Kajian Satelit Penginderaan Jauh Cuaca Generasi Baru Himawari 8 dan 9
|
|
- Sudirman Kurniawan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Kajian Satelit Penginderaan Jauh Cuaca Generasi Baru Himawari 8 dan 9 Dony Kushardono Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional dony_kushardono@lapan.go.id Pendahuluan atelit penginderaan jauh cuaca Geostationary Meteorogical Satellite (GMS) Himawari yang sekarang bernama Satelit MTSAT, merupakan jaringan satelit cuaca di dunia WMO yang orbit geostationer pada 140 BT ketinggian dan daerah cakupannya meliputi wilayah Asia Timur hingga Australia serta sebagian kutub dan Samudra Hindia hingga Pasifik Barat sebagaimana ditunjukkan pada S Gambar 1-1. Di Indo In Indonesia ndon nd ones esia sia suda sudah h sejakk tta tahun ah ah hun u 198 un da datan datany datanya tanya anya y ya diterima di stasiun nb bumi bu u i di di LLa Lapan Lapan, n, dimana data d ssatel satelit elit it ttersebut ers er rsebu s but dipergunakan untukk analisis anaalisis ana i cuaca cu uaca ac umum. umum umu m. Sebag Sebagaimana bag gaaim imana contoh ditunjukkan padaa Gambar Ga Gamb r informasi iinf nfor n o masi m cuacaa umum yakni liputan awan dan curah rah ah hujan huja jan an yang g diturunkan ditu di turunk runkkan dari satelit cuaca oleh Lapan dan informasi formasi ormasi masi su suhu suhu hu pe perm permukaan muk ukaan u kaaan awan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofi d G fisika ikk (BMKG). Informasi yang dapat diperoleh tiap 30 menit sekali Gambar 1-1 Cakupan citra satelit GMS dan contoh citranya (sumber : JMA) 41
2 Gambar 1-2 Contoh informasi cuaca dari satelit wilayah Indonesia dan sekitarnya produk Lapan (atas) dan BMKG (bawah). dari satelit MTSAT pada ketinggian orbit Km tersebut diperuntukkan mendukung mitigasi bencana di Indonesia. Satelit penginderaan jauh cuaca GMS dan MTSAT yang dimiliki oleh Badan Meteorologi Jepang (JMA) tersebut, datanya dipancarkan langsung dari satelit pada frekuensi 1687,1 MHz (data resolusi tinggi HRID) dan MHz (data resolusi rendah LRID) ke stasiun bumi termasuk di Indonesia, untuk menjaga kesinambungan pemberian informasi cuaca, terus dikembangkan oleh Jepang. Pada Gambar 1-3 ditunjukan program satelit penginderaan jauh cuaca seri Himawari yang dimulai sejak Juli 1977 dengan GMS-1 atau Himawari-1 kemudian operasinya diganti dengan Himawari-2 yang diluncurkan pada Agustus 1981 dan seterusnya hingga sekarang sedang beropeasi di orbit geostationer Himawari-7 atau MTSAT-2. Dalam opersional perolehan datanya, Satelit Himawari pada tahun 2003 pernah digantikan dengan Satelit GOES-9 untuk menggantikan operasional Himawari-5 yang mengalami kerusakan sebelum diluncurkan MTSA-6 atau Himawari-6. 42
3 Gambar 1-3 Program peluncuran dan opersional satelit penginderaan jauh Cuaca seri Himawari Guna menjamin kesinambungan perolehan informasi cuaca, sekarang ini JMA sedang mempersiapkan program Satelit Himawari lanjutan untuk menggantikan fungsi dari Satelit MTSAT. Pada makalah ini dikaji program Satelit Himawari 8 dan Himawari 9 dari berbagai sumber pustaka yakni situs Meteorological Satellite Center pada Japan Meteorological Agency (JMA), bahan presentasi Izumikawa Y. pada The sixth session of the Expert Team on Satellite Systems (Geneva, April 2011), Update of JMA s Status Report (Geneva, April 2012) dan Okamoto et.al pada International TOVS Study Conferences- XVII (California, April 2010), serta dari pengalaman Lapan dalam penerimaan dan pemanfaatan data GMS dan MTSAT. Program Satelit Himawari 8 dan 9 A. Misi Satelit Cuaca adalah unsur alam yang sangat dinamis, maka untuk mengkaji polanya serta memprediksi kondisinya dengan lebih tepat, diperlukan pengamatan unsur-unsurnya dengan frekuensi yang lebih sering dan lebih rinci. Berbeda dengan MTSAT yang melakukan dua fungsi yakni meteorologi dan penerbangan, Satelit Penginderaan Jauh Cuaca Himawari 8 dan 9 memiliki misi khusus meteorologi yang lebih dikembangkan dibanding dengan seri satelit cuaca sebelumnya sehingga bisa menjalankan misi yang lebih baik, yang terdiri, a. menjaga kesinambungan dan meningkatkan pengamatan cuaca melalui satelit untuk pencegahan bencana dan ramalan cuaca, b. meningkatkan kemampuan ramalan jangka pendek 6 jam ke depan atau yang dikenal dengan istilah Nowcasting, terutama untuk deteksi dan prediksi cuaca buruk, c. meningkatkan akurasi Prediksi Cuaca Numerik, dan d. meningkatkan pemantauan iklim dan lingkungan. B. Spesifikasi Data Guna mencapai misi