.)

SKRIPSI. Persyaratan Sarjana-1. Disusun Oleh: VINA A FAKULTA

3. METODOLOGI PENELITIAN

ANDROESIUM A. Landasan Teori ANTERA

RESPON TANAMAN TOMAT TERHADAP FREKUENSI DAN TARAF PEMBERIAN AIR RISZKY DESMARINA A

PERTUMBUHAN JASAD RENIK

ANALISIS PERTUMBUHAN TANAMAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stevia (Stevia rebaudiana) merupakan salah satu jenis tanaman obat di

Kurva standar HPLC analitik untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-prolil).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Phalaenopsis amabilis (L.) Bl. adalah sebagai berikut:

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Umum Kultur Pada Kultivar Jerapah dan Sima

BAB I PENDAHULUAN. diolah menjadi makanan seperti kue, camilan, dan minyak goreng. kacang tanah dari Negara lain (BPS, 2012).

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)

I. PENDAHULUAN. Tanaman hias khususnya bunga merupakan salah satu komoditas hortikultura

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA KULTUR ANTHERA PEPAYA SECARA IN VITRO UNTUK MENGHASILKAN TANAMAN HAPLOID. Jenis Kegiatan PKM Artikel Ilmiah

MISKONSEPSI PADA BUKU PELAJARAN BIOLOGI KELAS 3 SLTP POKOK BAHASAN PERKEMBANGBIAKAN TUMBUHAN

Transkripsi:

14 HASIL Hubungan Morfologi Kuncup Bunga dengan Perkembangan Mikrospora Fase perkembangan mikrospora pada bunga dapat ditandai dengan perubahan morfologi bagian bunga. Pada bunga kedelai, perkembangan kuncup bunga dapat berdasarkan kepada rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup bunga. Hubungan antara rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup dengan fase perkembangan mikrosporanya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Hubungan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup bunga kedelai dengan fase perkembangan mikrospora Varietas Rasio Panjang Panjang Fase Perkembangan Mikrospora (%) Braktea/Kuncup Kuncup (mm) ITT ITR IDL Polen PTI Sindoro 2/2,5 2,5-3,0 19,3 80,7 0,0 0,0 0,0 2/3,0 3,0-3,5 0,0 72,5 27,5 0,0 0,0 2/3,5 3,5-4,0 0,0 59,0 32,8 8,2 0,0 2/4,0 4,0-5,0 0,0 8,0 60,8 31,2 0,0 2/5,0 5,0-5,5 0,0 0,0 32,9 67,1 0,0 2/6,0 5,5-6,0 0,0 0,0 0,0 49,2 50,8 Slamet 2/2,5 2,5-3,0 31,7 68,3 0,0 0,0 0,0 2/3,0 3,0-3,5 0,0 88,1 11,9 0,0 0,0 2/3,5 3,5-4,0 0,0 75,4 24,6 0,0 0,0 2/4,0 4,0-5,0 0,0 32,6 67,4 0,0 0,0 2/5,0 5,0-5,5 0,0 0,3 8,8 90,8 0,0 2/6,0 5,5-6,0 0,0 0,0 0,0 46,4 53,6 Wilis 2/2,5 2,5-3,0 23,0 77,0 0,0 0,0 0,0 2/3,0 3,0-3,5 0,0 82,3 17,7 0,0 0,0 2/3,5 3,5-4,0 0,0 60,0 40,0 0,0 0,0 2/4,0 4,0-5,0 0,0 6,6 42,5 50,9 0,0 2/5,0 5,0-5,5 0,0 0,0 24,1 75,9 0,0 2/6,0 5,5-6,0 0,0 0,0 0,0 36,3 63,7 ITT: fase berinti tunggal awal-tengah, ITR: fase berinti tunggal akhir, IDL: fase berinti dua awal, PTI: polen tanpa inti. Kuncup bunga dengan rasio panjang braktea terhadap panjang kuncup 2/2,5 (panjang kuncup 2,5-3,0 mm) mengandung mikrospora yang sebagian besar pada fase berinti tunggal akhir dan sebagian kecil pada fase berinti tunggal awaltengah. Sedangkan pada rasio kuncup 2/3-2/3,5 (panjang kuncup 3,0-4,0 mm), sebagian besar mikrospora mempunyai fase berinti tunggal akhir dan sebagian kecil sudah pada fase berinti dua awal. Untuk kuncup dengan rasio 2/4 (panjang kuncup 4,0-5,0 mm), sebagian besar mikrospora pada fase berinti dua awal dan sebagian kecil masih pada fase berinti tunggal akhir. Sedangkan untuk kuncup rasio 2/5 (panjang kuncup 5,0-5,5 mm) umumnya fase mikrospora telah

