BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bencana alam secara langsung memberikan dampak buruk pada kehidupan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Kejadian alam di dunia yang terjadi selama tahun mengalami fluktuasi dengan kecenderungan terus mengalami peningkatan.

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana dilihat dari beberapa sumber memiliki definisi yang cukup luas.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak pada garis Ring of Fire yang menyebabkan banyak

BAB I LATAR BELAKANG. negara yang paling rawan bencana alam di dunia (United Nations International Stategy

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdasarkan data dunia yang dihimpun oleh WHO, pada 10 dekade terakhir ini,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak psikologis. Bencana

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan Indonesia menjadi negara yang rawan bencana. maupun buatan manusia bahkan terorisme pernah dialami Indonesia.

PENANGGULANGAN BENCANA (PB) Disusun : IdaYustinA

BAB I PENDAHULUAN. epidemik campak di Nigeria, dan banjir di Pakistan (ISDR, 2009).

I.PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. jiwa sehingga dibutuhkan bantuan penanganan (CRED, 2014 ; WHO, 2013 ;

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 SERI D.4 PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia dengan keadaan geografis dan kondisi sosialnya berpotensi rawan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut indeks rawan bencana Indonesia (BNPB, 2011), Kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. mengakibatkan terjadinya kerusakan dan kehancuran lingkungan yang pada akhirnya

RANCANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PEMBENTUKAN, ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANJARBARU

PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BATU

BAB 1 PENDAHULUAN. biasa akibat wabah penyakit menular (Depkes, 2007) alam di negara ini juga telah menyebabkan kerugian ekonomi paling sedikit US

BUPATI BLITAR PERATURAN BUPATI BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2011

BAB 1 PENDAHULUAN. Bencana adalah sebuah fenomena akibat dari perubahan ekosistem yang terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. alam (natural disaster) maupun bencana karena ulah manusia (manmade disaster).

BAB 1 : PENDAHULUAN. faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia, sehingga

DAFTAR ISI 1. PENDAHULUAN.5 2. MENGENAL LEBIH DEKAT MENGENAI BENCANA.8 5W 1H BENCANA.10 MENGENAL POTENSI BENCANA INDONESIA.39 KLASIFIKASI BENCANA.

BAB I PENDAHULUAN. Tahun demi tahun negeri ini tidak lepas dari bencana. Indonesia sangat

PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN AKIBAT BENCANA DI INDONESIA MEI 2014

PERATURAN BUPATI LANDAK NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan darurat (Emergency) menurut Federal Emergency. Management Agency (FEMA) dalam Emergency Management

MITIGASI BENCANA BENCANA :

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANJAR dan BUPATI BANJAR

BUPATI NGANJUK PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK

PENDAHULUAN BAB I A. LATAR BELAKANG

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya

DIREKTORAT BINA UPAYA KESEHATAN DASAR PERAN FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DASAR DALAM PENANGGULANGAN BENCANA

Powered by TCPDF (

TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT TERHADAP BENCANA BANJIR, GEMPA BUMI, DAN TANAH LONGSOR DI KECAMATAN WONOGIRI

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan yang secara geografis terletak di daerah

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bencana banjir termasuk bencana terbesar di dunia. Data Guidelines for Reducing Flood

Siaran Pers BNPB: BNPB Menginisiasi Pencanangan Hari Kesiapsiagaan Bencana Selasa, 25 April 2017

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANGKAT NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KABUPATEN LANGKAT

BAB I PENDAHULUAN. digaris khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudra dengan

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2009 Kepala Pusat Penanggulangan Krisis, Dr. Rustam S. Pakaya, MPH NIP

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BUPATI PURBALINGGA PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. lempeng raksasa, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2080, 2014 BNPB. Logistik. Penanggulangan Bencana. Standarisasi.

