POLITIK HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI PERADILAN PEMILU DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Anna Triningsih 1 Email: mkri_annatriningsih@yahoo.com Abstrak Politik hukum adalah legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Politik hukum Indonesia dilaksanakan dengan mempedomani Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Demikian pula halnya dengan politik hukum pemilu yang berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan di bidang pemilu yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang, Pemilu adalah suatu proses untuk memilih orang-orang yang akan menduduki kursi pemerintahan. Pemilu diadakan dalam rangka mewujudkan negara yang demokratis dimana para pemimpinnya dipilih berdasarkan mayoritas suara terbanyak. Sesuai dengan Pasal 24 C UUD 1945 bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan hasil pemilu. Persoalan hukum yang muncul dari rumusan kewenangan memutus perselisihan tentang hasil pemilu adalah sejauhmana ruang lingkup kewenangan tersebut, apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara pilkada. Apakah kewenangan itu hanya memutus terkait kesalahan penghitungan suara atau juga terkait dengan keseluruhan proses penyelenggaraan Pemilu. Berdasarkan konstruksi normatif yang terdapat dalam beberapa UU dan Peraturan Mahkamah Konstitusi, dapat diketahui bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan tentang hasil Pemilu dikonstruksikan sebagai kewenangan untuk memutus jika ada yang keberatan atau perbedaaan pendapat mengenai hasil Pemilu antara penyelenggara Pamilu dan peserta Pemilu. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena kesalahan penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU sehingga mempengaruhi hasil Pemilu. Karena itu apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan, Mahkamah Konstitusi memutuskan perhitungan yang benar berasal dari penghitungan pemohon atau Mahkamah Konstitusi menetapkan sendiri penghitungan yang benar itu. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili sengketa PHPU adalah peradilan untuk memeriksa apakah terjadi kesalahan penghitungan suara atau tidak, dan apakah kesalahan penghitungan suara itu dapat mempengaruhi hasil Pemilu. Hal inilah yang akan menjadi dasar Mahkamah Konstitusi memutus permohonan dan menetapkan penghitungan pemohon sebagai penghitungan yang benar atau 1 Penulis adalah Peneliti Muda pada Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, Pengelolaan Teknologi Informasi dan Komunikasi, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 144
Mahkamah Konstiusi melakukan penghitungan sendiri, atau Mahkamah Konstitusi menyatakan penghitungan oleh KPU sudah benar. Kata Kunci: Politik Hukum, Mahkamah Konstitusi, Peradilan Pemilu Pendahuluan Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk. Dalam tulisannya yang lain, Padmo Wahjono memperjelas definisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang didalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. 2 Selanjutnya oleh Satjipto Rahardjo, Politik hukum diartikan sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Dalam studi politik hukum terdapat beberapa hal mendasar, sebagai berikut: 1). Tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada?; 2). Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; 3). Kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan?; 4). Dapatkah dirumuskan suatu pola baku yang mapan yang bisa membantu kita memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut? Termasuk didalamnya proses untuk memperbarui hukum secara efisien, dengan perubahan total atau dengan perubahan bagian demi bagian? 3 Politik hukum nasional menurut Abdul Hakim Garuda secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh suatu pemerintahan negara tertentu. Politik hukum nasional meliputi: 1) pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada secara konsisten; 2). Pembangunan hukum yang intinya adalah pembaruan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan dianggap usang dan penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat; 3).penegasan fungsi lembaga penegak atau pelaksana hukum; 4). Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan. 4 2 Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 160, sebagaimana dikutip oleh Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-6, 2014, hlm.1. 3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 358. 4 Senada dengan hal tersebut Lawrence M. Friedman menyebut 3 elemen dalam sistem hukum yaitu Legal Substance (substansi), legal structure (struktur), dan legal culture (budaya hukum). Friedman menambahkan bahwa, bagaimanapun baiknya norma hukum suatu undang undang, tanpa didukung penegak hukum yang handal dan dipercaya serta budaya masyarakat, hukum tidak akan efektif mencapai tujuannya. Sebaliknya, aparat hukum yang handal dan budaya masyrakat yang baik, hukumnya juga tidak akan efektif bila tidak didukung oleh norma hukum yang baik dan berkualitas. Sejalan dengan pendapat Friedman, Bagir Manan pun mengemukakan bahwa sistem hukum setidaknya mencakup 3 subsistem penting yaitu (1). Subsistem penciptaan atau pembentukan hukum; (2). Subsistem yang berkaitan dengan isi atau materi hukum, baik berupa asas-asas hukum maupun kaidah-kaidah hukum; (3). Subsistem 145
Dari berbagai definisi mengenai politik hukum tersebut, dengan mengambil substansinya yang ternyata sama, Mahfud MD mengemukakan bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum atau pembaharuan hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). 5 Adapun sebagai dasar politik hukum nasional Indonesia meliputi Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber hukum berkenaan dengan Sistem pemerintahan negara dimana Negara Indonesia adalah negara hukum. Politik hukum nasional dilaksanakan dengan mempedomani Pancasila dan UUD 1945 termasuk juga batang tubuh UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip politik hukum nasional. Politik hukum nasional haruslah mengandung mutiara-mutiara tertib hukum stimulan pembangunan di segala bidang dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Demikian pula halnya dengan politik hukum pemilu yang berarti usaha mewujudkan peraturan perundangundangan di bidang pemilu yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. 6 Hal ini terlihat dalam kurun lima tahun sekali, DPR dan Pemerintah selalu membentuk Undang-Undang baru untuk pelaksanaan Pemilu. Baik untuk Pemilu Legislatif maupun Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hanya pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 lalu terdapat pengecualian karena DPR dan Pemerintah tidak membentuk Undang-Undang baru. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009 tetap digunakan untuk pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014. Dalam kaitannya dengan pembaharuan hukum Pemilu yang demikian, kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Pemilu menempati posisi penting. Oleh karena itu, isu sentral yang akan dibahas adalah mengenai politik hukum pemilu serta ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Pemilu memutus sengketa Pemilu. Hasil dan Pembahasan Politik Hukum Pemilu dan Implementasinya Pemilihan Umum atau disingkat Pemilu adalah suatu proses untuk memilih orang-orang yang akan menduduki kursi pemerintahan. Pemilu diadakan dalam rangka penerapan hukum dan penegakan hukum. Lihat I Gde Pantja Astawa, Suprin Na a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Bandung: Alumni, 2008, hlm. 43. 5 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-6, 2014, hlm.2. Lihat juga Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: Rajagrafindo Persada, Cetakan ke-3, 2012, hlm.5. 6 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm.109 146
mewujudkan negara yang demokratis dimana para pemimpinnya dipilih berdasarkan mayoritas suara terbanyak. Tujuan dilaksanakannya Pemilu tentu searah dengan tujuan politik hukum nasional yang dilaksanakan dengan mempedomani Pancasila dan UUD 1945 termasuk juga batang tubuh UUD 1945 yang memuat prinsip-prinsip politik hukum nasional. Tujuan utama Pemilu adalah memilih wakil-wakil rakyat untuk duduk didalam permusyawaratan rakyat; memilih wakil-wakil rakyat untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia; memilih wakil-wakil rakyat untuk mempertahankan dasar falsafah negara Republik Indonesia yaitu Pancasila; memilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar akan mendengar hati nurani rakyat. Dalam Pemilu, para pemilih disebut sebagai konstituen dan kepada konstituen-lah para peserta Pemilu menawarkan jani-janji dan program-programnya pada masa kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan jelang hari pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan suara dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh peserta dan disosialisasikan kepada pemilih. Undang- Undang mengenai Pemilu selalu disesuaikan dengan kebutuhan masanya. Untuk itulah dalam kurun waktu lima tahun sekali, DPR dan Pemerintah selalu membentuk Undang- Undang baru untuk pelaksanaan Pemilu. Baik untuk Pemilu Legislatif maupun Undang- Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Hanya pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014 lalu terdapat pengecualian karena DPR dan Pemerintah tidak membentuk Undang-Undang baru. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009 tetap digunakan untuk pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2014. Dalam pelaksanaan Pemilu, ada yang terpilih sebagai pemenang dan ada pihak yang kalah. Jika pihak yang kalah mengakui kemenangan pihak pemenang tanpa ada kecurigaan maka tidak ada masalah. Namun yang seringkali terjadi adalah pihak yang kalah merasa tidak puas atas penghitungan suara sehingga mengakibatkan kekalahan dan untuk mencari keadilan, pihak yang kalah mengajukan protes atau keberatannya terhadap penyelenggara Pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum. Disinilah kemudian hadir Mahkamah Konstitusi sebagai tempat untuk memutus sengketa pemilu tersebut. Dalam perkembangan hukum Pemilu, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 yang mengisyaratkan pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara serentak. Artinya untuk pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang, pemilihan anggota Dewan akan dilaksanakan bersamaan dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Peran Mahkamah Konstitusi Sebagai Peradilan Pemilu Pasca Amandemen sebanyak 4 (empat) kali terhadap UUD 1945 yang berlangsung dari Tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 yang dilatarbelakangi oleh kehendak untuk menciptakan suatu pemerintahan yang demokratis, maka sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini pun mengalami beberapa perubahan yang fundamental. Salah satu wujud perubahan yang didasari kehendak untuk menciptakan 147
suatu pemerintahan yang demokratis adalah lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan yang dibentuk dengan tujuan untuk menjaga pelaksanaan nilai-nilai konstitusi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Lahirnya Mahkamah Konstitusi juga merupakan jawaban atas keinginan agar lembaga yudisial dapat melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang sebelumnya tidak dapat dilakukan. 7 Dari rumusan Pasal 24C UUD 1945, kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak hanya berupa pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, akan tetapi terdapat kewenangan lainnya yang berhubungan erat dengan masalah-masalah politik dan ketatanegaraan seperti memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus masalah pembubaran partai politik, menangani dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya,atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Dalam perkembangannya, peranan Mahkamah Konstitusi terkait dengan masalah politik menjadi sangat penting. Hal ini mengingat jumlah penanganan perkara perselisihan hasil pemilu sampai saat ini merupakan perkara yang paling banyak diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Dalam Pemilu 2014, terdapat 702 kasus mengenai perselisihan hasil pemilu legislatif yang dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi. 8 Jika dibandingkan dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan judicial review, maka dapat dikatakan bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan hasil pemilu jauh lebih banyak dan sering dimohonkan kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, mempunyai peranan penting untuk menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945. 9 Mahkamah Konstitusi berwenang menerima dan memutus permohonan yang diajukan secara tertulis mengenai: (a). Pengujian undang-undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b). Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (c). Pembubaran partai politik; 7 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hlm. 74. 8 Abdurrahman Satrio, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus PHPU sebagai Bentuk Judicialization of Politics, Jurnal Mahkamah Konstitusi Vol. 12 Nomor 1 Maret, 2015, hlm. 119. 9 Pasal 1 angka 1 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No.8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 148
(d). Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; (e). Pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,tindak pidana berat lainnya,atau perbuatan tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketentuan Pasal 24 C UUD 1945 tersebut telah merumuskan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan hasil pemilu. Mengenai kewenangan memutus perkara PHPU selanjutnya dijabarkan dalam berbagai UU, baik UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi dan UU lain yang terkait seperti UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU yang mengatur Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Persoalan hukum yang muncul dari rumusan kewenangan memutus perselisihan tentang hasil pemilu adalah sejauhmana ruang lingkup kewenangan tersebut, apalagi jika dikaitkan dengan perkembangan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara PHPU. Apakah kewenangan itu hanya memutus terkait kesalahan penghitungan suara atau juga terkait dengan keseluruhan proses penyelenggaraan Pemilu. Pada awal pembentukan Mahkamah Konstitusi, ruang lingkup kewenangan ini dipahami hanya meliputi perselisihan hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh penyelenggara Pemilu yang mempengaruhi perolehan kursi atau terpilih tidaknya calon. Perselisihan dibatasi pada persoalan kesalahan penghitungan yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu sehingga merugikan peserta Pemilu tertentu. Hal ini, misalnya dikemukakan oleh I Dewa Gede palguna bahwa kewenangan Mahkamah Konstituisi adalah berkenaan dengan kekeliruan penghitungan suara yang ditetapkan secara nasional, sepanjang memperngaruhi terpilihnya calon atau pasangan calon, atau mempengaruhi perolehan kursi partai politik. 10 Didalam pembahasan perubahan UUD 1945 yang melahirkan lembaga Mahkamah Konstitusi, tidak terdapat pembahasan atau perdebatan mengenai ruang lingkup kewenangan memutus perkara PHPU. Hal ini karena kewenangan memutus perkara PHPU merupakan kewenangan yang diusulkan untuk diberikan kepada Mahkamah Konstitusi pada akhir pembahasan setelah disepakati pembentukan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan memutus perkara PHPU semula akan dirumuskan sebagai kewenangan lain yang diberikan Undang-Undang. Namun demikian, dalam pembahasan tersebut tidak terdapat pendapat yang membatasi ruang lingkup kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus perkara PHPU adalah hanya pada 10 I.D.G. Palguna, Mahkamah Konstitusi Dalam Transisi Demokrasi Indonesia dalam Rofiqul-Umam Ahmad dkk, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer: Pemikiran Prof.Jimly Ashshiddiqie dan Para Pakar Hukum, Biography Institute, Jakarta, 2007, hlm. 400 149
persoalan hasil penghitungan suara karena kesalahan penghitungan yang dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu. 11 Mengenai masalah tidak terdapatnya pembahasan atau perdebatan mengenai pembatasan kewenangan memutus perkara PHPU didalam UUD 1945, menurut Janedjri M. Gaffar, sesungguhnya hal ini sesuai dengan landasan pemikiran pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi yang fungsi utamanya adalah mengawal konstitusi dalam semua perkara yang menjadi kewenangannya. Karena itu, kewenangan memutus perkara perselisihan tentang hasil Pemilu sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 24 C Ayat (1) UUD 1945 pada hakikatnya adalah perkara memutus konstitusinalitas penyelenggaraan Pemilu. Adapun aspek objek permohonan yang mempengaruhi hasil Pemilu terdapat dalam ketentuan Pasal 74 UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagai berikut: Permohonan hanya dapat diajukan terhadap penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi: a. Terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah; b. Penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; c. Perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan; Sejalan dengan hal tersebut diatas mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terkait dengan hasil penghitungan suara juga terdapat dalam beberapa aturan sebagai berikut: Pasal 68 UU Nomor 24 Tahun 2003 menyebutkan: (1). Terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan keberatan hanya oleh Pasangan Calon kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU. (2). Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan calon; Pasal 106 UU Nomor 32 Tahun 2004; (1). Keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah; (2). Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berkenaan dengan hasil suara yang mempengaruhi terpilihnya Pasangan calon; 11 Janedjri M. Gaffar, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, KonPress, Jakarta, 2015, hlm. 53 150
Pasal 258 UU Nomor 10 Tahun 2008; (1). Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional; (2). Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi suara Pemilu; Pasal 201 UU Nomor 42 Tahun 2008 (1). Terhadap penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dapat diajukan keberatan hanya oleh Pasangan Calon kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU (2). Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya terhadap hasil penghitungan suara yang mempengaruhi penentuan terpilihnya Pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 271 UU Nomor 8 Tahun 2012: (1). Perselisihan hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan Peserta Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional; (2). Perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara yang dapat mempengaruhi perolehan kursi suara Pemilu; Sementara itu, ketentuan mengenai ruang lingkup kewenangan MK adalah pada kesalahan penghitungan suara terdapat dalam Pasal 75 UU Nomor 24 Tahun 2003 sebagai berikut: Dalam permohonan yang diajukan pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang: a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum dan hasil pengjitungan yang benar menurut pemohon; b. Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh Komisi Pemioihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon; Selain itu, penekanan aspek hasil penghitungan suara jug aterdapat dalam Pasal 77 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 yang menyatakan jika Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan, Mahkamah Konstitusi menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU dan menetapkan penghitungan yang benar. Aspek kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU sebagaimana diatur dalam pasal 75 UU Nomor 24 Tahun 2003 juga terdapat didalam Pasal 6 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 14 Tahun 2008, Pasal 6 PMK Nomor 151
15 Tahun 2008 dan Pasal 4 PMK Nomor 17 Tahun 2009. Berdasarkan konstruksi normatif yang terdapat dalam beberapa UU dan Peraturan Mahkamah Konstitusi, dapat diketahui bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan tentang hasil Pemilu dikonstruksikan sebagai kewenangan untuk memutus jika ada yang keberatan atau perbedaaan pendapat mengenai hasil Pemilu antara penyelenggara Pamilu dan peserta Pemilu. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena kesalahan penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU sehingga mempengaruhi hasil Pemilu. Karena itu apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan, Mahkamah Konstitusi memutuskan perhitungan yang benar berasal dari penghitungan pemohon atau Mahkamah Konstitusi menetapkan sendiri penghitungan yang benar itu. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili sengketa PHPU adalah peradilan untuk memeriksa apakah terjadi kesalahan penghitungan suara atau tidak, dan apakah kesalahan penghitungan suara itu dapat mempengaruhi hasil Pemilu. Hal inilah yang akan menjadi dasar memutus oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan dan menetapkan penghitungan pemohon sebagai penghitungan yang benar atau Mahkamah Konstiusi melakukan penghitungan sendiri, atau Mahkamah Konstitusi menyatakan penghitungan oleh KPU sudah benar. 12 Berdasarkan hal tersebut diatas, maka Mahkamah Konstitusi memiliki peranan pada satu tahapan Pemilu saja yaitu terkait penghitungan suara dan penetapan hasil yang merupakan tahapan akhir Pemilu. Sedangkan untuk tahapan Pemilu yang lain, Mahkamah Konstitusi sama sekali tidak berperan. 13 Oleh karena itu, diawal pembentukan Mahkamah Konstitusi, kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus perkara PHPU dikatakan sebagai peradilan matematis karena memeriksa dan memutus hasil penghitungan suara. Konstruksi normatif kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan matematis yang memeriksa dan memutus hasil penghitungan suara, menurut Janedjri M. Gaffar, memiliki kelemahan, jika dikaitkan dengan upaya mewujudkan Pemilu yang demokratis, fungsi Mahkamah Konstitusi serta perspektif hukum Progresif. Pertama, Pemilu memiliki berbagai kompinen yang saling terkait dan diwujudkan dalam tahapan-tahapan penyelenggaraan Pemilu (electoral process) mulai awal sampai akhir. Di setiap komponen dan tahapan dapat terjadi pelanggaran atau kecurangan yang mempengaruhi kualitas Pemilu atau menciderai demokrasi dalam Pemilu. Setiap pelanggaran akan memiliki dampak berantai terhadap tahapan selanjutnya dan pada akhirnya mempengaruhi hasil Pemilu. Kesalahan atau kecurangan yang menciderai pemilu tidak hanya dapat terjadi dalam proses penghitungan suara, tetapi dapat juga, bahkan lebih banyak terjadi pada tahap sebelum penghitungan suara. Karena itu konstruksi yang membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya terkait dengan hasil penghitungan suara atau kesalahan penghitungan suara tidak sejalan dengan prinsip Pemilu yang demokratis. 12 Janedjri M. Gaffar, hlm. 65 13 Dalam rangkaian tahapan Pemilu, yang berperan adalah KPU, Bawaslu, Sentra Gakumdu (Kepoisian dan Kejaksaan) dalam hal terdapat pelanggaran tindak pidana Pemilu. 152
Kedua, dalam perspektif teoritis normatif dan historis, argumentasi yang melatarbelakangi pembentukan Mahkamah Konstitusiadalah untuk menegakkan norma dasar yang ada di dalam Konstitusi. Karena itu, disebut sebagai Mahkamah (Peradilan) Konstitusi (Constitusional Court). Latar belakang itu juga membawa konsekuensi pada fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitutions) dan penafsir akhir konstitusi (the interpreter of constitution). Fungsi tersebut dijalankan melalui kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi. Konsekuensinya, semua proses peradilan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstutusiharus ditempatkan sebagai peradilan konstitusi, yaitu memeriksa, mengadili dan memutus konstitusionalitas suatu perkara dengan menjadikan konstitusi sebagai ukuran utama. Dengan demikian, dalam perkara PHPU sudah seharusnya kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memeriksa, mengadili dan memutus konstitusionalitas penyelenggaraan Pemilu. Artinya Mahkamah Konstitusi memeriksa, mengadili dan memutus apakah Pemilu yang dilaksanakan sudah sesuai dengan aturan dasar dalam konstitusi atau tidak, termasuk memenuhi prinsip demokrasi, prinsip nomokrasi dan asas-asas Pemilu yang telah ditentukan dalam Konstitusi. Hal ini tidak akan dapat dijalankan pada saat kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara PHPU dikonstruksikan secara terbatas sebagai kewenangan memutus kesalahan penghitungan suara yang mempengaruhi hasil Pemilu. Ketiga, pada saat peradilan PHPU telah dikonstruksikan sebagai peradilan matematis, Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman akan terbelenggu dan tidak dapat menjalankan fungsinya menegakkan hukum dan keadilan. Jika hanya memeriksa, mengadili, dan memutus penghitungan suara hasil Pemilu, Mahkamah Konstitusi tidak dapat bergerak jika terjadi pelanggaran pada tahapan sebelumnya yang nyata-nyata melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusionalitas warga negara, bertentangan dengan prinsip demokrasi, prinsip nomokrasi, dan asas-asas pemilu, serta mempengaruhi hasil Pemilu. Mahkamah Konstitusi tidak dapat diharapkan menegakkan keadilan dan demokrasi substantif. Kesimpulan Berdasarkan konstruksi normatif yang terdapat dalam beberapa UU dan Peraturan Mahkamah Konstitusi, dapat diketahui bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan tentang hasil Pemilu dikonstruksikan sebagai kewenangan untuk memutus jika ada yang keberatan atau perbedaaan pendapat mengenai hasil Pemilu antara penyelenggara Pamilu dan peserta Pemilu. Perbedaan pendapat tersebut terjadi karena kesalahan penghitungan suara yang dilakukan oleh KPU sehingga mempengaruhi hasil Pemilu. Karena itu apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan, Mahkamah Konstitusi memutuskan perhitungan yang benar berasal dari penghitungan pemohon atau Mahkamah Konstitusi menetapkan sendiri penghitungan yang benar itu. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi yang memeriksa dan mengadili sengketa PHPU adalah peradilan untuk memeriksa apakah terjadi kesalahan penghitungan suara atau tidak, dan apakah kesalahan penghitungan suara itu 153
dapat mempengaruhi hasil Pemilu. Hal inilah yang akan menjadi dasar memutus oleh Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan dan menetapkan penghitungan pemohon sebagai penghitungan yang benar atau Mahkamah Konstiusi melakukan penghitungan sendiri, atau Mahkamah Konstitusi menyatakan penghitungan oleh KPU sudah benar. Daftar Pustaka Abdurrahman Satrio, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Memutus PHPU sebagai Bentuk Judicialization of Politics, Jurnal Mahkamah Konstitusi Vol. 12 Nomor 1 Maret, 2015; I Gde Pantja Astawa, Suprin Na a, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-undangan di Indonesia, Alumni, Bandung, 2008; Janedjri M. Gaffar, Hukum Pemilu Dalam Yurisprudensi Mahkamah Konstitusi, KonPress, Jakarta, 2015 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-6, 2014. ----------------, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, PT.Rajagrafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-3, 2012; ----------------, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011. Rofiqul-Umam Ahmad dkk, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer: Pemikiran Prof.Jimly Ashshiddiqie dan Para Pakar Hukum, Biography Institute, Jakarta, 2007, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006; Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981 Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No.8 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 154