II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Bali Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli yang dikembangkan di Indonesia. Ternak ini berasal dari keturunan asli banteng liar yang telah dijinakkan (domestikasi) (Martojo, 2003). Proses penjinakan tersebut diduga terjadi di salah satu daerah di Indonesia pada zaman prasejarah, kemungkinan besar terjadi di Pulau Bali (Bandini, 1997). Sapi Bali memiliki beberapa ciri dengan bentuk badan memanjang, dada dalam, badan padat, bertanduk, kepala agak pendek, dan dahi yang datar. Panjang badan Sapi Bali berkisar antara 125-135 cm untuk jantan dan 110-118 cm untuk betina (Bandini, 1997). Selain itu, Sapi Bali mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda dari sapi bangsa lain. Sapi Bali jantan dan betina memiliki warna putih pada bagian kaki, mulut dan pantatnya. Pada Sapi Bali jantan warna bulu hitam (Ilustrasi 1) sedangkan Sapi Bali betina berwarna merah bata (Ilustrasi 1). Sewaktu lahir, baik Sapi Bali jantan ataupun betina memiliki bulu berwarna merah bata. Setelah dewasa kelamin, warna bulu Sapi Bali jantan berubah menjadi hitam karena adanya pengaruh hormon testosteron (Utoyo, 2003). Sapi Bali banyak dikembangkan di Indonesia karena mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan sapi jenis lain. Keunggulan yang dimiliki Sapi Bali diantaranya, mampu beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan yang buruk, mampu beradaptasi terhadap mutu pakan yang rendah, memiliki tingkat fertilitas tinggi dan menghasilkan produksi karkas yang tinggi (Guntoro, 2002). Pada perkembangan dan penyebarannya, Sapi Bali hanya terpusat di Pulau Bali. Selanjutnya Sapi Bali berkembang dan menyebar hampir keseluruh pelosok
8 nusantara, bahkan sampai ke negara tetangga seperti Malaysia, Philipina, Australia bagian utara, dan sebagainya. Upaya mempertahankan kemurnian genetik dan kelestarian ternak Sapi Bali, pemerintah menetapkan empat daerah pengembangan Sapi Bali murni yaitu Provinsi Bali, Sulawesi Selatan, NTT, dan NTB (Payne dan Rollinson, 1973). Ilustrasi 1. Sapi Bali Jantan (Kiri) dan Sapi Bali Betina (Kanan) 2.2 Pertumbuhan dan Perkembangan Tulang, Otot, Lemak Proses pertumbuhan dimulai sejak awal embrional dari zigot melalui multiplikasi seluler dan diferensial jaringan yang membentuk organ dan bagian tubuh sampai menjadi individu lengkap menjelang dilahirkan. Pertumbuhan seekor ternak merupakan proses bertambahnya ukuran yang disebabkan oleh pertambahan volume jaringan atau organ (Aberle dkk., 2001). Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran tubuh yang terdiri dari perubahan bobot hidup, bentuk (dimensi linier) dan komposisi baik itu perubahan komponen penyusun tubuh seperti otot, lemak, tulang dan organ ataupun perubahan komponen kimia seperti air, lemak, protein dan abu (Soeparno, 2006) Pertambahan ukuran tersebut disebabkan oleh 3 proses yakni hipertropi (pembesaran sel), hiperplasia (perbanyakan sel), dan pertumbuhan akresionari (Aberle dkk., 2001). Hipertropi adalah proses pembesaran ukuran dari sel,
9 sedangkan hiperplasia adalah proses perbanyakan dari sel-sel baru dan pertumbuhan akresionari adalah pertambahan pada material ekstraselular yang terdiri dari subtansi dasar dan serabut jaringan ikat (Aberle dkk., 2001). Perkembangan dapat didefinisikan sebagai perubahan bentuk tubuh ternak atau konformasi tubuh yang dimulai pada saat ternak lahir hingga mencapai dewasa kelamin (Goodwin, 1977). Secara umum, periode pertumbuhan dan perkembangan dapat dibedakan menjadi dua fase, yaitu fase prenatal dan postnatal. Pada fase prenatal terjadi pada saat ternak belum lahir yaitu pada saat pembentukan ovum, embrio dan fetus (Field, 2007). Iustrasi 2. Kurva Pertumbuhan Ternak (Aberle dkk., 2001) Ternak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan secara bertahap. Dalam kondisi lingkungan yang ideal, kurva pertumbuhan dari seekor ternak membentuk kurva sigmoid atau berbentuk huruf S (Ilustrasi 2) (Field, 2007). Kurva pertumbuhan sigmoid tersebut terjadi karena umur tidak menyebabkan peningkatan berat tubuh, tetapi memberikan kesempatan kepada ternak untuk tumbuh dan berkembang mencapai dewasa dan berinteraksi dengan
10 lingkungannya (Karnaen, 2007). Laju pertumbuhan mula-mula terjadi sangat lambat, kemudian cepat, selanjutnya berangsur-angsur menurun atau melambat dan berhenti setelah ternak mencapai dewasa kelamin (Field, 2007). Pertumbuhan dan perkembangan tulang akan menentukan ukuran tubuh ternak. Tulang terbentuk pada periode prenatal dan postnatal oleh suatu jaringan ikat. Pertumbuhan tulang memiliki laju yang paling lambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan otot dan pertumbuhan lemak (Ilustrasi 3) (Field, 2007). Pada ternak yang mengalami early maturity seperti Sapi Bali atau Sapi lokal Indonesia, titik infleksi telah tercapai untuk pertumbuhan tulang pada umur sapih sehingga kurva pertumbuhan tulang mencapai maksimum lebih cepat dibandingkan pertumbuhan otot dan lemak (Boggs dan Merkel, 1993). Ilustrasi 3. Kurva Pertumbuhan Tulang, Otot, dan Lemak (Field, 2007) Komponen utama penyusun karkas pada ternak terdiri atas otot, lemak, dan tulang. Peningkatan berat pada salah satu komponen tersebut akan menurunkan berat komponen lainnya secara proporsional, dengan kata lain
11 apabila terjadi kenaikan pada salah satu komponen maka akan terjadi penurunan pada komponen yang lain. Ketiga komponen penyusun karkas yaitu otot, lemak, dan tulang akan mempengaruhi nilai karkas baik itu dari segi kualitas karkas maupun kuantitas karkas yang dihasilkan (Aberle dkk., 2001). Pada kondisi pertumbuhan komponen karkas berlangsung beriringan dengan urutan tulang tumbuh lebih dahulu, diikuti oleh otot dan lemak. Komponen tulang pada karkas terus meningkat dari mulai ternak lahir sampai berumur 5 bulan, kemudian mengalami penurunan hingga dewasa kelamin. Komponen otot pada karkas memiliki proporsi maksimum saat umur 5-15 bulan dan menurun saat berumur diatas 15 bulan. Komponen lemak terus meningkat pada umur 20 bulan dan terus meningkat seiring pertambahan umur. Komponen lemak stabil pada umur 40 hingga 45 bulan (Aberle dkk., 2001) 2.3 Dimensi Tubuh Dimensi tubuh dari seekor ternak dapat diukur berdasarkan bagian-bagian tubuh ternak termasuk ukuran-ukuran yang dapat dilihat pada permukaan tubuh sapi. Indikator penilaian produktivitas ternak dapat dilihat berdasarkan parameter tubuh ternak tersebut. Parameter tubuh yang sering dipergunakan dalam menilai produktivitas ternak antara lain tinggi badan, lingkar dada, dan panjang badan (Jaelani dkk., 2013). Ukuran tubuh yang dapat diukur selain panjang badan dan lingkar dada meliputi tinggi pundak, tinggi pinggul, dalam dada, lebar pinggul, lebar kelangkang, lebar tulang duduk, panjang kelangkang, lingkar dada, dan lingkar tungkai bawah (Bugiwati dan Rahim, 2009).
12 2.3.1 Panjang Badan Semasa hidupnya ternak mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan. Salah satu indikator terjadinya pertumbuhan dan perkembangan pada ternak adalah bertambahnya panjang tubuh dari ternak seiring bertambahnya umur ternak. Panjang badan merupakan salah satu parameter tubuh sebagai indikator penilaian pertumbuhan ternak. Panjang badan dari ternak sapi diukur dari jarak lurus dari bagian proximal tonjolan tulang siku (humerus) (Field, 2007) atau dari sendi bahu (antara os scapula os humerus) ( Santosa, 2006). 2.3.2 Panjang Kelangkang Panjang kelangkang merupakan suatu ukuran dari bagian tubuh ternak yang pertambahannya satu sama lain saling berhubungan. Panjang kelangkang dapat diukur untuk dijadikan indikator penilaian produktivitas ternak pada suatu usaha penggemukan sapi potong. Hal itu terjadi karena pada bagian tersebut merupakan tempat melekatnya otot yang kemudian akan dikonversikan menjadi daging. Panjang kelangkang diukur dari bagian anterior pangkal paha (tuber coxae) sampai benjolan tulang duduk (tuber ischii) (Field, 2007). 2.4 Persentase Karkas Tujuan akhir dari usaha penggemukan sapi potong adalah untuk menghasilkan karkas dengan kualitas dan kuantitas tinggi sehingga potongan daging yang diperoleh untuk dikonsumsi semakin banyak. Karkas diperoleh dari ternak yang telah disembelih dan dipisahkan dari kepala, kaki, kulit, dan jeroan (saluran pencernaan, paru-paru, jantung, limpa, dan hati) kecuali ginjal serta darahnya yang keluar selama proses pemotongan (Santosa, 2006)
13 Nilai produktivitas karkas dapat dinilai dari beberapa aspek, diantaranya berat karkas, jumlah daging yang diperoleh, dan potongan komersial daging pada karkas yang dapat dijual. Komposisi karkas pada ternak berbeda-beda walaupun dalam bangsa yang sama. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor genetik, jenis kelamin atau tipe ternak penghasil karkas, umur atau derajat kedewasaan ternak, dan nutrisi yang terkandung pada pakan (Soeparno, 2006). Seekor ternak sapi dianggap baik apabila mampu menghasilkan karkas sebesar 59% dari bobot tubuhnya dan akhirnya akan diperoleh 46,50% recahan daging yang dapat dikonsumsi (Santosa, 2008). Persentase karkas yang baik dapat dilihat dari poporsi tulang yang rendah, jumlah daging yang tinggi, dan tingkat perlemakan yang otimum sehingga karkas yang dihasilkan tersebut termasuk kedalam karkas yang memiliki kualitas superior (Field, 2007). Persentase karkas yang dihasilkan dari seekor ternak akan berbeda. Hal tersebut dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin dan bangsa (Philllips, 2001). Persentase karkas akan bertambah dengan meningkatnya bobot potong maka persentase nonkarkas dan isi saluran pencernaan akan berkurang dengan meningkatnya bobot potong (Herman, 2004). Hal ini menandakan bahwa dari seekor sapi yang dipotong tidak akan seluruhnya menjadi daging yang dapat dikonsumsi manusia karena karkas terbagi atas daging dan tulang. 2.5 Koefisien Korelasi dan Koefisien Determinasi Koefisien korelasi adalah derajat hubungan sekumpulan data berbentuk linier dari regresi yang terbaik (Sudjana, 2005). Kekuatan hubungan dari koefisien korelasi dapat digolongkan menjadi 5 kategori (Sugiono, 2007). Kategori tersebut dibagi berdasarkan besarnya nilai koefisien korelasi antara kedua variabel. Nilai koefisien korelasi (r) dapat -1 < r < +1. Nilai r = -1 menyatakan adanya hubungan
14 linier tak sempurna antara X dan Y. Hal ini berarti titik-titik yang ditentukan oleh (X 1, Y 1 ) seluruhnya terletak pada garis regresi linier dan nilai X yang kecil berpasangan dengan nilai Y yang besar (Sudjana, 2005). Nilai r = +1 menyatakan adanya hubungan linier sempurna antara variabel X dan Y. Letak titik-titik ada pada garis regresi linier dengan sifat bahwa harga X yang besar berpasangan dengan harga Y yang besar. Tabel 1. Nilai Korelasi Sumber : Sugiono, 2007 Nilai Kategori 0 0,199 Sangat Rendah 0,2 0,399 Rendah 0,4 0,599 Sedang 0,6 0,799 Kuat 0,8 1 Sangat Kuat Koefisien determinasi adalah derajat suatu keterandalan model yang dapat dilambangkan dengan (R 2 ). Koefisien determinasi diartikan sebagai proporsi variasi tanggapan yang dapat dijelaskan oleh variabel bebas X dalam model Y (Sudjana, 2005). Nilai koefisien determinasi melambangkan seberapa besar suatu model penduga terbaik dapat diandalkan. Semakin besar nilai koefisien determinasi maka dapt digunakan sebagai penduga nilai Y. Regresi adalah hubungan yang terjadi antara suatu variabel dependent (terikat) dengan satu atau lebih variabel independent (bebas). Regresi berganda adalah persamaan regresi dengan satu peubah tak bebas (Y) dengan lebih dari satu peubah bebas (X) (Sudjana, 2005).
15 2.6 Rumah Potong Hewan Rumah Pemotongan Hewan adalah kompleks bangunan dengan disain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higienis tertentu serta digunakan sebagai tempat pemotongan hewan potong selain unggas bagi konsumsi masyarakat (Badan Standarisasi Nasional, 1999). Sebagai sarana pelayanan kepada masyarakat (public service) dalam penyediaan daging, Rumah Potong Hewan berkewajiban untuk melaksanakan kontrol terhadap fungsi RPH melalui pemeriksaan antemortem dan postmortem agar daging yang dihasilkan Aman, Sehat, Utuh, dan Halal (ASUH). Menurut Manual Kesmavet (1993) dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 413/Kpts/TN.310/7/1992 tentang Pemotongan Hewan dan Penanganan Daging serta Hasil Ikutannya bahwa Rumah Potong Hewan yang berdiri harus memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh pemerintah. Secara garis besar syarat-syarat tersebut anatara lain, lokasi tidak berada di bagian kota padat penduduk dan letaknya lebih rendah dari pemukiman penduduk. Kompleks Rumah Potong Hewan harus terdiri dari kandang utama, kandang penampungan, kandang istirahat dan kandang isolasi. Selain itu, seluruh perlengkapan pendukung dan penunjang Rumah Potong Hewan harus terbuat dari bahan yang tidak mudah korosif, mudah dibersihkan dan didesinfeksi serta mudah dirawat.