BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu jenis penyakit yang masih menjadi masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit malaria merupakan penyakit tropis yang disebabkan oleh parasit

1. PENDAHULUAN. Plasmodium, yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles sp. betina (Depkes R.I.,

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu perhatian global karena kasus malaria yang tinggi dapat berdampak luas

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan bagi

BAB I PENDAHULUAN. Data statistik WHO menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 3,2 milyar

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia di seluruh dunia setiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu

BAB I PENDAHULUAN. di seluruh dunia disetiap tahunnya. Penyebaran malaria berbeda-beda dari satu Negara

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 2 miliar atau 42% penduduk bumi memiliki resiko terkena malaria. WHO

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. endemik malaria, 31 negara merupakan malaria-high burden countries,

BAB I PENDAHULUAN. Dalam proses terjadinya penyakit terdapat tiga elemen yang saling berperan

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat karena menyebar dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian (Profil

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit demam berdarah dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

I. PENDAHULUAN. dunia. Di seluruh pulau Indonesia penyakit malaria ini ditemukan dengan

I. PENDAHULUAN. vektor penyakit infeksi antar manusia dan hewan (WHO, 2014). Menurut CDC

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tahunnya terdapat sekitar 15 juta penderita malaria klinis yang mengakibatkan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorhagic Fever

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. utama di Asia Tenggara termasuk Indonesia. Pada tahun 2010, Indonesia UKDW

BAB I PENDAHULUAN. kepadatan penduduk. Menurut WHO (2009), Sekitar 2,5 miliar penduduk dunia

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Derajat kesehatan masyarakat yang optimal dapat

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4 dan yang terbaru adalah Den-5.

BAB I PENDAHULUAN. Dengue adalah salah satu penyakit infeksi yang. dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. Turki dan beberapa Negara Eropa) beresiko terkena penyakit malaria. 1 Malaria

BAB I PENDAHULUAN. manusia melalui perantara vektor penyakit. Vektor penyakit merupakan artropoda

BAB I PENDAHULUAN. Gigitan nyamuk sering membuat kita risau karena. rasanya yang gatal. Akan tetapi nyamuk tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) pada tahun 2012

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah sejenis penyakit menular pada manusia. Sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Asam) positif yang sangat berpotensi menularkan penyakit ini (Depkes RI, Laporan tahunan WHO (World Health Organitation) tahun 2003

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhage Fever (DHF) banyak

BAB 1 PENDAHULUAN. masalah cukup besar yang menyangkut kesehatan masyarakat di negara-negara dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) masih me rupakan salah satu masalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era reformasi, paradigma sehat digunakan sebagai paradigma

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium.

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria merupakan salah satu penyakit tropik yang disebabkan oleh infeksi

BAB I PENDAHULUAN. telah menjadi masalah kesehatan internasional yang terjadi pada daerah tropis dan

I. PENDAHULUAN. merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di negara negara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat di Indonesia dan bahkan di Asia Tenggara. World Health

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030/Suistainable Development Goals (SDGs)

BAB I PENDAHULUAN. gigitan nyamuk dari genus aedes misalnya Aedes aegypti atau Aedes albovictus.

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. miliar atau 42% penduduk bumi memiliki risiko terkena malaria. WHO mencatat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit

I. PENDAHULUAN. Salah satu penyakit yang ditularkan oleh nyamuk sebagai vektornya adalah Demam

BAB 1 PENDAHULUAN. (Harijanto, 2014). Menurut World Malaria Report 2015, terdapat 212 juta kasus

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis, dimana negara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis paru merupakan penyakit menular yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat yang utama di Indonesia, salah satunya penyakit Demam

BAB I PENDAHULUAN. Aedes aegypti adalah jenis nyamuk yang tidak. asing di kalangan masyarakat Indonesia, karena

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus dengue dengan tanda-tanda tertentu dan disebarkan melalui gigitan

BAB 1 PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan faktor..., Amah Majidah Vidyah Dini, FKM UI, 2009

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes spp.