15 berkembang menjadi polen dewasa dengan inti vegetatif lebih besar berbentuk bulat atau sirkuler dan inti generatif yang nampak memanjang. Pada kuncup rasio 2/6 (panjang kuncup 5,5-6,0 mm) untuk ketiga varietas fase mikrosporanya sudah menjadi polen dewasa dan polen tanpa inti. Tahapan dan fase perkembangan mikrospora disajikan pada Gambar 3. A B C D E F Gambar 3 Fase perkembangan mikrospora kedelai. (A) fase berinti tunggal awal-tengah, (B) fase berinti tunggal akhir, (C) fase berinti dua awal (D) fase berinti dua akhir (E) polen dewasa, (F) fase polen tanpa inti. Garis skala = 25µm untuk A- F. Pengaruh Fase Perkembangan Mikrospora Fase perkembangan mikrospora berpengaruh terhadap pembelahan sporofitik dari mikrospora di dalam kultur antera pada media dua lapis NN. Fase perkembangan mikrospora terbaik untuk pembelahan sporofitik pada varietas Wilis dan Sindoro berasal dari kuncup rasio 2/2,5 (Gambar 4A, 4B), sedangkan untuk varietas Slamet fase perkembangan mikrospora terbaik berasal dari rasio kuncup 2/3,5 (Gambar 4C). Pembelahan sporofitik ditandai oleh terbentuknya mikrospora yang mempunyai inti vegetatif dua atau lebih. Mikrospora yang berasal dari kuncup dengan rasio 2/2,5-2/3,5 dapat berkembang menjadi sel berinti tiga vegetatif atau lebih pada umur kultur dua minggu, walaupun sebagian besar dari sel mikrospora tetap mengalami perkembangan gametofitik yaitu mengalami pembelahan secara asimetri dengan dua inti berbeda yang berkembang

16 menjadi inti vegetatif dan inti generatif. Perkembangan mikrospora ini tidak berlanjut ke arah polen dewasa dan berkecambah (Lampiran 2, 3, dan 4). (A1) (A2) (B1) (B2) (C1) (C2) Gambar 4 Pengaruh fase perkembangan mikrospora terhadap pembelahan sporofitik di dalam media NN pada varietas Wilis (A), Sindoro (B), Slamet (C). (A1, B1, C1) sel multinukleat; (A2, B2, C2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif, : 2/2,5; : 2/3; : 2/3,5; x : 2/4; * : 2/5; : 2/6). V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 2, 3, 4.

17 Pada varietas Wilis sebagian besar sel mikrospora yang berasal dari kuncup bunga dengan rasio 2/3 membelah secara simetri yang menghasilkan dua inti vegetatif pada minggu pertama setelah kultur maupun minggu berikutnya. Namun, persentase sel mikrospora yang berkembang menjadi sel multinukleat dari kuncup dengan rasio 2/3 lebih kecil daripada kuncup dengan rasio 2/2,5. Sel mikrospora yang memiliki dua inti yang berukuran sama juga masih terjadi pada mikrospora yang berasal dari kuncup dengan rasio 2/4, yang terlihat pada minggu kedua setelah kultur. Namun, sel ini tidak mengalami perkembangan lebih lanjut menuju perkembangan sel multinukleat, tetapi mengalami kematian sel yang jumlahnya meningkat pada minggu berikutnya. Untuk kuncup dengan rasio 2/5, sel mikrosporanya berkembang menjadi polen dewasa. Pada kuncup dengan rasio 2/6 untuk ketiga varietas, mikrospora telah berkembang menjadi polen dewasa bahkan sebagian selnya telah kehilangan inti dan sitoplasma sejak awal kultur. Sejak minggu pertama setelah kultur kematian selnya sudah sangat besar dan terus meningkat pada minggu berikutnya. Selain itu pada kuncup rasio 2/6 ternyata tidak ada sel yang mampu berkembang ke arah pembelahan sporofitik. Pengaruh Media Dasar Pengaruh media dasar terhadap pembelahan sporofitik dari mikrospora dapat dilihat dari sel yang mampu membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif maupun mempunyai tiga inti vegetatif atau lebih (multinukleat). Pada varietas Slamet media NN memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan media MS, SL2, maupun B5 (Gambar 5A). Pembelahan sporofitik tersebut terjadi sejak minggu pertama setelah kultur sampai minggu keempat setelah kultur. Sedangkan untuk pembelahan mikrospora secara asimetri, keempat media mempunyai pengaruh yang relatif sama (Lampiran 5). Pada varietas Sindoro media SL2 mempunyai pengaruh yang lebih baik daripada media lainnya terhadap pembentukkan sel multinukleat dan sel berinti dua vegetatif pada minggu kedua setelah kultur, tetapi pada minggu ketiga, media NN mempunyai pengaruh lebih baik (Gambar 5B). Media dasar MS lebih mendukung perkembangan sel mikrospora yang membelah secara asimetri dibandingkan media NN, B5, dan SL2 (Lampiran 6). Namun, mikrospora tersebut

