BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. penggerak manual tenaga manusia untuk menggulung benang wool yang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Total Penjualan di Negara Tujuan Ekspor Batik (Liputan 6.com, 2013) Negara

BAB I PENDAHULUAN. bisa memenuhi permintaan sandang yang semakin meningkat tersebut,

Peluang Bisnis Batik

Proses Manufaktur Benang Sistem Rotor

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka pengembangan ekonomi daerah yang bertujuan. meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka pengembangan ekonomi lokal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Era globalisasi telah muncul sebagai fenomena baru yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Penjelasan Judul Perancangan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. perubahan siklus ekonomi menyebabkan dunia usaha terus mengalami perubahan.

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA PERESMIAN ACARA PESONA BATIK PESISIR UTARA JAWA BARAT. Di Hotel Sari Pan Pasific. Tanggal, 19 Mei 2016.

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN. Industri pertekstilan merupakan industri yang cukup banyak. menghasilkan devisa bagi negara. Tahun 2003 devisa ekspor yang berhasil

BAB I PENDAHULUAN. peluang besar dalam rangka perluasan lapangan pekerjaan. Mengingat hampir

BAB I PENDAHULUAN. sektor nonmigas lain dan migas, yaitu sebesar 63,53 % dari total ekspor. Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. bertujuan untuk membuat bentuk gulungan benang yang sudah dipilin. atau dipintal dengan menggunakan tenaga putaran manusia sesuai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai inti gulungan benang, kawat logam, plastic film, kertas dan lain-lain, di samping itu

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Persaingan bisnis di era global saat ini semakin ketat. Fungsi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. anggota dihargai sebesar Rp1,00 per yard. Adapun simpanan anggota-anggota. dimulai dengan kemampuan kapasitas :

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diproduksi di berbagai daerah di Indonesia dengan motif yang berbedabeda.

BAB I PENDAHULUAN. dimasukkannya ke dalam Daftar Representatif sebagai Budaya Tak-benda

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

tahapan DMAIC (Define, Measure, Analysis, Improve, dan Control) untuk dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan cacat pada suatu produk.

BAB I PENDAHULUAN. (pemintalan), pertenunan, rajutan, dan produk akhir. intermediate dari industri tekstil dituntut untuk meningkatkan kualitas

Penerapan Ragam Hias pada Bahan Tekstil

BAB I PENDAHULUAN. menjadi negara yang kaya dengan keunikan dari masing-masing suku tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya. Terdiri

BAB I PENDAHULUAN. Sumartini, Penerapan Hasil Belajar "Mewarna Pada Kain Dan Serat" Dalam Praktikum Pewarnaan Batik

BAB I PENDAHULUAN. kekhasan budaya dari setiap suku bangsa merupakan aset yang tidak terhitung

ESTIMASI PANJANG JERATAN KAIN RAJUT DENGAN MENGGUNAKAN MODEL STRUKTUR DARI POPPER

BAB 1 PENDAHULUAN. hubungan dagang dengan pihak luar negeri, mengingat bahwa setiap negara

Dasar-dasar Perancangan Produks Tekstil/Dalyono

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tahun Nilai Ekspor Batik Nasional

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA PEMBUKAAN PELATIHAN SDM INDUSTRI GARMEN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. produk, yaitu Kain Grey dan Kain Cambric. Pada 1999, PC GKBI dapat memproduksi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Syafrida Eliani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. pesat di Indonesia. Sampai dengan tahun 1998, jumlah industri TPT di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Setting Parameter Mesin Ring Spinning Untuk Meningkatkan Kekuatan Tarik Benang PE 30/1 Dengan Menggunaka Metode Taguchi

MODEL PERLINDUNGAN HUKUM ATAS KARYA CIPTA MOTIF BATIK JEMBER SEBAGAI KEKAYAAN INTELEKTUAL TRADISIONAL ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA PEMBUKAAN GELAR BATIK NUSANTARA 2015 JAKARTA CONVENTION CENTER JUNI 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1

BAB I PENDAHULUAN. Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas sekarang ini, manusia

I. 1. Latar Belakang I Latar Belakang Pengadaan Proyek

Nama jenis produk kerajinan tekstil beserta gambar dan komentarnya

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III ANALISA DINAMIK DAN PEMODELAN SIMULINK CONNECTING ROD

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 yang memberikan dampak sangat

