Seminar Pertumbuhan Dan Perkembangan Kesultanan Di Nusantara Abad XVII Masehi *Diselenggarakan 20 November 2013 oleh Jurusan Sejarah & Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Oleh Budi Sulistiono/ Nara Sumber Seringkali kita pernah mendengar nama Kesultanan. Tapi, Kesultanan apa sajakah? Abad berapa dan/ atau tahun berdiri? Dalam kesempatan seminar ini, Panitia telah mencanangkan thema Pertumbuhan Dan Perkembangan Kesultanan Di Nusantara Abad XVII Masehi. Penetapan Thema ini pertanda kemajuan dalam pemahaman kita tentang jejak rekaman Sejarah Kesultanan Nusantara, abad XVII M. Kesultanan yang berperan aktif dalam era abad XVII M, antara lain Kesultanan Gowa, Sulawesi (1605 M), Kesultanan Bima, NTB (1620 M), Kesultanan Tanjung Pura Pontianak (1638 M), Kesultanan Palembang ( 1643 M), Kesultanan Deli (1669 M), Kesultanan Sambas (1678 M), Kesultanan Kotawaringin (1679 M). Penyebutan sejumlah nama Kesultanan abad ke XVII tidak berarti Kesultanan-Kesultanan terlebih dahulu berdiri telah mati. Nyatanya, mereka masih eksis, misalnya Kesultanan Banten. Hingga tahun 1808 Kesultanan ini masih harus bertahan dari serangan bertubi-tubi dari Daendeles. Demikian pula Kesultanan Banjar, dalam bentangan tahun 1859-1905 para Sultan Banjar dan rakyat dipicu untuk aktif mempertahankan eksistensinya dari serangan Kolonial Belanda, peristiwa ini dikenal dengan Perang Banjar. Sejarah sosial politik Indonesia abad ke XVII sampai XIX diwarnai dengan adanya kolonisasi bangsa-bangsa Eropa yang bergantian menduduki wilayah Nusantara. Dimulai dengan kedatangan bangsa Portugis dan Spanyol yang datang hampir bersamaan dari wilayah barat dan timur Nusantara, kemudian kolonisasi Belanda yang begitu lama terasa menyelimuti bangsa ini diselingi Inggris yang lebih singkat.
Pada awalnya kedatangan bangsa-bangsa Eropa ini ke Nusantara bertujuan untuk berdagang dan mencari rempah-rempah, yang mana Indonesia menjadi jalur perdagangan dunia serta menjadi surganya rempah-rempah, yang merupakan komoditas paling dicari bangsa Eropa saat itu. Semenjak jalur darat yang sebelumnya dijadikan jalur utama perdagangan dirasa tidak lagi aman, maka mereka bangsa Eropa berbondong-bondong menggunakan jalur laut untuk misi perdagangan, yang sebelumnya telah didahului oleh para pedagang, antara lain dari jazirah Arab, India, Cina, Persia. Sebenarnya bukan hanya misi berdagang yang menjadi tujuan bangsa Eropa, namun misi untuk berdakwah ajaran agama mereka serta memperluas kekuasaan melalui penjajahan suatu wilayah di luar wilayah pemerintahannya,juga ikut mereka bawa dalam misinya. Hal ini menyebabkan wilayah yang sekarang ini disebut Indonesia yang saat itu masih didominasi oleh Kesultanan-Kesultanan yang menyebar di seluruh wilayah Nusantara menjadi tertekan dengan kedatangan bangsa kolonial ini. Kesultanan-Kesultanan Islam yang saat itu mulai berdiri dan berkuasa belum cukup lama, mendapatkan serangan dari kolonial untuk menduduki wilayah dengan paksa dan memonopoli perdagangan untuk kepentingan bangsa asing bukan untuk masyarakat pribumi. Bahkan para pedagang Muslim yang sejak awalnya berdagang dan berdakwah dengan damai, secara pelan-pelan turut serta dalam pendirian kerajaan Islam - jika tidak mematuhi peraturan yang dibuat oleh bangsa kolonial, mereka diusir dari wilayah-wilayah perdagangan. Gerak kolonisasi yang dirasa paling mencekam dan membuat bangsa ini sengsara adalah saat bangsa Belanda menduduki Nusantara. Terlebih lagi pada tahun 1602, Belanda mendirikan Perusahaan Dagang bernama Verenigde Oost indische Compagnie atau VOC yang bertujuan untuk memonopoli perdagangan di kawasan Asia atau Hindia Timur. Dengan disertai hak-hak istimewa yang dimiliki VOC, maka terasa lengkap sudah penderitaan rakyat pribumi. Selanjutnya ketika perusahaan milik Belanda ini bangkrut, bergantilah penguasa di Nusantara yaitu Inggris. Meskipun tidak lama kedudukannya di Nusantara, tetap saja memberikan
