BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan sebuah upaya atau proses untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. yang dalam perkembangannya seringkali terjadi adalah ketimpangan

BAB I PENDAHULUAN. suatu perhatian khusus terhadap pembangunan ekonomi. Perekonomian suatu

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. sampai ada kesenjangan antar daerah yang disebabkan tidak meratanya

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan tersendiri dalam pembangunan manusia,hal ini karena. sistem pemerintahan menjadi desentralisasi.

BAB I PENDAHULUAN. memperbaiki struktur pemerintahan dan kualitas pembangunan nasional guna

BAB I PENDAHULUAN. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu daerah dalam jangka panjang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan alat yang digunakan untuk mencapai tujuan

BAB I PENDAHULUAN. perbedaaan kondisi demografi yang terdapat pada daerah masing-masing.

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

ABSTRAK. ketimpangan distribusi pendapatan, IPM, biaya infrastruktur, investasi, pertumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan teknologi dan serta iklim perekonomian dunia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perekonomian yang secara terus menerus tumbuh akan menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam pembangunan adalah IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Dalam. mengukur pencapaian pembangunan sosio-ekonomi suatu negara yang

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. cepat, sementara beberapa daerah lain mengalami pertumbuhan yang lambat.

BAB I PENDAHULUAN. kultural, dengan tujuan utama meningkatkan kesejahteraan warga bangsa secara

BAB I PENDAHULUAN. kondisi kesenjangan ekonomi antar wilayah dalam suatu negara.

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. untuk meningkatan pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) di tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi dalam lingkup negara secara spasial tidak selalu

I. PENDAHULUAN. Sebelum otonomi daerah tahun 2001, Indonesia menganut sistem

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan kekhasan daerah

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan dari pembangunan, namun pada

I. PENDAHULUAN. pembangunan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

I. PENDAHULUAN. pengelolaan pemerintah daerahnya, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi otonomi daerah merupakan sarana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. penduduk perkotaan dan penduduk daerah maka pemerintah membuat kebijakan-kebijakan sebagai usaha

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

BAB I PENDAHULUAN. selalu mengalami kenaikan dalam jumlah maupun kualitas barang dan jasa

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan pembangunan ekonomi tradisional. Indikator pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BADAN PUSAT STATISTIK KOTA BONTANG

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Permasalahan kemiskinan memang

I. PENDAHULUAN. dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang,

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan perkapita, atau yang biasa disebut pertumbuhan ekonomi. Indikator

PENDAHULUAN. 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

Pendapatan Regional / Product Domestic Regional Bruto

2012, No Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan L

BAB I PENDAHULUAN. (United Nations Development Programme) sejak tahun 1996 dalam seri laporan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk mengembangkan

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 96 TAHUN 2011 TENTANG DANA ALOKASI UMUM DAERAH PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA TAHUN ANGGARAN 2012

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk mencapai social welfare (kemakmuran bersama) serta

BAB I PENDAHULUAN. bersama yang diterjemahkan sebagai kesejahteraan hidup. Secara ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan daerah, dan kurang melibatkannya stakeholder di daerah. Kondisi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan, selain menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengukur keberhasilan pembangunan dan kemajuan perekonomian di

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Untuk mencapai cita-cita tersebut pemerintah mengupayakan. perekonomian adalah komponen utama demi berlangsungnya sistem

BAB I PENDAHULUAN. Menjadi UU 32/2004) tentang Pemerintah Daerah memisahkan dengan tegas

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu Provinsi di Jawa, letaknya diapit

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan penggunaan waktu (Boediono, 1999). pada intinya PDB merupakan nilai moneter dari seluruh produksi barang jadi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan perhatian utama semua negara terutama

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan dan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya terhadap

BAB 1 PENDAHULUAN. (a process of enlarging the choice of people). Indeks Pembangunan Manusia

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi. Transfer antar pemerintah tersebut bahkan sudah menjadi ciri

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang

BAB I PENDAHULUAN. finansial Pemerintah Daerah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan pembangunan yang dinilai tidak adil. Pemerintah pusat menentukan dan bertanggung jawab penuh terhadap perencanaan, penetapan prioritas pembangunan, dan implementasi pembangunan di daerah. Pemerintah daerah kurang terlibat dalam pengambilan keputusan pembangunan di daerah dan memiliki ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Sistem otonomi daerah merubah peran utama pelaksana pembangunan. Pemerintah daerah memiliki peran utama pengambilan keputusan dalam pelaksanaan pembangunan dan pengembangan daerahnya secara mandiri dengan memanfaatkan segala potensi yang dimiliki dan berorientasi pada upaya untuk memaksimalkan fungsi pemerintahan. Sistem tersebut diharapkan mampu memberikan pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan yang dilaksanakan secepat, sedekat, dan setepat mungkin dengan kebutuhan masyarakat. Tujuannya untuk mewujudkan efisiensi ekonomi dan pelayanan publik, efektifitas pelaksanaan pembangunan daerah dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, serta mencapai kesejahteraan masyarakat.