BABf PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan masalah kesehatan yang ditemukan di

BAB 1 PENDAHULUAN. Dengue adalah penyakit infeksi virus pada manusia yang ditransmisikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

I. PENGANTAR. Separuh dari keseluruhan penduduk dunia, diperkirakan 3,3 miliar orang,

BAB I PENDAHULUAN. dan tantangan yang muncul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dan

BAB I. Pendahuluan UKDW. data dari World Health Organization (WHO) bahwa dalam 50 tahun terakhir ini

LAPORAN PENELITIAN ANALISIS EFEKTIVITAS PEMBIAYAAN SEDIAAN BIOLARAS DALAM RANGKA KEMANDIRIAN BAHAN BAKU BIOLARVASIDA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit malaria masih merupakan masalah kesehatan bagi negara tropis/

BAB 1 PENDAHULUAN. negara khususnya negara-negara berkembang. Berdasarkan laporan The World

BAB 1 PENDAHULUAN. terhadap ketahanan nasional, resiko Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) pada ibu

BAB I PENDAHULUAN. jenisnya. Oleh karena itu penyakit akibat vector (vector born diseases) seperti

BAB 1 PENDAHULUAN. Secara epidemiologi, Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi

BAB I PENDAHULUAN UKDW. sebagai vektor penyakit seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese

BAB 1 PENDAHULUAN. pencapaian tumbuh kembang bayi tidak optimal. utama kematian bayi dan balita adalah diare dan pneumonia dan lebih dari 50%

BAB I PENDAHULUAN. klasifikasinya nyamuk dibagi dalam dua subfamili yaitu Culicinae yang terbagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari 17% penyakit infeksi ditularkan melalui gigitannya dan lebih dari 1 juta orang

EFEKTIVITAS WAKTU DAYA BUNUH Baccilus thuringiensis SEBAGAI LARVASIDA TERHADAP LARVA Anopheles sp DI KECAMATAN BATU LAYAR KABUPATEN LOMBOK BARAT

Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas 2013

BUPATI JEMBRANA PERATURAN BUPATI JEMBRANA NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG ELIMINASI MALARIA DI KABUPATEN JEMBRANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja (Kemenkes, gejala malaria pada tahun 2013 (WHO, 2014).

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Malaria merupakan salah satu penyakit menular tropik yang distribusinya

BAB I PENDAHULUAN. kejadian luar biasa dengan kematian yang besar. Di Indonesia nyamuk penular

BAB I. Pendahuluan. A. latar belakang. Di indonesia yang memiliki iklim tropis. memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak dengan baik

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu jenis penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia dan salah satu prioritas program Millennium Development Goals (MDGs). Penyakit malaria secara umum dapat memberikan konstribusi terhadap peningkatan angka kesakitan dan kematian di Indonesia. Penyakit malaria juga merupakan jenis penyakit yang disebabkan oleh vektor atau dikenal dengan vektor borne diseases yaitu jenis nyamuk Anopheles spp. Perkembangan populasi nyamuk Anopheles spp dipengaruhi oleh musim dan keadaan lingkungan seperti perubahan iklim, suhu, letak geografis dan berimplikasi secara langsung terhadap peningkatan kasus malaria (Depkes RI, 2005). Menurut Eli (2005) Peningkatan penularan malaria sangat terkait dengan iklim baik musim hujan maupun musim kemarau dan pengaruhnya bersifat lokal spesifik. Pergantian musim akan berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap vektor pembawa penyakit. Pergantian global iklim yang terdiri dari temperatur, kelembaban,curah hujan, cahaya dan pola tiupan angin mempunyai dampak langsung pada reproduksi vektor, perkembangannya, longevity dan perkembangan parasit dalam tubuh vektor. Sedangkan dampak tidak langsung karena pergantian vegetasi dan pola tanam pertanian yang dapat mempengaruhi kepadatan populasivektor.