PENGARUH SIFAT-SIFAT FISIKA SERAT KAPAS TERHADAP AKUMULASI LIMBAH PEMINTALAN DAN MUTU BENANG

BAB I PENDAHULUAN. tidak ada hambatan. Hal tersebut memberi kemudahan bagi berbagai negara untuk

Pengaruh Tekanan dan Diameter Front Top Roller Mesin Ring Spinning Terhadap Ketidakrataan Benang

BAB I PENDAHULUAN. (a) (b) (c)

BAB I PENDAHULUAN. hampir seluruh aspek kehidupan membutuhkan energi. Kebutuhan energi saat ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Industri tekstil bukanlah merupakan sebuah hal baru dalam sektor

BAB I PENDAHULUAN. Di daerah Sumatera Utara terdapat beberapa suku, salah satunya adalah suku Batak,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit sebenarnya sudah ada sejak zaman panjajahan Belanda ke

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha 1

UKDW BAB I PENDAHULUAN

Disusun oleh : Novrian Satria Perdana NIM F BAB I PENDAHULUAN. Pengeluaran untuk membiayai belanja negara yang semakin lama semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Semakin ketatnya persaingan di bidang industri menuntut perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1-1

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mancanegara. Pada tanggal 2 Oktober 2009 batik telah diakui oleh UNESCO sebagai

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam proses pemulihan perekonomian Indonesia, sektor Usaha Kecil

BAB 1 PENDAHULUAN. Mengingat hampir sebagian besar penduduk Indonesia masih tinggal di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan serta pengentasan kemiskinan (Todaro, 1997). ekonomi. Indikator ini pada dasarnya mengukur kemampuan suatu negara untuk

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dituntut untuk mampu meningkatkan daya saing dalam rangka

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN RI PADA ACARA PENUTUPAN PELATIHAN SDM INDUSTRI GARMEN

BAB I PENDAHULUAN. Persoalan kemiskinan telah menjadi masalah yang sangat sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN. yang berhubungan dengan warga negaranya. Terlebih pada negara-negara yang

MOTOR LISTRIK 3 FASA PADA AUTOCORO DAN DISTRIBUSI DAYA LISTRIKNYA PADA PT. BITRATEX INDUSTRIES SEMARANG

BAB II DASAR TEORI. commit to user

SIMBIOSIS MUTUALISME ANTARA PEMERINTAH DAERAH DAN PENGUSAHA BATIK DI KABUPATEN BANTUL

I. PENDAHUL'CJAN Latar Belakang

SAMBUTAN MENTERI PERINDUSTRIAN PADA ACARA PERINGATAN HARI BATIK NASIONAL DI MUSEUM TEKSTIL JAKARTA, 2 OKTOBER 2015

OPTIMASI KEKUATAN BENDING DAN IMPACT KOMPOSIT BERPENGUAT SERAT RAMIE BERMATRIK POLYESTER BQTN 157 TERHADAP FRAKSI VOLUME DAN TEBAL SKIN

BAB I PENDAHULUAN. ini dapat terlihat dari banyaknya industri baru yang tumbuh dan berkembang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan terapannya dalam industri di setiap negara sangat diperlukan karena dapat menunjang perekonomian dan kesejahteraan masyarakat pada suatu negara, salah satunya adalah ilmu tekstil. Industri tekstil dan produk tekstil (ITPT) merupakan salah satu industri yang diprioritaskan untuk dikembangkan oleh pemerintah karena memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional yaitu sebagai penyumbang devisa negara, menyerap tenaga kerja dalam jumlah cukup besar, dan sebagai industri yang diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sandang nasional. Hal ini dapat ditunjukkan melalui perolehan surplus ekspor terhadap impor selama satu dasawarsa terakhir, bahkan saat krisis ekonomi melanda dunia, ITPT Nasional masih dapat mempertahankan surplus perdagangannya dengan nilai tidak kurang dari US$ 5 Milyar, penyerapan tenagakerja 1,34 juta jiwa dan berkontribusi memenuhi kebutuhan domestik sebesar 46%. (Biro Umum dan Humas Kemenperin, 2010). Industri tekstil di Indonesia sudah ada sejak zaman pra kemerdekaan, hal itu dibuktikan dengan keragaman pakaian adat seperti kain sasaringan (kain adat suku Banjar di Kalimantan), kain ulos (kain tradisional suku Batak), kain tenun sarung bugis dan kain lurik (kain tradisional Solo dan Yogyakarta) yang memiliki berbagai motif. Motif batik adalah salah satu motif yang didukung dan dilestarikan oleh pemerintah karena motif batik telah diakui sebagai salah satu hasil warisan budaya dunia oleh UNESCO dengan dimasukkannya ke dalam daftar representatif sebagai budaya tak-benda warisan manusia (representative list of the intangible cultural heritage of humanity) dalam sidang ke-4 komite antar pemerintah tentang warisan budaya tak benda di Abu Dhabi pada 2 Oktober 1999. UNESCO juga mengakui bahwa batik Indonesia memiliki teknik dan simbol budaya yang menjadi identitas rakyat Indonesia mulai dari lahir sampai meninggal. Proses pembentukan kain di industri tekstil diawali dengan proses awal produksi yaitu pemintalan (pembentukan benang) yang merupakan proses dasar pembentukan serat kapas menjadi benang (sebagai bahan baku kain). Salah satu bagian yang vital dalam proses pembentukan kain pada 1

