Uji Mikrostruktur dengan SEM HASIL DAN PEMBAHASAN Cangkang Telur Hidroksiapatit

dokumen-dokumen yang mirip
PELAPISAN KOMPOSIT HIDROKSIAPATIT-KITOSAN PADA LOGAM STAINLESS STEEL 316 UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN KOROSI ADI IRIANTO MARIST

HASIL DAN PEMBAHASAN. didalamnya dilakukan karakterisasi XRD. 20%, 30%, 40%, dan 50%. Kemudian larutan yang dihasilkan diendapkan

dengan panjang a. Ukuran kristal dapat ditentukan dengan menggunakan Persamaan Debye Scherrer. Dilanjutkan dengan sintering pada suhu

Tabel 3.1 Efisiensi proses kalsinasi cangkang telur ayam pada suhu 1000 o C selama 5 jam Massa cangkang telur ayam. Sesudah kalsinasi (g)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 1 Ikan alu-alu (Sphyraena barracuda) (

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.5 Karakterisasi Sampel Hasil Sintesis

Gambar 3.1 Diagram alir penelitian

BAB IV. karakterisasi sampel kontrol, serta karakterisasi sampel komposit. 4.1 Sintesis Kolagen dari Tendon Sapi ( Boss sondaicus )

BAB I PENDAHULUAN. biomaterial logam, keramik, polimer dan komposit. kekurangan. Polimer mempunyai kekuatan mekanik yang sangat rendah

4 Hasil dan Pembahasan

I. PENDAHULUAN. bidang kesehatan bahan ini biasa diimplankan di dalam tubuh manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Kebutuhan akan energi semakin berkembang seiring dengan

I. PENDAHULUAN. fosfat dan kalsium hidroksida (Narasaruju and Phebe, 1996) dan biasa dikenal

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi laka lantas MABES Polri tercatat ada 61,616 kasus kecelakaan lalu lintas di

METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Gambar 4.2 Larutan magnesium klorida hasil reaksi antara bubuk hidromagnesit dengan larutan HCl

I. PENDAHULUAN. tulang dan gigi diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan sel-sel yang akan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil preparasi bahan baku larutan MgO, larutan NH 4 H 2 PO 4, dan larutan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Struktur Karbon Hasil Karbonisasi Hidrotermal (HTC)

BAB I PENDAHULUAN. ragam, oleh sebab itu manusia dituntut untuk semakin kreatif dan produktif dalam

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (C), serta unsur-unsur lain, seperti : Mn, Si, Ni, Cr, V dan lain sebagainya yang

2014 PEMBUATAN BILAYER ANODE - ELEKTROLIT CSZ DENGAN METODE ELECTROPHORETIC DEPOSITION

BAB I PENDAHULUAN. karies gigi (Wahyukundari, et al., 2009). Berdasarkan hasil riset dasar yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pengaruh Sintering dan Penambahan Senyawa Karbonat pada Sintesis Senyawa Kalsium Fosfat

Uji Kekerasan Sintesis Sintesis BCP HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Bahan Dasar

Handout. Bahan Ajar Korosi

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

PELAPISAN SENYAWA APATIT PADA PERMUKAAN BAJA TAHAN KARAT 316L DENGAN METODE DEPOSISI ELEKTROFORESIS HARI BOWO

Bab III Metodologi Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

PELAPISAN HIDROKSIAPATIT BERBASIS CANGKANG TELUR PADA LOGAM STAINLESS STEEL 316 DENGAN METODE DEPOSISI ELEKTROFORETIK CARYONO

1BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Alumina banyak digunakan dalam berbagai aplikasi seperti digunakan sebagai. bahan refraktori dan bahan dalam bidang otomotif.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pori

Hasil dan Pembahasan

TINJAUAN PUSTAKA Aplikasi Hidroksiapatit Berpori

Keywords: Blood cockle shell, characterization, hydroxyapatite, hydrothermal.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Biokeramik pada Dental Implant

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PEDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pipa merupakan salah satu kebutuhan yang di gunakan untuk

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap

BAB II KOROSI dan MICHAELIS MENTEN

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini kebutuhan masyarakat akan bahan rehabilitasi. cukup besar, sehingga berbagai upaya dikembangkan untuk mencari

CANGKANG TELUR AYAM RAS DENGAN VARIASI KOMPOSISI DAN PENGARUHNYA TERHADAP POROSITAS, KEKERASAN, MIKROSTRUKTUR, DAN KONDUKTIVITAS LISTRIKNYA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengaruh variasi..., Agung Prasetyo, FT UI, 2010.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. aplikasi implan tulang merupakan pendekatan yang baik (Yildirim, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa dari hasil studi dari Depkes dan beberapa yayasan swasta di Indonesia pada tahun didapatkan data:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hal ini memiliki nilai konduktifitas yang memadai sebagai komponen sensor gas

BAB IV HASIL YANG DICAPAI DAN MANFAAT BAGI MITRA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memunculkan penemuanpenemuan

4. Hasil dan Pembahasan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan di Kelompok Bidang Bahan Dasar PTNBR-

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2013 sampai dengan Juni 2013 di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakterisasi mikroskopik yang pertama dilakukan adalah analisis

BAB IV HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN. juga menjadi bisnis yang cukup bersaing dalam perusahaan perbajaan.

