Pemanfaatan Data Satelit Himawari-8 untuk dengan Metode Autoestimator di Kalianget, Madura Utilization of Himawari-8 Satellite Data for Rainfall Estimation with Autoestimator Method in Kalianget, Madura Miranti Indri Hastuti *), Annisa Nazmi Azzahra Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika *) E-mail: mynameisindrie@gmail.com ABSTRAK Berkaitan dengan terbatasnya informasi curah hujan, maka dibutuhkan data satelit sebagai salah satu alternatif untuk mendapatkan estimasi curah hujan. Dalam tulisan ini, curah hujan diestimasi menggunakan metode auto estimator dengan pemanfaatan data satelit Himawari-8. Data satelit Himawari-8 yang digunakan merupakan data kanal inframerah untuk melihat suhu puncak awan melalui Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID). Selanjutnya, suhu puncak awan dimanfaatkan untuk perhitungan algoritma sehingga dihasilkan estimasi curah hujan. Lokasi penelitian dilakukan di Kalianget, Madura pada bulan Desember 2016, Januari 2017, dan Februari 2017. Kemudian, hasil estimasi diverifikasi dengan data observasi curah hujan di Stasiun Meteorologi Kalianget Madura untuk uji keakuratan dari metode auto estimator. Kata kunci: auto estimator, Himawari-8, curah hujan ABSTRACT Rainfall data estimation from satellite is needed to overcome the limited amount of ground-based rainfall data. In this paper, the rainfall was estimated using auto estimator method with the utilization of Himawari-8 satellite data. The Himawari-8 satellite data used was the infrared channel to determine the top of cloud temperatures using Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID). Next, top of cloud temperatures were utilized for using computiational algorithm to generate rainfall estimation. The area of study was choosen at Kalianget, Madura in December 2016, January 2017, and February 2017. The result were verified with rainfall observation data from Kalianget Meteorological Station for the accuracy assessment. Keywords: auto estimator, Himawari-8, rainfall 1. PENDAHULUAN Sebagai negara kepulauan tropis, Indonesia merupakan tempat yang subur untuk terjadinya pertumbuhan awan hujan sehingga prediksi curah hujan sangat diperlukan. Pada kenyataannya, prediksi curah hujan masih sangat sulit untuk dilakukan dengan akurat karena sifat curah hujan memiliki variasi spasial dan temporal sangat besar. Terlebih lagi, data curah hujan maupun stasiun pengamatan curah hujan observasi permukaan di wilayah Indonesia jumlahnya masih sangat terbatas. Untuk mengatasi permasalahan ini digunakan metode remote sensing (penginderaan jauh) untuk memantau cuaca. Satelit pengamatan cuaca yang mencakup wilayah Indonesia ada 3 jenis orbit satelit, yaitu satelit geostasioner (Himawari-8, Fengyun, Kompsat), satelit polar (Terra/Aqua, NOAA, Suomi NPP, DMSP), dan satelit equatorial (TRMM, GPM Core). Tiga jenis satelit ini sudah banyak dikembangkan, khususnya satelit dengan orbit geostasioner. Data satelit geostasioner adalah data near real time yang dapat mendeteksi daerah yang sangat luas termasuk lautan secara kontinu dengan jangka waktu yang panjang. Informasi yang dapat diperoleh dari satelit geostasioner untuk pengamatan cuaca antara lain adalah radiasi infra merah thermal awan. Data satelit cuaca memiliki 4 level, yaitu level 0 berupa data voltase, level 1 berupa data dengan koreksi radiometrik, level 2 berupa data koreksi radiometrik dan geometrik seperti kanal visible, inframerah, near inframerah, dan water vapour, dan level 3 berupa data produk satelit, seperti vulcanic ash dispersion dan sebaran konvektif. Penyajian data secara real time dapat dilakukan dengan satelit geostasioner maupun polar. Satelit polar seperti TRMM (Tropical Rainfaall Measuring Mission) adalah satelit yang diciptakan berdasarkan misi NASA (National Aeronautics and Space Administration) dan JAXA (Japan Aerospace Exploration Agency) untuk mengukur curah hujan di wilayah tropis dan subtropis. Satelit TRMM diluncurkan pada tanggal 27 November 1977 pada pukul 6:27 pagi waktu Jepang dan dibawa oleh roket milik JAXA. Cara kerja satelit TRMM adalah dengan mengukur radiasi yang diemisikan oleh zat cair atau yang dihamburkan oleh es di awan. Kemudian, radiasi ini diterima sebagai sinyal-sinyal yang dapat dikonversi menjadi curah hujan. Sensor utama satelit 441
Pemanfaatan Data Satelit Himawari-8 untuk dengan Metode Auto-Estimator di Kalianget, Madura (Hastuti, dkk.) TRMM untuk pengukuran curah hujan adalah sensor Precipitation Radar (PR), TRMM Microwave Imager (TMI), dan Visible Infrared Scanner (VIRS). Semua sensor tersebut dapat berkombinasi satu sama lain dalam mengukur curah hujan. Himawari-8 merupakan satelit geostasioner dengan cakupan yang luas dan real time. Satelit Himawari-8 merupakan milik Jepang, generasi ke-8 dari satelit geostasioner yang berasal dari Japan Meteorological Agency (JMA). Satelit ini diluncurkan pada tanggal 7 Juli 2015 sebagai pengganti dari satelit MTSAT-2 (Himawari-7). Satelit Himawari-8 memiliki 16 kanal dengan spektrum dan karakteristik gelombang yang berbeda. Satelit ini mampu menyediakan data citra satelit setiap 10 menit sekali dengan resolusi spasial 2 kilometer. Citra IR Himawari-8 mempresentasikan suhu puncak awan yang dapat dilihat menggunakan aplikasi SATAID dari JMA. Pada penelitian ini, estimasi curah hujan menggunakan autoestimator sehingga dibutuhkan satelit yang berorbit geostasioner dan memiliki data dengan jangka waktu minimal setengah atau satu jam sekali, yaitu satelit Himawari-8. Algoritma autoestimator menggunakan data suhu puncak awan yang diidentifikasi sebagai awan hujan, kemudian data suhu puncak awan digunakan dalam rumus autoestimator untuk mendapatkan estimasi curah hujan. Satu fakta penting mengenai awan-awan hujan yang signifikan dalam pengembangan autoestimator adalah bahwa awan-awan dengan puncak awan bersuhu rendah pada citra IR menghasilkan curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan awan-awan yang puncaknya bersuhu lebih hangat (Swarinoto dan Husain, 2012). Perbandingan antara suhu puncak awan pada satelit geostasioner citra IR dengan citra radar cuaca memperlihatkan bahwa awan konvektif dapat ditandai dengan suhu puncak awan yang sangat rendah (195 sampai 210 K) (Swarinoto dan Husain, 2012). Metode autoestimator pertama kali diperkenalkan oleh Vicente pada tahun 1998. Penelitian berfokus pada musim hujan yaitu bulan Desember, Januari, dan Februari (DJF) berlokasi di Stasiun Meteorologi Kalianget Madura yang berada di Kabupaten Sumenep, Pulau Madura. Kabupaten Sumenep termasuk daerah tropis. Berdasarkan data tahun 2011, jumlah curah hujan terbanyak di Sumenep terjadi pada bulan Desember dengan suhu udara relatif konsisten sepanjang tahun, dengan suhu rata-rata 30 derajat Celsius. (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/kabupaten_sumenep, 13/09/2017) 2. METODE 2.1 Data 1. Data satelit Himawari-8 kanal inframerah bulan Desember 2016, Januari 2017, dan Februari 2017 yang diperoleh dari ftp:// 202.90.199 2. Data observasi curah hujan bulan Desember 2016, Januari 2017, dan Februari 2017 yang diperoleh dari Stasiun Meteorologi Kalianget Madura 2.2 Alat Penelitian Penelitian ini menggunakan peralatan sebagai berikut. 2.2.1 Perangkat Keras Perangkat keras yang digunakan dalam penelitian ini yaitu laptop dengan merek HP Pavilion Touchmart 11Z dengan spesifikasi sebagai berikut: Operating System : Windows 10 Ultimate 64 bit Processor : AMD A4-1250 APU with Radeon (TM) HD Graphics 1.00 GHz Memory : 4 Gigabyte RAM 2.2.2 Perangkat Lunak Perangkat lunak yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu software SATAID dan Microsoft Excel. 2.3 Teknik Pengolahan Data Teknik pengolahan data satelit Himawari-8 dalam tuisan ini melewati 3 tahap sebagai berikut. 2.3.1 Deteksi suhu puncak awan hujan Tahap pertama adalah mendeteksi awan hujan terjadi pada pukul berapa berdasarkan data observasi, selanjutnya melihat dan mencatat suhu puncak awan hujan dengan menggunakan software SATAID. 2.3.2 Menghitung estimasi curah hujan dengan auto-estimator Tahap kedua adalah menghitung estimasi curah hujan menggunakan software Microsoft excel dengan rumusan auto-estimator sebagai berikut. R= 1.1183 *10 11 exp(-3.6382*10-2 *T 1,2 )... (1) 442
