BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Penyakit ginjal kronis terminal merupakan salah satu penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Penyakit ini ditandai turunnya fungsi ginjal sehingga diperlukan penanganan yang baik. Pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium terminal dapat bertahan hidup bila dilakukan tindakan dialisis sebagai pengganti fungsi ginjal. Metode dialisis yang dikerjakan saat ini adalah hemodialisis dan peritoneal dialisis. The National Kidney Foundation Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF KDOQI) sejak tahun 1997 telah mengeluarkan pedoman tentang penyakit ginjal kronis. Salah satu pedoman yang dikeluarkan meliputi metode dialisis (hemodialisis dan peritoneal dialisis) dan akses vaskular hemodialisis. Pedoman NKF KDOQI tahun 2006 tentang akses vaskular hemodialisis adalah pemasangan kateter hemodialisis (tunnelled dan non-tunnelled), arteri-venous fistula (AVF) dan arteri-venous graft (AVG). Pemasangan kateter hemodialisis merupakan metode yang paling cepat untuk mendapat akses vaskular hemodialisis. Penggunaan kateter hemodialisis ditujukan kepada pasien gangguan ginjal akut yang membutuhkan hemodialisis segera atau pasien penyakit ginjal kronis dimana akses vaskular permanen belum dapat digunakan (Montreuil, 2007). Berdasarkan US Renal System Data tahun 2011 terdapat lebih dari 370,000 pasien yang melakukan hemodialisis rutin. Delapan puluh persen dari pasien ini 1
2 dilakukan pemasangan kateter hemodialisis untuk akses vaskular pada hemodialisis pertama kali. Data dari the Centers for Medicare and Medicaid Services tahun 2007 menunjukkan prevalensi yang cukup tinggi dalam penggunaan kateter hemodialisis yaitu 69% pada enam bulan pertama hemodialisis dan 41% pada tahun pertama hemodialisis. Pemasangan kateter hemodialisis pada daerah subclavia atau jugular interna memiliki beberapa komplikasi pada saat proses dan pasca pemasangan. Komplikasi pada saat pemasangan adalah pneumotoraks, hematotoraks, emboli udara dan perdarahan dari tempat insersi. Komplikasi pasca pemasangan meliputi kateter malfungsi, kateter bergeser, infeksi, stenosis vena sentral dan trombosis. Infeksi merupakan penyebab kateter tidak berfungsi dan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas (Schanzer dan Schanzer, 2012). Pasien penyakit ginjal kronis yang dilakukan hemodialisis memiliki resiko terjadinya infeksi yang lebih tinggi. Infeksi pada kateter hemodialisis merupakan penyebab meningkatnya angka mortalitas lebih dari 50% dibandingkan infeksi pada akses vaskular AVF (Nabi dkk, 2009; Abdul Gafor dkk, 2014). Angka kejadian Catheter-Related Bloodstream Infection (CRBSI) di Amerika Serikat lebih dari 250,000 kasus pertahun dengan angka insiden yang bervariasi antara tipe kateter (Shah dkk, 2014). The Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) tahun 2008 di Amerika Serikat melaporkan sekitar 37,000 kasus Catheter-Related Bloodstream Infection pada pasien hemodialisis. Di Indonesia tidak terdapat data CRBSI. Indonesia Renal Registry (IRR) tahun 2012 menyatakan angka kematian pasien hemodialisis akibat sepsis sebanyak 433
3 pasien tetapi tidak dijelaskan sumber dari sepsis. Penyebab infeksi pada kateter hemodialisis bersifat multifaktor, baik faktor pasien seperti komorbiditas, imunitas dan higienis, sampai faktor kateter seperti jenis kateter dan tempat insersi kateter. Jabber (2005) menjabarkan ada tiga faktor yang berpengaruh dalam terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis yaitu imunitas pasien, virulensi bakteri dan prosedur hemodialisis. Selain ketiga faktor tersebut, terdapat empat jalur patogenik perpindahan kuman pada kateter hemodialisis yang dapat menyebabkan Catheter-Related Bloodstream Infection. Penelitian yang dilakukan Hoen dkk. (1998) menunjukkan 4 faktor resiko terjadinya bakteremia pada pasien hemodialisis yaitu akses vaskular, episode bakteremia, penggunaan obat imunosupresif dan anemia. Akses vaskular merupakan resiko utama terjadinya bakteremia. Powe dkk. (1999) menunjukkan hasil yang berbeda yaitu akses vaskular dan kadar serum