18 tidak berkembang lebih lanjut menjadi polen dewasa dan berkecambah, tetapi mengalami kematian. (A1) (A2) (B1) (B2) (C1) (C2) Gambar 5 Pengaruh media dasar terhadap pembelahan sporofitik mikrospora pada varietas Slamet (A), Sindoro (B), Wilis (C) selama 4 minggu. (A1, B1, C1) sel multinukleat; (A2, B2, C2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif, : NN; : MS; : SL2; : B5. V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 5, 6, 7.

19 Pada varietas Wilis, keempat media dasar memiliki pengaruh yang sama terhadap perkembangan mikrospora hingga mencapai tiga inti vegetatif atau lebih. Sedangkan untuk mikrospora yang memiliki dua inti vegetatif media B5 memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan media MS, SL2, dan NN (Gambar 5C, Lampiran 7). Pengaruh Suhu Inkubasi Kultur Pengaruh perlakuan suhu inkubasi pada minggu pertama kultur terhadap pembelahan sporofitik mikrospora untuk varietas Wilis disajikan pada Gambar 6. Perlakuan suhu dingin (4-9 o C) menunjukkan pengaruh lebih baik dibandingkan suhu ruang (25-28 o C) maupun suhu panas (30-33 o C) terhadap persentase pembentukan mikrospora yang mengandung dua inti vegetatif atau lebih dari tiga inti vegetatif. Pengaruh suhu dingin terlihat pada minggu kedua setelah kultur. Sedangkan pengaruh perlakuan suhu inkubasi terhadap berbagai perkembangan mikrospora untuk ketiga varietas yang diuji (Wilis, Sindoro, dan Slamet) berturutturut disajikan pada Lampiran 8, 9, 10. Gambar 6 (A1) (A2) Pengaruh suhu inkubasi pada minggu pertama kultur terhadap pembelahan sporofitik mikrospora di media dasar NN pada varietas Wilis. (A1) sel multinukleat; (A2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif pada : suhu ruang (25-28 o C); : suhu dingin (4-9 o C); : suhu panas (30-33 o C). V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 8, 9, 10. Pada perlakuan suhu ruang (25-28 o C), perkembangan mikrospora varietas Wilis yang membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif maupun mikrospora dengan tiga inti vegetatif atau lebih hanya terlihat pada minggu pertama kultur dan segera menurun dengan cepat pada minggu berikutnya.