2 industri tekstil adalah pemintalan benang dari bahan baku serat kapas. Benang adalah bahan pokok utama proses pembuatan kain di industri tekstil. Tujuan dari pemintalan kapas (spinning) adalah untuk menghasilkan suatu benang yang memiliki kualitas baik, yaitu dari segi bentuk dan ukuran (diameter benang), nomor benang/ yarn count (N m (m/g) atau T t (g/km)) dan juga kerataan (yarn eveness), kekuatan benang tiap tex (tenacity) dan ciri khusus (elastis atau nonelastis) yang digunakan untuk proses selanjutnya yaitu pembentukan kain, seperti proses tenun dan proses rajut. Mesin spinning atau mesin pintal dalam proses pemintalan adalah mesin yang digunakan dalam proses pembuatan benang dari serat (serat alami atau buatan). Perkembangan mesin spinning telah dimulai pada masa pra sejarah, sebagai contoh adalah kain mumi mesir kuno. Seiring berjalannya waktu serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengoperasian mesin pintal manual diotomatiskan secara bertahap (Rohlena, 1975). Pada tahun 1530 berkembang mesin pintal manual pertama Saxon Wheel Spinning (mesin tradisional dengan roda pintal yang besar dalam proses pemintalan kontinu yang disebut Saxon Wheel atau Long-Fiber Wheel) diperlihatkan pada Gambar- 1.1.a. Perkembangan mesin pintal manual kemudian digantikan dengan ditemukannya teknologi mesin yang beroperasi secara otomatis sekitar tahun 1930-an yaitu mesin Ring Spinning, mesin Air Jet Spinnning dan Open End Spinning (informasi teknis lebih lanjut perkembangan mesin pintal dapat dilihat Lawrence, 2003). Prinsip kerja mesin pintal Open End (OE) Spinning adalah pemisahan pelilitan serat (puntiran/ twist) dengan penggulungan benang (yarn winding), tetapi keduanya dilakukan secara bersamaan. Pengembangan sistem ini didasari oleh kebutuhan untuk mengatur proses pembentukan benang (yarn) secara lebih cepat dan untuk menghasilkan kualitas benang yang baik (Nomor benang, diameter benang, bentuk benang dan tenacity). Mesin pintal jenis OE (Gambar-1.1.b)) adalah mesin yang sampai saat ini banyak digunakan di industri tekstil, khususnya di Indonesia. Mesin pintal Open End (OE) Spinning memiliki tiga buah proses mekanis, yaitu: (1) proses pemasukan serat kapas (cotton fiber); (2) proses transport dan (3) proses puntiran/twist hingga winding. Kajian mekanis untuk memperoleh kualitas benang yang baik secara teoretik dan eksperimental pada mesin pintal Open End Spinning belum dilakukan secara rinci di