Potensi Kerang Ranga sebagai Sumber Kalsium dalam Sintesis Biomaterial Substitusi Tulang

3 Metodologi Penelitian

BAB III METODOLOGI PELAKSANAAN

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sehingga dapat menghasilkan data yang akurat.

BAB III METODE PENELITIAN. Tahapan Penelitian dan karakterisasi FT-IR dilaksanakan di Laboratorium

Sudaryatno Sudirham ing Utari. Mengenal. Sudaryatno S & Ning Utari, Mengenal Sifat-Sifat Material (1)

Gambar 4.7. SEM Gelas BG-2 setelah perendaman di dalam SBF Ringer

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MATERI DAN PERUBAHANNYA. Kimia Kesehatan Kelas X semester 1

PERCOBAAN IV PEMBUATAN BUFFER Tujuan Menghitung dan pembuat larutan buffer atau dapar untuk aplikasi dalam bidang farmasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

BAB III METODE PENELITIAN. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode eksperimen yang dilakukan di

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III EKSPERIMEN. 1. Bahan dan Alat

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metoda eksperimen.

Gambar 2.1. Proses pengelasan Plug weld (Martin, 2007)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

4. Hasil dan Pembahasan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI

BAB II TEORI DASAR. 1. Hydroxyapatite

HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Contoh

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil analisis P-larut batuan fosfat yang telah diasidulasi dapat dilihat pada Tabel

θ HASIL DAN PEMBAHASAN. oksida besi yang terkomposit pada struktur karbon aktif.

Transkripsi:

3 Uji Mikrostruktur dengan SEM Sampel ditempelkan pada cell holder kemudian disalut emas dalam keadaan vakum selama waktu dan kuat arus tertentu dengan ion coater. Sampel dimasukkan pada tempat sampel dalam alat SEM dengan tegangan tertentu. Gambar yang dihasilkan berupa topografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang pada permukaan. HASIL DAN PEMBAHASAN Cangkang Telur Proses pembentukan senyawa hidroksiapatit yang berkualitas dan murni memerlukan biaya yang tidak murah. Penggunaan cangkang telur sebagai sumber kalsium dalam pembentukan senyawa hidroksiapatit merupakan solusi yang tepat untuk memangkas biaya produksi hidroksiapatit (Dasgupta et al. 2004). Cangkang telur mengandung kalsium karbonat (94%), kalsium fosfat (1%), senyawa organik (4%), dan magnesium karbonat (1%). Tingginya kadar kalsium yang dimiliki cangkang telur, mendorong penggunaan limbah cangkang telur sebagai sumber kalsium alami dalam proses pembuatan hidroksiapatit (Pankaew et al. 2010). Selain itu cangkang telur juga tidak mengandung senyawa beracun sehingga dapat digunakan dalam bidang farmasi dan pangan (Murakami dan Rodrigues 2007). Gambar 1 menunjukkan bahwa pada serbuk cangkang telur sebelum pemanasan terdapat fase CaCO 3, Ca 3 (PO 4 ) 2 dan MgCO 3. Keberadaan fase CaCO 3 ditunjukkan dengan adanya puncak pada sudut 2θ 18.500, 47.250, dan 54.449, fase Ca 3 (PO 4 ) 2 pada 28.750 dan 34.150 serta fase MgCO 3 pada 50.850 (Lampiran 3). Preparasi awal cangkang telur dengan memanaskan cangkang telur pada suhu 1000 C selama 6 jam mengakibatkan kalsium karbonat yang terkandung di dalam cangkang telur berubah menjadi kalsium oksida (Bahrololoom et al. 2009). Puncak fase CaO berada pada sudut 2θ 32.150, 37.300, 53.799, 64.099, dan 67.300 (Lampiran 3). Pemanasan ini juga dimaksudkan untuk menghilangkan karbonat yang merupakan zat pengganggu dalam proses kristalisasi hidroksiapatit (Dahlan et al. 2009). Ion karbonat dapat menempati posisi pada struktur hidroksiapatit, yaitu pada posisi pertama menggantikan gugus OH - membentuk senyawa apatit karbonat tipe A Ca 10 (PO 4 ) 6 CO 3 (AKA) dan posisi kedua menggantikan gugus 3- PO 4 membentuk senyawa apatit karbonat tipe B Ca 10 (PO 4 ) 3 (CO 3 ) 3 (OH) 2 (AKB) (Aoki 1991, diacu dalam Septiarini 2009). Serbuk cangkang telur yang telah dikalsinasi pun harus disimpan di dalam wadah yang tertutup rapat untuk menghindari masuknya ion karbonat dan air dari udara ke dalam serbuk cangkang telur yang dapat mengganggu proses pembentukan hidroksiapatit. Kadar CaO yang terkandung di dalam serbuk cangkang telur setelah pemanasan berdasarkan hasil analisis menggunakan SSA sebesar 56.64% (Lampiran 4). 1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 5 15 25 35 45 55 65 75 2θ Gambar 1 Pola difraksi sinar-x serbuk cangkang telur sebelum (-) dan sesudah (-) pemanasan. CaO, CaCO 3, Ca 3 (PO 4 ) 2, MgCO 3. Hidroksiapatit Hidroksiapatit merupakan suatu material bioaktif yang berpotensial digunakan sebagai pelapis dalam implantasi komposit. Bioaktif hidroksiapatit memiliki kesamaan struktur dan komposisi dengan komponen anorganik dari jaringan keras biologis seperti material pada struktur tulang dan gigi (Pal et al. 2005; Deptula et al. 2006; Sasikumar dan Vijayaraghavan 2006). Hidroksiapatit membentuk ikatan langsung dengan jaringan tulang tanpa melalui proses enkapsulasi fibrin (Song et al. 2003). Balamurugan et al. (2002) mengemukakan bahwa hidroksiapatit selain memiliki kemampuan melindungi logam pen dari korosi ketika diimplankan di dalam tubuh juga meningkatkan laju pertumbuhan jaringan tulang. Sintesis senyawa kalsium fosfat seperti hidroksiapatit dapat dibagi menjadi dua metode yaitu metode kering dan metode basah. Metode basah terdiri atas tiga jenis diantaranya metode presipitasi, teknik hidrotermal, dan hidrolisis (Pankaew et al. 2010). Metode presipitasi merupakan metode yang sering digunakan dalam sintesis