sebagaimana disebutkan di atas, Satelit Himawari 8 dan 9 dilengkapi sensor yang diberi nama Advanced Himawari Imager (AHI), yang memiliki spesifikasi resolusi temporal, spektral dan spasialnya lebih ditingkatkan dibanding dengan seri-seri sebelumnya seperti dapat dilihat pada Gambar 2-1. Pertama, resolusi spektralnya bertambah dari yang sebelumnya pada Satelit GMS (Himawari-1 hingga 5) hanya 4 band atau pada Satelit MTSAT (Himawari 6 dan 7) hanya 5 band, pada Himawari 8 dan 9 menjadi 16 band yang terdiri dari 3 band visibel, 3 band infra merah-dekat atau near infrared (NIR) dan 10 band termal atau Infrared (IR). Kedua, resolusi spasial atau ukuran pikselnya juga berubah dari data pada seri satelit sebelumnya resolusi spasialnya 1Km 1Km per pixel pada data band visibel dan 4Km 4Km per pixel pada data band IR, meningkat menjadi 0.5km 0.5km dan 1Km 1Km per pixel pada data band cahaya tampak (visible), 2Km 2Km per pixel pada data band IR serta 1Km 1Km dan 2Km 2Km per pixel pada data baru band NIR. Perkembangan lainnya pada data Himawari 8 dan 9 adalah resolusi temporal, dimana pada seri-seri Himawari sebelumnya adalah tiap 30 menit sekali pada MTSAT bahkan pada Satelit Himawari 1 jam sekali, menjadi tiap 10 menit sekali untuk pengamatan cakupan penuh (global) dan 2.5 menit sekali untuk pengamatan khusus (lokal) seperti pemantauan badai dan wilayah Jepang. Pada Tabel 2-1 dirinci spesifikasi band data Satelit Himawari 8 dan 9 yakni nilai tengah panjang gelombang tiap band serta 43
4 Gambar 2-1 Perkembangan spesifikasi Data Satelit Cuaca Himawari 8/9 dibanding seri sebelumnya. Tabel 2-1 Spesifikasi Data Satelit Himawari 8 dan 9 serta perbandingannya dengan MTSAT Nilai tengah panjang gelombang (μm) Himawari 8 dan 9 Band Resolusi (Km/pixel) MTSAT-1R dan 2 Band Resolusi (Km/pixel)
5 Gambar 2-2 Citra simulasi komposit warna satelit Himawari 8 dan 9 resolusi spasialnya dan perbandingannya dengan band pada Satelit MTSAT yang sekarang masih beroperasi. Dimana hal yang utama seperti pada Gambar 2-2 adalah dari data satelit Himawari 8 dan 9 dapat dibuat komposit citra berwarna alami dari band biru (0.46μm), hijau: (0.51μm) dan merah (0.64μm), yang merupakan hal baru dan belum ada pada hingga satelit Himawari yang sekarang. JMA pada Juni 2012 sudah membuat estimasi Fungsi Respon spektral (Sectral Respon Function / SRF) untuk tiap band sensor AHI pada satelit Himawari 8 dan 9 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2-3. Band cahaya tampak memiliki respon pada nilai tengah panjang gelombang tiap bandnya yang cukup baik, khususnya pada band 2 di daerah hijau, kemudian pada band 3 di daerah merah, sedangkan pada band 1 masih kurang baik untuk daerah biru. Pada band inframerah dekat untuk band 4, 5 dan 6 sama sekali tidak memiliki respon untuk suhu (temperature brightness / TB), akan tetapi band ini nanti akan bisa untuk dipergunakan untuk pemantauan global vegetasi, klorofil laut atau kalau pada misi satelit ini adalah untuk mendukung klasifikasi awan dalam gabungannya dengan band cahaya tampak dan inframerah dan/atau pemantauan daratan pada malam hari. Band inframerah termal memiliki respon bervariasi terhadap suhu, dimana data dari 10 band termal ini dapat dipergunakan untuk mendeteksi suhu permukaan awan, uap air, daratan dan laut sehingga diharapkan dapat meningkatkan akurasi khususnya dalam klasifikasi awan untuk memetakan awan hujan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya untuk keperluan mendeteksi kondisi awan, dalam rangka memetakan awan hujan atau memantau hujan badai, kemampuan sensor band AHI juga bisa dilihat melalui citra simulasi tiap band yang dibuat oleh JMA seperti yang terlihat pada Gambar 45
6 (a) Estimasi respon spektral band cahaya tampak (b) Estimasi respon spektral band inframerah dekat (c) Estimasi respon spektral band inframerah termal Gambar 2-3 Estimasi fungsi respon spektral tiap band pada sensor AHI Himawari 8 dan 9 (sumber JMA) 46