Secara epidemiologi penyakit malaria dapat menyerang semua kelompok umur, dan dlihat dari aspek etiologi, penyakit malaria disebabkan oleh nyamuk Anopheles spp. Kecenderungan terjadinya malaria di Dunia secara umum setiap tahun berfluktuasi meningkat (Depkes RI,2005). Berdasarkan Laporan Wolrd Health Organization (WHO) tahun 2008 menunjukkan malaria beresiko pada hampir setengah penduduk di dunia, dan melebihi dari seratus negara. 40% negara endemis malaria terdapat di regional Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia (2008) menunjukkan bahwa sejak pencanangan GEBRAK MALARIA tahun 2000, jumlah kasus malaria juga berfluktuasi. Hampir separuh populasi di Indonesia sebanyak lebih dari 90 juta orang tinggal di daerah endemik. Diperkirakan ada 30 juta kasus malaria setiap tahun dan hanya 10% saja yang mendapat pengobatan. Beban terbesar dari penyakit malaria ini ada di provinsi-provinsi bagian timur Indonesia di mana malaria merupakan penyakit endemik. Kebanyakan daerah-daerah pedesaan di luar Jawa- Bali juga merupakan daerah risiko malaria. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat, malaria merupakan penyakit yang muncul kembali (re-emerging diseases). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2004 memperkirakan angka kematian spesifik akibat malaria di Indonesia adalah 12 per 100.000 untuk laki-laki dan 8 per 100.000 untuk perempuan. Berdasarkan laporan Depkes RI (2008), tentang daerah resisten insektisida untuk malaria dan DBD menunjukkan bahwa salah satu daerah endemis malaria di kepulauan Riau adalah kota Batam. Berdasarkan kondisi sosiodemografis, kota

Batam merupakan propinsi yang berisiko tinggi. Katagori daerah endemis tersebut didasarkan pada daerah dengan populasi nyamuk Anopheles spp termasuk tinggi mengingat kondisi geografis kota Batam yang dikelilingi oleh pantai dan masih banyak terdapat lokasi-lokasi tempat perindukan nyamuk Anopheles spp. Kondisi ini disertai dengan mobilitas penduduk yang keluar-masuk dari dan ke Kota Batam, sehingga kecenderungan terjadinya penularan malaria sangat tinggi yang dapat berkontribusi terhadap angka kesakitan malaria di Kota Batam. Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Batam (2008) jumlah kasus malaria selama 3 (tiga) tahun terakhir (2006-2008) meningkat. Tahun 2006 angka kesakitan malaria adalah 37 per 1000 penduduk menjadi 49 kasus per 1000 penduduk pada tahun 2007, dan tahun 2008 menjadi 61 kasus per 1000 penduduk, artinya dalam 1000 penduduk terdapat kasus sebanyak 61 kasus. Keadaan ini secara perlahan menjadi ancaman bagi upaya pembangunan kesehatan di Kota Batam dan berdampak terhadap keberlangsungan hidup penduduk di wilayah endemik malaria. Peningkatan kasus malaria dapat disebabkan oleh multifaktor antara lain (1) faktor dari lingkungan seperti keadaan geografis, keberadaan tempat perindukan nyamuk dan perubahan iklim, faktor, (2) faktor individu seperti perilaku penduduk khususnya dalam pencegahan malaria, (3) kesinambungan pengobatan penderitaserta aspek implementasi kebijakan penanggulangan malaria yang belum maksimal (Depkes RI, 2005). Salah satu upaya strategis yang direkomendasikan Depkes RI (2006) dalam penanggulangan Malaria adalah penurunan angka populasi Anopheles spp dengan