4 hidroksiapatit karena mudah mengontrol komposisi dan karakteristik fisik dari hidroksiapatit, murah, dan mudah penggunaanya (Pankaew et al. 2010). Metode presipitasi memiliki kelemahan diantaranya sulit mengatur nilai ph di atas 9 untuk mencegah pembentukan kalsium hidroksiapatit yang tidak sempurna. Kristal kalsium hidroksiapatit yang tidak sempurna mudah mengalami dekomposisi membentuk trikalsium fosfat saat proses sintering (Balamurugan et al. 2006). Metode kering memiliki kelebihan yang tak kalah dengan metode basah. Sintesis hidroksiapatit menggunakan metode kering merupakan metode yang lebih sederhana untuk mendapatkan hidroksiapatit dengan hasil kristal yang lebih banyak (Pramanik et al. 2005). Prinsip metode kering ialah menggunakan sifat dasar atom yang dapat bergerak bervibrasi semakin cepat ketika temperatur ditingkatkan. Sintesis hidroksiapatit menggunakan metode kering dari serbuk garam anorganik atau oksida membutuhkan pencampuran mekanik yang ekstensif dan perlakuan pada temperatur tinggi (Beganskienė et al. 2006). Temperatur yang tinggi pada metode kering dapat meningkatkan aktivitas ion sehingga akan menaikkan proses kristalisasi senyawa hidroksiapatit. Struktur kristalitas hidroksiapatit yang dihasilkan sangat berpengaruh terhadap sifat bioaktif yang dimiliki oleh hidroksiapatit (Pramanik et al. 2005). Selain itu penggunaan temperatur tinggi dapat menghilangkan zat pengganggu dalam proses kristalisasi hidroksiapatit seperti karbonat yang banyak terkandung dalam cangkang telur (Dahlan et al. 2009). Dahlan et al. (2009) melakukan sintesis hidroksiapatit menggunakan cangkang telur sebagai sumber kalsium dan pereaksi (NH 4 ) 2 HPO 4 sebagai sumber fosfor. Sintesis dilakukan melalui proses sintering campuran kedua bahan tersebut pada variasi suhu 900 o C (selama 2 dan 4 jam) dan 1000 o C (selama 2, 4 dan 6 jam). Dahlan et al. (2009) menjelaskan bahwa semakin tinggi suhu selama sintering akan menghasilkan hidroksiapatit dengan derajat kristalinitas yang juga semakin tinggi. Demikian pula dengan waktu pemanasan yang juga berbanding lurus dengan derajat kristalinitas sampel. Berdasarkan pola hasil XRD (Gambar 2) memperlihatkan adanya fase lain yang muncul selain hidroksiapatit, yaitu apatit karbonat tipe A, apatit karbonat tipe B, dan okta kalsium fosfat. Metode ini dinilai masih belum menghasilkan hidroksiapatit yang murni. Gambar 2 Pola difraksi sinar-x hidroksiapatit hasil Dahlan et al. (2009) pada sintering 1000 o C selama 4 jam. Pramanik et al. (2005) melakukan sintesis hidroksiapatit melalui sintering campuran antara CaO dengan P 2 O 5 pada suhu 1250 o C selama 1.5 jam dengan perbandingan CaO 50.52% dan P 2 O 5 46.43%. Ditambahkan pula sejumlah pengisi dan aditif pada campuran yang kemudian dimiling menggunakan milling ball selama 16 jam. Sebelum disintering campuran terlebih dahulu dibentuk menjadi pelet pada tekanan 60 MPa. Pelet yang telah disintering kemudian dihancurkan dan disintering kembali pada suhu dan waktu yang sama. Metode ini tergolong tidak ringkas dan memakan waktu lama sehingga tidak bisa dilakukan untuk dunia industri dalam skala besar. Gambar 3 Pola difraksi sinar-x hidroksiapatit hasil Pramanik et al. (2005) pada serbuk apatit sebelum sintering kedua (a) dan setelah sintering kedua (b). Sintesis hidroksiapatit metode kering pada penelitian ini merupakan modifikasi metode Dahlan et al. (2009) dan Pramanik et al. (2005). Penelitian ini menggunakan cangkang telur sebagai sumber kalsium yang sebelumnya disintering untuk membentuk CaO seperti metode Dahlan et al. (2009) dan sebagai sumber fosfor digunakan pereaksi