dampak sosial politik bagi bangsa ini. Semoga saja, ada penelitian lebih mendalam untuk melacak lebih lanjut bagaimana akhir dari setiap Kesultanan Islam Nusantara. Mereka harus berakhir karena gagal mencerdaskan dan/ atau mencerahkan masyarakat untuk kemudian ditinggalkan? Atau karena ulah bumi hangus dari sikap, tindakan kebrutalan VOC dan berlanjut hingga penjajahan KOLONIAL BELANDA. Hingga Abad XVII Masehi, di berbagai tempat di Nusantara tidak sedikit munculnya pergolakan hingga peperangan, antara pribumi dengan Bangsa Asing Kolonial. Melalui silih bergantinya para penguasa penjajah, sejumlah nama Kesultanan itu hingga kini masih eksis, tapi sudah beralih fungsi menjadi nama kota, baik kota propinsi maupun kota kabupaten. Pada umumnya, kota-kota itu, di samping fungsinya dipertahankan sebagai pusat perdagangan, hingga menjadi sentra-sentra kekuatan politik, kondisi ini terbentuk setidaknya didukung antara lain oleh adanya jalinan secara estafet berupa perhubungan pelayaran, perekonomian, dan politik. Setidaknya, berkat kekayaan dan kekuatan-kekuatan social yang diberdayakan, dapat memainkan peran-peran politik dalam entitas politik. Saat Indonesia memasuki era kemerdekaan, di kota-kota pusat Kesultanan Nusantara, hingga kini masih dapat kita jumpai tinggalan materialnya (arkeologi) antara lain masjid Agung, tataruang kota, komplek makam keluarga kesultanan, istana kesultanan yang kini dialihfungsikan menjadi museum. Di Banten, misalnya di sebelah barat bekas pasar kuno Karangantu, atau timur laut kraton Surasowan, masih dapat ditemui nama kampung Pakojan. Sebutan Pakojan yang diambil dari bahasa Persia - konon tidak ditempati lagi, dikenal sebagai hunian pedagang Muslim dari Cambay- Gujarat 1, Mesir, Turki, Goa 2, termasuk pula kampung Arab 3. 1 Orang-orang Muslim Gujarat memperdagangkan tekstil dalam berbagai jenis dan rama. Mereka juga menjual batu permata, candu dan sabun. Barang-barang tersebut umumnya adalah barang hasil negeri Gujarat, tetapi kadang-kadang juga berasal dari Arab, Persia, seperti permadani (Dasgupta,A.K., Acheh in Indonesian Trade and Politics: 1600-1641, Cornel University,1962 : 81-82). 2 GP Rouffair en J.W. Ijzerman, 1915, De Eerste Schipvaart der Nederlanders, naar
Juga dapat dijumpai nama perkampungan Pacinan, dapat dibuktikan temuan sisa rumah kuno corak Cina dan sejumlah orang Cina 4, keramik masa Dung (960-1280), Yuan (1280-1368), Ming (1368-1643), Ching (1644-1912) 5. Selain perkampungan orang Cina, juga didapati perkampungan orang India, Persia 6, Arab, Turki, Pegu (Burma) 7. Perkampungan para pedagang asal Nusantara, juga dapat dijumpai : Melayu, Ternate, Banda, Banjar, Bugis, Makassar 8. Keadaan ini sebagai bukti Banten dapat disebut pusat perdagangan, ramai dikunjungi para pedagang domestik maupun luar negeri. Dan bagi siapa saja yang pernah berwisata atau berziarah ke kota-kota tersebut - benar-benar Kota Metropolitan, Pusat Kekuasaan, Kota Maritim karena pusat kekuasaannya berada di kota pelabuhan. Bahkan tak kurang penting disebut-sebut kota-kota tersebut sebagai centra-centra dakwah Islamiyah. Kondisi ini dapat ditelusuri dari suasana feedback limpahan peziarah dari hari ke hari yang berdatangan dari berbagai daerah luar wilayah kota-kota tersebut. Karenanya, mudah-mudahan kita taklah berhati kecil untuk bertanyatanya menukik kepada intinya "dengan cara apa kota-kota itu secara estafet berhasil ditampilkan bahkan diperankan di pentas internasional? ". Pertanyaan tersebut sekaligus mengisyaratkan bahwa kota-kota itu mungkin tak berarti apa-apa jika Oost India onder Cornelis de Houtman 1595-1597, s-gravenhage, Martinus Nijhoff, 1915 : 110-113. 3 J.C.van Leur, 1955, Indonesian Trade and Society 4 Pedagang Cina yang umumnya menjadi perantara asing, juga menjajakan barang-barang produksi Cina, seperti porselin, dan sutra (Abdullah, Taufik, ed., Sejarah Ummat Islam Indonesia, (Jakarta :Majelis Ulama Indonesia, 1991). Pedagang Cina yang tidak menetap di sesuatu kota umumnya menjual barang hasil produksi Cina, dan waktu kembali atau pergi ke tempat lain mereka membeli barang hasil setempat, seperti tawas, sandang, belerang, dan tembaga untuk dibawa ke Malaka (Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1510-and about 1630, The Hague, 1962 : 70-76). 5 Mundardjito, Hasan Muarif Ambary, dan Hasan Djafar, "Laporan Penelitian Arkeologi Banten", dalam Berita Penelitian Arkeologi No.18, Jakarta, 1978:44. 6 Orang-orang Persia dan Arab menjajakan barang-barang berupa batu delima dan obat-obatan (Abdullah, Taufik, ed. Sejarah Ummat Islam...). 7 Orang-orang Pegu yang berdagang di Aceh, Jawa, Banten, dan Sumatera, menjual barang hasil produksi mereka seperti guci yang disebut mataban, genta. 8 JC van Leur, 1955, Indonesian Trade and Society;
tak ada yang berani mengusiknya. Ini berarti ada individu atau sekelompok orang yang secara aktif dan arif membinanya, di antara mereka Ustadz, Syeikh, Guru agama, cendekiawan, dan sebagainya.. Tebet, 14 Nopember 2013