20 Pada varietas Sindoro dan Slamet perlakuan suhu inkubasi yang berbeda tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap perkembangan mikrospora yang membelah secara simetri maupun pembentukan sel multinukleat. Sel mikrospora hanya dapat berkembang sampai dua inti vegetatif dengan frekuensi yang kecil dan tidak ada yang berkembang lebih lanjut menjadi sel multinukleat pada semua suhu inkubasi. Perkembangan mikrospora menjadi dua inti vegetatif dijumpai pada perlakuan suhu dingin baik pada varietas Sindoro maupun varietas Slamet (Lampiran 9 dan 10). Pengaruh Sumber Karbon Pada varietas Sindoro, sumber karbon berpengaruh terhadap perkembangan mikrospora terutama terhadap jumlah mikrospora yang membelah simetri dan yang mempunyai tiga inti vegetatif atau lebih (sel multinukleat) (Gambar 7A). Perkembangan ke arah pembelahan sporofitik lebih baik ditunjukkan pada perlakuan sumber karbon maltosa 40 g/l dibanding sukrosa 40 g/l. Perkembangan sel yang mencapai sel multinukleat terjadi pada minggu kedua setelah kultur dan menurun pada minggu berikutnya. Sedangkan mikrospora yang membelah secara simetri terjadi sejak minggu pertama kultur dan mulai menurun pada minggu ketiga setelah kultur. Untuk pembelahan mikrospora secara asimetri, maltosa juga mempunyai pengaruh lebih baik daripada sukrosa (Lampiran 11). Namun sel mikrospora tersebut tidak berkembang lebih lanjut menjadi polen dewasa dan berkecambah. Pada varietas Slamet, sukrosa memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan maltosa terhadap jumlah mikrospora yang mempunyai tiga inti vegetatif atau lebih. Perkembangan tersebut terjadi pada minggu pertama kultur dan meningkat pada minggu kedua kultur dan segera menurun pada minggu ketiga setelah kultur. Pada perlakuan sumber karbon maltosa, perkembangan mikrospora yang mencapai tiga inti vegetatif atau lebih masih terjadi pada minggu ketiga setelah kultur (Gambar 7B, Lampiran 12). Pengaruh maltosa lebih baik dibandingkan sukrosa juga dijumpai pada varietas Wilis baik untuk pembelahan mikrospora secara simetri yang mengandung dua inti vegetatif maupun pembentukan mikrospora multinukleat (Gambar 7C, Lampiran 13).

21 (A1) (A2) (B1) (B2) Gambar 7 (C1) (C2) Pengaruh sumber karbon terhadap pembelahan sporofitik mikrospora kedelai pada varietas Sindoro (A), Slamet (B), Wilis (C). (A1, B1, C1) sel multinukleat; (A2, B2, C2) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif pada, : sumber karbon sukrosa 40 g/l ; : sumber karbon maltosa 40 g/l. V: inti vegetatif. Fase perkembangan populasi awal mikrospora dapat dilihat pada lampiran 11, 12, 13.

22 Sumber karbon tidak berpengaruh terhadap pembelahan asimetri mikrospora yang menghasilkan inti vegetatif dan generatif (Lampiran 11, 12, 13). Mikrospora yang membelah asimetri tidak berkembang lebih lanjut menjadi polen dan berkecambah, tetapi mengalami kematian yang ditandai dengan keluarnya inti dan sitoplasma. Pengaruh Perlakuan Kombinasi Dilihat dari persentase mikrospora multinukleat yang terbentuk, perlakuan kombinasi sumber karbon maltosa 40 g/l dengan suhu dingin (4-9 o C) pada minggu pertama inkubasi kultur dengan menggunakan media dasar NN memiliki pengaruh lebih baik dibandingkan kombinasi lainnya (Gambar 8). Pengaruh yang baik ini terlihat sejak minggu pertama kultur dan meningkat pada minggu kedua setelah kultur. Demikian juga pada mikrospora yang membelah secara simetri dengan dua inti vegetatif, perlakuan kombinasi sumber karbon maltosa dengan suhu dingin memiliki pengaruh lebih baik dibanding dengan perlakuan kombinasi yang lain. Pada umur dua minggu beberapa mikrospora telah berkembang menjadi sel multinukleat yang mempunyai 12 inti vegetatif (Gambar 9). Perkembangan mikrospora yang mencapai sel multinukleat ini mengindikasikan telah terjadi pembelokkan proses pembelahan dari jalur gametofitik ke jalur sporofitik. Dilihat dari sel yang membelah secara asimetri kombinasi perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap perkembangan mikrospora. Perkembangan mikrospora tersebut mengalami peningkatan pada minggu pertama kultur dan sebagian berkembang menjadi polen, tetapi sebagian besar sel mikrospora mengalami kematian.

23 (A) (B) Gambar 8 Pengaruh perlakuan kombinasi terhadap pembelahan sporofitik mikrospora pada varietas Wilis. (A) sel multinukleat; (B) sel mikrospora dengan dua inti vegetatif pada, : sumber karbon sukrosa dengan suhu ruang; : sumber karbon sukrosa dengan suhu dingin; : sumber karbon maltosa dengan suhu ruang; : sumber karbon maltosa dengan suhu dingin. V: inti vegetatif. Media dasar yang digunakan adalah NN, populasi awal mikrospora 12% fase berinti tunggal awal-tengah, 77% berinti tunggal akhir, 21% berinti dua awal. Gambar 9 Mikrospora varietas Wilis yang telah mencapai multiseluler dengan 12 inti (atas) dan baru 3 inti (bawah) pada umur 2 minggu setelah kultur. Garis skala = 25µm.