BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pemberian terapi obat melalui jalur intravena perifer (peripheral

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemberian terapi obat melalui jalur intravena perifer (peripheral intravenous) merupakan tindakan yang banyak dilakukan pada pasien rumah sakit. Data penggunaan peralatan intravena (Intravenous Device/ IVD) di Amerika utara mencapai 150 juta selama tahun 2001 dan sebagian besar merupakan kateter vena perifer (Peripheral Venous Catheter/PVD) (Mermel et al, 2001). Efek samping dan komplikasi yang muncul akibat penggunaan rute intravena perifer antara lain infeksi, efek lokal seperti plebitis dan ekstravasasi, maupun komplikasi sistemik. Infeksi dapat terjadi melalui perantara IVD atau cannula maupun larutan infus (infusate) (Philips, 2001). Hasil penelitian meta analisis menunjukkan semua jenis IVD memiliki resiko infeksi (Bloodstream Infection) (Maki, 2006). Hal ini diperkuat dengan guideline dari CDC (Center for Disease Control) untuk meminimalkan infeksi akibat kateterisasi yang menyebabkan berbagai komplikasi (O Grady et al, 2011; O Grady et al, 2002). Namun CDC juga menyatakan bahwa kejadian infeksi kurang berkaitan dengan kateter vena perifer, tetapi berkaitan dengan penggunaan kateter vena sentral (Central Venous Catheter). Plebitis merupakan iritasi atau peradangan pada vena yang ditandai dengan beberapa gejala sesuai algoritme diagnosis (Rikard et al, 2010). Terdapat 3 jenis utama plebitis yaitu plebitis mekanik, plebitis kimia dan plebitis bakteria 1

2 2 (Philips, 2001). Pada sebagian besar kasus, plebitis berhubungan dengan IVD dan larutan infus (Rikard et al, 2010). Hal ini berarti plebitis yang banyak terjadi adalah plebitis mekanik yang berkaitan dengan IVD dan plebitis kimia yang berkaitan dengan larutan infus. Plebitis akibat bakteri mungkin terjadi karena kontaminasi bakteri dari cairan maupun jenis infusate. Plebitis karena bakteri terjadi akibat kontaminasi bakteri pada IVD maupun larutan infus (Philips, 2001). Rikard et al (2010), mengutip Maki (1991) menyatakan bahwa tidak ada korelasi antara plebitis dengan infeksi dari alat (IVD). Bukhairi (2009) menyatakan bahwa faktor kesterilan tindakan perawat berpengaruh terhadap timbulnya efek plebitis. Kelemahan penelitian tersebut adalah tidak meneliti jenis cairan dan obat, sehingga Bukhairi menyarankan untuk meneliti faktor tersebut. Obat yang bersifat vesikan (vesicant) adalah obat yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan (CDC, 2005; Gray et al, 2011; Solimando, 2003). Obat vesikan non-chemotherapeutic atau non-antineoplastik diduga dapat menyebabkan plebitis (Avdal, 2012; IWK Health Centre, 2012). Survei yang dilakukan Ashiqali et al (2010) dari 474 PIVC (Periperal Intravenous Catheter) menunjukkan sebagian besar plebitis disebabkan oleh pemberian obat iritan misalnya antibiotik. Penelitian Martinho dan Rodrigues (2008) pada salah satu obat juga menunjukkan hal tersebut. Proses preparasi, dispensing dan penggunaan obat vesikan perlu dilakukan dengan benar untuk meminimalkan efek plebitis dan ekstravasasi. Unit pelayanan dengan tingkat kompleksitas pengobatan tinggi memungkinkan terdapat permasalahan terkait obat, salah satunya di Intensive

3 3 Care Unit (ICU) (Valentin et al, 2009). Salah satu permasalahan yang muncul adalah praktek pencampuran obat intravena selain di ruang pencampuran aseptik dan pemberian tanpa mengikuti ketentuan pemberian masing-masing obat. Almasdy dan Siregar (2002) menyatakan salah satu kesalahan dalam pemberian sediaan intravena yaitu ketidaktepatan kecepatan pemberian. Ketidaktepatan dalam prpses pemberian tersebut berpotensi terjadi di ICU. Data ketidaktepatan dalam preparasi dan pemberian obat intravena banyak dilaporkan, namun data di Indonesia masih kurang. Almasdy dan Siregar (2002) menyebutkan bahwa hasil evaluasi sistem pencampuran sediaan intravena di sebuah rumah sakit memenuhi kriteria hanya 16,91%. Ketidaktepatan penggunaan sediaan intravena pada penggunaan infus sebanyak 3,58% dan ketidaktepatan kecepatan pemberian obat intravena sebanyak 90,65%. Penelitian terhadap preparasi dan pemberian obat seperti obat vesikan belum dilakukan. RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) Panembahan Senopati Bantul merupakan rumah sakit milik pemerintah daerah dengan tipe B pendidikan. Rumah sakit ini memiliki potensi untuk mengembangkan fungsi rumah sakit dalam bidang pendidikan dan penelitian. Hal tersebut diwujudkan dengan mendukung kegiatan pendidikan praktek calon tenaga kesehatan dan penelitian di rumah sakit. Salah satu review terhadap penggunaan obat di ICU yang dilakukan oleh Wedekind dan Fidler (2001) selama Januari 1980 hingga Juni 2000 menunjukkan obat yang bersifat vesikan termasuk diantaranya. Wedekind melaporkan 34 jenis obat yang banyak digunakan untuk anak di ICU selama hampir 20 tahun,

4 4 diantaranya amiodaron, kalsium glukonat, dopamin, dobutamin, dan norepinefrin. Obat amiodaron, calsium glukonat, dopamin, dobutamin, norepinefrin dan vankomisin termasuk obat yang banyak digunakan, dan merupakan obat vesikan. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana preparasi dan pemberian obat vesikan yang digunakan di ruang ICU? 2. Apakah preparasi dan pemberian obat vesikan sudah sesuai ketentuan? 3. Bagaimana profil salah satu efek samping yaitu plebitis yang terjadi pada pemberian obat vesikan? 4. Bagaimana hubungan atau pengaruh antara preparasi dan pemberian obat dengan kejadian plebitis? C. Manfaat penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi : 1. Data ketepatan preparasi dan pemberian obat vesikan intravena 2. Ketentuan atau prosedur preparasi dan pemberian obat vesikan 3. Data kejadian efek samping plebitis akibat faktor obat vesikan, kemudian dapat dijadikan masukan banding terhadap plebitis akibat faktor lain D. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan peran farmasis dalam penggunaan obat secara aman dan efektif.

5 5 Tujuan khusus dari penelitian ini meliputi: 1. Mengetahui profil penggunaan obat vesikan 2. Mengetahui bagaimana proses preparasi dan pemberian obat vesikan oleh petugas 3. Mengevaluasi ketentuan preparasi dan pemberian obat vesikan 4. Mengetahui bagaimana hubungan atau pengaruh antara preparasi dan penggunaan obat vesikan dengan kejadian plebitis 5. Mengetahui bagaimana peran farmasis untuk mendukung optimalisasi penggunaan obat yang rasional, terutama dalam preparasi dan pemberian obat intravena