3 bagian proses pembentukan benang. Kajian gerakan mekanis pada setiap proses mesin umumnya dapat dilakukan dengan mekanika geometris melalui kalkulus tensor secara khusus dengan menggunakan persamaan percepatan dalam koordinat lengkung. Gambar-1.1 a) Mesin Pintal Saxon Wheel; b)mesin Rotor Spinning (Lawrence, 2003). Penelitian mendalam baik praktis (eksperimental) maupun teoretis menjadi aspek yang sangat penting dan menarik. Penelitian eksperimental pada proses pemintalan benang yang meliputi banyak faktor parameter-parameter mesin (jumlah puntiran tiap panjang atau twist dengan satuan tpm (turns per meter), diameter rotor, kecepatan putar rotor, kecepatan translasi benang serta gaya take-off ) terhadap parameter kualitas benang seperti: nomor benang atau yarn count (g/km atau tex), kekuatan benang (yarn strength), tenacity (kekuatan benang (cn) tiap tex), diameter benang (mm) dan juga bentuk benang (ketidakrataan/ unevenness) sudah banyak dilakukan, akan tetapi kajian teoretis yang mendalam dan simulasi belum ditemukan dalam berbagai buku teks dan jurnal tekstil khususnya struktur benang Open End Spinning. Rohlena (1975) menyatakan Pemodelan pergerakan serat untuk menganalisa struktur internal mekanik benang pada benang OE terhadap parameter-parameter mesin (diameter rotor, kecepatan putar rotor, kecepatan translasi benang serta gaya take-off) serta parameter kualitas benang tidak banyak dilakukan oleh peneliti bahkan jarang ditemui dalam berbagai jurnal tekstil dan buku teks di bidang tekstil. Rohlena (1975) menyatakan bahwa penelitian teoretis yang mendalam serta pemodelan matematis untuk menjelaskan sistem pemintalan sangat diperlukan dan merupakan suatu penelitian kajian yang penting dalam tekstil. Beberapa peneliti yang berkecimpung dalam pemodelan tersebut adalah Backer, Hearle dan Grosberg (1969),

4 Lord (1970), Rohlena (1975), Lawrence (2003), dan Zeidman, Shawney dan Herington (2003). Beberapa pemodelan geometri puntiran pada benang umumnya menggunakan koordinat silinder dan dengan menganggap bahwa setiap serat mengikuti bentuk pergerakan percepatan koordinat lengkung silinder (Zeidman, Shawney dan Herington, 2003). Bentuk pemodelan Zeidman, Shawney dan Herington (2003) memiliki banyak kekurangan diantaranya adalah tidak didapatkannya hubungan antara parameter mesin terhadap parameter kualitas benang, bentuk koordinat silinder dinilai kurang mewakili bentuk pergerakan serat pada benang, khususnya pada pergerakan benang di mesin OE serta tidak adanya validasi terhadap data eksperimen. Backer, Hearle dan Grosberg (1969) merumuskan hubungan puntiran terhadap nomor benang dalam tex menggunakan analisa dimensi dan menggunakan model geometri silinder. Hasil pemodelan Backer, Hearle dan Grosberg (1969) memperlihatkan bahwa besar sudut puntiran optimal adalah sebagai fungsi nomor benang dalam tex. Bentuk pemodelan Backer, Hearle dan Grosberg (1969) memiliki banyak kekurangan, yaitu bentuk pemodelan hubungan puntiran terhadap nomor benang (tex) didapatkan dengan menggunakan analisa dimensi yang dikaitkan dari hasil uji secara eksperimental dan pemodelan geometri menggunakan bentuk koordinat silinder (keadaan ideal) yang dirasakan kurang mewakili bentuk pergerakan serat pada benang khususnya pada benang OE serta hasil pemodelan struktur benang tidak dapat menghubungkan parameter-parameter mesin terhadap besar sudut puntiran ditinjau dari pergerakan benang. Hal yang sama dilakukan Rohlena (1975) dalam menjelaskan hubungan puntiran terhadap nomor benang (tex). Rohlena (1975) merumuskan hubungan puntiran terhadap nomor benang (tex) tersebut melalui studi empiris dan analisa dimensi. Rohlena (1975) dan Lawrence (2003, 2010) memodelkan pergerakan benang dalam mesin rotor OE dengan menganggap bahwa benang seperti sebuah materi titik yang bergerak dalam suatu rotor yang bergerak dengan kecepatan putar tertentu dan tidak menjelaskan pengaruh pergerakan benang dalam rotor terhadap bentuk struktur geometri benang serta tidak menjelaskan besar sudut optimal puntiran. Pemodelan Rohlena (1975) dengan menganggap bahwa pergerakan materi benang sebagai suatu materi titik pusat massa pada rotor dirasakan kurang mewakili pergerakan