BAB 1 PENDAHULUAN. Wilayah Indonesia secara geologis terletak di jalur lingkaran gempa (ring of

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM UPAYA PENGURANGAN RISIKO BENCANA BERBASIS KOMUNITAS DI KECAMATAN KOTAGEDE KOTA YOGYAKARTA TAHUN 2016

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGALAMAN MENGIKUTI ASSESSMENT OLEH PUSAT KRISIS KESEHATAN

Bencana dan Pergeseran Paradigma Penanggulangan Bencana

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. Tentara Nasional Indonesia ( TNI ) berdasarkan Undang-Undang Republik

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Indeks Rawan Bencana Indonesia Tahun Sumber: bnpb.go.id,

BAB I PENDAHULUAN. berada di kawasan yang disebut cincin api, kondisi tersebut akan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 4 TAHUN

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 7. MENGANALISIS MITIGASI DAN ADAPTASI BENCANA ALAMLATIHAN SOAL BAB 7

ARTIKEL STRATEGI PENANGANAN KEBENCANAAN DI KOTA SEMARANG (STUDI BANJIR DAN ROB) Penyusun : INNE SEPTIANA PERMATASARI D2A Dosen Pembimbing :

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya adalah proses dan fenomena alam yang menimpa manusia. Rentetan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PANGKAJENE DAN KEPULAUAN NOMOR 2 TAHUN 2011

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI dan BUPATI BANYUWANGI MEMUTUSKAN:

Tabel 5.14 Distribusi Frekuensi Tentang Perberdaan pengetahuan Responden Mengenai Emergency Preparedness Berdasarkan Masa Kerja...

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Empowerment in disaster risk reduction

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 9 TAHUN 2009 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH PROVINSI JAWA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BUPATI WONOGIRI PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terabaikan oleh lembaga pemerintahan. Menurut undang-undang no 22 tahun 2009

INSTRUKSI GUBERNUR JAWA TENGAH

PEMERINTAH PROVINSI KEPULAUAN RIAU

BAB I PENDAHULUAN. memungkinkan terjadinya berbagai bentuk bencana. Selain itu, dimata dunia

KERENTANAN (VULNERABILITY)

QANUN KOTA BANDA ACEH NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH KOTA BANDA ACEH

KEPALA PELAKSANA BADAN PENANGGULANGAN BECANA DAERAH KABUPATEN LAMONGAN. SUPRAPTO, SH Pembina Tingkat I NIP

BAB I PENDAHULUAN. kanan Kota Palu terdapat jalur patahan utama, yaitu patahan Palu-Koro yang

KOORDINASI DALAM PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN AKIBAT BENCANA KRISIS KESEHATAN AKIBAT BENCANA

BAB 1 PENDAHULUAN. peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

11. Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana;

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009

PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN AKIBAT BENCANA DI INDONESIA OKTOBER 2014

PENYUSUNAN PROFIL PENANGGULANGAN KRISIS KESEHATAN DINAS KESEHATAN KABUPATEN/KOTA TAHUN 2016

PEMERINTAH KABUPATEN NUNUKAN

D. DAFTAR PENILAIAN PRESTASI KERJA KARYAWAN (PERFORMANCE APPRAISAL) 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana sosial

QANUN KABUPATEN ACEH TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH

PERATURAN MENTERI PERTAHANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas,

BUPATI BANYUMAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENDAHULUAN ISTILAH 10/15/14

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bencana alam secara langsung memberikan dampak buruk pada kehidupan manusia, lingkungan fisik, biologis dan sosial. Dampak buruk ini akan menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan, kesejahteraan, dan kelangsungan hidup masyarakat yang berkepanjangan (WHO, 2017). Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), melaporkan bahwa pada tahun 2012 di seluruh dunia telah terjadi 357 kali bencana alam yang menyebabkan 122.900.000 korban dan lebih dari 9.655 orang meninggal dunia dengan kerugian diperkirakan mencapai US$ 157.300.000.000 akibat kerusakan yang terjadi. Lima dari 120 negara yang paling sering terkena bencana adalah, Cina, Amerika Serikat, Filipina, Indonesia, dan Afganistan menyumbang 38,1 % dari total bencana (CRED, 2012). Berkaitan dengan dampak-dampak yang ditimbulkan akibat bencana alam seperti yang diuraikan di atas, pada tahun 1994 PBB mengeluarkan deklarasi pencanangan dimulainya dekade tahun 1990 2000 sebagai dekade kerjasama internasional dalam usaha mengurangi dampak bencana alam terhadap umat manusia di dunia yang disebut sebagai The Yokohama Strategy Plan and Action. Deklarasi tersebut pada intinya merupakan suatu pernyataan dari seluruh bangsabangsa di dunia bahwa telah terjadi perubahan yang mendasar pendekatan the post disaster management ke pendekatan pre disaster mitigation, prevention and preparedness strategies (UNISDR, 1994). 1

2 Indonesia merupakan salah satu negara yang tergolong rawan terhadap kejadian baik bencana alam maupun karena tindakan manusia, hal tersebut berhubungan dengan letak geografis, iklim, geologis dan faktor-faktor lain seperti keragaman sosial budaya dan politik (DepKes RI, 2007). Berdasarkan The WorldRiskIndex 2016, Indonesia ditetapkan sebagai negara yang berisiko tinggi terhadap bencana dengan index risiko 10,24% (kejadian bencana: 19,36%, kerentanan: 52,87%) (UNU-EHS, 2016). Selama kurun waktu 5 tahun antara tahun 2010 2014 jumlah kejadian bencana di Indonesia mencapai 1.907 kejadian bencana, terdiri dari 1.124 bencana alam, 626 bencana non alam dan 157 bencana social. Sedangkan untuk tahun 2014 jumlah kejadian bencana sebanyak 456 kejadian, terdiri dari 227 bencana alam (49%), 197 bencana non alam (44%) dan 32 bencana sosial (7%). Kejadian bencana tersebut menimbulkan jumlah korban sebanyak 1.699.247 orang, terdiri dari 957 orang korban meninggal, 1.932 orang luka berat/dirawat inap, 694.305 orang luka ringan/rawat jalan, 391 orang hilang dan 1.001.662 pengungsi (Kemenkes RI, 2014). Berdasarkan statistik kejadian bencana dalam periode antara 1 Januari sampai 11 November 2016, dilaporkan terjadi 1.985 bencana alam di Indonesia. Angka statistik ini merupakan yang tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Dari 1.985 bencana tersebut di antaranya adalah 659 kejadian banjir bandang, 572 kejadian angin puting beliung, dan 485 kejadian tanah longsor. Bencana alam ini menyebabkan 375 orang meninggal dunia, dan 383 orang menderita luka-luka (BNPB, 2016)

3 Propinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah 68.059,71 km 2, memiliki angka kepadatan penduduk mencapai 39 jiwa per km persegi. Wilayah provinsi ini terdapat sekitar 25 gunung yang memiliki ketinggian lebih dari 2.000 meter. Berdasarkan indeks risiko bencana Indonesia (IRBI) tahun 2013, dari 11 Kabupaten/Kota di Sulawesi Tengah, 10 di antaranya berada dalam kelas risiko tinggi dengan risiko bencana banjir, gempa bumi, kebakaran permukiman, kekeringan, cuaca ekstrem, longsor, gunung api, abrasi, konflik sosial, epidemi dan wabah penyakit (BNPB, 2016). Kabupaten Poso adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Sulawesi Tengah dengan luas wilayah 8.712,25 km 2, memiliki jumlah penduduk 225.379 orang. Menurut IRBI tahun 2013 Kabupaten Poso berada dalam kelas risiko tinggi terhadap kejadian bencana. Kondisi geografis Kabupaten Poso yang terdiri atas bukit, pegunungan, danau, laut, dan sungai-sungai besar merupakan potensi menjadi ancaman yang bisa memicu terjadinya bencana alam terutama bila terjadi perubahan cuaca global. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Poso mencatat adanya 168 titik daerah rawan bencana di Kabupaten Poso (BPBD Poso, 2016). Data yang diperoleh dari BPBD Poso bahwa pada tahun 2016 ini telah terjadi 2 kali kejadian bencana banjir dan tanah longsor yaitu pada bulan Januari dan April 2016. Perawat sebagai lini terdepan dalam pelayanan kesehatan memegang peranan penting dalam situasi bencana dan krisis. Perawat dipanggil untuk merespon kebutuhan individu, kelompok dan masyarakat di saat krisis karena perawat mempunyai keterampilan yang luas (misalnya menyediakan pengobatan, dan

4 pencegahan penyakit), kreativitas dan kemampuan beradaptasi, kepemimpinan, dan berbagai keterampilan yang dapat diterapkan dalam pengaturan dan situasi bencana (ICN, 2009). Hasil studi yang dilakukan oleh Baack, & Alfred. (2013) mengungkapkan bahwa sebagian besar perawat yang bekerja di pedesaan tidak percaya diri dengan kemampuan mereka untuk menanggapi peristiwa bencana besar. Teori perilaku kesehatan yang paling terkenal adalah teori efikasi diri Bandura menjelaskan efikasi diri berkaitan dengan keyakinan diri bahwa ia mampu mengontrol situasi sulit dan yakin mampu mengatasi situasi yang merugikan (Bandura, 1997). efikasi diri berkaitan dengan keyakinan individu dapat atau tidak dapat melakukan sesuatu bukan pada hal apa yang akan ia lakukan. efikasi diri yang tinggi akan menggiring individu untuk mengatasi tantangan dan hambatan dalam mencapai tujuan. Hasil dari studi pendahuluan didapatkan bahwa telah ditetapkan perda Nomor 5 tahun 2009 tentang Badan Penanggulangan Bencana Daerah di kabupaten Poso. Namun, sampai saat ini belum terbentuk sistem penanggulangan bencana yang terkoordinir dengan baik. Keadaan seperti ini akan mempersulit koordinasi dan panatalayanan kesehatan pada korban dalam situasi bencana. Manajemen keperawatan yang dibutuhkan dalam fase preparedness, misalnya menyiapkan rencana kontinjensi bencana di masyarakat, evakuasi pasien di sarana kesehatan yang tepat, perencanaan untuk menangani pasien dengan jumlah yang banyak, menjamin kesiapan peralatan medis dan sistem perawatan serta pendidikan dan pelatihan bagi perawat untuk meningkatkan kapasitas dalam penangan bencana.

5 Data dinas kesehatan Kabupaten Poso tahun 2015, terdapat 23 Puskesmas dengan jumlah perawat 305 orang yang terdiri dari 280 orang lulusan D3 Keperawatan, 5 orang Sarjana Keperawatan, dan 20 orang lulusan Sekolah Perawat Kesehatan (SPK). Persebaran perawat masing-masing Puskesmas tidak merata. Perawat lebih banyak di daerah perkotaan sedangkan daerah terpencil paling banyak memiliki 4 perawat dengan tingkat pendidikan SPK. Hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 12 13 Juli 2016 di Puskesmas Tagolu dan Puskesmas Kawua kepada 5 orang perawat didapatkan pernyataan bahwa mereka belum pernah mengetahui adanya pelatihan kesiapsiagaan perawat terhadap bencana. Pelatihan bantuan hidup dasar dan kegawatdaruratan tiap tahun hanya dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tengah dengan mengundang peserta dari Puskesmas hanya 2 orang per Kabupaten sehingga tidak semua perawat mendapat kesempatan mengikuti pelatihan tersebut. Hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 30 31 Januari 2017 di Puskesmas Kayamanya dan Puskesmas Kawua pada 6 orang perawat didapatkan pernyataan bahwa mereka tidak percaya diri memberikan pertolongan pada saat bencana. Hal ini disebabkan karena mereka tidak pernah mengikuti pelatihan kebencanaan dan tidak memahami peran perawat dalam penanggulanan bencana. Merekapun tidak mempunyai pengalaman ikut dalam respon bencana. Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana kesiapsiagaan perawat di Kabupaten Poso dalam penanggulangan bencana dan bagaimana tingkat efikasi diri perawat dalam penanggulangan bencana dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki.

6 B. Rumusan Masalah Penelitian Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan efikasi diri dengan kesiapsiagaan perawat Puskesmas di Kabupaten Poso dalam penanggulangan bencana? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Mengetahui hubungan efikasi diri dengan kesiapsiagaan perawat Puskesmas di Kabupaten Poso dalam penanggulangan bencana. 2. Tujuan khusus: a. Mengetahui tingkat efikasi diri perawat Puskesmas di Kabupaten Poso terhadap kesiapsiagaan pada bencana. b. Mengetahui tingkat kesiapsiagaan perawat Puskesmas di Kabupaten Poso dalam penanggulangan bencana. D. Manfaat Penelitian 1. Bagi pemerintah Memberikan masukan dan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan sehubungan dengan kesiapsiagaan perawat di Kabupaten Poso dalam menghadapi bencana dan dijadikan pertimbangan untuk memperlengkapi Kabupaten Poso dengan sistem penangulangan bencana yang baik di mana Kabupaten Poso adalah termasuk daerah dengan tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana.