2 Penerapan sistem tatanan pemerintahan desentralistik didasarkan pada Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (revisi UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 23 Tahun 2014) dan UU Nomor 25 Tahun 1999 revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Payung hukum tersebut mengubah arah kerangka pembangunan nasional menuju pada pembangunan daerah secara merata melalui desentralisasi fiskal. Pelaksanaan desentralisasi menuntut kesiapan pemerintah daerah dalam menggunakan sumber-sumber pendapatan asli daerahnya seperti pajak dan restribusi daerah secara optimal agar terwujud kemandirian ekonomi yang lebih baik. Indonesia sebagai negara yang kaya akan pulau memiliki sumber daya alam (SDA) yang tidak merata. Ada daerah yang kaya dengan SDA tetapi ada juga daerah yang miskin dengan SDA. Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan faktor endowment seperti letak geografis dan karakteristik sumber daya manusianya (Ehtisham et al., 2002:212). Kemampuan pemerintah daerah diuji dalam mengelola proses pembangunan di wilayahnya. Pemerintah daerah dituntut mampu membuat kebijakan yang tepat dalam memacu pemerataan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, meningkatkan dan mengelola potensi keuangan daerah, serta mengoptimalkan kinerja ekonomi daerah.

3 Daerah tidak lagi sekedar menjalankan instruksi pemerintah pusat, tetapi benar-benar mempunyai keleluasaan untuk meningkatkan kreatifitas dalam mengembangkan potensi yang selama era sentralisasi dapat dikatakan terpasung (Mardiasmo, 2002:57). Kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya yang dimiliki secara efektif dan efisien. Bagi daerah-daerah yang memiliki sumber daya yang dapat diandalkan, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, kebijakan ini disambut baik, mengingat hakekat otonomi merupakan indikasi adanya kewenangan daerah bukan pendelegasian (Saragih, 2003:34). Provinsi Jawa Tengah memiliki sumber daya alam yang cukup melimpah. Kontribusi nilai ekspor Jawa Tengah terhadap total ekspor Indonesia (U$ 182.551,8 juta) sebesar 2,92 persen. Total nilai ekspor pada tahun 2013 berdasar data BPS tercatat U$ 5.326,6 juta. Dilihat secara umum pelaksanaan otonomi daerah di Jawa Tengah menunjukkan hasil yang relatif baik. Hasil tersebut dilihat dari indikator ekonomi makro dan indikator sosial. Tabel 1.1 PDRB dan PDRB perkapita Atas Dasar Harga Berlaku Povinsi Jawa Tengah Tahun 2009 2013 Rincian Satuan Rupiah Tahun 2009 2010 2011 2012 2013* (1) (2) (3) (4) (5) (6) (9) PDRB miliar 397.903,9 444.666,0 498.763,8 556.483,7 623.749,6 PDRB tanpa migas miliar 347.231,4 390.879,8 441.216,2 497.778,1 561.952,5 PDRB /kapita ribuan 12.322, 9 13.730,8 15.376,2 17.140,2 18.751,3 PDRB /kapita ribuan 10.735,3 12.069,4 13.593,6 15.332,1 16.893,5 tanpa migas Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009-2013. Keterangan :*) Angka Sementara

4 Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) tahun 2009 2013. PDRB sebagai salah satu indikator ekonomi yang menunjukkan kemampuan suatu daerah untuk menciptakan output (nilai tambah) atau memproduksi barang dan jasa pada jangka waktu tertentu. PDRB perkapita ADHB (migas maupun tanpa migas) di Provinsi Jawa Tengah selama kurun waktu tahun 2009 2013 mengalami peningkatan. PDRB ADHB perkapita dengan migas tahun 2009 mengalami peningkatan dari Rp. 12.322.889 menjadi Rp. 18.751.300,- di tahun 2013. PDRB ADHB perkapita tanpa migas berbanding lurus dengan peningkatan PDRB ADHB perkapita tanpa migas dari Rp. 10.753.584,- menjadi Rp. 16.893.541,-. Rata-rata peningkatan PDRB ADHB perkapita dengan migas selama periode tersebut sebesar Rp.1.607.103,- pertahun atau Rp. 133.925,- per bulan, sedangkan rata-rata PDRB ADHB perkapita tanpa migas lebih tinggi yaitu sebesar Rp.1.534.989,- per tahun atau Rp. 127.916,- per bulan. Pertumbuhan ekonomi pada umummnya menjadi target utama dalam proses pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi mencerminkan peningkatan kapasitas produksi atau output suatu wilayah pada jangka waktu tertentu. Indikator ini digunakan untuk mengukur kemajuan ekonomi hasil pembangunan nasional maupun regional dan sebagai dasar perencanaan pembangunan. Laju pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Tengah selama kurun 2009-2013 mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan PDRB perkapita.

