xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola konsumsi pangan di Indonesia saat ini belum sesuai dengan pola pangan harapan ideal seperti yang tertuang dalam PPH. Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan rumusan komposisi pangan yang ideal yan g terdiri dari 57-68 persen karbohidrat, 10-13 persen protein, dan 20-30 persen lemak yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk energi dari 9 kelompok pangan (Ariani, 2003). Ketahanan pangan adalah kondisi pemenuhan kebutuhan pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah dan mutunya, aman, merata dan terjangkau. Diversifikasi pangan menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudan ketahanan pangan (Ariani, 2003). Rendahnya konsumsi hewani di Indonesia terlihat dari rendahnya konsumsi susu per kapita masyarakat Indonesia. Setiap tahun, konsumsi susu di Indonesia masih tergolong kecil, karena hanya mencapai 11,7 liter per kapita. Konsumsi susu di Indonesia masih tergolong rendah dibanding dengan beberapa negara di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia dan Vietnam, dan juga Thailand. Dari data yang diperoleh, konsumsi susu di Malaysia jauh di atas Indonesia, karena setiap tahun sudah bisa mencapai 30 liter per kapita, sedangkan Vietnam mencapai 12 liter per kapita (Anonim, 2010). 1
2 Kekurangan protein akan dapat menimbulkan berbagai akibat misalnya kwashiorkor pada anak-anak di bawah lima tahun (balita). Menurut Winarno (1974) kekurangan protein pada anak-anak usia di bawah lima tahun dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan mental dan fisik mereka jika sudah dewasa terutama perkembangan kecerdasannya. Lebih lanjut dikatakan bahwa kekurangan protein yang kronis menyebabkan kematian pada anak-anak usia di bawah lima tahun. Pada orang dewasa, kekurangan protein menyebabkan rendahnya efisiensi kerja karena fisik menjadi lemah dan daya tahan terhadap penyakit kurang, kurang inisiatif, dan menimbulkan gangguan emosi. Konsumsi protein per kapita per tahun rakyat Indonesia terbilang sangat kurang. Pada tahun 2010 konsumsi ikan 7,63 gram, daging 2,55 gram, susu dan telur 3,27 gram, dan kacang-kacangan 5,17 gram (Anonim, 2011). Beberapa tahun ini juga sering muncul kasus kelaparan dan penyakit-penyakit akibat kurang gizi. Tingkat konsumsi rakyat untuk protein masih rendah yang disebabkan oleh terbatasnya pengetahuan dan ketidakberdayaan ekonomi. Salah satu upaya untuk memenuhi kebutuhan protein adalah meningkatkan jumlah asupan protein. Sumber protein dapat diperoleh dari hewan dan tumbuhan. Sumber protein terutama nabati berasal kacangkacangan biji kecipir. Sedangkan sumber protein hewani yaitu susu, telur, dan daging. Oleh karena sumber protein hewani yang relatif mahal maka diperlukan penganekaragaman protein yang berasal dari bahan-bahan nabati,
3 misalnya berupa sari kacang-kacangan. Salah satu sumber protein yang cukup berpotensi adalah kecipir yang mempunyai kandungan protein 37,26% (Amo o et al, 2006) hampir sama dengan kedelai 46,3% (Handjani, 2001). Hampir semua bagian tanaman kecipir dapat dimanfaatkan untuk bahan pangan karena kandungan gizinya cukup tinggi. Umbinya mengandung protein 13,6%, atau sebelas kali kadar protein pada singkong (1,2%). Sementara kentang dan gadung hanya mengandung protein 2%, ubi jalar 1,8%, dan ganyong 1%. Daun kecipir mengandung protein cukup tinggi (5%), sedangkan daun kacang panj ang hanya 4,1%, daun bayam 3,5%, dan singkong 6,8%. Biji kecipir tua setara dengan kedelai. Demikian pula kandungan asam amino esensial lengkap dan kadarnya cukup tinggi (Haryoto, 1996). Pada dasarnya penelitian tentang pembuatan sari biji kecipir sudah banyak dilakukan. Namun, proses pembuatannya belum optimal karena masih banyak kendala, salah satunya pada proses pengupasan. Kulit biji kecipir sulit dilepas dari kotiledonnya karena kulit bijinya yang sangat keras dan menempel kuat pada kotiledon. Sari biji kecipir dipilih karena biji kecipir memiliki kandungan protein yang tinggi. Namun, sari biji kecipir juga mempunyai aroma langu yang disebabkan oleh adanya enzim-enzim dan senyawa-senyawa seperti lipoksigenase, saponin, hemoglutinin, antitripsin, dan beberapa zat lainnya (Suliantari dan Winiati, 1990). Enzim lipoksigenase ini juga dapat memacu oksidasi lemak sehingga mengakibatkan off flavor akibat timbulnya
4 senyawa peroksida. Untuk mengurangi bau langu yang disebabkan oleh enzim lipoksigenase tersebut, perlu dilakukan berbagai perlakuan seperti pemanasan dalam suasana basa yang dapat mengurangi separuh total aktivitas enzim. Di dalam masyarakat, pemanfaatan kecipir yaitu pada buah kecipir yang masih muda dan daunnya sebagai sayuran. Diharapkan dengan kombinasi lama blanching dan rasio biji kecipir dan air, sari biji kecipir yang dihasilkan tidak beraroma langu dan disukai panelis. Sari biji kecipir yang disukai panelis dapat dijadikan alternatif pemenuhan kebutuhan minuman selain sari kedelai dan susu sapi untuk memenuhi kebutuhan protein seluruh penduduk Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini mengusahakan pengolahan biji kecipir sebagai salah satu sumber protein nabati menjadi sari biji kecipir. 1.2 Rumusan Masalah Salah satu jenis kacang-kacangan yang dapat digunakan sebagai sumber protein nabati adalah biji kecipir. Namun demikian biji kecipir yang diproses menjadi sari biji kecipir beraroma langu. Oleh sebab itu diperlukan proses blanching untuk mengurangi aktivitas enzim lipoksigenase dan penambahan esen untuk mengurangi aroma langu.
5 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus yaitu : 1.3.1 Tujuan Umum Membuat sari biji kecipir yang disukai panelis melalui variasi lama blanching dan rasio biji kecipir dan air. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengurangi aktivitas enzim lipoksigenase dengan proses blanching. 2. Membuat sari biji kecipir dengan rasio biji kecipir dan air yang disukai. 3. Mengurangi aroma langu pada sari biji kecipir dengan penambahan esen. 4. Mengetahui kandungan protein, air, lemak, abu, karbohidrat sari biji kecipir yang disukai panelis dan membandingkan dengan persyaratan SNI sari kedelai. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengolahan kecipir menjadi sari biji kecipir terhadap kandungan protein yang terdapat di dalam sari biji kecipir dan membuat sari biji kecipir yang disukai masyarakat.