5 P 2 O 5 seperti metode Pramanik et al. (2005). Proses sintering pada penelitian ini sama seperti Pramanik et al. (2005) yang menggunakan perbandingan campuran CaO 50.52% dan P 2 O 5 46.43%, dimiling dan disintering pada suhu 1250 o C. Metode ini dinilai lebih sederhana karena proses miling hanya dilakukan selama 6 jam dan tidak disintering dalam bentuk pelet melainkan dalam bentuk serbuk serta tidak ada penambahan bahan aditif atau pengisi walaupun proses sintering dilakukan sedikit lebih lama yaitu selama 2 jam. Hidroksiapatit yang dihasilkan oleh metode ini pun lebih murni dibanding metode Dahlan et al. (2009) dan Pramanik et al. (2005), dibuktikan dari hasil pola difraksi sinar-x Gambar 2, 3, dan 4. Berdasarkan perbandingan terhadap metode Dahlan et al. (2009) dan Pramanik et al. (2005), dapat dipastikan bahwa proses sintesis metode kering pada penelitian ini memiliki potensi yang baik untuk digunakan di masa mendatang dalam dunia industri. 400 350 300 250 200 150 100 50 0 10 20 30 40 50 60 70 80 2θ Gambar 4 Pola difraksi sinar-x hidroksiapatit sintesis (-) dan komersil (-). Hidroksiapatit, CaO, dan AKA. Gambar 5 Hasil SEM hidroksiapatit sintesis (a) dan komersil (b) perbesaran 5 µm. Sintesis hidroksiapatit metode kering menggunakan pereaksi P 2 O 5 harus dengan perhatian ekstra. Senyawa P 2 O 5 merupakan senyawa korosif dan sangat reaktif terhadap air menghasilkan panas dan asam fosfat. Setelah P 2 O 5 dan CaO dari cangkang telur dicampur dan dimiling selama 6 jam, campuran harus terlebih dahulu didiamkan selama 24 jam dalam wadah tertutup untuk menstabilkan campuran setelah proses miling dan menghindari adanya ledakan ketika kontak dengan udara. Hidroksiapatit hasil sintesis dibandingkan komersil memiliki kualitas yang lebih baik karena tidak menunjukkan adanya puncak fase AKA seperti pada hidroksiapatit komersil (Gambar 4) dan ukuran molekul hidroksiapatit sintesis lebih kecil dan halus dibandingkan hidroksiapatit komersil (Gambar 5). Puncak fase AKA berada pada sudut 2θ 31.580. Hidroksiapatit hasil sintesis juga masih belum murni karena masih menunjukkan adanya puncak fase dari CaO di sudut 2θ 37.485 (Lampiran 3). Fase CaO yang terdapat di dalam hidroksiapatit hasil sintesis dapat diminimalisasi melalui penelitian lebih lanjut dengan menambahkan P 2 O 5 lebih banyak pada proses sintesis untuk memperoleh hidroksiapatit yang lebih murni. (a) (b) Gambar 6 Spektrogram inframerah hidroksiapatit komersil (-) dan sintesis (-). Spektrogram inframerah hidroksiapatit memiliki pita pada 1000-1100 cm -1 dan 500-600 cm -1 yang merupakan gugus PO 4 yang dimiliki hidroksiapatit, dan pita superposisi gugus OH hidroksiapatit pada 1550-1700 cm -1 (Denilchenko et al. 2009). Gambar 6 menunjukkan bahwa hidroksiapatit komersil dan sintesis memiliki semua pita tersebut, namun terdapat pita tambahan pada