7 2-4 di bawah. Pada gambar tersebut, terlihat perbedaan penampakan bentuk dan kondisi awan, uap air di atmosfir serta permukaan bumi di bawahnya, untuk tiap citra simulasi band-band data AHI, dimana pada citra band cahaya tampak dan inframerah dekat masih dapat dilihat bentuk daratan Asia Timur dan badainya, sedang pada citra band inframerah termal dapat dilihat pola suhu dan kondisi uap air di atmosfir. C. Rencana Operasi Satelit Himawari 8 dan 9 Dalam rangka menjaga kesinambungan perolehan data cuaca di wilayah Asia timur hingga Australia dan Samudra Hindia hingga Pasifik bagian barat, untuk menggantikan Satelit MTSAT-2 atau Himawari 7, JMA berencana meluncurkan Satelit Himawari lanjutan (Next Generation of Geostationary Satellite) seperti dijelaskan pada Gambar 2-5, yakni Satelit Himawari 8 akan diluncurkan pada tahun 2014 dan akan mulai beroperasi pada tahun Kemudian untuk menjamin ketahanan sistem satelit pengamat cuaca tersebut, juga akan diluncurkan Satelit Himawari 9 yang dijadwalkan pada tahun Satelit Himawari 9 tersebut akan menunggu di orbit selama Satelit Himawari 8 beroperasi sebagai cadangan dan akan dioperasikan pada tahun 2022 setelah operasi Himawari 8 diberhentikan. G ambar 2-4 Citra simulasi tiap band pada data AHI Himawari 8 dan 9 (sumber : JMA) Gambar 2-5 Program Rencana peluncuran dan operasional Himawari 8 dan 9 47
8 Gambar 2-6 Sketsa Satelit Himawari 8 dan 9 Gambar 2-7 Foto muatan sensor AHI untuk Himawari 8 dan 9 (sumber ITT Exelis pada JMA) Posisi Geostasioner Sikap kendali 3-axis pengendali sikap satelit geostasioner Sensor Komunikasi Kontraktor Tabel 2-2 Spesifikasi Himawari 8 dan 9 Sekitar 140 E Advance Himawari Imager (AHI) 1) Transmisi data hasil pengamatan (downlink) Ka-band, 18,1-18,4 GHz 2) DCS : Saluran internasional 402,0-402,1 MHz (uplink), Saluran Domestik 402,1-402,4 MHz (uplink), Transmisi ke segmen di bumi Ka-band, 18,1-18,4 GHz (downlink) 3) T & C : Ku-band, 12,2-12,75 GHz (downlink) 13,75-14,5 GHz (uplink) Mitsubishi Electric Corporation Kendaraan Peluncur Roket H-IIA (rencana) Satelit Himawari 8 dan 9 dibuat oleh Mitsubishi Electric Corporation (MELCO) dan memiliki berat Kg tiap satelit, dirancang akan dapat dapat dioperasikan di orbit masingmasing hingga 8 tahun serta memiliki ketahanan fungsi Busnya di orbit hingga 15 tahun. Dalam pemantauan bumi, kamera Satelit Himawari 8 dan 9 juga dirancang mampu melakukan peliputan yang cepat baik untuk cakupan global maupun lokal dan pemilihan area serta penjadwalan yang dapat diprogram dengan fleksibel. Pada Gambar 2-6 di bawah ditunjukkan sketsa Satelit Himawari 8 dan 9 yang memiliki kendali tiga axis dan akan membawa unit baru utama yang disebut AHI, juga dilengkapi antena komunikasi, panel surya dan sensor pendung lainnya. Pada Tabel 2-2 di bawah dijelaskan spesifikasi utama Himawari 8 dan 9 yang kedua unit memiliki spesifikasi identik, dan akan dioperasikan dalam posisi geostasioner yang sama mengorbit di sekitar 140 BT. Pada satelit ini akan diperkenalkan band frekuensi baru untuk komunikasi antara satelit dan stasiun bumi, yakni akan menggunakan Ka-band untuk pengiriman (downlinking) data meteorologi ke stasiun bumi penerima, dan Ku-band yang akan digunakan untuk operasi telemetri dan perintah dalam mengendalikan satelit. Selain itu Satelit masing-masing akan membawa transponder untuk merelay data lingkungan dari wahana pengumpulan 48
9 Gambar 2-8 Rencana sistem penerimaan dan distribusi data oleh JMA Gambar 2-9 Contoh situs JMA untuk distribusi data satelit cuaca seri Himawari data (Data Colection Plaform / DCP) dipermukaan bumi untuk mempertahankan sistem pengumpulan data (Data Colection System / DCS) yang saat ini dioperasikan juga oleh MTSAT. Satelit Himawari 8 dan 9 rencananya juga akan diluncurkan dari Jepang dengan mempergunakan Roket H-IIA D. Perolehan Data JMA merencanakan distribusi data Satelit Himawari 8 dan 9 secara langsung kepada pengguna melalui internet beberapa saat setelah data diterima dari satelit melalui stasiun bumi (Gambar 2-8). Distribusi melalui internet akan dilakukan setiap 10 menit sekali untuk data seluruh band AHI terkoreksi level 1, serta data diolah untuk wilayah tertentu sebagaimana contoh Indonesia dan sekitarnya pada Gambar 2-9 seperti yang selama ini sedang dilakukan untuk data MTSAT. Data yang sudah diolah untuk wilayah tertentu dapa diperoleh melalui situs JMA di reg/sat_img.htm. Menurut pernyataan JMA sebagaimana yang disampaikan di WMO Geneva pada April 2012, data Satelit Himawari 8 dan 9 akan diterima hanya di Stasiun Bumi di JMA di Jepang karena data AHI sangat besar dan membutuhkan sistem penerima data yang cepat untuk transmisikan dengan Ka-band. Juga dinyatakan pada Himawari 8/9 tidak ada onboard transponder untuk penyebaran citra data secara langsung dari satelit seperti pada seri Himawari selama ini, semua data citra dalam resolusi penuh akan disediakan melalui Internet. Untuk itu, JMA akan meningkatkan layanan data penyebaran melalui Internet, dan akan mulai studi kelayakan untuk diseminasi