melakukan survey larva dan penggulangan tehnologi tepat guna maupun formula kimia yang dapat mereduksi populasi larva Anopheles spp, sehingga secara terintegrasi dapat menurunkan angka kesakitan malaria. Berdasarkan Rencana Strategis Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) kota Batam (2007) menunjukkan bahwa pencegahan dan penanggulangan malaria masih menjadi prioritas program sampai tahun 2010 dan termasuk dalam master plan menyongsong MDGs 2015 dan dilakukan secara terpadu mulai dari pencegahan perkembangan populasi nyamuk Anopheles spp sampai pada upaya pengobatan penderita malaria. Salah satu upaya tersebut adalah penurunan populasi vektor malaria melalui penyemprotan, eliminasi lagun-lagun perindukan nyamuk Anopheles spp, serta penggunaan bahan kimia dan larvaciding untuk menurunkan populasi Anopheles spp, dan mencakup seluruh daerah endemik malaria khususnya di kecamatan Nongsa Kota Batam. Berdasarkan Laporan Dinas Kesehatan Kota Batam (2008), bahwa Kecamatan Nongsa merupakan daerah endemik malaria, karena merupakan daerah yang berada di pesisir pantai, dan tingginya aktivitas masyarakat dalam pengalian pasir yang meninggalkan tempat perindukan nyamuk Anopheles spp. Selain itu secara demografis daerah tersebut merupakan daerah nelayan dengan kondisi lingkungan perumahan yang sangat mendukung sebagai tempat perindukkan vektor malaria. Penelitian Nurdin (2005) menemukan bahwa 42,7% penduduk di Kecamatan Nongsa masih belum mengetahui tentang upaya pencegahan Malaria, dan 87,2% penderita malaria berasal dari keluarga dengan pendidikan setingkat SD.

Menurut WHO (1997), pengendalian vektor yang paling efektif adalah manajemen lingkungan, termasuk perencanaan, organisasi, pelaksanaan dan aktivitas monitoring untuk manipulasi atau modifikasi faktor lingkungan dengan maksud untuk mencegah atau mengurangi vektor penyakit manusia dan perkembangbiakan vektor patogen. Manajemen lingkungan untuk mengendalikan Anopheles spp dan mengurangi kontak vektor dengan manusia. Manajemen lingkungan perlu memusatkan pada pengurangan, perubahan, pendauran ulang kontainer dan tempat kediaman larva alami yang menghasilkan nyamuk Anopheles spp di masyarakat. Salah satu indicator keberhasilan pengendalian vektor adalah menurunnya angka indeks vektor malaria. Penurunan indeks vektor tersebut dapat dilakukan dengan berbagai upaya baik secara kimiawi seperti penggunaan larvasiding, jenis pemberantasan larva Anopheles spp dengan metode biologis maupun modifikasi lingkungan. Selain itu dapat juga dilakukan melalui peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan unsur alami dalam formulasi bahan penyemprot nyamuk menunjukkan hasil yang sangat baik. Penelitian Mulla (1991) menemukan bahwa kontrol populasi Anopheles spp dapat dilakukan secara biologis dengan menggunakan bakteri jenis Entomopathegenic Bacteria,dan hasil penelitian menunjukkan 90% sampai 95% terjadi penurunan populasi Anopheles spp selama 3 sampai 4 minggu setelah perlakukan tanpa intervensi lainnya. Menurut Sudomo dkk, (1981) dalam Blondine (2004) menjelaskan bahwa salah satu jenis bakteri pathogen yang dapat digunakan untuk mereduksi populasi

nyamuk Anopheles spp adalah dengan menggunakan Bacillus thuringiensis, dan hasil penelitian menunjukkan bakteri tersebut dapat mengendalikan A.sundaicus pada air payau di lagun pada dosis aplikasi 1,25 l/ha dan 2,5 l/ha. Penelitian Blondine (2004) di Kampung Laut Kabupaten Cilacap menunjukkan bahwa Uji efikasi formulasi liquid (cair) Bacillus.thuringiensis galor lokal yang ditumbuhkan dalam media TPB (Tryptose Phosphate Broth), terhadap larva A. sundaicus di laboratorium. Hasil yang diperoleh menunjukkan formulasi cair B.thuringiensis galor lokal dapat membunuh larva Anopheles sundaicus pada dosis 0,0085 ml/100 ml (LC50) dan 0,1000 ml/100 ml (LC90) selama 24 jam pengujian. Pada 48 jam pengujian membutuhkan dosis sebesar 0,0059 ml/100 ml (LC50) dan 0,0751 mil 100 ml (LC90) untuk membunuh larva Anopheles sundaicus. Menurut Prabowa, dkk (2005) menemukan bahwa upaya pencegahan malaria dapat dilakukan dengan peningkatan edukasi kepada masyarakat tentang malaria dan upaya pencegahannya, sedangkan upaya penurunan populasi vektor malaria dapat dilakukan melalui penggunaan biota hidup seperti ikan, dan menggunakan unsur kimia. Menurut Depkes RI (2005) bahwa Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor resiko penularan oleh vektor dengan meminimalkan habitat potensial perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor serta mengurangi kontak vektor dengan manusia. Jenis pengendalian vektor tersebut mencakup pengendalian biologis, yaitu dengan menyebarkan musuh alami seperti parasit dan predator di daerah endemis. Hasilnya tergantung pada iklim dan tidak