6 hidroksiapatit sintesis yaitu pada 3670-3570 cm -1 yang merupakan pita ion OH - hidroksiapatit yang mengalami vibrasi peregangan dan pita gugus ion karbonat pada 1420-1485 cm -1 sedangkan hidroksiapatit komersil memiliki pita tambahan pada 3500-3100 cm -1 yang merupakan pita gugus OH terhidrasi (Denilchenko et al. 2009; Pramanik et al. 2005). Hidroksiapatit komersil pun memiliki pita ion OH - yang mengalami vibrasi peregangan, tetapi intensitasnya tidak setinggi pita ion OH - pada hidroksiapatit sintesis (Gambar 6). Hal ini diakibatkan oleh adanya air pada hidroksiapatit komersil sehingga pita ion OH - vibrasi peregangan bergeser menjadi pita gugus OH yang terhidrasi. Keberadaan pita karbonat pada hidroksiapatit sintesis disebabkan oleh masih adanya kandungan CaO dalam hidroksiapatit ini yang dapat mengikat CO 2 dari udara membentuk CaCO 3. Pelapisan Hidroksiapatit-Kitosan Hidroksiapatit adalah komponen anorganik utama yang terdapat pada tulang dan merupakan salah satu kandidat terbaik untuk memperbaiki tulang dan meregenerasinya karena sifat bioaktif dan osteokonduktivitasnya. Kelemahan terbesar hidroksiapatit ialah mudah rapuh saat berkontak dengan darah atau cairan tubuh sehingga sulit digunakan untuk meregenerisasi tulang. Cara untuk mengatasi permasalahan ini melalui pengkombinasian hidroksiapatit dengan matriks polimer seperti kitosan untuk lebih meningkatkan osteokonduktivitas, biodegradabilitas dan kekuatan mekaniknya (Zainol et al. 2008). Penambahan kitosan selain untuk menahan hidroksiapatit tetap pada posisinya juga untuk meningkatkan laju pelapisan dari proses pelapisan hidroksiapatit pada logam SS 316 (Pang dan Zhitomirsky 2007). Pang dan Zhitomirsky (2007) pun menyatakan bahwa kitosan memiliki aktivitas antimikroba, biokompatibel, dan dapat meningkatkan ketahanan korosi. Pembuatan komposit hidroksiapatitkitosan dapat dilakukan dengan berbagai metode diantaranya dengan pencampuran secara mekanik atau presipitasi in situ untuk menghasilkan komposit hidroksiapatit-kitosan yang berukuran nano (Zainol et al. 2008). Proses pembuatan komposit hidroksiapatitkitosan dengan metode presipitasi menggunakan prinsip koopresipitasi dengan meneteskan larutan kitosan yang mengandung asam fosfat ke dalam suspensi kalsium hidroksida (Danilchenko et al. 2009). Komposit hidroksiapatit-kitosan pada penelitian ini dibuat melalui pencampuran secara mekanik dengan mencampurkan kitosan dan suspensi hidroksiapatit yang kemudian diaduk secara mekanik membentuk komposit campuran. Logam SS 316 sebelum dilapisi dengan komposit hidroksiapatit-kitosan harus terlebih dahulu mengalami perlakuan awal untuk memperkuat penempelan komposit pada permukaan logam. Permukaan logam harus dibuat kasar melalui pengamplasan dan perendaman dalam larutan H 2 SO 4 :HCl:air (1:1:1) selama 1 jam pada suhu 60 C. Perendaman dalam larutan larutan H 2 SO 4 :HCl:air (1:1:1) selain untuk meningkatkan kekasaran permukaan logam juga untuk menghilangkan lapisan oksida alami yang dimiliki logam seperti lapisan krom oksida. Perendaman logam pada larutan NaOH 10 M selama 24 jam dimaksudkan untuk meningkatkan kehidrofilikan dari logam (Lu Xiong et al. 2006). Tingkat kehidrofilikan permukaan logam merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi respon sel dan jaringan biologis terhadap logam implantasi. Permukaan material implantasi yang hidrofilik akan lebih merangsang pertumbuhan tulang pada tahap regenerasi tulang (Hsu Chuan et al. 2011). Elektroforesis deposisi (EPD) adalah suatu teknik khusus yang digunakan dalam mekanisme elektroforesis untuk menggerakkan partikel bermuatan yang tersuspensi di dalam larutan di bawah pengaruh muatan listrik sehingga partikel tersebut akan melapisi suatu substrat dan membentuk lapisan film dengan ketebalan tertentu (Boccaccini et al. 2010). Diantara beberapa metode yang digunakan dalam proses pelapisan, EPD merupakan metode yang cukup cepat dan tidak mahal serta dapat melapisi suatu substrat walaupun substrat tersebut memiliki struktur geometri yang kompleks (Meng et al. 2008). Metode EPD dapat digunakan untuk melapiskan suatu matrik biokompatibel atau elemen bioaktif seperti komposit hidroksiapatit-kitosan yang memiliki bioresorbabilitas yang berbeda-beda (Radice et al. 2005).

7 Gambar 7 Sel elektroforesis deposisi (Boccaccini et al. 2010). Metode EPD termasuk metode tua namun efektif dalam proses deposisi elektroda bermuatan oleh partikel yang berasal dari suspensi koloid stabil di bawah pengaruh penggunaan arus langsung karena mampu membentuk lapisan deposit dengan homogenitas mikrostruktur tinggi, mampu mengendalikan ketebalan lapisan, dan mampu membentuk lapisan film yang tipis atau tebal pada substrat yang memiliki berbagai bentuk kompleks tiga dimensi (Boccaccini et al. 2010). Metode ini dibagi menjadi dua tahap proses yaitu tahap migrasi partikel bermuatan yang berada di dalam cairan pelarut oleh adanya aksi dari penggunaan medan listrik (tahap elektroforesis) dan tahap koagulasi partikel membentuk lapisan pada elektroda (tahap deposisi) (Meng et al. 2008). Pelapisan dengan ketebalan kurang dari 1µm hingga lebih dari 500 µm dapat dibentuk menggunakan metode EPD melalui pengkombinasian lamanya waktu dan besar tegangan listrik. Selain waktu dan besar tegangan listrik yang digunakan, terdapat parameter lain yang berpengaruh dalam metode EPD yaitu ukuran partikel, distribusi dan bentuk serta konstanta dielektrik yang dimiliki media suspensi (Javidi et al. 2008). Tegangan listrik yang digunakan pada metode EPD sangat berpengaruh terhadap laju dan struktur lapisan yang terbentuk, oleh karena itu tegangan listrik harus selalu dijaga konstan ketika proses pelapisan berlangsung. Kitosan sebelum dicampur dengan hidroksiapatit terlebih dahulu dilarutkan dalam asam asetat encer. Pelarutan ini dimaksudkan untuk memprotonisasi kitosan agar dalam proses EPD kitosan dapat bergerak menuju logam SS 316 yang akan dilapiskan akibat adanya efek beda potensial, begitu juga dengan hidroksiapatit yang bermuatan positif akan ikut menempel. Kitosan dapat meningkatkan laju pelapisan hidroksiapatit, disebabkan kitosan terabsorbsi ke dalam partikel hidroksiapatit sehingga akan meningkatkan stabilitas dari partikel hidroksiapatit dan meningkatkan muatan partikel yang mempercepat proses pelapisan (Pang dan Zhitomirsky 2007). Pelapisan komposit hidroksiapatit-kitosan pada penelitian ini menggunakan tegangan sebesar 120 v selama 2 menit. Penggunaan tegangan ini didasari dari penelitian sebelumnya Bowo (2009) yang menyatakan bahwa tegangan 120 v selama 2 menit merupakan tegangan terbaik menghasilkan lapisan yang merata. Penggunaan tegangan lebih rendah dari 20 volt akan menghasilkan deposit dengan ukuran partikel hidroksiapatit yang rendah sedangkan penggunaan tegangan lebih dari 200 volt selama lebih dari 10 detik akan menghasilkan deposit dengan ukuran partikel hidroksiapatit yang lebih besar. Peningkatan muatan listrik yang digunakan dapat menaikkan laju deposisi, tetapi partikel deposisi memiliki waktu yang lebih sedikit untuk menyusun kembali sehingga lapisan yang terbentuk akan lebih berpori yang menyebabkan kekerasan lapisan hidroksiapatit menjadi berkurang (Meng et al. 2008). 400 350 300 250 200 150 100 50 0 10 20 30 40 50 60 70 80 2θ Gambar 8 Pola difraksi sinar-x SS 316 dilapisi hidroksiapatit-kitosan pada nisbah 0.2:0 (-), 0.2:0.1 (-), 0.2:0.5 (-), 0.2:1.0 (-), 0.2:1.5 (-). Hidroksiapatit, CaCO 3, AKB, dan AKA. Lapisan yang menempel pada permukaan logam SS 316 ternyata tidak murni hidroksiapatit-kitosan. Gambar 8 menjelaskan bahwa selain hidroksiapatit terdapat pula fase lain yang menempel pada permukaan logam, yaitu CaCO 3, AKA, dan AKB. Sudut 2θ dari puncak fase CaCO 3, AKA, dan AKB disajikan pada Lampiran 3. Adanya fase CaCO 3, AKA, dan AKB disebabkan tanpa adanya pemanasan pada suhu 900 C setelah proses pelapisan menggunakan EPD. Septiarini

8 (2009) menyatakan bahwa pemanasan di atas suhu 900 C tidak dapat dilakukan karena logam baja tahan karat lokal tidak tahan pada suhu di atas 650 C, selain itu pemanasan pada suhu tersebut pun dapat merusak kitosan yang menempel pada permukaan logam. Munculnya fase CaCO 3 disebabkan adanya reaksi antara karbonat yang berasal dari udara terhadap CaO yang terkandung pada hidroksiapatit hasil sintesis. Fase CaCO 3 dapat dihilangkan dengan menyempurnakan tahap sintesis hidroksiapatit agar lebih menghasilkan hidroksiapatit yang lebih murni tanpa kandungan CaO. Pola difraksi sinar-x komposit hidroksiapatit-kitosan yang melapisi logam SS 316 (Gambar 8) tidak menunjukkan adanya fase kitosan. Keberadaan kitosan dapat ditunjukkan pada adanya puncak di sudut 2θ 10 dan 20 dari pola difraksi sinar-x (Lampiran 5). Tidak adanya puncak fase kitosan pada Gambar 8 bukan berarti kitosan tidak menempel pada logam SS 316. Yildirim (2004) menyatakan bahwa fase kitosan akan muncul pada pola difraksi sinar-x komposit hidroksiapatit-kitosan apabila kandungan kitosan pada komposit melebihi dari 30% (Gambar 9). Gambar 9 Pola difraksi sinar-x komposit hidroksiapatit-kitosan Yildirim (2004) dengan komposisi hidroksiapatit 0% (a), 30% (b), 70% (c), dan 100% (d). Ketahanan Korosi Peristiwa korosi merupakan proses degradasi material yang berlangsung sedikit demi sedikit akibat adanya serangan elektrokimia yang terjadi ketika suatu logam ditempatkan di dalam lingkungan elektrolitik berlawanan, khususnya lingkungan dalam tubuh manusia (Adya et al. 2005). Ketahanan korosi yang dimiliki baja SS disebabkan terbentuknya suatu lapisan tipis oksida krom yang menghalangi proses oksidasi besi. Lapisan ini mampu mengurangi kecepatan proses karat selambat mungkin karena lapisan tersebut terbentuk dengan sangat rapat. Seiring dengan berjalannya waktu, lapisan oksida krom yang terdapat pada permukaan SS tidak akan bertahan terhadap kondisi lingkungan fisiologi tubuh sehingga memungkinan ion krom terlepas ke dalam tubuh manusia. Lepasnya ion tersebut ke dalam tubuh dapat menimbulkan alergi karena bersifat karsinogenik (Prabakaran et al. 2006). Baja SS 316 L memiliki ketahanan korosi yang lebih kuat dibandingkan baja 316 (Yildirim 2004), hal ini disebabkan baja 316 L memiliki kandungan karbon paling rendah (Tabel 1). Ketahanan logam akan semakin meningkat apabila kandungan karbon dibuat serendah mungkin, tetapi kandungan karbon harus tetap dipertahankan agar logam paduan baja bersifat gelas atau keras. Tabel 1 Komposisi SS 316 dan 316 L % 316 316 L C Maks 0.08 Maks 0.03 Mn 2 2 Si 0.75 0.75 P 0.045 0.045 S 0.03 0.03 Cr 16-18 16-18 Mo 2-3 2-3 Ni 10-14 10-14 N 0.1 0.1 Sumber: Aalco Metals (2007) Penggunaan logam SS 316 pada penelitian ini ditujukan untuk meningkatkan ketahanan korosi dari SS 316 melalui pelapisan menggunakan komposit hidroksiapatit-kitosan agar memiliki ketahanan korosi yang setara dengan 316 L atau lebih baik. Nilai ketahanan korosi dapat ditentukan melalui uji korosi menggunakan potensiostat/galvanostat. Hasil pengujian ini akan diperoleh nilai laju korosi (mpy) yang dimiliki logam. Semakin kecil nilai laju korosi suatu logam maka logam tersebut akan memiliki ketahanan korosi yang semakin baik. Gambar 10 memperlihatkan bahwa logam SS 316 yang telah dilapisi oleh hidroksiapatit memiliki nilai laju korosi yang lebih rendah dibandingkan logam SS 316 tanpa lapisan hidroksiapatit. Begitu juga dengan semakin banyak jumlah kitosan 3% yang ditambahkan menyebabkan nilai laju korosi dari logam SS 316 semakin rendah. Penambahan 1 dan 1.5 ml kitosan 3% memiliki nilai laju korosi lebih rendah

9 dibandingkan laju korosi yang dimiliki logam SS 316 L. Data rincian analisis korosi ditunjukkan pada Lampiran 6. Laju korosi (mpy) 0,025 0,020 0,015 0,010 0,005 0,000 0.0223 0.0129 0.0146 0.0182 0.0172 0.0053 0.0048 Gambar 10 Hasil uji korosi SS 316 ( ), SS 316 L ( ), dan SS 316 dilapisi hidroksiapatit-kitosan pada nisbah 0.2:0 ( ), 0.2:0.1 ( ), 0.2:0.5 ( ), 0.2:1.0 ( ), dan 0.2:1.5 ( ). Penambahan sebanyak 0,1 dan 0,5 ml kitosan 3% memiliki nilai laju korosi yang lebih tinggi dibandingkan pelapisan SS 316 dengan hidroksiapatit tanpa penambahan kitosan. Hal ini disebabkan pada lapisan hidroksiapatit tanpa kitosan memiliki ketebalan yang lebih tebal dibandingkan lapisan komposit hidroksiapatit-kitosan. Ketebalan lapisan penghalang yang melapisi logam merupakan salah satu faktor penting dalam ketahanan korosi. Lapisan yang semakin tebal akan semakin memberikan perlindungan logam terhadap korosi. Lapisan pada logam SS 316 tanpa penambahan kitosan memang memiliki ketebalan yang lebih tebal, tetapi lapisan yang hanya terdiri dari hidroksiapatit akan memiliki ketahanan mekanik yang rendah. Lapisan ini akan lebih mudah rapuh dibandingkan lapisan dengan adanya penambahan kitosan (Maachaou et al. 2008). Berbeda terhadap lapisan dengan penambahan kitosan 3% sebanyak 1 dan 1.5 ml, lapisan ini memiliki nilai laju korosi yang lebih rendah daripada lapisan hanya hidroksiapatit dan dinilai memiliki ketahanan korosi terbaik. Ketahanan korosi yang dimiliki lapisan ini lebih baik karena penyebaran komposit yang lebih merata pada lapisan (Lampiran 7). Penyebaran lapisan yang lebih merata ini disebabkan oleh jumlah kitosan yang ditambahkan lebih banyak sehingga hasil deposisi yang terbentuk akan lebih baik (Pang dan Zhitomirsky 2007). Volume kitosan yang digunakan tidak melebihi 1.5 ml karena berdasarkan percobaan penambahan kitosan 3% di atas 1.5 ml tidak bisa melakukan proses pelapisan di tegangan 120 V. Kitosan memiliki konduktivitas yang rendah sehingga apabila jumlah kitosan terlalu banyak akan menurunkan tegangan dan menghambat proses pelapisan. Jumlah kitosan yang terlalu banyak dapat meningkatkan viskositas larutan, menurunkan mobilitas elektroforetik, dan menurunkan hasil deposit komposit hidroksiapatit-kitosan pada permukaan logam (Pang dan Zhitomirsky 2007). Penambahan kitosan pada pelapisan logam SS 316 dengan hidroksiapatit selain dapat meningkatkan ketahanan mekanik lapisan hidroksiapatit yang menempel pada logam, dapat pula meningkatkan ketahanan korosi dari logam SS 316 bahkan memiliki ketahanan korosi yang lebih baik dibandingkan logam SS 316 L (Gambar 10). Hal ini sesuai dengan pernyataan Pang dan Zhitomirsky (2007) yang menjelaskan bahwa kitosan dapat meningkatkan ketahanan korosi dari suatu material. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Metode sintesis hidroksiapatit yang digunakan pada penelitian ini merupakan metode kering baru yang lebih sederhana, mudah, singkat dan lebih menghasilkan kristal hidroksiapatit yang lebih murni sehingga dapat diproduksi dalam jumlah besar di industri. Pelapisan hidroksiapatit dengan penambahan kitosan selain untuk meningkatkan ketahanan mekanik dari hidroksiapatit tetapi juga untuk meningkatkan ketahanan korosi yang dimiliki logam tersebut. Saran Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk menyempurnakan sintesis hidroksiapatit menggunakan metode ini agar diperoleh hidroksiapatit yang lebih murni serta menggunakan tegangan dan waktu yang lebih bervariasi saat proses pelapisan menggunakan EPD. DAFTAR PUSTAKA Aalco Metals. 2010. Stainless steel grade 316 [terhubung berkala] http://www.aalco