melalui satelit telekomunikasi komersial. Penutup Satelit Himawari 8 dan 9 yang merupakan program lanjutan Satelit MTSAT, untuk meningkatkan akurasi pengamatan dan prediksi cuaca yang akan dikembangkan menjadi 16 band sehingga volume datanya menjadi besar. Selain itu, intensitas pengamatannya bertambah menjadi setiap 10 menit sekali, sehingga transmisi datanya perlu lebih cepat dan volumenya menjadi besar. Untuk itu JMA akan mengembangkan sistem penerima data cepat dan untuk kebutuhan pengguna akan didistribusikan data AHI dengan resolusi penuh secara langsung melalui internet. Semakin banyaknya band dan semakin tingginya resolusi temporal maupun spasial pada data Satelit Himawari 8 dan 9, adalah sangat diperlukan dan diharapkan akan memberikan peluang meningkatkan akurasi prediksi cuaca di wilayah tropis seperti Indonesia yang memiliki dinamika perubahan cuaca yang cepat. 49
I PENDAHULUAN II TINJAUAN PUSTAKA
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Curah hujan merupakan unsur meteorologi yang mempunyai variasi tinggi dalam skala ruang dan waktu sehingga paling sulit untuk diprediksi. Akan tetapi, informasi curah
Lebih terperinciIDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS: KEBAKARAN HUTAN DI SUMATERA DAN KALIMANTAN 15 SEPTEMBER 2015)
Proseding Seminar Nasional Fisika dan Aplikasinya Sabtu, 19 November 2016 Bale Sawala Kampus Universitas Padjadjaran, Jatinangor IDENTIFIKASI SEBARAN ASAP MELALUI METODE RGB CITRA SATELIT HIMAWARI 8 (KASUS:
Lebih terperinci2 BAB II TEORI DASAR
2 BAB II TEORI DASAR 2.1 Awan Konvektif Di wilayah tropis, sebagian besar hujan umumnya dihasilkan oleh awan-awan cumulus. Awan jenis ini tumbuh karena terjadi karena adanya konveksi, yaitu naiknya udara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Curah hujan merupakan unsur meteorologi yang mempunyai variasi tinggi dalam skala ruang dan waktu sehingga paling sulit untuk diprediksi. Akan tetapi, informasi curah
Lebih terperinciSatelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Pengolahan Citra Digital
Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission A. Satelit Landsat 8 Satelit Landsat 8, Landsat Data Continuity Mission Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi
Lebih terperinciPengujian Cloud Mask Daerah Kalimantan Menggunakan Metode BTD dengan Memanfaatkan Citra Satelit Himawari-8
Seminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun 2017 Pengujian Cloud Mask Daerah Kalimantan Menggunakan Metode BTD dengan Memanfaatkan Citra Satelit Himawari-8 Cloud Masking Test on Kalimantan Using BTD
Lebih terperinciSeminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Miranti Indri Hastuti *), Annisa Nazmi Azzahra
Pemanfaatan Data Satelit Himawari-8 untuk dengan Metode Autoestimator di Kalianget, Madura Utilization of Himawari-8 Satellite Data for Rainfall Estimation with Autoestimator Method in Kalianget, Madura
Lebih terperinciInformasi Kanal Sadewa 3.0. Didi Satiadi Bidang Pemodelan Atmosfer Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
Informasi Kanal Sadewa 3.0 Didi Satiadi Bidang Pemodelan Atmosfer Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Catatan Teknis No. SADEWA-TN-001 20 Januari 2014 Pendahuluan Satellite Disaster Early Warning System
Lebih terperinciSistem Pengolahan Data NOAA dan METOP
I. Pengantar Kapustekdata PROTOTYPE Sistem Pengolahan Data NOAA dan METOP Kegiatan ini merupakan penjabaran dari tujuan dan sasaran strategis dalam rangka melaksanakan tugas dan fungsi Pusat Teknologi
Lebih terperinciGEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal
GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)
xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh
Lebih terperinciANALISIS PERTUMBUHAN, PERGERAKAN, DAN INTENSITAS SIKLON TROPIS MARCIA BERBASIS DATA SATELIT MTSAT
ANALISIS PERTUMBUHAN, PERGERAKAN, DAN INTENSITAS SIKLON TROPIS MARCIA BERBASIS DATA SATELIT MTSAT Krismianto Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Jl. Dr. Djundjunan
Lebih terperinciEXECUTIVE SUMMARY PROGRAM INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA (IPKPP) TAHUN ANGGARAN 2012
EXECUTIVE SUMMARY PROGRAM INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA (IPKPP) TAHUN ANGGARAN 2012 JUDUL PENELITI UTAMA ANGGOTA LOKUS KEGIATAN BIDANG FOKUS JENIS INSENTIF PRODUK TARGET INSTANSI
Lebih terperinci1 Pendahuluan 1.1 latar Belakang
PROTOTYPE SISTEM AKUISISI HIMAWARICAST UNTUK STASIUN BUMI PENGINDERAAN JAUH PEKAYON PUSAT TEKNOLOGI DAN DATA PENGINDERAAN JAUH DEPUTI BIDANG PENGINDERAAN JAUH LAPAN-2016 1 Pendahuluan 1.1 latar Belakang