akan daerah tersebut disemprot dengan insektisida. Selain itu juga dapat dilakukan pengendalian secara mekanis dan pengelolaan lingkungan. Upaya pengendalian larva Anopheles spp dapat juga dilakukan melalui penggunaan larvasiding, yaitu aplikasi larvasida pada tempat perindukan potensial vektor guna membunuh /memberantaskan larva dengan menggunakan bahan kimia atau agen biologis (Depkes RI,2003) Bahan kimia yang dapat digunakan adalah Isopropyl (2E,4E)-11- Methoxy- 3,7,11-trimethyl-2,4-dodecadienoate yang terdapat dalam bahan aktif S-metophrene, dengan nama daganganya Altosit. Unsur kimia tersebut dinilai efektif mereduksi perkembangan larva nyamuk Anopheles spp, yaitu dapat menghambat pembentukan clitin, apabila larva nyamuk terkena dosis yang cukup, maka larva akan mati pada waktu menjadi pupa atau dapat menetas menjadi nyamuk tidak normal yang tidak dapat terbang (Depkes RI, 2003). Agent biologis yang dapat digunakan untuk memberantas larva nyamuk Anopheles spp adalah B.thurigiensis. B.thurigiensis ini merupakan bakteri tanah alami yang mampu membunuh larva nyamuk dalam air, dengan nama dagangnya antara lain Aquabac, Teknar, Bactimos, dan Vectobac (WHO,2006). Penggunaan larvasida tersebut dimaksudnya untuk memberantas populasi nyamuk dewasa Anopheles spp secara pada daerah-daerah endemis malaria seperi Kecamatan Nongsa untuk memutuskan mata rantai penularan malaria dan menurunkan angka kesakitan malaria.

Berdasarkan hasil uji efikasi Insektisida jenis Altosid dan Vektobac sudah terbukti dan teruji memberantas nyamuk Anopheles spp. Menurut Depkes RI (1999), bahwa kematian larva Anopheles spp pada pengamatan minggu keempat dengan dosis rendah yaitu 0,5 gr/plot berkisar 68,3%-94,4%, namun pada penambahan dosis 4,0 gr/plot menunjukkan persentase efikasi mencapai 99,3%. Hal ini memberikan gambaran bahwa jenis insektisida ini dapat digunakan untuk memberantas nyamuk Anopheles spp. Mengingat daerah Batam adalah salah satu daerah endemis malaria dan dikategorikan sebagai daerah resisten insektisida penting untuk diperhatikan jenis insektisida lain yang dinilai mampu mereduksi populasi nyamuk Anopheles spp dewasa, dan jenis altosid dengan bahan aktif S-metophrene dan vektobac dengan bahan aktifnya B.thuringienis dapat menurunkan populasi Anopheles spp dan dapat untuk diuji dan diaplikasikan pada kantong-kantong nyamuk Anopheles spp sehingga dapat menurunkan angka kesakitan malaria. Selain itu penggunaan kedua jenis larvasiding ini di daerah Batam mengingat perbedaan karakteristik daerah yang berbeda dengan daerah yang pernah dilakukan uji efikasi oleh Depkes RI tahun 1999. Penelitian Depkes RI (2004) menunjukkan bahwa penggunaan vektobac dengan bahan aktifnya B.thuringiensis israelensis dosis 500 gr/ha dan dosis 600 gr/ha menunjukkan kematian larva Anopheles spp yang terjadi pada minggu ke tujuh dan ke delapan, dan mampu membunuh 70% larva nyamuk Anopheleas spp selama 5 minggu.