5 Tabel 1.2 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah meningkat dari 5,14 persen ditahun 2009 menjadi 5,81 persen di tahun 2013, dan selama kurun waktu tersebut rata-rata laju pertumbuhan ekonomi per tahun sebesar 5,83 persen. Tabel 1.2 PDRB, PDRB perkapita dan Laju Pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 2013 (Atas Dasar Harga Konstan 2000) Rincian Satuan Rupiah Tahun 2009 2010 2011 2012 2013* (1) (2) (3) (4) (5) (6) (9) PDRB miliar 176.673,5 186.993,0 198.270,1 210.848,4 223.099,7 PDRB tanpa migas miliar 166.176,2 176.187,0 187.244,9 199.838,6 212.304,9 Pertumbuhan PDRB persen 5,14 5,84 6,03 6,34 5,81 Pertumbuhan PDRB tanpa persen 5,66 6,02 6,28 6,73 6,24 migas PDRB /kapita ribuan 5.462,2 5.773,9 6.112,9 6.494,4 6.909,3 PDRB /kapita tanpa migas ribuan 5.137,6 5.440,2 5.770,1 6.155,3 6.574,9 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2009-2013. Keterangan :*) Angka Sementara Tujuan pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan salah satu dengan mengurangi tingkat kemiskinan. Persentase penduduk miskin merupakan salah satu indikator sosial yang sering digunakan untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi daerah. Kemiskinan ditinjau dari konsep pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach) adalah ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran (BPS, 2008;29). Penduduk miskin adalah penduduk dengan tingkat pengeluaran perkapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

6 Tabel 1.3 Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2002 2013 Tahun Penduduk Miskin (1) (2) 2002 7.308.330 2003 6.979.800 2004 6.843.800 2005 6.533.500 2006 7.100.600 2007 6.557.200 2008 6.122.551 2009 5.655.412 2010 5.215.403 2011 5.256.000 2012 4.952.056 2013 4.811.343 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2002-2013. Gambar 1.1 menunjukkan perkembangan persentase penduduk miskin selama tahun 2002 2013. Persentase penduduk miskin Jawa Tengah di era otnomi daerah secara umum mengalami penurunan. Penurunan persentase penduduk miskin dari tahun 2002-2013 sebesar 8,62 persen. Gambar 1.1 Perkembangan Persentase Penduduk Miskin Provinsi Jawa Tengah Tahun 2002 2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2002-2013. Data diolah

7 Ditinjau dari indikator tingkat kesejahteraan yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) yang diperkenalkan United Nations Development Program (UNDP) pada tahun 1990 memperlihatkan adanya peningkatan kesejahteraan. Peningkatan tersebut menunjukkan adanya peningkatan perbaikan kinerja pemerintah daerah dalam pembangunan. Tabel 1.4 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2004 2013 (Metode Lama) Tahun IPM/HDI (1) (2) 2004 68,90 2005 69,80 2006 70,30 2007 70,92 2008 71,60 2009 72,10 2010 72,49 2011 72,94 2012 73,36 2013 74,05 Sumber : Badan Pusat Statisti, 2004-2013. Capaian indikator ekonomi makro dan sosial Jawa Tengah yang menunjukkan hasil relatif baik di atas belum mampu meninggalkan kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota. Grafik 1.2 menunjukkan perkembangan gini ratio Jawa Tengah tahun 2007 2013. Gini ratio yang meningkat tiap tahunnya menunjukkan sebaran distribusi pendapatan antar kabupaten/kota di Jawa Tengah yang semakin tidak merata.

8 Gambar 1.2 Perkembangan Gini Ratio Jawa Tengah Tahun 2007 2013 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2007 2013. Kesenjangan antar kabupaten/kota didukung pula dari perbandingan PDRB perkapita (ADHK non migas) antar kabupaten/kota di Jawa Tengah. Gambar 1.3 PDRB (ADHB Tanpa Migas) per Kapita menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 (Rp. 000) Sumber : Badan Pusat Statistik, 2013. Data diolah.

9 Gambar 1.3 menunjukkan dari 35 (tiga puluh lima) kab upaten/kota di Jawa Tengah, hanya 6 (enam) kabupaten/kota dengan PDRB perkapita di atas PDRB perkapita Jawa Tengah, yaitu Kota Pekalongan, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kabupaten Cilacap, Kota Semarang dan Kabupaten Kudus. Dua puluh sembilan kabupaten/kota lainnya memiliki PDRB perkapita di bawah PDRB perkapita Jawa Tengah, bahkan 6 (enam) kabupaten diantaranya memiliki PDRB perkapita kurang dari setengah PDRB perkapita Jawa Tengah. Pendapatan perkapita tertinggi (PDRB/kapita) di tahun 2013 dinikmati oleh penduduk Kabupaten Kudus sebesar Rp. 50.804.336,- per tahun sedangkan terendah hanya sebesar Rp. 6.686.036,- per tahun dinikmati oleh penduduk Kabupaten Grobogan. Penduduk Kabupaten Kudus memiliki rata-rata pendapatan sebesar Rp. 4.233.694,- per bulan sedangkan penduduk Kabupaten Grobogan hanya sebesar Rp. 557.169,- perbulan. Artinya bahwa pemerintah Kabupaten Grobogan harus dapat meningkatkan output wilayahnya sebanyak tujuh setengah kali dari output yang diproduksi sekarang agar penduduknya dapat menikmati pendapatan perkapita sebesar penduduk Kabupaten Kudus. Permasalahan kesenjangan yang terjadi tidak hanya kesenjangan pendapatan penduduk antar kabupaten/kota saja. Kesenjangan pendapatan juga terjadi antar penduduk dalam suatu kabupaten/kota itu sendiri. Gambar 1.4 menunjukkan gini ratio antar kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 2012. Kesenjangan pendapatan pada kabupaten/kota dengan tingkat pendapatan

10 perkapita tinggi lebih lebar dibanding pada kabupaten/kota dengan tingkat pendapatan perkapita rendah. Gambar 1.4 Gini Ratio Kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun 2012 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2012. Data diolah. Kebijakan anggaran belanja modal merupakan stimulan yang dapat menjadi pendorong lajunya pertumbuhan ekonomi. Besarnya belanja daerah yang berbanding lurus dengan pendapatan daerah melalui peningkatan pemberian dana perimbangan dan dana otonomi khusus serta pembiayaan daerah memberikan dua sisi mata pisau yang berbeda. Satu sisi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, namun di sisi lain akan

11 memperbesar ketimpangan antar daerah. Boediono (1985) mengingatkan bahwa pertumbuhan haruslah bersumber pada proses intern perekonomian. Perbedaan potensi sumber daya yang dimiliki oleh setiap daerah menjadikan hasil dari kinerja pembangunan antar daerah berbeda. Perbedaan tersebut berdampak pada keberhasilan pembangunan antar daerah. Kinerja ekonomi daerah yang baik dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karenanya pemerintah daerah perlu mengoptimalkan kinerja ekonomi daerahnya dengan mengembangkan program-program spesifik sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan setiap daerah sehingga kualitas pembangunan dapat ditingkatkan. B. Rumusan Masalah Ketimpangan pendapatan perkapita yang cukup lebar antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, menunjukkan bahwa kinerja perekonomian daerah belum mampu mempersempit ketimpangan pendapatan antar daerah dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yaitu pertumbuhan ekonomi yang mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Bappenas (2 008:5) menyatakan bahwa terdapat dua hal penting yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, yaitu pertama, bagaimana pemerintah melaksanakannya, dan kedua, bagaimana dampaknya di masyarakat. Merujuk pernyataan tersebut maka diperlukan suatu evaluasi dari implementasi otonomi daerah di kabupaten/kota dimana evaluasi output

12 akan difokuskan kepada aspek kepentingan utama masyarakat dalam mempertahankan hidupnya, yakni sisi ekonomi. Bappenas (2008:5) menyatakan bahwa apabila kondisi ekonomi masyarakat semakin membaik, maka secara tidak langsung hal ini berpengaruh kepada akses masyarakat terhadap pelayanan publik, baik pendidikan maupun kesehatan. Berdasarkan uraian sebelumnya permasalahan yang akan diangkat dalam studi ini adalah : 1. Bagaimana deskripsi kinerja ekonomi daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah? 2. Bagaimana pengaruh kinerja ekonomi daerah, rasio ketergantungan, ketenagakerjaan, dan desentralisasi fiskal terhadap kesejahteraan di Jawa Tengah? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan dari penelitian ini adalah : a. Mendeskripsikan perkembangan daerah dalam aspek ekonomi melalui kinerja ekonomi antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah. b. Menganalisis keterkaitan kinerja ekonomi daerah, rasio ketergantungan, ketenagakerjaan, dan desentralisasi fiskal terhadap kesejahteraan di Jawa Tengah.

13 2. Manfaat Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah : a. Bagi Pemerintah Daerah (Praktis) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang berguna dalam memahami kinerja perekonomian daerah dan faktor-faktor yang berkaitan dengan kesejahteraan sehingga diperoleh kebijakan untuk memacu kesejahteraan melalui faktor-faktornya (demografi, ketenagakerjaan dan desentralisasi fiskal). b. Bagi Pembaca (IPTEK) Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, informasi, dan referensi untuk melakukan penelitian lanjutan.