2.3.3 Uji korelasi dan menghitung error (Root Mean Square Error, RMSE) Tahap yang terakhir adalah uji korelasi (r) antara data observasi curah hujan dan estimasi curah hujan dengan metode Pearson dan menghitung error (RMSE). r = ( )( ) ( ) } { ( )...(2) RMSE = (y y )...(3) 2.4 Diagram Alir Penelitian Gambar 1. Diagram Alir Penelitian 2.5. Lokasi Penelitian Stasiun Meteorologi Kalianget Madura terletak di Provinsi Jawa Timur tepatnya di ujung timur Pulau Madura, Kabupaten Sumenep, Kecamatan Kalianget. Posisi Bujur terletak di antara 113 32'54"-116 16'48" BT dan di antara 4 55'-7 24' LS (Gambar 2). Alamat Stasiun Meteorologi Kalianget Madura berada di Jl. Raya Kalianget No.8, Sumenep Barat Madura 69471. Seperti daerah lain di Indonesia, musim hujan di Sumenep dimulai bulan Oktober hingga Maret, dan musim kemarau bulan April hingga September. Rata-rata curah hujan di Sumenep adalah 1.479 mm. (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/kabupaten_sumenep, 13/09/2017) Gambar 2. Letak Stasiun Meteorologi Kalianget Madura 443
Pemanfaatan Data Satelit Himawari-8 untuk dengan Metode Auto-Estimator di Kalianget, Madura (Hastuti, dkk.) 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Data dan Bulan Desember 2016 1 0.0 0.0 17 0.0 6.6 2 1.9 0.7 18 0.7 4.0 3 0.0 2.6 19 112.0 41.0 4 7.7 0.5 20 0.0 0.0 5 66.7 6.9 21 1.8 2.4 6 0.1 0.3 22 0.0 0.0 7 0.0 0.3 23 4.5 0.0 8 0.0 9.3 24 0.0 0.0 9 39.7 3.0 25 0.0 0.0 10 7.7 0.2 26 0.0 0.0 11 0.1 11.0 27 29.1 0.7 12 4.6 0.3 28 0.0 35.0 13 9.3 1.0 29 0.0 63.3 14 0.1 35.0 30 1.2 8.3 15 0.0 10.9 31 0.1 20.0 16 0.0 0.1 Berdasakan Tabel 1 di atas, data curah hujan bulan Desember 2016 hasil perhitungan menggunakan metode autoestimator cenderung lebih tinggi dibandingkan curah hujan hasil observasi di Stasiun Kalianget Madura. Data curah hujan yang dihitung dan curah hujan hasil observasi memiliki korelasi 0.5. Nilai korelasi tersebut bernilai positif dan termasuk dalam kategori lemah berdasarkan rumus korelasi pearson. Nilai hasil perhitungan RMSE menunjukkan perbedaan antara nilai estimasi curah hujan dengan curah hujan observasi. Dari hasil hitung RSME, didapatkan nilai sebesar 21,1 mm. Nilai tersebut menandakan bahwa nilai error hasil pehitungan curah hujan dengan metode autoestimator sebesar 21,1 mm/hari. Desember 2016 120,0 100,0 Curah hujan (mm) 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Gambar 3. Grafik Perbandingan dan Bulan Desember 2016 444
Pada Gambar 3, terlihat hasil perhitungan estimasi curah hujan yang cenderung overestimate dibandingkan dengan curah hujan observasi di Stasiun Kalianget Madura. Pola garis terlihat tidak beraturan karena curah hujan hasil perhitungan dengan curah hujan hasil observasi memiliki nilai perbedaan yang cukup tinggi. Tabel 2. Data dan Bulan Januari 2017 1 5.8 60.4 17 7.3 1.9 2 10.2 34.8 18 3.2 11.5 3 1.6 33.0 19 0.0 0.0 4 0.6 4.5 20 0.1 0.1 5 0.0 7.0 21 1.1 13.6 6 2.3 0.8 22 3.9 3.0 7 0.6 3.0 23 15.4 30.3 8 0.0 0.0 24 6.4 1.6 9 0.0 0.0 25 2.1 48.8 10 0.0 25.6 26 0.5 1.7 11 7.3 12.5 27 9.5 0 12 1.1 14.7 28 13.7 2.6 13 12.7 0.4 29 127.4 28.1 14 83.1 32.4 30 4.6 7.6 15 7.9 6.0 31 3.8 9.8 16 2.0 5.0 Pada bulan Januari 2017, data Tabel 2 menunjukkan curah hujan hasil perhitungan menggunakan metode autoestimator cenderung lebih rendah dibandingkan curah hujan hasil observasi di Stasiun Meteorologi Kalianget Madura. Korelasi dari curah hujan yang dihitung dengan curah hujan hasil observasi sebesar 0.4. Nilai korelasi tersebut bernilai positif dan termasuk dalam kategori lemah berdasarkan rumus korelasi pearson. Nilai hasil perhitungan RMSE menunjukkan perbedaan antara nilai estimasi curah hujan dengan curah hujan observasi. Dari hasil hitung RSME, didapatkan nilai sebesar 26,1 mm. Nilai tersebut menandakan bahwa nilai error hasil pehitungan curah hujan dengan metode autoestimator sebesar 26,1 mm/hari. 140,0 Januari 2017 (mm) 120,0 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Gambar 4. Grafik Perbandingan dan Bulan Januari 2017. 445
