BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Kajian Pustaka Sebagai bentuk perbandingan dan pertimbangan untuk melakukan penelitian ini, penulis menggunakan dua penelitian sebelumnya yang mengkaji penggunaan deiksis persona. Penelitian tersebut, yaitu skripsi yang dilakukan oleh Bambang Kaswanti Purwo (1984), Eni Susilowati (2005) dan Byute Wisnu Devani (2015). Kajian pustaka ini dapat digunakan oleh penulis sebagai bahan pertimbangan dan sebagai bukti bahwa penelitian ini adalah bentuk asli. Penelitian ini mengambil acuan dari penelitian sebelumnya, yaitu berupa disertasi mengenai deiksis dalam bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Bambang Kaswanti Purwo pada tahun 1984 dengan judul Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Purwo dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan terhadap hasil penelitian tentang bahasa Indonesia yang dikerjakan oleh beberapa ahli bahasa yang tidak menguasai bahasa Indonesia. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Purwo menjelaskan adanya deiksis luar tuturan (eksofora) dan deiksis dalam tuturan (endofora), pembalikan deiksis, deiksis peka konteks, serta adanya pemetaan kronologis dari deiksis. Penelitian ini tidak hanya melibatkan unsur semantik tetapi juga unsur sintaksis yang kemudian menghasilkan deiksis dengan struktur beku dan struktur korelatif. Kekorelatifan itu ditunjukkan dengan adanya kata kemudian, kini, kemudian (sebagai konstituen pewatas), kekorelatifan konstruksi verbal di- + - + -nya, kekorelatifan konjungsi lalu, kekorelatifan bentuk nya kekorelatifan nya dalam lainnya, kekorelatifan 12
13 kata sampai, kekorelatifan pemarkah definit kekorelatifan pemarkah definit sang, kekorelatifan pemarkah waktu sudah, kekorelatifan kata sudah, masih dan baru. Acuan kedua diambil dari penelitian sebelumnya, yaitu berupa skripsi mengenai deiksis persona yang sebelumnya pernah diteliti oleh Eni Susilowati pada tahun 2005 dengan judul Deiksis Persona dalam Kumpulan Cerpen Pendek Waktu Nayla. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa bentuk deiksis persona yang ditemukan pada kumpulan cerita pendek Waktu Nayla, berupa persona pertama tunggal, meliputi bentuk aku, saya, -ku, dan ku-. Bentuk deiksis persona pertama jamak meliputi kami dan kita. Bentuk deiksis persona kedua tunggal, meliputi kamu, engkau, kau, dan mu-. Bentuk deiksis persona kedua jamak yaitu kalian. Bentuk deiksis persona ketiga tunggal, berbentuk dia, ia, -nya, dan beliau. Bentuk deiksis persona ketiga jamak, meliputi mereka. Selain bentuk deiksis persona juga diperoleh peran deiksis persona yang digunakan pada kumpulan cerpen Waktu Nayla, meliputi a) deiksis persona pertama tunggal dan jamak yang berperan sebagai pembicara, b) deiksis persona kedua tunggal dan jamak yang berperan sebagai lawan bicara atau pendengar, dan c) deiksis persona ketiga yang berperan sebagai orang yang dibicarakan. Penelitian tersebut juga meneliti aspek semantik struktur deiksis persona. Aspek semantik sruktural deiksis persona yang ditemukan pada kumpulan cerita pendek Waktu Nayla, yaitu kepekaan-konteks modalitas imperatif dikaitkan dengan persona kedua tunggal dan diawali dengan kata coba dan cobalah. Pada kepekaan-konteks modalitas adhortatif yang dikaitkan dengan persona pertama, baik tunggal maupun jamak, dan diawali dengan kata mari, ayo, dan biarkan.
14 Berdasarkan kepekaan-konteks modalitas dubitatif, yang dikaitkan dengan persona ketiga tunggal dan jamak serta persona pertama untuk mengungkapkan ketidakpastian diri sendiri. Penelitian tersebut menemukan konstruksi dubitatif dengan ditandai kata agaknya dan sepertinya. Selain itu penelitian ini juga mengacu pada penelitian dari Byute Wisnu Devani, sebuah skripsi yang berjudul Deiksis Persona pada Kumpulan Cerpen Anak Animation World dan Hidung Pinokio Niko pada tahun 2015, yang simpulannya sebagai berikut: Bentuk deiksis persona yang dapat ditemukan, yaitu bentuk deiksis persona pertama, kedua, dan ketiga yang masing-masing memiliki bentuk tunggal dan jamak. Pada bentuk deiksis persona pertama tunggal dijumpai pronomina persona aku dan saya. Selain itu juga ditemukan dalam bentuk nama diri, yaitu Clarissa, Shena, Nani, dan Putri. Bentuk deiksis persona pertama jamak terdiri dari bentuk pronomina persona kita dan kami. Pada bentuk deiksis persona kedua tunggal, yaitu pronomina persona kamu, anda, dan engkau. Bentuk deiksis persona kedua tunggal terdapat pula dalam bentuk nama diri, antara lain Mila, Alin, Angin, dan Shevilla. Selain itu, juga dijumpai bentuk kata sapaan sebagai bentuk deiksis persona tunggal, yaitu ibu, mama, ummi/umi, nenek, bapak, ayah, papa, abi, kek, kakak, adek, dik, sayang, bi, tuan, nona, dan bos. Bentuk deiksis persona kedua jamak dijumpai pada pronomina persona kalian. Bentuk deiksis persona kedua jamak juga terdapat pada bentuk kata sapaan teman-teman, anakanak, adik-adik, dan nona-nona. Dalam bentuk deiksis persona ketiga tunggal ditemukan pronomina persona dia, ia, -nya, dan beliau. Pada bentuk deiksis persona ketiga jamak ditemukan pronomina persona mereka.