7 2. Bagi perawat Memberikan informasi kepada perawat dalam kesiapasiagaan terhadap semua kejadian bila terjadi bencana. 3. Bagi institusi pendidikan a. Sebagai bahan masukan atau pertimbangan dalam pengembangan kurikulum terkain keperawatan bencana. b. Sebagai bahan bacaan dan menambah wawasan bagi mahasiswa kesehatan khususnya mahasiswa keperawatan mengenai kesiapsiagaan perawat menghadapi bencana. 4. Bagi peneliti Sebagai pedoman dalam mengimplementasikan hasil penelitian sesuai dengan prosedur yang benar. 5. Bagi peneliti selanjutnya Sebagai referensi tambahan bagi peneliti selanjutnya tentang kesiapsiagaan perawat terhadap penanggulangan bencana. E. Keaslian Penelitian Keaslian penelitian dikemukakan dengan menunjukkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya terkait dengan kesiapsiagaan perawat dalam penanggulangan bencana. Berdasarkan literature review yang dilakukan penulis bahwa penelitian ini belum pernah diteliti oleh peneliti lainnya. Beberapa penelitian terkait kesiapsiagaan perawat pada bencana, antara lain:

8 1. Whetzel, et al. (2013). Emergency Nurse Perceptions of Individual and Facility Emergency Preparedness. Sebuah penelitian deskriptif dengan metode survey. Survey dilakukan dengan memberikan kuesioner kepada 177 perawat emergency di Atlantic city dengan 56 pertanyaan. Jawaban yang diberikan dengan skala likert: ya / tidak / tidak tahu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas responden (81,4%) merasa tertarik untuk mempelajari tanggap darurat bagi perawat yang bekerja sebagai penyedia pelayanan prarumah sakit, atau bertugas di tim bantuan medis bencana. Persamaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah responden yaitu perawat. Sedangkan, perbedaannya adalah pada metode yang digunakan, di mana metode pada penelitian yang akan dilakukan adalah Deskriptif analitik dengan rancangan Cross-Sectional. 2. Tzeng, et al. (2016). Readiness of hospital nurses for disaster responses in Taiwan: A cross-sectional study. Desain penelitian yang digunakan yaitu studi cross sectional, tempat penelitian di RS Militer Taiwan dengan melibatkan 331 perawat yang teregistrasi. Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang dikembangkan peneliti dengan didasarkan pada 3 (tiga) instrumen yaitu Emergency Preparedness Information Questionnaire (EPIQ), Disaster Preparedness Evaluation Tool (DPET), dan Readiness Estimate and Deployability Index (READI). Kuesioner yang dikembangkan terdiri 40 item pertanyaan yang terdiri dari 4 (empat) domain yaitu persiapan individu, proteksi diri, respon kedaruratan, dan penanganan klinis. Analisa menggunakan independent t-test dan digeneralisasi dengan model linear. Hasil dari penelitian yaitu masih rendahnya kesiapan perawat RS dalam merespon bencana. Persamaan

9 dengan penelitian selanjutnya pada metodologi yaitu cross-sectional dan responden adalah perawat serta salah satu instrumen yang digunakan adalah DPET. Perbedaannya adalah responden penelitian ini adalah perawat rumah sakit, sedang responden pada penelitian yang akan dilakukan adalah perawat yang bertugas di Puskesmas. 3. Baack., & Alfred. (2013). Nurses Preparedness and Perceived Competence in Managing Disaster, menggunakan disain deskriptif korelasi. Pengumpulan data melalui survey kuesioner on-line dengan 58 item pertanyaan. Responden dalam penelitian ini adalah perawat terdaftar di Texas yang bekerja di rumah sakit pedesaan sejumlah 620 responden. Analisis data dengan menggunakan uji regresi berganda dengan tingkat kemaknaan α = 0,05. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa sebagian besar perawat yang bekerja di pedesaan tidak percaya diri dengan kemampuan mereka untuk menanggapi peristiwa bencana besar. Persamaan dengan penelitian selanjutnya adalah perawat puskesmas sebagai responden, sedangkan perbedaannya pada metode yaitu penelitan yang akan dilakukan menggunakan metode deskriptif analitik dengan rancangan Cross- Sectional. 4. Fung, et al. (2008). Disaster Preparedness Among Hong Kong Nurses. Sebuah penelitian dengan metode survey (convenience sampling) dengan memberikan kuesioner kepada mahasiswa praktik keperawatan pada program Magister salah satu Universitas di Hong Kong. Kesimpulan hasil penelitiannya bahwa perawat di Hong Kong tidak cukup siap untuk menghadapi bencana, tetapi mereka menyadari bahwa persiapan menghadapi bencana tersebut sangat

10 dibutuhkan. Pelatihan manajemen bencana harus dimasukkan dalam pendidikan dasar bagi mahasiswa keperawatan. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada metode dan responden. Metode pada penelitian yang dilakukan adalah cross-sectional study dengan responden perawat yang bekerja di Puskesmas.