Lebih terperinciKOMPONEN PENGINDERAAN JAUH. Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data
PENGINDERAAN JAUH KOMPONEN PENGINDERAAN JAUH Sumber tenaga Atmosfer Interaksi antara tenaga dan objek Sensor Wahana Perolehan data Pengguna data Lanjutan Sumber tenaga * Alamiah/sistem pasif : sinar matahari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian
Lebih terperinciGambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang
Lebih terperinciNovvria Sagita dan Ratih Prasetya Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Manado Jl. AA Maramis Bandara Sam Ratulangi, Manado 59374
JURNAL FISIKA DAN APLIKASINYA VOLUME 9, NOMOR 2 JUNI 2013 Analisis Citra Satelit MTSAT dan TRMM menggunakan Software ER MAPPER, SATAID dan PANOPLY saat Kejadian Curah Hujan Ekstrim di Wilayah Manado, 16
Lebih terperinciDi zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA
AKTUALITA DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari Anneke KS Manoppo dan Yenni Marini Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh e-mail: anneke_manoppo@yahoo.co.id Potret kenampakan bumi di malam hari (Sumber: NASA)
Lebih terperinciSENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD
SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara
Lebih terperinciSTUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA. Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur
STUDY ON MERGING MULTI-SENSOR SSTs OVER THE EAST ASIA Penggabungan multi sensor sst disepanjang Asia timur Abstrak KMA (Korean Meteorology Administrator) sudah menghasilkan SST dari geostasioner dan data
Lebih terperinciPokok Bahasan 7. Satelit
Pokok Bahasan 7 Satelit Pokok Bahasan 7 Pokok Bahasan Sistem komunikasi satelit Sub Pokok Bahasan Jenis-jenis satelit Link budget Segmen bumi Segmen angkasa Kompetensi Setelah mengikuti kuliah ini mahsiswa
Lebih terperinciLAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak
KAJIAN AWAL KEBUTUHAN TEKNOLOGI SATELIT PENGINDERAAN JAUH UNTUK MENDUKUNG PROGRAM REDD DI INDONESIA Oleh : Dony Kushardono dan Ayom Widipaminto LAPAN sejak tahun delapan puluhan telah banyak menyampaikan
Lebih terperinciPEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH
2015 PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LAPAN Danau Rawa Pening, Provinsi Jawa Tengah PEDOMAN PEMANTAUAN PERUBAHAN LUAS PERMUKAAN AIR DANAU MENGGUNAKAN DATA SATELIT PENGINDERAAN JAUH LI1020010101 PEDOMAN
Lebih terperinci1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan
Lebih terperinciULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH
ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan
Lebih terperinciPENDAHULUAN 1.1. Latar belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Curah hujan merupakan salah satu parameter atmosfer yang sulit untuk diprediksi karena mempunyai keragaman tinggi baik secara ruang maupun waktu. Demikian halnya dengan
Lebih terperinciGEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik
GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya
Lebih terperinciGambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321
V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat
Lebih terperinci3 METODE PENELITIAN. Gambar 7. Peta Lokasi Penelitian
18 3 METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011 dengan lokasi penelitian yaitu Perairan Selat Makassar pada posisi 01 o 00'00" 07 o 50'07"
Lebih terperinciANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16
ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Lebih terperinciSeminar Nasional Penginderaan Jauh ke-4 Tahun Stasiun Meteorologi kelas III Nangapinoh-Melawi,Kalimantan Barat 2
Pemanfaatan Data Satelit Ir 1 Himawari-8 untuk Mengurangi Dampak Kerugian Materiil dan Jiwa Akibat Bencana Alam di Wilayah Melawi Kalimantan Barat The Utilization of Ir 1 Himawari-8 Satellite Data to Reduce
Lebih terperinciK13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi
K13 Revisi Antiremed Kelas 12 Geografi 01. Suatu ilmu atau teknik untuk mengetahui suatu benda, gejala, dan area dan jarak jauh dengan menggunakan alat pengindraan berupa sensor buatan disebut... (A) citra
Lebih terperinci11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I
Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari
Lebih terperinciRANCANG BANGUN SISTEM MUATAN VIDEO SURVEILLANCE & TELEMETRI RUM-70. Kata Kunci : rancang bangun, video surveillance, telemetri, roket.
RANCANG BANGUN SISTEM MUATAN VIDEO SURVEILLANCE & TELEMETRI RUM-70 Nugroho Widi Jatmiko, Dony Kushardono, Ahmad Maryanto Abstrak Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang sedang menuju kemandirian
Lebih terperinciIndeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :
Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kejadian bencana dunia meningkat dan 76% adalah bencana hidrometeorologi (banjir, longsor, siklon tropis, kekeringan). Sebagian besar terjadi di negara-negara miskin
Lebih terperinciKARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1
KARAKTERISTIK CITRA SATELIT Uftori Wasit 1 1. Pendahuluan Penginderaan jarak jauh merupakan salah satu teknologi penunjang pengelolaan sumber daya alam yang paling banyak digunakan saat ini. Teknologi
Lebih terperinciNovvria Sagita 1), Ratih Prasetya 2) Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi Manado ABSTRAK
ANALISIS CITRA SATELIT MTSAT DAN TRMM MENGGUNAKAN SOFTWARE ER MAPPER, SATAID DAN PANOPLY SAAT KEJADIAN CURAH HUJAN EKSTRIM DI WILAYAH MANADO 16 FEBRUARI 2013 SATELLITE IMAGE ANALYSIS OF MTSAT AND TRMM
Lebih terperinciRadiasi Elektromagnetik
Radiasi Elektrmagnetik 3. Radiasi Elektrmagnetik Berangkat dari bahasan kita di atas mengenai kmpnen sistem PJ, energi elektrmagnetik adalah sebuah kmpnen utama dari kebanyakan sistem PJ untuk lingkungan
Lebih terperinci4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Tumpahan Minyak Dari Citra Modis Pada Gambar 7 tertera citra MODIS level 1b hasil composite RGB: 13, 12 dan 9 dengan resolusi citra resolusi 1km. Composite RGB ini digunakan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA...
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...
Lebih terperinciBAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik
83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Banyaknya pemanfaatan dan penggunaan data citra penginderaan jauh di berbagai segi kehidupan menyebabkan kebutuhan akan data siap pakai menjadi semakin tinggi. Beberapa
Lebih terperinciSATELIT I WAYAN ANGGA MEI SEDANA YOGA TEKNIK ELEKTRO
SATELIT I WAYAN ANGGA MEI SEDANA YOGA 1115313002 TEKNIK ELEKTRO Pengertian satelit Satelit adalah benda yang mengorbit benda lain dengan periode revolusi dan rotasi tertentu. Satelit juga dapat disebut
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak
Lebih terperinciPemancar&Penerima Televisi
Pemancar&Penerima Televisi Pemancar Bagian yg sangat vital bagi stasiun penyiaran radio&tv agar tetap mengudara Pemancar TV dibagi 2 bagian utama: sistem suara&sistem gambar Diubah menjadi gelombang elektromagnetik
Lebih terperinciLEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL Sumber Energi Resolusi (Spasial, Spektral, Radiometrik, Temporal) Wahana Metode (visual, digital, otomatisasi) Penginderaan jauh adalah ilmu pengetahuan dan
Lebih terperinciMENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI
Arif Supendi, M.Si MENU STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR MATERI SOAL REFERENSI STANDAR KOMPETENSI Memahami pemanfaatan citra penginderaan jauh ( PJ ) dan Sistem Informasi Geografi KOMPETENSI DASAR Menjelaskan
Lebih terperinciLampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997
LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun
Lebih terperinciSATELITCUACA PENGINDERAAN JAUH SATELIT UNTUK LINGKUNGAN ATMOSFER. Meteorologi laut Nov, 21-22/2014
SATELITCUACA PENGINDERAAN JAUH SATELIT UNTUK LINGKUNGAN ATMOSFER Meteorologi laut Nov, 21-22/2014 M. Arif Zainul Fuad Department of Marine Science Brawijaya University Materi: sesuaibukuajar Bab I Bab
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya
Lebih terperinciTINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016
TINJAUAN SECARA METEOROLOGI TERKAIT BENCANA BANJIR BANDANG SIBOLANGIT TANGGAL 15 MEI 2016 I. PENDAHULUAN Merdeka.com - Bencana banjir bandang dan tanah longsor dilaporkan terjadi di kawasan wisata Air
Lebih terperinciMETODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian
22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terjadi pada suatu wilayah tertentu dalam kurun waktu tertentu misalnya bencana
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) merupakan lembaga yang menangani masalah cuaca dan iklim di Indonesia. Lembaga ini mendirikan stasiun meteorologi
Lebih terperinciLampiran 1. Karakteristik satelit MODIS.
LAMPIRAN Lampiran 1. Karakteristik satelit MODIS. Pada tanggal 18 Desember 1999, NASA (National Aeronautica and Space Administration) meluncurkan Earth Observing System (EOS) Terra satellite untuk mengamati,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan
Lebih terperinciGEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK
GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau
Lebih terperinciMEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA
MEKANISME HUJAN HARIAN DI SUMATERA Erma Yulihastin Peneliti Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim, LAPAN e-mail: erma@bdg.lapan.go.id; erma.yulihastin@gmail.com RINGKASAN Makalah ini mengulas hasil
Lebih terperinciq Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :
MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Curah hujan adalah unsur utama yang diukur dalam bidang meteorologi karena berpengaruh pada berbagai sektor, seperti pariwisata, pertanian, dan kesehatan masyarakat. Pengukuran
Lebih terperinciIdentifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+
Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ M. IRSYAD DIRAQ P. 3509100033 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS 1 PENDAHULUAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk sebagai salah satu wilayah yang berada di daerah
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Indonesia termasuk sebagai salah satu wilayah yang berada di daerah ekuatorial yang memiliki jumlah kejadian petir yang cukup tinggi dengan jumlah hari petir mencapai
Lebih terperinciCitra Satelit IKONOS
Citra Satelit IKONOS Satelit IKONOS adalah satelit inderaja komersiil pertama yang dioperasikan dengan tingkat ketelitian 1 meter untuk model pankromatik dan 4 meter untuk model multispektral yang merupakan
Lebih terperinci3. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari
3. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah yang tercemar tumpahan minyak dari anjungan minyak Montara Australia. Perairan tersebut merupakan perairan Australia
Lebih terperinciPRAKIRAAN ANOMALI IKLIM TAHUN 2016 BMKG DI JAWA TENGAH
PRAKIRAAN ANOMALI IKLIM TAHUN 2016 BMKG DI JAWA TENGAH OUTLINE Kondisi Dinamika Atmosfir Terkini Prakiraan Cuaca di Jawa Tengah Prakiraan Curah hujan pada bulan Desember 2015 dan Januari Tahun 2016 Kesimpulan
Lebih terperinci3 BAB III DATA DAN METODOLOGI
3 BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Ada 3 data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Data IR yang didownload dari http://www.weather.is.kochi-u.ac.jp/sat.game dalam format PGM (Portable Grey Map).
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model
15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan
Lebih terperinciPemanfaatan Data LSA (LAPAN Surveillance Aircraft) untuk Mendukung Pemetaan Skala Rinci
Pemanfaatan Data LSA (LAPAN Surveillance Aircraft) untuk Mendukung Pemetaan Skala Rinci Dony Kushardono 1, Anwar Anas 1, Ahmad Maryanto 2, Agus Bayu Utama 3, Winanto 1 1 Pusat Pemanfaatan Penginderaan
Lebih terperinciDESIGN SISTEM ANTENA X-BAND UNTUK STASIUN BUMI RUMPIN T.A. 2014
DESIGN SISTEM ANTENA X-BAND UNTUK STASIUN BUMI RUMPIN T.A. 2014 PUSAT TEKNOLOGI DAN DATA PENGINDERAAN JAUH KEDEPUTIAN BIDANG PENGINDERAAN JAUH LAPAN 2014 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lembaga Penerbangan
Lebih terperinciDukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya
Dukungan Teknologi Penginderaan Jauh dalam Penilaian Sumberdaya Hutan Tingkat Nasional: Akses Citra Satelit, Penggunaan dan Kepentingannya Kepala LAPAN Manfaat data satelit penginderaan jauh Perolehan
Lebih terperinciANALISIS PERBANDINGAN ESTIMASI CURAH HUJAN DENGAN DATA SATELIT DAN RADAR INTEGRASI DI BALIKPAPAN
ANALISIS PERBANDINGAN ESTIMASI CURAH HUJAN DENGAN DATA SATELIT DAN RADAR INTEGRASI DI BALIKPAPAN Raa ina Farah Nur Annisa 1,2 Ana Oktavia Setiowati 2 Iddam Hairuly Umam 2 1, Jakarta 2 Badan Meteorologi
Lebih terperinciPEMANFAATAN DATA SATELIT HIMAWARI 8 UNTUK MENDETEKSI SEBARAN ASAP: STUDI KASUS DI KALIMANTAN DAN SUMATERA TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2015
DOI: doi.org/10.21009/spektra.022.10 PEMANFAATAN DATA SATELIT HIMAWARI 8 UNTUK MENDETEKSI SEBARAN ASAP: STUDI KASUS DI KALIMANTAN DAN SUMATERA TANGGAL 8 DAN 9 SEPTEMBER 2015 Ayu Vista Wulandari 1,a), Ni
Lebih terperinciix
DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288
Lebih terperinciISTILAH DI NEGARA LAIN
Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek
Lebih terperinciProof of Concept 2015
I. Pengantar Kapustekdata II. Proof of Concept 2015 Sistem Akuisisi dan pengolahan data satelit S-NPP Kegiatan ini merupakan penjabaran dari tujuan dan sasaran strategis dalam rangka melaksanakan tugas
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian
Lebih terperinciPERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA
PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang
Lebih terperinciPENENTUAN NILAI AMBANG BATAS UNTUK POTENSI RAWAN BANJIR DARI DATA MTSAT DAN QMORPH (STUDI KASUS: BANJIR BENGAWAN SOLO 2007)
Jurnal Penginderaan Jauh Vol. 5, 2008:56-63 PENENTUAN NILAI AMBANG BATAS UNTUK POTENSI RAWAN BANJIR DARI DATA MTSAT DAN QMORPH (STUDI KASUS: BANJIR BENGAWAN SOLO 2007) Parwati, Suwarsono, Fajar Yulianto,
Lebih terperinciSTASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE
STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE KARAKTERISTIK RATA-RATA SUHU MAKSIMUM DAN SUHU MINIMUM STASIUN METEOROLOGI NABIRE TAHUN 2006 2015 OLEH : 1. EUSEBIO ANDRONIKOS SAMPE, S.Tr 2. RIFKI ADIGUNA SUTOWO, S.Tr
Lebih terperinciPENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG
Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim merupakan salah satu fenomena lingkungan yang paling menjadi perhatian di dunia saat ini. Perubahan iklim menurut United Nations Framework Convention
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. bagi kehidupan manusia. Disamping itu hutan juga memiliki fungsi hidrologi sebagai
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan aset kekayaan yang bukan saja penting bagi bangsa Indonesia, namun juga bagi sebagian penduduk dunia. Keragaman hayati yang tinggi terdapat pada hutan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kompilasi dan Kontrol Kualitas Data Radar Cuaca C-Band Doppler (CDR) Teknologi mutakhir pada radar cuaca sangat berguna dalam bidang Meteorologi untuk menduga intensitas curah
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kekeringan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kekeringan Kekeringan (drought) secara umum bisa didefinisikan sebagai kurangnya persediaan air atau kelembaban yang bersifat sementara secara signifikan di bawah normal atau volume
Lebih terperinciPENENTUAN DISTRIBUSI TIPE AWAN DI PROVINSI RIAU MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MTSAT IR1
PENENTUAN DISTRIBUSI TIPE AWAN DI PROVINSI RIAU MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MTSAT IR1 Saraswati Dewi Intisari Penentuan distribusi tipe awan berdasarkan diagram temperatur kecerahan (TBB) perbedaan TBB dilakukan
Lebih terperinciPENENTUAN ONSET MONSUN DI WILAYAH INDO-AUSTRALIA BERDASARKAN LOMPATAN ITCZ
PENENTUAN ONSET MONSUN DI WILAYAH INDO-AUSTRALIA BERDASARKAN LOMPATAN ITCZ Didi Satiadi dan Ibnu Fathrio Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer, LAPAN e-mail: satiadi@bdg.lapan.go.id Diterima 13 September
Lebih terperinciI PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.
Lebih terperinciRINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA
Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang antara 95 o BT 141 o BT dan 6 o LU 11 o LS (Bakosurtanal, 2007) dengan luas wilayah yang
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. panas serta biasanya menghabiskan bahan bakar hutan seperti serasah, tumbuhan
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan secara umum merupakan kejadian alam dari proses reaksi secara cepat dari oksigen dengan karbohidrat (bahan bakar hutan) ditandai dengan panas serta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya
Lebih terperinciANALISIS LIPUTAN AWAN BERDASARKAN CITRA SATELIT PENGINDERAAN JAUH
ANALISIS LIPUTAN AWAN BERDASARKAN CITRA SATELIT PENGINDERAAN JAUH Muh. Altin Massinai Laboratorium Fisika Bumi dan Lautan Program studi Geofisika FMIPA Universitas Hasanuddin Makassar Abstrak Telah dilakukan
Lebih terperinciJurnal KELAUTAN, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : APLIKASI DATA CITRA SATELIT NOAA-17 UNTUK MENGUKUR VARIASI SUHU PERMUKAAN LAUT JAWA
APLIKASI DATA CITRA SATELIT NOAA-17 UNTUK MENGUKUR VARIASI SUHU PERMUKAAN LAUT JAWA Ashari Wicaksono 1, Firman Farid Muhsoni 2, Ahmad Fahrudin 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo
Lebih terperinciPROTOTYPE Sistem Akuisisi dan pengolahan data satelit S-NPP
PROTOTYPE Sistem Akuisisi dan pengolahan data satelit S-NPP I. Pendahuluan Satelit Suomi National Polar-Orbiting Partnership (S-NPP) diluncurkan pada orbit polar padatahun 2011. Satelit S-NPP merupakan
Lebih terperinciPENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN
PENGOLAHAN DATA SATELIT NOAA-AVHRR UNTUK PENGUKURAN SUHU PERMUKAAN LAUT RATA-RATA HARIAN Dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang proses interpretasi salah satu citra NOAA untuk mengetahui informasi
Lebih terperinci2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut
Lebih terperinciSUB POKOK BAHASAN 10/16/2012. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi. Sensor Penginderaan Jauh menerima pantulan energi
MATA KULIAH : SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) PERIKANAN KODE MK : M10A.125 SKS : 2 (11) DOSEN : SYAWALUDIN ALISYAHBANA HRP, S.Pi, MSc. SUB POKOK BAHASAN DEFINIS DAN PENGERTIAN TENAGA UNTUK PENGINDERAAN
Lebih terperinci