albumin yang rendah merupakan faktor resiko terjadinya sepsis tetapi anemia bukan merupakan faktor resiko yang signifikan. Faktor lain yang mempengaruhi adalah penggunaan kateter hemodialisis, dimana kateter hemodialisis memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan AVF untuk terjadinya bakteremia. Thomson dkk. (2007) menunjukkan bahwa penggunaan kateter hemodialisis, kadar CRP yang tinggi dan kadar albumin yang rendah merupakan faktor resiko infeksi pada pasien dengan kateter hemodialisis dibandingkan dengan AVF. Penelitian ini juga menunjukkan usia tua merupakan faktor resiko kematian pada pasien penyakit ginjal kronis. Penelitian yang dilakukan Ma dkk. (1999), Boeleart dkk. (1990) dan Sunder-
4 Plassman dkk. (1999) menunjukkan bahwa anemia dan kadar serum ferritin yang tinggi merupakan faktor resiko terjadinya infeksi kateter hemodialisis. Chiou dkk. (2006) menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan faktor resiko terjadinya infeksi kateter hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronis dengan kateter hemodialisis. Berbagai macam tindakan untuk mencegah terjadinya infeksi kateter hemodialisis telah dilakukan. Tindakan pencegahan yang banyak dilakukan saat ini adalah penggunaan antimikrobial lock. Beberapa penelitian antimikrobial lock menunjukkan penurunan angka CRBSI tetapi tidak dapat menghilangkan kejadian infeksi. Selain pencegahan menggunakan antimikrobial lock, beberapa peneliti menyarankan untuk memperbaiki faktor resiko antara lain kontrol gula darah, pemberian tranfusi darah, pemberian eritropoetin dan memperbaiki gizi pasien. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah usia tua merupakan faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi kateter hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronis yang dilakukan hemodialisis reguler melalui akses vaskular kateter hemodialisis double lumen non-tunnelled? 2. Apakah anemia merupakan faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi kateter hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronis yang dilakukan hemodialisis reguler melalui akses vaskular kateter hemodialisis double lumen
5 non-tunnelled? 3. Apakah kadar serum albumin yang rendah merupakan faktor resiko yang kateter hemodialisis double lumen non-tunnelled? 4. Apakah kadar serum ferritin yang tinggi merupakan faktor resiko yang kateter hemodialisis double lumen non-tunnelled? 5. Apakah diabetes mellitus merupakan faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi kateter hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronis yang dilakukan hemodialisis reguler melalui akses vaskular kateter hemodialisis double lumen non-tunnelled? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum: Untuk mengetahui faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi pada pasien penyakit ginjal kronis yang dilakukan hemodialisis reguler. 1.3.2 Tujuan Khusus: 1. Untuk mengetahui apakah usia tua merupakan faktor resiko yang
6 kateter hemodialisis double lumen non-tunnelled 2. Untuk mengetahui apakah anemia merupakan faktor resiko yang kateter hemodialisis double lumen non-tunnelled 3. Untuk mengetahui apakah kadar serum albumin yang rendah merupakan faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi kateter hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronis yang dilakukan hemodialisis reguler melalui akses vaskular kateter hemodialisis double lumen non-tunnelled 4. Untuk mengetahui apakah kadar serum ferritin yang tinggi merupakan faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya infeksi kateter hemodialisis pada pasien penyakit ginjal kronis yang dilakukan hemodialisis reguler melalui akses vaskular kateter hemodialisis double lumen non-tunnelled 5. Untuk mengetahui apakah diabetes mellitus merupakan faktor resiko yang kateter hemodialisis double lumen non-tunnelled 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai panduan dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas pasien penyakit ginjal kronis yang dilakukan hemodialisis reguler melalui akses vaskular kateter hemodialisis double lumen non-tunnelled.