15 Pengacuan deiksis persona dalam penelitian yang berjudul Deiksis Persona pada Kumpulan Cerpen Anak Animation World dan Hidung Pinokio Niko tersebut terdiri dari deiksis eksofora dan deiksis endofora. Deiksis eksofora terdapat pada deiksis persona pertama dan kedua. Pada deiksis endofora hanya terdapat pada bentuk deiksis persona ketiga. Deiksis endofora yang dijumpai memiliki arah pengacuan anafora dan katafora. Deiksis endofora dengan arah pengacuan anafora terdapat pada semua bentuk deiksis persona ketiga, sedang pengacuan katafora hanya ada pada deiksis persona ketiga dalam bentuk pronomina nya dan dia. Berdasarkan pengamatan penelitian tersebut diketahui adanya persamaan objek kajian, yaitu deiksis persona. Namun, terdapat perbedaan pada subjek kajian. Perbedaan itu terletak pada subjek kajian yang mengkaji deiksis persona yang berasal dari dongeng anak pada rubrik Nusantara Bertutur di koran Kompas Klasika Minggu. Perbedaan lain dalam penelitian ini adalah dilakukan analisis dalam pembalikan deiksis yang banyak digunakan pada bahasa anak dengan menggunakan analisis wacana yang dimungkinkan bukan hanya mengkaji deiksis secara teks saja, melainkan juga melibatkan konteks situasi dan konteks sosial kultural di dalamnya. B. Landasan Teori 1. Pengertian Wacana Menurut Mulyana (2005:1), wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Kajian wacana berkaitan dengan
16 pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Menurut Douglas secara etimologi istilah wacana berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak, artinya berkata, berucap (Mulyana, 2005:3). Dilihat dari jenisnya kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sanskerta, termasuk kata kerja golongan III yang bersifat aktif, yaitu melakukan tindakan ujar. Kemudian mengalami perubahan menjadi wacana dengan tambahan sufiks ana yang bermakna membendakan. Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan. Oleh para linguis Indonesia dan di negara-negara berbahasa Melayu lainnya, istilah wacana diterjemahkan dalam bahasa Inggris discourse. Kata discourse sendiri berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti lari dari arah yang berbeda. Webster memperluas makna discourse sebagai komunikasi kata-kata, ekspresi gagasan-gagasan, risalah tulis, ceramah dan sebagainya. Discourse dalam pengisyaratan itu berkaitan dengan kata, kalimat, atau ungkapan komunikatif baik secara lisan maupun tulis (Mulyana, 2005:4). Istilah ini kemudian digunakan oleh para ahli bahasa dalam kajian linguistik yang dikenal dengan istilah discourse analyisis (analisis wacana). Unsur pembeda antara bentuk wacana dengan bentuk bukan wacana adalah pada ada tidaknya kesatuan makna (organisasi semantis) yang dimilikinya (Mulyana, 2005:. Oleh karena itu, kriteria yang relatif paling menentukan dalam wacana adalah keutuhan maknanya. Sebuah wacana mengandung unsur intenal dan eksternal wacana. Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan,
17 sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri. Unsur internal dalam wacana, yaitu: a. Kata dan kalimat Kata merupakan bagian dari kalimat, sedangkan kalimat dapat diartikan sebagai susunan yang terdiri dari beberapa kata yang bergabung menjadi satu pengertian dengan intonasi yang sempurna. Namun, kadang dijumpai satu kata yang merupakan satu kalimat. Kalimat dengan satu kata ini sering muncul dalam suatu dialog atau percakapan. b. Teks dan koteks Analisis linguistik teks langsung mengandaikan objek kajiannya berupa bentuk formal bahasa, yaitu kosakata dan kalimat, sedangkan analisis wacana mengharuskan disertakannya analisis tentang konteks terjadinya suatu tuturan (Mulyana, 2005: 9). Teks dapat diartikan sebagai esensi wujud bahasa. Dengan kata lain, teks direalisasikan dalam bentuk wacana. Teks lebih bersifat konseptual, sedangkan koteks dapat diartikan sebagai teks yang bersifat sejajar, koordinatif dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, baik yang berada di depan maupun di belakangnya. Unsur-unsur eksternal dalam wacana, yaitu: a. Implikatur Implikatur ini dapat diartikan sebagai makna tersirat dan tidak tersurat dalam teks. Dengan kata lain adalah maksud, keinginan atau ungkapanungkapan dari hati yang tersembunyi. Yule juga menjelaskan mengenai implikatur ini yang berarti adanya makna dalam setiap kata yang dituturkan.
18 That something must be more than just what the words mean. It is an additional conveyed meaning, called an implicature. (Yule, 1996: 35) Rahardi (2005: 43) menjelaskan bahwa di dalam pertuturan yang sesungguhnya, penutur dan mitra tutur dapat secara lancar berkomunikasi karena mempunyai kesamaan latar belakang. Grice (1975) menyatakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. prosisis yang diimplikasikan tersebut disebut dengan implikatur percakapan. b. Presuposisi Istilah presuposisi adalah turunan dari bahasa Inggris presupposition, yang berarti perkiraan, persangkaan (Nababan, 1987: 47). Mulyana kemudian juga menyebut presuposisi sebagai praanggapan. Praanggapan adalah anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pendengar/pembaca (Mulyana, 2005: 14). Sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapkan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran tuturan dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempresuposisikan tidak dapat dikatakan (Rahardi, 2005:42). c. Pengacuan atau Referensi Pengacuan atau referensi adalah hubungan antara kata dengan benda (orang, tumbuhan, sesuatu lainnya) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara/penulis (Mulyana, 2005: 16). Jadi, yang menentukan adanya referensi adalah pihak pembicara itu sendiri, sedangkan pendengar hanya mampu menerka hal yang dimaksudkan oleh pembicara.
19 Berdasarkan bentuknya, referensi dapat dipilah menjadi tiga bagian, yaitu referensi dengan nama, referensi dengan kata ganti dan referensi dengan pelesapan (Mulyana, 2005:18). Referensi dengan nama dipakai untuk memperkenalkan topik (subjek) yang baru, atau justru untuk menegaskan bahwa topiknya masih sama. Referensi dengan kata ganti juga digunakan untuk menegaskan bahwa topiknya masih sama. Referensi dengan pelesapan, yaitu menghilangkan bagian-bagian tertentu dalam suatu kalimat untuk menunjukkan masih adanya pengacuan bentuk dan makna di dalam kalimat lainnya. d. Inferensi Inferensi adalah proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis (Alwi, Hasan.et.al,. 2003: 441). Dengan kata lain, pembaca harus memahami sendiri makna yang disampaikan oleh penulis atau pembicara terkait dengan tulisan atau tuturan yang disampaikannya. e. Konteks wacana Secara garis besar konteks wacana ini adalah hal-hal yang ikut mempengaruhi keberadaan suatu teks. Menurut Mulyana (2005:21) konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/dialog. Segala sesuatu yang berkaitan dengan tuturan, baik arti, maksud, maupun informasinya sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Pemahaman konteks situasi dan sosial kultural dalam analisis wacana dapat
20 dilakukan dengan berbagai prinsip penafsiran dan prinsip analogi. Prinsip yang dimaksud, yaitu prinsip penafsiran personal, prinsip penafsiran lokasional, prinsip penafsiran temporal dan prinsip analogi (Sumarlam, 2005:47). Pemahaman wacana melalui berbagai prinsip penafsiran dan analogi tersebut tentu saja mempertimbangkan faktor-faktor seperti faktor sosial, situasional, kultural dan juga pengetahuan tentang dunia (Sumarlam, 2005:48). Prinsip penafsiran personal berkaitan dengan siapa sesungguhnya yang menjadi partisipan di dalam suatu wacana (Sumarlam, 2005:48). Prinsip penafsiran lokasional terkait dengan penafsiran tempat atau lokasi terjadinya suatu situasi, baik situasi yang berupa keadaan, peristiwa maupun proses dalam rangka memahami wacana. Prinsip penafsiran temporal berkaitan dengan pemahaman mengenai waktu. Berdasarkan konteksnya kita dapat menafsirkan kapan atau berapa lama waktu terjadinya suatu situasi (persitiwa, keadaan, proses) (Sumarlam, 2005:49), sedangkan prinsip analogi adalah prinsip dasar yang digunakan oleh penutur maupun mitra tutur untuk memahami makna dan maksud dari keseluruhan wacana tersebut. 2. Wacana Fiksi Mulyana menyatakan bahwa wacana fiksi adalah wacana yang bentuk dan isinya berorientasi pada imajinasi (2005:54). Umumnya, penampilannya dikemas dengan nilai estetika (keindahan). Di samping itu, tidak menutup kemungkinan bahwa karya-karya fiksi mengandung fakta dan hampir sama dengan kenyataan. Namun, sebagaimana proses kelahiran dan sifatnya, karya semacam ini tetap termasuk ke dalam kategori fiktif. Wacana fiksi menurut Mulyana (2005:54)
21 dapat dipilah menjadi tiga jenis, yaitu: wacana prosa, wacana puisi dan wacana drama. a. Wacana Prosa Wacana prosa adalah wacana yang disampaikan atau ditulis dalam bentuk prosa. Wacana ini dapat berbentuk tulis atau lisan seperti novel, cerita pendek, artikel, makalah, buku, laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi dan beberapa bentuk kertas kerja. b. Wacana Puisi Wacana puisi merupakan jenis wacana yang dituturkan atau disampaikan dalam bentuk puisi. Seperti wacana prosa, dalam wacana puisi juga bisa berbentuk tulis atau lisan. Bahasa yang digunakan dan isinya berorientasi pada kualitas estetika (keindahan) seperti, lagu, tembang, geguritan dan sejenisnya. c. Wacana Drama Wacana drama (dramatik) adalah jenis wacana yang disampaikan dalam bentuk drama. Pola yang digunakan umumnya berbentuk percakapan atau dialog. Oleh karena itu dalam wacana ini harus ada pembicaraan dan pasangan bicara. 3. Deiksis Deiksis berasal dari kata deiktitos dalam bahasa Yunani yang berarti hal penunjukan secara langsung. Pada logika istilah Inggris deictic dipergunakan sebagai istilah untuk pembuktian langsung (pada masa setelah Aristoteles) sebagai lawan dari istilah elenctic, yang merupakan istilah untuk pembuktian tidak
22 langsung (The Compact Edition of The Oxford English Dictionary dalam Purwo, 1984: 2). Alwi berpendapat mengenai pengertian deiksis sebagai berikut: Gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan memperhitungkan situasi pembicaraan. Deiksis dapat dipakai untuk menggambarkan fungsi pronomina persona, demonstrativa, fungsi waktu, aneka ciri gramatikal, dan leksikal lainnya yang menghubungkan ujaran dengan jalinan ruang dan waktu dalam tindak ujaran (Alwi, 2003:42). Demonstrativa (kata yang berfungsi untuk menunjuk atau menandai secara khusus orang atau benda) seperti ini dan itu, dan pronomina persona seperti saya, kamu, dan dia dapat berfungsi sebagai deiksis,sedangkan sesuatu yang diacu oleh deiksis disebut sebagai anteseden. Purwo juga berpendapat tentang sebuah kata yang bersifat deiksis sebagai berikut: Sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila referennya berpindahpindah atau berganti-ganti, tergantung pada siapa yang menjadi si pembicara dan tergantung pada saat dan tempat dituturkannya kata itu, misalnya kata saya, sini, dan sekarang. Demi pengertian penuh istilah deiksis itu, perlu diperhatikan bahwa unsur-unsur yang mengandung arti (biasanya: leksem (lexeme): tetapi juga yang menggantikannya secara pronominal, baik itu berupa bentuk bebas maupun bentuk yang terikat secara morfemis) dapat dibedakan antara yang referensial (misalnya kata rumah, meja) dan yang tidak referensial (misalnya kata walaupun dan aduh). (Purwo, 1984:1) Purwo menjelaskan bahwa, deiksis menurut pandangan aliran linguistik tradisional adalah sesuatu ungkapan yang bereferen luar-tuturan. Pandangan ini yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa si pembicara, yang bukan merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri. Hal tersebut berbeda dengan subjek kalimat, yang dalam statusnya sebagai kata merupakan salah satu unsur di dalam bahasa (1984:7). Peneliti lain, Fillmore dalam Purwo menyatakan bahwa penutur merupakan pusat deiktis. Hal itu menimbulkan pengertian jauh dekat terhadap
23 deiksis dalam kata ini dan itu. Kata ini menunjuk pada tempat yang dekat dengan pusat deiktis dan kata itu menunjuk pada tempat yang jauh dari pusat deiktis (1984:8). Deiksis juga memiliki keunikan tersendiri, misalnya Tanz (dalam Purwo,1984:20) menyampaikan penelitiannya terhadap tingkat-tingkat perkembangan penguasaan bahasa pada kanak-kanak yang menyimpulkan bahwa banyak anak yang sudah menguasai sistem persona pada umur dua tahun. Penelitian tersebut menyatakan bahwa anak-anak di atas umur itu masih belum dapat secara konsisten memakai dengan tepat verba come/go dan bring/take. Bahkan, tidak semua anak yang sudah berumur sembilan tahun menggunakan verba deiktis tersebut secara tidak salah. Kenyataan lain yang mendukung adanya hierarki kedeiktisan itu menurut Purwo adalah bahwa semua leksem persona merupakan leksem deiktis, sedangkan leksem ruang dan waktu ada yang deiktis ada pula yang tidak (1984:20). Purwo (1984) menggolongkan deiksis menjadi dua, yaitu deiksis luar tuturan (eksofora) dan deiksis dalam tuturan (endofora). Deiksis luar tuturan (eksofora) dibagi menjadi tiga kategori, yaitu deiksis persona, deiksis ruang dan deiksis waktu, sedangkan deiksis dalam tuturan (endofora) dibagi di dalamnya adanya pemarkah anafora dan katafora. Deiksis luar tuturan (eksofora) untuk yang pertama adalah deiksis persona. Sudaryat menjelaskan, deiksis persona merupakan pronomina persona yang bersifat ekstralingual dan intralingual yang berfungsi menggantikan suatu acuan (anteseden) (2009:122). Kedua, deiksis ruang. Purwo (1984: 37) menerangkan bahwa, tidak semua leksem ruang dapat bersifat deiktis dan tidak ada leksem ruang yang berupa nomina. Nomina baru dapat menjadi lokatif apabila
24 dirangkaikan dengan preposisi hal ruang. Leksem ruang dapat berupa adjektiva, adverbia atau verba. Diterangkan juga oleh Fillmore dalam Purwo (1984: 58) bahwa, dalam banyak pernyataan mengenai waktu diambil dari leksem ruang. Terdapat dua pengertian tentang gerak yang dapat dihubungkan dengan waktu: suatu subjek yang bergerak melewati waktu (dalam hal ini waktu dianggap sebagai hal yang diam) dan waktu yang bergerak menuju ke arah suatu subjek dan melewatinya. Purwo (1984:59) juga menyatakan adanya leksem ruang yang mengungkapkan pengertian waktu. Leksem ruang seperti depan, belakang, panjang, dan pendek yang dipakai dalam pengertian waktu memberikan kesan seolah-olah waktu merupakan hal yang diam, sedangkan leksem ruang seperti datang, lalu, tiba, dan mendekat dalam pengertian waktu memberikan kesan bahwa waktulah yang bergerak (Purwo, 1984:59). Ketiga adalah leksem waktu. Purwo juga menyebutkan adanya leksem waktu yang tidak deiktis. Beberapa leksem waktu seperti saat, waktu, masa, tempo, kala, dan kali berbeda dalam hal jangkanya atau panjang pendeknya (1984:65). Kemudian ia juga menambahkan, leksem waktu seperti pagi, siang, sore dan malam tidak bersifat deiktis karena perbedaan masing-masing leksem itu ditentukan berdasarkan patokan planet bumi terhadap matahari. Leksem waktu bersifat deiktis apabila yang menjadi patokan adalah si pembicara (Purwo, 1984:71). Deiksis dalam tuturan (endofora) terdiri dari pemarkah anafora dan katafora. Menurut Purwo (1984:105) di antara bentuk-bentuk persona hanya kata ganti persona ketiga yang dapat menjadi pemarkah anafora dan katafora. Lebih lanjut Purwo juga menjelaskan tentang persona ketiga ini, ia sependapat dengan Brecht, yaitu persona ketiga memang dapat eksoforis maupun endoforis. Namun,
25 Purwo tidak setuju dengan pendapat Brecht yang mengatakan bahwa persona pertama dan kedua dapat endoforis, meskipun itu dalam kutipan langsung, seperti: (a) Nina skazala Borisu: Ja tebja ne ijublju1 (b) Nina said to Boris: I don t love you! (c) Nina berkata kepada Boris: Saya tidak cinta padamu! Hubungan antara Nina dan saya bukan hubungan koreferensial; kata saya tidak mengacu pada Nina (tidak memiliki hubungan secara endoforis di dalam tuturan) tetapi menunjuk pada orang yang bernama Nina (mempunyai hubungan secara luar tuturan) (Purwo, 1984). Bukti bahwa persona pertama dan kedua dalam contoh kalimat tersebut tidak endoforis adalah adanya tenses antara kalimat induk dan kalimat kutipannya. Apabila kalimat kutipan langsung tersebut dijadikan kalimat tidak langsung, maka dapat dimungkinkan akan menggunakan kala (tenses) yang sama seperti kalimat induknya. Yang dalam kutipan langsung semula adalah persona pertama (I), dalam kutipan tak langsung menjadi persona ketiga (she, karena berkoreferensi dengan Nina), sedangkan persona kedua (you) menjadi persona ketiga (he, karena berkoferensi dengan Boris). Persona pertama dan kedua dalam kutipan langsung harus dijadikan sebagai persona ketiga dalam kutipan tak langsung (harus diendoforakan) karena kedua persona tersebut tidak dapat endoforis. (Purwo, 1984:106) Purwo juga memberikan gambaran yang jelas untuk membedakan labuhan luar tuturan dengan labuhan dalam tuturan adalah bidang permasalahannya. Persoalan dalam eksofora adalah bidang semantik leksikal, meskipun bidang sintaksis tidak dapat dilepaskan sama sekali dari pembahasan bidang semantik leksikal (1984:19), sedangkan dalam endofora adalah masalah sintaksis (1984:103).
26 4. Deiksis Persona Deiksis persona merupakan pronomina persona yang bersifat ekstralingual dan intralingual yang berfungsi menggantikan suatu acuan (anteseden) (Sudaryat, 2009: 122). Berbeda dengan pengertian itu, Slamet Muljana (dalam Purwo, 1984: 21) menyatakan pronomina persona dengan istilah kata ganti diri, hal tersebut disebabkan karena berfungsi untuk menggantikan diri orang. Ahli lain Mess, Poedjawijatna, dan Zoetmulder, Hadidjaja (dalam Purwo, 1984: 21) juga menggunakan istilah kata ganti orang. Sebetulnya di antara ketiga kata ganti persona, kata ganti persona pertama dan kedua hanya dapat menyatakan orang. Kata ganti persona ketiga dapat menyatakan orang atau benda (termasuk binatang). Penelitian ini juga menggunakan istilah persona. Menurut Lyons, kata Latin persona ini merupakan terjemahan dari kata Yunani proposon yang artinya topeng (topeng yang dipakai oleh seorang pemain sandiwara), dan yang juga berarti peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain drama. Pemilihan istilah ini oleh ahli bahasa waktu itu disebabkan oleh adanya kemiripan antara peristiwa bahasa dan permainan sandiwara. Purwo (Purwo, 1984:22) kemudian menjelaskan lebih lanjut bahwa, referen yang ditujukan oleh kata ganti persona berubah-ubah tergantung pada peranan yang dibawakan oleh peserta tindak ujaran. Persona I digunakan untuk menyebutkan orang yang sedang berbicara. Apabila orang tersebut tidak berbicara lagi dan ganti peran sebagai pendengar, maka ia dinamakan sebagai persona II, sedangkan orang yang tidak hadir dalam pembicaraan (tetapi menjadi bahan pembicaraan) atau yang hadir dekat dengan
27 pembicaraan (tetapi tidak terlibat dalam pembicaraan) dinamakan sebagai persona III. Pada sebuah karya fiksi seperti dongeng atau karya lainnya acuan orang tersebut berwujud tokoh dalam fiksi, penulis, pembaca, atau orang yang dibicarakan. Seperti halnya dengan cerita dongeng yang terdapat pada rubrik Nusantara Bertutur ini akan dibeda-bedakan. Pertama, kategori orang pertama digunakan sebagai rujukan kepada dirinya sendiri atau dalam cerita biasa digunakan oleh tokoh aku atau saya. Kedua, kategori orang kedua digunakan sebagai rujukan kepada orang lawan bicara atau dalam cerita biasa digunakan untuk lawan bicara atau kamu. Ketiga, kategori orang ketiga digunakan sebagai rujukan kepada orang atau benda yang bukan pembicara dan bukan pendengar atau dia. 5. Pengacuan Deiksis Pengacuan atau referensi adalah hubungan antara satuan bahasa dan maujud yang meliputi benda atau hal yang diacu oleh satuan bahasa itu. Acuan atau referen kata meja ialah benda meja yang berada di luar bahasa (Alwi, 2003: 43). Sementara itu Brecht dalam Purwo menjelaskan bahwa, deiksis memiliki interpretasi semantik deiksis yang lebih luas sehingga dapat mencakup dua kemungkinan titik orientasi suatu elemen deiktis di dalam konteksnya (1984:8). Penggunaan dua titik orientasi tersebut dalam deiksis disebut deiksis eksofora dan endofora. Berikut penjelasan mengenai deiksis eksofora dan endofora. a. Deiksis Eksofora Dalam struktur bukan sematan, titik orientasi berada di dalam konteks di luar bahasa. Hal itu disebut dengan deiksis luar-tuturan atau eksofora
28 (Brecht dalam Purwo, 1984: 8). Oleh Kridalaksana (2005:76), hal ini dijelaskan pada pronomina ditunjukkan dengan menggantikan nomina yang terdapat di luar wacana. Pronomina ini bersifat deikstis. Purwo memberi contoh, Buku itu sudah kuambil. (1984:28). Pronomina persona -ku mempunyai antaseden sesuai dengan penuturnya. b. Deiksis Endofora Dalam struktur sematan, titik orientasi berada di dalam kalimat atau wacana itu sendiri disebut deiksis dalam-tuturan atau endofora (Brecht dalam Purwo, 1984:8). Ia menjelaskan bahwa, dalam deiksis endofora terdapat klasifikasi berdasarkan letak pengacuan titik tolak, yaitu anafora dan katafora (1984: 10). (1) Anafora Anafora terdapat pada pengacuan pada konstituen di sebelah kiri (Brecht dalam Purwo, 1984: 10). Anafora adalah peranti dalam bahasa untuk membuat rujuk silang, dengan hal atau kata yang telah dinyatakan sebelumnya. Peranti itu dapat berupa kata ganti persona seperti dia, mereka, nomina tertentu, konjungsi, keterangan waktu, alat, dan cara (Alwi, Hasan. et.al. 2003: 43). Untuk pronomina dapat dikatakan bersifat anaforis jika mempunyai antaseden yang berada di depannya (Kridalaksana, 2005: 76). Alwi berusaha memberi contoh sebagai berikut, Bu Mastuti belum mendapat pekerjaan, padahal dia memperoleh ijazah sarjananya dua tahun lalu. (2003: 43). Dalam kalimat tersebut Bu Mastuti sebagai antaseden dari pronomina persona dia. (2) Katafora
29 Katafora terdapat pengacuan pada titik tolak di sebelah kanan (Brecht dalam Purwo, 1984: 10). Katafora adalah rujuk silang terhadap antaseden yang ada di belakangnya (Alwi, Hasan, et.al. 2003: 43). Pada pronomina bersifat kataforis jika mempunyai antaseden berada di belakangnya (Kridalaksana, 2005: 76). Contoh penggunaannya sebagai berikut: Setelah dia masuk, langsung Tony memeluk adiknya. Dalam kalimat tersebut Tony sebagai anteseden berada di belakang pronomina dia yang mengacu pada Tony. 6. Pembalikan Deiksis Pembalikan deiksis adalah penciptaan dasar deiktis bukan dalam persona penutur, tempat penutur atau saat penutur, tempat penutur atau saat penutur melainkan dalam persona lain penutur beridentifikasi (Verhaar, 1996: 410). Lyon dalam Purwo membicarakan apa yang disebutnya situasi tuturan yang kanonik (the canonical situation of uttarnce). Dalam situasi tuturan kanonik ini semua peserta tindak ujaran hadir dalam dimensi ruang dan waktu yang sama; masingmasing dapat melihat satu sama lain, dapat mempergunakan panca inderanya untuk menangkap hal-hal yang paralingual ( seperti gerak-gerik, isyarat tangan, mata) (1984:156). Selanjutnya Lyons dalam buku yang sama juga menjelaskan bahwa, komunikasi yang peserta tindak ujarannya berpijak pada ruang dan waktu yang sama ini bersifat egosentris, atau si pembicara berada pada titik nol; segala sesuatu diarahkan dari sudut pandangnya. Komplikasi akan timbul apabila bunyi bahasa pada komunikasi berhadap-hadapan itu dipisahkan dari hal-hal paralingual. Hal ini akan terasa, misalnya dalam mendengar hasil rekaman suatu pembicaraan karena hal-hal paralingual tidak ikut terekam dalam kaset.
30 Pentingnya kaitan antara hal-hal paralingual dengan leksem deiktis (eksoforis) tertentu belum dapat sepenuhnya dirasakan oleh anak di bawah umur tujuh tahun, seperti yang ditunjukkan Herb Clark (dalam Purwo, 1984: 156) Eksperimen Herb Clark (dalam Purwo, 1984: 156) tersebut menyebutkan adanya dua orang anak yang dipisahkan dalam tirai yang tidak memungkinkan untuk melihat tetapi mereka dapat mendengar satu sama lainnya. Dalam praktiknya, anak satu diminta untuk mengajar anak lainnya menyusun balokbalok. Ada kemungkinan anak satu akan mengatakan, Letakkan balok ini di atas balok itu, dan anak lainnya mengatakan Yang ini?, jawab anak satunya Iya tanpa ia melihat balok ini dan itu yang dimaksudkan. Eksperimen ini menunjukkan anak-anak belum merasa penting adanya gerak-gerik dalam kata ganti demonstratif. Pembalikan deiksis biasa terjadi pada saat keadaan menulis surat atau bertelepon. Dalam bahasa Latin Klasik dikenal dengan apa yang disebut sebagai kala persuratan, yang banyak ditemukan dalam penulisan surat. Penulis surat tidak mempergunakan kala saat surat itu dituliskan, tetapi mempergunakan kala saat surat itu dibaca. Lyons (dalam Purwo 1984: 158) menyebutkan fenomena tersebut sebagai projeksi deiksis (deictic projection: the speaker projects himself into a deictic contexts centred on the addressee). Lyons juga menyebutkan adanya deiksis berempati (empathetic deixis) (dalam Purwo 1984:158). Deiksis berempati ini terjadi dalam bahasa tulisan: dalam konteks tertentu dipilih kata this sebagai kata ganti that untuk pengacuan ke kiri. Lyons juga menambahkan adanya pemilihan leksem deiksis yang menunjuk pada hal yang dekat dengan penutur disebabkan oleh keinginan si penutur menunjukkan keterlibatan dirinya dalam
31 kisah yang ditulisnya. Dalam disertasi Purwo (1984), apa yang disebut Lyons sebagai projeksi deiksis dalam penelitiannya disebut sebagai pembalikan deiksis luar-tuturan, sedangkan deiksis berempati disebut sebagai pembalikan deiksis dalam-tuturan. 7. Pembalikan Deiksis Persona Secara logis Purwo (1984:159) menyatakan kemungkinan pembalikan deiksis persona itu sebagai berikut : a. bentuk persona pertama untuk menunjuk persona kedua b. bentuk persona kedua untuk menunjuk persona pertama c. bentuk persona pertama untuk menunjuk persona ketiga d. bentuk persona ketiga untuk menunjuk persona pertama e. bentuk persona kedua untuk menunjuk persona ketiga f. bentuk persona ketiga untuk menunjuk persona kedua Di antara keenam kemungkinan ini menurut Purwo (1984) hanya lima yang dapat ditemukan contohnya dalam bahasa Indonesia, yaitu (a), (b), (d), (e) dan (f). Contoh pembalikan bentuk persona kedua untuk menunjukkan persona pertama adalah Tak boleh begitu, Pip. Ibu tadi sudah bilang apa, tegur ibu Pip. (A25/SSHB/1 Maret 15). Pada kalimat tersebut kata Ibu dipergunakan sebagai persona pertama, yang pada lazimnya digunakan sebagai penunjuk persona kedua. Hal inilah yang dinamakan sebagai pembalikan deiksis persona, yaitu menempatkan diri pada posisi yang diduduki oleh lawan bicaranya.
32 8. Dongeng Danandjaja (2007: 83) mengatakan bahwa, dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral) atau bahkan sindiran. Menurut Verawati dalam artikel yang berjudul Cerdaskan Anak dengan Dongeng menyebutkan bahwa, dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya (2013). Dongeng merupakan dunia khayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Terkadang kisah dongeng bisa membawa pendengar terhanyut ke dalam dunia fantasi tergantung cara penyampaian dongeng tersebut dan pesan moral yang disampaikan. Kisah dongeng yang sering diangkat menjadi saduran dari kebanyakan sastrawan dan penerbit, lalu dimodifikasi menjadi dongeng modern. Jenis-jenis dongeng dibagi menjadi beberapa klasifikasi, yaitu: a. Fabel, yaitu dongeng yang berisi tentang dunia binatang. Dongeng yang paling populer ini adalah Si Kancil karena daya ketertarikan anak-anak terhadap binatang masih tinggi. b. Legenda, yaitu dongeng yang berhubungan dengan keajaiban alam, biasanya berisi tentang kejadian suatu tempat. Contohnya adalah dongeng terjadinya Danau Toba.
33 c. Sage, yaitu dongeng yang banyak mengandung unsur sejarah. Karena diceritakan dari mulut ke mulut, lama-kelamaan tambahan cerita bersifat khayal. Contohnya Dongeng Jaka Tingkir. d. Parabel, yaitu dongeng yang banyak mengandung nilai-nilai pendidikan atau cerita pendek dan sederhana yang mengandung ibarat atau hikmah sebagai pedoman hidup. Penelitian deiksis persona dalam dongeng anak pada rubrik Nusantara Bertutur ini merupakan jenis dongeng fabel dan parabel. Hal ini dikarenakan jenis dongeng yang banyak dijumpai adalah yang bertokoh binatang dan manusia. Kesemua itu banyak mengandung nilai-nilai pendidikan dan berupa cerita pendek yang lebih sederhana. C. Kerangka Pikir Kerangka pikir digunakan sebagai gambaran jalan pikir penulis dimulai dari adanya teks dongeng anak dalam rubrik Nusantara Bertutur di koran Kompas Klasika Minggu sampai ditemukannya hasil analisis. Bagan di bawah ini menggambarkan bahwa penelitian ini bermula dari adanya teks dongeng anak pada rubrik Nusantara Bertutur yang dianggap sebagai wacana prosa. Karena penelitian ini menggunakan teks dongeng sebagai sebuah wacana prosa, maka perlu dilakukan analisis konteks wacana yang terdiri dari konteks situasi dan konteks sosial kultural yang melingkupi terbentuknya penggunaan deiksis persona tersebut. Setelah didapatkan konteks sosial kultural tersebut, kemudian dilakukan analisis terkait penggunaan deiksis persona pada teks dongeng anak tersebut. Analisis penggunaan deiksis tersebut akan didapat hasil analisis berupa bentuk deiksis persona, pengacuan deiksis persona dan pembalikan deiksis persona yang
34 merupakan unsur eksternal dari kajian wacana dalam teks dongeng anak pada rubrik Nusantara Bertutur di koran Kompas Klasika Minggu. Kerangka pikir dapat digambarkan sebagai berikut: Teks dongeng anak dalam rubrik Intermeso Keluarga sebagai sebuah wacana prosa Mendeskripsikan konteks situasi dan konteks sosial kultural yang membangun lahirnya dongeng anak pada rubrik Nusantara Bertutur di koran Kompas Klasika Minggu. Mendeskripsikan unsur eksternal kajian wacana dalam teks dongeng anak yang berupa penggunaan deiksis persona, pengacuan deiksis persona dan pembalikan deiksis persona pada rubrik Nusantara Bertutur di koran Kompas Klasika Minggu Hasil analisis: 1) Deskripsi tentang konteks situasi dan konteks sosial kultural yang membangun lahirnya teks dongeng anak pada rubrik Nusantara Bertutur di koran Kompas Klasika Minggu. 2) Deskripsi tentang bentuk deiksis persona, pengacuan deiksis persona dan pembalikan deiksis persona yang merupakan unsur eksternal dari kajian wacana dalam teks dongeng anak pada rubrik Nusantara Bertutur di koran Kompas Klasika Minggu.