Pemanfaatan Data Satelit Himawari-8 untuk dengan Metode Auto-Estimator di Kalianget, Madura (Hastuti, dkk.) Pada Gambar 4 di atas terlihat hasil perhitungan estimasi curah hujan yang cenderung underestimate dibandingkan dengan curah hujan observasi di Stasiun Kalianget Madura. Pola garis terlihat tidak beraturan karena curah hujan hasil perhitungan dengan curah hujan hasil observasi memiliki nilai perbedaan yang cukup tinggi. Tabel 3. Data dan Bulan Februari 2017 Curah Hujan Curah Hujan 1 0.2 4 16 0.0 10.6 2 0.0 0 17 0.0 1 3 31.0 22.9 18 24.6 5 4 0.0 0 19 0.0 13.8 5 0.0 0 20 0.0 12 6 12.2 3.2 21 0.0 0.4 7 9.8 24.1 22 15.4 29.3 8 27.3 13 23 0.0 0 9 13.2 17.8 24 6.5 0 10 13.7 16.8 25 0.0 0 11 1.2 1.1 26 0.0 0 12 6.4 47.2 27 1.6 0.1 13 0.0 0 28 0.0 0 Berdasakan Tabel 3 curah hujan bulan Februari 2017, curah hujan hasil perhitungan menggunakan metode autoestimator lebih rendah dibandingkan curah hujan hasil observasi di Stasiun Kalianget Madura. Data curah hujan yang dihitung dan curah hujan hasil observasi memiliki korelasi 0.3. Nilai korelasi tersebut bernilai positif dan termasuk dalam kategori sangat lemah berdasarkan rumus korelasi pearson. Selain itu, dari hasil hitung RSME didapatkan nilai sebesar 244,5 mm. Nilai tersebut menandakan bahwa nilai error hasil pehitungan curah hujan dengan metode autoestimator sebesar 244,5 mm/hari. Nilai tersebut merupakan nilai error yang tinggi untuk perhitungan estimasi curah hujan. Februari 2017 (mm) 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Gambar 5. Grafik Perbandingan dan Bulan Februari 2017 446
Pada Gambar 5 di atas terlihat hasil perhitungan estimasi curah hujan yang cenderung underestimate dibandingkan dengan curah hujan observasi di Stasiun Kalianget Madura. Pola garis terlihat tidak beraturan karena curah hujan hasil perhitungan dengan curah hujan hasil observasi memiliki nilai perbedaan yang tinggi. 4. KESIMPULAN Nilai korelasi antara estimasi curah hujan yang dihitung menggunakan metode autoestimator dengan curah hujan observasi pada bulan Desember 2016, Januari 2017 dan Februari 2017 adalah 0,5, 0,4 dan 0,2. Nilai korelasi tersebut menandakan hubungan korelasi positif yang lemah antara keduanya. Kemudian nilai error dari estimasi curah hujan masing-masing bulan yaitu 21,1 mm/hari, 26,1 mm/hari dan 244,5mm/hari dimana nilai error tersebut cukup tinggi terutama bulan Februari. Berdasarkan nilai korelasi dan RSME tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode autoestimator tidak cocok digunakan untuk mengestimasi curah hujan di Stasiun Meteolorologi Kalianget Madura karena memiliki nilai korelasi yang lemah dan nilai error yang tinggi terutama pada bulan Februari 2017. Untuk mendapatkan hasil perhitungan yang lebih baik, perlu adanya kajian lebih lanjut tentang metode ini. 5. DAFTAR PUSTAKA Avia L.Q., dan Haryanto, A. (2013). Penentuan Suhu Threshold Awan Hujan di Wilayah Indonesia Berdasarkan Data Satelit MTSAT dan TRMM. Jurnal Sains Dirgantara, Vol.10 No.2, 82-89. Rani, N.A., Khoir A.N., dan Gloaguen, R., (2016). Rainfall Estimation Using Auto-estimator Based On Cloud-Top Temperature Of Himawari 8 Satellite Compared To Rainfall Observation In Pangkalpinang Meteorological Station. The 6th International Symposium for Sustainable Humanosphere. Swarinoto, Y.S., & Husain. (2012). curah hujan harian dengan metode auto estimator (Kasus Jayapura dan sekitarnya). Jurnal Meteorologi dan Geofisika, vol. 13, no. 1, 53-61. Wikipedia. (2017). Kabupaten Sumenep. https://id.wikipedia.org/wiki/kabupaten_sumenep (diakses pada tanggal 13 Sepember 2017) 447