5 benang yang sesungguhnya pada rotor dikarenakan adanya puntiran serat dalam benang yang bergerak pada daerah rotor. Rohlena (1975) mengatakan bahwa kajian ilmiah distribusi serat pada benang umumnya digunakan pendekatan yaitu serat terdistribusi secara seragam (homogen) dan terdistribusi dalam bentuk silinder. Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengetahui struktur internal pada benang sebagai contoh konfigurasi serat tunggal sepanjang benang. Struktur internal pemintalan pada sebuah serat tunggal bergantung pada rasio panjang benang terhadap panjang serat. Rohlena (1975) menyatakan bahwa secara kajian empiris pada benang OE, besar rasio panjang benang terhadap panjang serat K f adalah sebesar 0,65, sedangkan struktur internal pemintalan yang baik memiliki rasio sebesar K f = 0,95. Lawrence (2003) menyatakan bahwa besar rasio panjang benang terhadap panjang serat K f adalah sebesar 0,63. Trommer (1995) menyatakan bahwa terdapat batasan dalam pembuatan benang pada mesin OE, yaitu seperti rasio diameter rotor terhadap panjang serat benang tunggal adalah sebesar 0,7 dan besar rasio tenacity benang terhadap tenacity serat sebesar 50%. Zeidman, Shawney dan Herington (2003) menjelaskan pergerakan serat dalam benang menggunakan pemodelan geometri dalam koordinat silinder dengan besar puntiran didefinisikan sebagai rasio kecepatan putar benang terhadap kecepatan translasi benang (v d ) dan besar migrasi serat didefinisikan sebagai rasio panjang jejari benang terhadap panjang benang. Pada pemodelan Zeidman, Shawney dan Herington (2003) tidak dijelaskan hubungan antara nomor benang terhadap besar puntiran serta besar sudut puntiran untuk pemodelan benang OE serta bentuk pergerakan serat menggunakan koordinat silinder yang dirasakan sangat tidak mewakili pergerakan serat pada benang. Penelitian Zeidman, Shawney dan Herington (2003) hanya menjelaskan pergerakan serat tanpa adanya pengaruh deformasi benang pada struktur benang dalam koordinat silinder serta tidak bisa menemukan kaitan puntiran (twist), sudut puntiran, diameter benang terhadap nomor benang sebagai salah satu indikasi kualitas benang. Penelitian secara teoretik dan mendalam untuk dapat menjelaskan aspek-aspek mekanis pembentukan benang serta studi analisa struktur benang dan pengaruh deformasi hingga saat ini masih sangat sedikit dilakukan terutama pada benang OE. Dalam keadaan yang seperti tersebut di atas, penelitian secara terintegrasi, baik secara teoretik maupun validasi secara eksperimental pada proses pemintalan dengan menggunakan pemodelan

6 geometri untuk mendapatkan persamaan struktur benang yang sesuai dengan pergerakan serat yang diproduksi dengan mesin OE, secara khusus dalam ruang konfigurasi solenoid dan torus dirasa sangat perlu dilakukan. Pemodelan menggunakan ruang konfigurasi solenoid dan torus dinilai lebih mewakili bentuk pergerakan serat kapas dalam benang dibandingkan dengan koordinat silinder. Pada penelitian ini diteliti persamaan gerak serat-benang menggunakan ruang konfigurasi solenoid dan torus serta dikaji aspek mekanis pada proses pembentukan benang di mesin Open End Spinning yang meliputi gerakan dari puntiran serat hingga pembentukan benang pada yarn package, sehingga didapatkan informasi mekanis dan prediksi teoretis dalam upaya untuk meningkatkan kualitas benang, seperti: (1) rumusan teoretis untuk menentukan struktur dan mekanisme serat-benang OE spinning; (2) pengaruh kecepatan rotor dan diameter rotor pada kekuatan tarik benang dan tenacity take-off serta koefisien puntiran benang secara teoretik; (3) pengaruh puntiran terhadap nomor benang (yarn count); (4) sudut puntiran benang OE optimal secara teoretik. Dari penelitian-penelitian secara teoretik dan mendalam tersebut diharapankan hasil riset di bidang tekstil yang lebih baik dan berguna bagi pengembangan serta kemajuan industri tekstil di Indonesia. 1.2. Hipotesa Pemodelan struktur dan mekanis serat benang OE dalam rangka untuk menentukan sudut puntiran dapat dirumuskan secara lebih mendalam dan rinci dengan menganggap bahwa serat bergerak pada ruang konfigurasi berupa torus dan solenoid untuk mendapatkan hubungan antara parameter mesin (twist dengan satuan, diameter rotor, kecepatan putar rotor, kecepatan translasi benang serta gaya take-off) terhadap parameter kualitas benang (tenacity, nomor benang, sudut twist dan diameter benang). 1.3. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah rumusan teoretis untuk menentukan struktur dan mekanisme seratbenang Open End (OE) Spinning? 2. Bagaimanakah pengaruh kecepatan rotor dan diameter rotor pada kekuatan tarik benang dan tenacity take-off serta koefisien puntiran benang secara teoretik? 3. Bagaimanakah pengaruh puntiran terhadap nomor benang (yarn count) secara teoretik?

7 4. Berapakah sudut puntiran benang OE secara teoretik? 5. Apakah dapat diciptakan alat prediksi untuk menentukan puntiran benang? 1.4.Tujuan Penelitian 1. Dapat memperlihatkan rumusan teoretik untuk menentukan struktur dan mekanis serat-benang Open End (OE) Spinning. 2. Dapat menunjukkan secara teoretik pengaruh kecepatan rotor dan diameter rotor pada kekuatan tarik benang dan besar tenacity take-off serta koefisien puntiran benang. 3. Dapat menunjukkan secara teoretik pengaruh puntiran terhadap nomor benang (yarn fineness). 4. Dapat menentukan secara teoretik sudut puntiran benang OE secara teoretik. 5. Dapat menciptakan alat prediksi untuk menentukan puntiran benang. 1.5. Pembatasan Masalah Permasalahan pada penelitian dibatasi untuk pemodelan struktur dan mekanis serat-benang pada mesin pintal OE dengan asumsi benang disusun oleh serat kapas seragam dan pengabaian efek listrik statik benang terhadap rotor serta kualitas jenis serat. Pemodelan dengan komputasi MATLAB digunakan untuk menentukan bentuk struktur dan mekanisme serat-benang kapas dan kesesuaian dengan hasil eksperimen secara literatur di industri dengan mengacu pada jurnal internasional di bidang tekstil yang berkaitan dengan kualitas benang kapas pada proses pemintalan dengan mesin OE. 1.6. Manfaat Penelitian Dapat membantu masyarakat dan industri khususnya dalam menganalisa pergerakan mekanis serat-benang pada mesin pintal agar dapat menghasilkan benang berkualitas tinggi serta menjelaskan aspek-aspek mekanis pembentukan benang kapas serta studi analisa struktur benang kapas. 1.7. Metode Penelitian

8 Penelitian Disertasi ini akan dilakukan dengan studi literatur dan disertai perhitungan-perhitungan dengan menggunakan mekanika geometrik dan komputasi MATLAB untuk menentukan: 1) rumus puntiran; 2) sudut puntiran; 3) diameter benang dan 4) bentuk benang. Penjabaran dan validasi rumusan teori terhadap hasil penelitian eksperimental diperlukan untuk dapat menghubungkan antara parameter mesin (jumlah puntiran tiap panjang atau twist, diameter rotor, kecepatan putar rotor) terhadap parameter kualitas benang (nomor benang, kekuatan benang (yarn strength), tenacity, diameter benang dan juga bentuk benang) dengan mengacu pada hasil eksperimen para peneliti di bidang tekstil pada jurnal-jurnal internasional dan nasional tekstil. 1.8. Sistematika Penulisan Sistematika dari disertasi ini dapat dijelaskan sebagai berikut di bawah: 1. Bab I akan dijelaskan latar belakang dan tujuan penelitian disertasi. 2. Bab II akan dijelaskan mengenai studi literatur yang mendukung penelitian ini. 3. Bab III akan dijelaskan dasar teoretik persamaan gerak dan teoretik pembentukan benang, persamaan dasar standar operasional mesin OE spinning di industri. 4. Bab IV akan dijelaskan penjabaran pemodelanstruktur internal benang serta simulasi gerak benang. 5. Bab V akan dijelaskan Hasil dan Pembahasan penelitian disertasi. 6. Bab VI Kesimpulan dan Saran. 1.9.Kebaharuan Penelitian Pada penelitian ini dirumuskan pemodelan baru secara teoretik tentang hubungan antara efek pergerakan serat kapas terhadap parameter kualitas benang OE dan parameter mesin OE. Pada penelitian ini akan didapatkan: (1) Rumus sudut puntiran, diameter benang d benang serta puntiran pada benang OE secara teoretik dan komputasional dengan memanfaatkan mekanika geometrik pada ruang konfigurasi solenoid serta torus yang selama ini belum banyak diteliti dan dijabarkan oleh para peneliti di bidang tekstil (berdasarkan penelusuran pada jurnal-jurnal internasional dan nasional tekstil); serta (2) Alat prediksi uji kualitas benang seperti puntiran (twist), tenacity saat take-off, diameter benang dan sudut puntiran.