Menurut Blondine (2004) penggunaan insektisida kimia secara terus menerus dan berulang untuk pengendalian vektor akan menimbulkan resistensi, pencemaran lingkungan dan matinya musuh-musuh alami. Sebagai usaha alternatif untuk mengendalikan vektor yang lebih berwawasan lingkungan, pada kurun waktu 20 tahun terakhir telah dikembangkan pengendalian vektor secara hayati. Salah satu diantaranya adalah penggunaan B.spharicus. Penggunaan B.sphaericus telah diujikan patogenisitasnya terhadap berbagai larva nyamuk di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Hasil penelitian Widyastuti (2004) bahwa penggunaan B.Sphaericus di lain daerah di Indonesia menunjukkan prospek yang baik dalam mengendalikan larva nyamuk, antara lain terhadap larva A.barbirostris di Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur dan A.hyrcanus group di Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias, efikasi B.sphaericus bertahan selama lebih kurang 4 minggu dengan persen penurunan lebih dari 70 % Penelitian Nalim, dkk (1997) telah membuktikan bahwa B.thuringiensis H-14 ternyata efektif membutuh larva nyamuk A. barbirostris dengan dosis 0,28 grm/m 2, dengan kematian rerata selama 24 jam berkisar 80-100%. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas,maka penelitian tentang perbedaan S-metophrene dan B.thuringiensis terhadap kematian larva nyamuk Anopheles spp di Kecamatan Nongsa Kota Batam menjadi penting dilakukan mengingat daerah Batam merupakan daerah endemis malaria khususnya pada desa Nongsa, sehingga hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dalam merumuskan kebijakan secara

tehnis dan operasional dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat malaria 1.2 Permasalahan Keberadaan larva nyamuk Anopheles spp dapat beresiko terhadap penularan malaria. Salah satu upaya untuk memutuskan mata rantai penularan malaria dapat dilakukan melalui pengendalian nyamuk Anopheles spp melalui pengendalian kimia dan biologis. Salah satunya adalah melalui penggunaan S-metophrene dan B.thuringiensis terhadap kematian jentk nyamuk Anopheles spp. Kedua jenis insektisida dengan dosis tertentu diduga dapat menurunkan populasi Anopheles spp, sehingga permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana perbedaan S- metophrene dan B.acillus thuringiensis terhadap kematian larva nyamuk Anopheles spp di Kecamatan Nongsa Kota Batam. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis efektivitas dan perbedaan dosis S-metophrene dan B.thuringiensis terhadap kematian larva nyamuk Anopheles spp di Kecamatan Nongsa Kota Batam.

1.4 Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah: 1. Larvasida S-metophrene berdasarkan dosis 1,0 ppm, 2,0 ppm, 3,0 ppm dan 4,0 ppm efektif menyebabkan kematian larva nyamuk Anopheles spp dengan di Kecamatan Nongsa Kota Batam. 2. Larvasida B.thuringiensis berdasarkan dosis 1,0 ppm, 2,0 ppm, 3,0 ppm, dan 4,0 ppm efektif menyebabkan di Kecamatan Nongsa Kota Batam. 1.5. Manfaat Penelitian 1. Memberikan masukan secara praktis kepada Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Kota Batam dalam merumuskan upaya strategis pengendalian vektor penyebab malaria dan penyebab penyakit lainnya sekaligus mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat malaria. 2. Menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Batam dalam mencegah dan menanggulangi kejadian malaria serta upaya modifikasi lingkungan untuk mereduksi populasi Anopheles spp. 3. Menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya.