BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan penganggaran pada dasarnya mempunyai manfaat yang sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. Siklus pengelolaan keuangan daerah merupakan tahapan-tahapan yang

pemerintahan lokal yang bersifat otonomi (local outonomous government) sebagai

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kerja pengelolaan pemerintahan, Indonesia dibagi menjadi daerah kabupaten dan. sendiri urusan pemerintahan dan pelayanan publik.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

Lampiran 1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita Menurut Kabupaten/Kota Atas Dasar Harga Konstan (Rupiah)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB I PENDAHULUAN. untuk tempat tinggal dan berlindung. Namun seiring dengan perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 34 provinsi yang kini telah tumbuh menjadi beberapa wacana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tentang situasi manajemen tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

SUATU TINJAUAN KEBIJAKAN ALOKASI BELANJA 3 (TIGA) BIDANG UTAMA (SOSIAL BUDAYA, INFRASTRUKTUR, EKONOMI) UNTUK 25 KABUPATEN DAN KOTA PADA RAPBD TA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. II.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

Sejak tahun 2008, tingkat kemiskinan terus menurun. Pada 2 tahun terakhir, laju penurunan tingkat kemiskinan cukup signifikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989) sebagai berikut.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi suatu daerah pada dasarnya merupakan kegiatan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada era keterbukaan sekarang ini maka reformasi sektor publik yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan atas pertimbangan

Lampiran 1 REALISASI DANA ALOKASI UMUM (DAU) KABUPATEN / KOTA PROVINSI SUMATERA UTARA (Tabulasi Normal dalam Rupiah) TAHUN

Lampiran 1. Tabel Daftar Pemerintahan Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007:23), keuangan daerah dapat diartikan

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan Pembangunan Nasional, sebagaimana diamanatkan dalam. Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Landasan Teori. Dalam Bab ini akan dibahas lebih jauh mengenai Dana Alokasi Umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi sehingga dapat menggambarkan bagaimana kemajuan atau kemunduran yang

BAB III PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DALAM PRAKTEK

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pengelolaan keuangan daerah sejak tahun 2000 telah mengalami era baru,

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk mengelola keuangannya sendiri. Adanya otonomi daerah menjadi jalan bagi

BAB II KAJIAN PUSTAKA, RERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS. 1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Agency problem muncul ketika

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peningkatan kesejahteraan (Tambunan, 2009 : 44). Proses pembangunan ekonomi

Provinsi Sumatera Utara: Demografi

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

Disampaikan Oleh: SAUT SITUMORANG Staf Ahli Mendagri Bidang Pemerintahan

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, bentuk

M. Wahyudi Dosen Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi UNISKA Kediri

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Pembangunan di bidang ekonomi ini sangat penting karena dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN. merupakan salah satu unsur belanja langsung. Belanja modal merupakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output perkapita diproduksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengelolaan Keuangan Daerah Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 105 Tahun 2000, tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, yang dimaksud dengan keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah. Selanjutnya dalam pasal 4 dan 5 disebutkan bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu.. Pengelolaan keuangan daerah berarti mengurus dan mengatur keuangan daerah itu sendiri berdasarkan pada prinsip-prinsip menurut Devas, dkk (1989), yaitu sebagai berikut : 1. Tanggung jawab (accountability) Pemerintah daerah harus mempertanggungjawabkan keuangannya kepada Pemerintah Pusat, DPRD, Kepala Daerah dan masyarakat umum. 2. Mampu memenuhi kewajiban keuangan Keuangan Daerah harus ditata dan dikelola sedemikian rupa sehingga mampu melunasi semua kewajiban atau ikatan keuangan baik jangka 9

pendek, jangka panjang maupun pinjaman jangka panjang pada waktu yang telah ditentukan. 3. Kejujuran Hal-hal yang menyangkut pengelolaan keuangan daerah pada prinsipnya harus diserahkan kepada pegawai yang benar-benar jujur dan dapat dipercaya. 4. Hasil Guna (effectiveness) dan daya guna (efficiency) Pengelolaan keuangan daerah yang direncanakan dan dilaksanakan dengan biaya yang serendah-rendahnya dan dalam waktu yang sesingkatsingkatnya untuk mencapai tujuan pemerintah daerah. 5. Pengendalian Aparatur pengelolaan keuangan daerah, DPRD dan petugas pengawasan harus melakukan pengendalian agar semua tujuan tersebut dapat tercapai. 2.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Salah satu aspek penting dari pemerintah daerah adalah masalah pengelolaan keuangan dan anggaran daerah. Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan instrument kebijakan yang menduduki posisi sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah (Mardiasmo dalam Dasril, et al, 2004 ). Peran anggaran daerah dalam penentuan arah dan kebijakan Pemerintah Daerah tidak terlepas dari kemampuan anggaran tersebut dalam mencapai tujuan Pemerintah Daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik. Pada hakekatnya, anggaran daerah merupakan instrument kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk meningkatkan pelayanan 10

umum dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah dan DPRD harus berupaya secara nyata dan terstruktur guna menghasilkan APBD yang mencerminkan kebutuhan riil masyarakat sesuai dengan potensi daerah masing-masing serta dapat memenuhi tuntutan terciptanya anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah merupakan suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. Dengan demikian, maka APBD berfungsi sebagai wadah untuk menampung berbagai kepentingan publik (public accountability) yang diwujudkan melalui berbagai kegiatan dan program dimana pada saat tertentu manfaatnya benar-benar akan dapat dirasakan oleh masyarakat (Bana dalam Dasril, et al, 2004). Proses penyusunan APBD diawali dengan : 1. Penentuan perkiraan target penerimaan daerah 2. Penentuan rencana anggaran belanja rutin 3. Penentuan rencana anggaran belanja pembangunan Selanjutnya hasil rancangan rencana anggaran yang telah disusun secara terpadu diajukan kepada Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan, kemudian disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pengajuan kepada DPRD ini dalam bentuk Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) guna dibahas dan disetujui oleh DPRD, sehingga penetapannya dapat dituangkan di dalam peraturan daerah (Perda). 11

2.3 Struktur APBD Dengan dikeluarkannya kebijakan otonomi derah, maka akan membawa konsekuensi terhadap berbagai perubahan dalam keuangan daerah, termasuk terhadap struktur APBD. Sebelum UU Otonomi Daerah dikeluarkan, struktur APBD yang berlaku adalah anggaran yang berimbang dimana jumlah penerimaan atau pendapatan sama dengan jumlah pengeluaran atau belanja. Kini struktur APBD mengalami perubahan, bukan lagi anggaran berimbang, tetapi disesuaikan dengan kondisi keuangan daerah. Artinya, setiap daerah memiliki struktur APBD sesuai dengan kapasitas keuangan atau pendapatan masing-masing daerah. Struktur APBD berdasarkan PP Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah terdiri atas sebagai berikut : 1. Pendapatan Daerah 2. Belanja daerah 3. Pembiayaan 2.4 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Berdasarkan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka 18, yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber yang dimiliki daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Menurut Halim (2004) mengenai pengertian Pendapatan 12

Asli Daerah (PAD) yaitu pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, yang dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Ahmad Yani (2008), mengemukakan bahwa pendapatan asli daerah yaitu pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan pendapatan lain asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi. Adapun sumber-sumber Pendapatan Asli daerah (PAD) yaitu : 1. Pajak daerah Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Pajak daerah sebagai salah satu sumber pandapatan yang dominan bagi daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, daerah mampu mewujudkan tujuan pelaksanaan otonomi 13

daerah, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya secara mandiri. 2. Retribusi daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali potensi sumbersumber keuanggannya sendiri dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. 3. Hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan hasil yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan yang terpisah dari pengelolaan APBD. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan ini mencakup : a. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/badan Usaha Milik Daerah (BUMD). b. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/ Badan Usaha Milik Negara (BUMN). c. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat. 14

4. Lain-lain PAD yang sah Lain-lain PAD yang sah merupakan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan. Lain-lain PAD yang sah terdiri dari : a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan b. Jasa giro c. Pendapatan bunga d. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah e. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah f. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing g. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan h. Pendapatan denda pajak i. Pendapatan denda retribusi j. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan k. Pendapatan dari pengembalian l. Fasilitas sosial dan fasilitas umum m. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan n. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan 15

2.5 Dana Alokasi Umum (DAU) Sesuai dengan penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah, maka Provinsi dan kabupaten serta kota masing-masing memperoleh Dana Alokasi Umum yang jumlahnya berbeda-beda sesuai dengan kapasitas fiskal tiap-tiap daerah. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah alokasi dana dari pemerintah pusat kepada daerah yang bersifat umum (block grants) dan berfungsi sebagai instrument penyeimbang fiskal antardaerah. Hal ini disebabkan tidak semua daerah memiliki struktur dan kemampuan fiskal yang sama (horizontal fiscal imbalance). Masing-masing daerah memiliki perbedaan luas wilayah, jumlah penduduk, potensi sumber daya, kondisi dan kekayaan alam, dan sebagainya sehingga kemampuan fiskal atau keuangan antardaerah berbeda-beda. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Nomor 25 Tahun 1999, DAU ditetapkan minimal 25% dari penerimaan dalam negeri APBN setiap tahun. 90% dari 25% DAU tersebut dialokasikan kepada seluruh kabupaten dan kota, sedangkan sisanya 10% dari 25% DAU dialokasikan untuk pemerintah tingkat provinsi. Kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum diukur secara berturut-turut berdasarkan : 1. Jumlah penduduk Jumlah penduduk merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap daerah. 2. Luas wilayah Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah. 16

3. Indeks kemahalan kontruksi Indeks kemahalan kontruksi merupakan cerminan tingkat kesulitan geografis yang dinilai berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara relatif antar daerah. 4. Produk domestik regional bruto per kapita Produk domestik regional bruto per kapita merupakan cerminan potensi dan aktivitas perekonomian suatu daerah yang dihitung berdasarkan total seluruh output produksi kotor dalam suatu wilayah. 5. Indeks Pembangunan Manusia Indeks Pembangunan Manusia merupakan variabel yang mencerminkan tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan. 2.6 Dana Alokasi Khusus (DAK) Dana Alokasi Khusus merupakan bagian dari dana perimbangan sesuai dengan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dana Alokasi Khusus adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional (Ahmad Yani, 2008). Daerah tertentu yang dimaksud adalah daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK. Dengan demikian, tidak semua daerah memperoleh alokasi DAK. DAK dialokasikan untuk membantu daerah mendanai kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar yang merupakan prioritas nasional di 17

bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur (jalan, irigasi, dan air bersih), kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintah daerah, serta lingkungan hidup. Kriteria umum pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau di bawah rata-rata nasional. Sedangkan kriteria khusus pengalokasian DAK memperhatikan daerah-daerah tertentu yang memiliki karakteristik dan/atau berada di wilayah : 1. Provinsi Papua yang merupakan daerah otonomi khusus. 2. Daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan Negara lain, daerah tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk kategori ketahanan pangan, dan daerah pariwisata. 3. Daerah rawan banjir/longsor, daerah penampung transmigrasi, daerah yang memiliki pulau-pulau kecil terdepan, daerah yang alokasi DAUnya dalam tahun 2007 tidak mengalami kenaikan, daerah rawan pangan dan/atau kekeringan, daerah pascakonflik, daerah penerima pengungsi. 2.7 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi menggambarkan peningkatan kegiatan ekonomi yang ditandai dengan kenaikan riil dari produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam suatu tahun tertentu (Sadono Sukirno, 2006). Tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari perolehan Produk Domestic Regional Bruto (PDRB). Terjadinya peningkatan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah ditandai dengan peningkatan pendapatan perkapita masyarakatnya. Sehingga mendorong terjadinya kenaikan terhadap pendapatan daerah dari hasil 18

pajak. Dengan meningkatnya pendapatan daerah, maka pemerintah daerah dapat membiayai pembangunan dan perbaikan infrastruktur perekonomian. Syarat penting yang akan mewujudkan pertumbuhan ekonomi adalah tingkat pengadaan modal yang sebanding dengan pertumbuhan penduduk. Melalui pembangunan dan perbaikan infrastruktur diharapkan dapat memicu pertumbuhan ekonomi daerah sehingga mampu mewujudkan pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan. Berikut ini adalah perolehan Produk Domestic Regional Bruto (PDRB) kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 : 19

Tabel 2.1 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Menurut Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Utara (Miliar rupiah) Kabupaten/Kota 2010 2011 2012 2013 Kab. Asahan 5 389,83 5 679,51 5 995,60 6 345,25 Kab. Dairi 2 050,67 2 158,86 2 276,25 2 400,45 Kab. Deli Serdang 14 516,73 15 389,01 16 322,03 18 409,80 Kab. Tanah Karo 3 367,19 3 589,13 3 816,81 3 996,71 Kab. Labuhan Batu 3 261,57 3 448,18 3 658,83 3 879,01 Kab. Langkat 7 210,56 7 627,00 8 058,65 8 527,34 Kab. Mandailing Natal 2 031,96 2 161,96 2 300,54 2 447,98 Kab. Nias 510,79 545,56 579,58 616,87 Kab. Simalungun 5 571,10 5 894,59 6 251,83 6 531,90 Kab. Tapanuli Selatan 1 783,88 1 878,42 1 976,50 2 099,0 Kab. Tapanuli Tengah 1 198,51 1 273,80 1 354,65 1 447,37 Kab. Tapanuli Utara 1 614,37 1 703,75 1 805,19 1 914,42 Kab. Toba Samosir 1 761,93 1 854,52 1 956,87 2 057,48 Kota Binjai 2 020,90 2 147,82 2 284,05 2 426,09 Kota Medan 35 822,22 38 576,23 41 519,32 43 303,96 Kota Pematang Siantar 2 039,00 2 161,82 2 285,31 2 403,10 Kota Sibolga 740,04 777,72 819,28 866,83 Kota Tanjung Balai 1 396,69 1 464,56 1 537,57 1 607,03 Kota Tebing Tinggi 1 165,58 1 254,37 1 327,25 1 419,00 Kota Padang Sidempuan 936,05 991,12 1 052,89 1 118,07 Kab. Pakpak Barat 164,88 174,74 185,26 196,13 Kab. Nias Selatan 1 231,58 1 286,52 1 360,87 1 431,03 Kab.Humbang Hasundutan 1 006,56 1 066,34 1 130,26 1 198,35 Kab. Serdang Bedagai 4 550,68 4 822,99 5 112,21 5 417,22 Kab. Samosir 1 058,49 1 121,62 1 189,69 1 266,56 Kab. Batu Bara 7 394,49 7 772,03 8 111,47 8 382,81 Kab. Padang Lawas 750,29 798,26 848,65 900,59 Kab. Padang Lawas Utara 783,76 837,15 890,59 945,20 Kab. Labuhan batu Selatan 2 835,77 3 009,51 3 200,06 3 393,58 Kab. Labuhan batu Utara 3 163,22 3 359,75 3 574,05 3 800,37 Kab. Nias Utara 490,12 522,87 553,64 588,25 Kab. Nias Barat 254,10 271,27 284,65 301,20 Kota Gunung Sitoli 867,97 924,07 982,09 1 044,89 Sumber : Badan Pusat Statistik Sumatera Utara 20

2.8 Belanja Modal Definisi belanja modal menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Anggaran dalam laman situs www.anggaran.depkeu.go.id adalah pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi asset tetap atau asset lainnya yang ditetapkan pemerintah. Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal (Perdirjen) Perbendaharaan PER-33/PB/2008 tentang Pedoman Penggunaan Akun Pendapatan, Belanja Pegawai, Belanja Barang, dan Belanja Modal sesuai Bagan Akun Standar (BAS) menyebutkan bahwa suatu belanja dikategorikan sebagai belanja modal apabila : a. Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau asset lainnya yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas. b. Pengeluaran tersebut melebihi batas minimum kapitalisasi asset tetap atau asset lainnya yang telah ditetapkan pemerintah. c. Perolehan asset tetap tersebut diniatkan bukan untuk dijual. 21

Berikut ini disajikan tabel yang memuat komponen biaya yang dimungkinkan di dalam belanja modal : Tabel 2.2 Komponen Biaya yang dimungkinkan di dalam Belanja Modal Jenis Belanja Modal Belanja Modal Tanah Belanja Modal Gedung dan Bangunan Belanja Modal Peralatan dan Mesin Komponen Biaya yang dimungkinkan di dalam Belanja Modal 1. Belanja Modal Pembebasan Tanah 2. Belanja Modal Pembayaran Honor Tim Tanah 3. Belanja Modal Pembuatan Sertifikat Tanah 4. Belanja Modal Pengurungan dan Pematangan Tanah 5. Belanja Modal Biaya Pengukuran Tanah 6. Belanja Modal Perjalanan Pengadaan Tanah 1. Belanja Modal Bahan Baku Gedung dan Bangunan 2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Gedung dan Bangunan 3. Belanja Modal Sewa Peralatan Gedung dan Bangunan 4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Gedung dan Bangunan 5. Belanja Modal Perizinan Gedung dan Bangunan 6. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran Bangunan Lama Gedung dan Bangunan 7. Belanja Modal Honor Perjalanan Gedung dan bangunan 1. Belanja Modal Bahan Baku Peralatan dan Mesin 2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Peralatan dan Mesin 3. Belanja Modal Sewa Peralatan, Peralatan dan Mesin 4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Peralatan dan Mesin 5. Belanja Modal Perizinan Peralatan dan Mesin 6. Belanja Modal Pemasangan Peralatan dan Mesin 7. Belanja Modal Honor Perjalanan Peralatan dan Mesin 22

Jenis Belanja Modal Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan Belanja Modal Fisik Lainnya Komponen Biaya yang dimungkinkan di dalam Belanja Modal 1. Belanja Modal Bahan Baku Jalan dan Jembatan 2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Jalan dan Jembatan 3. Belanja Modal Sewa Peralatan Jalan dan Jembatan 4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan 5. Belanja Modal Perizinan Jalan dan Jembatan 6. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran Bangunan Lama Jalan dan Jembatan 7. Belanja Modal Honor Perjalanan Jalan dan Jembatan 8. Belanja Modal Bahan Baku Irigasi dan Jaringan 9. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Irigasi dan Jaringan 10. Belanja Modal Sewa Peralatan Irigasi dan Jaringan 11. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Irigasi dan Jaringan 12. Belanja Modal Perizinan Irigasi dan Jaringan 13. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran Bangunan Lama Irigasi dan Jaringan 14. Belanja Modal Honor Perjalanan Irigasi dan Jaringan 1. Belanja Modal Bahan Baku Fisik Lainnya 2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Fisik Lainnya 3. Belanja Modal Sewa Peralatan Fisik Lainnya 4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Fisik Lainnya 5. Belanja Modal Perizinan Fisik Lainnya 6. Belanja Modal Jasa Konsultan Fisik Lainnya 2.9 Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pengalokasian belanja modal telah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti. Anggiat Situngkir dan John Sihar Manurung (2009) melakukan penelitian mengenai Efek Memiliki Pendapatan Daerah, Pengalokasian Dana Umum, dan Dana Khusus Pada Belanja Modal di Kota dan Kabupaten Sumatera Utara. Hasil penelitian membuktikan bahwa variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi 23

Khusus (DAK) berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Pungky Ardhani (2011) meneliti mengenai Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Sampel yang digunakan yaitu Kabupaten/kota di Jawa Tengah. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Sedangkan Pertumbuhan Ekonomi dan Dana Alokasi Khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Secara simultan, Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Saptaningsih Sumarmi meneliti tentang Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi Belanja Modal dengan mengambil sampel penelitian di Kabupaten/kota Provinsi D.I. Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh secara positif signifikan terhadap alokasi belanja modal daerah. Sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh negatif signifikan terhadap alokasi belanja modal daerah. PAD, DAU, dan DAK secara simultan berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal daerah. Penelitian sebelumnya juga dilakukan oleh Sheila Ardhian Nuarisa (2012) dengan judul penelitian Pengaruh PAD, DAU, dan DAK terhadap Pengalokasian 24

Anggaran Belanja Modal. Hasil penelitian menunjukkan PAD, DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Selanjutnya, Fitria Megawati Sularno (2013) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Variabel penelitian yang digunakan yaitu PDRB, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Belanja Modal. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PDRB dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja Modal. Sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. PDRB, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum secara simultan berpengaruh terhadap pengalokasian Belanja Modal. 25

Penelitian terdahulu di atas kemudian diringkas dalam Tabel 2.2 berikut ini : Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu No. Peneliti (tahun) Judul Penelitian Variabel yang Digunakan 1. Anggiat Situngkir dan John Sihar Manurung (2009) Efek Memiliki Pendapatan Daerah, Pengalokasian Dana Umum, dan Dana Khusus Pada Belanja Modal di Kota Kabupaten Sumatera Utara dan PAD, DAU, DAK dan Belanja Modal Hasil Penelitian Variabel Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh signifikan terhadap anggaran belanja modal daerah di Kabupaten/kota di Sumatera Utara 2. Pungky Ardhani (2011) Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal (Studi pada Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Tengah) Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Belanja Modal PAD dan DAU berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Sedangkan Pertumbuhan Ekonomi dan Dana Alokasi Khusus tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. Secara simultan, Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. 26

No. Peneliti (tahun) Judul Penelitian Variabel yang Digunakan 3. Saptaningsih Sumarmi 4. Sheila Ardhian Nuarisa (2012) Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus terhadap Alokasi Belanja Modal Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta Pengaruh PAD, DAU, dan DAK terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal PAD, DAU, DAK dan Belanja Modal PAD, DAU, DAK dan Belanja Modal Hasil Penelitian Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) berpengaruh secara positif signifikan terhadap alokasi belanja modal daerah. Sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) berpengaruh negatif signifikan terhadap alokasi belanja modal daerah. PAD, DAU, dan DAK secara simultan berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja modal daerah. PAD, DAU dan DAK berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. 5. Fitria Megawati Sularno (2013) Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal PDRB, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, dan Belanja Modal PDRB dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) berpengaruh signifikan positif terhadap Belanja Modal. Sedangkan Dana Alokasi Umum (DAU) tidak berpengaruh signifikan terhadap Belanja Modal. PDRB, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum secara simultan berpengaruh terhadap pengalokasian Belanja Modal 27

2.10 Kerangka Konseptual Kerangka pemikiran dalam penelitian ini adalah mengenai pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan pertumbuhan ekonomi terhadap pengalokasian anggaran belanja modal. Gambar 2.1 menyajikan kerangka pemikiran untuk pengujian hipotesis pada penelitian ini. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Pungky Ardhani (2011), dengan menggunakan empat variabel independen yaitu Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel dependen yang digunakan adalah variabel belanja modal. Pendapatan Asli Daerah (PAD) (X 1 ) Dana Alokasi Umum (DAU) (X 2 ) Dana Alokasi Khusus (DAK) (X 3 ) Belanja Modal (Y) Pertumbuhan Ekonomi (X 4 ) Gambar 2.1 Kerangka Konseptual 28

2.11 Hipotesis Penelitian Dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi fiskal, Pemerintah Pusat akan mentransfer dana perimbangan kepada daerah yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH). Selain dana perimbangan yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah memiliki sumber pendanaan sendiri yang berasal dari Pendapatan asli Daerah (PAD). PAD dan dana perimbangan diharapkan dapat digunakan untuk membiayai belanja daerah dalam upaya menunjang investasi sehingga berdampak pada peningkatan layanan publik dan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, peningkatan terhadap pengadaan modal untuk investasi akan memacu pembangunan infrastruktur berupa sarana prasarana yang kemudian akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Anggiat Situngkir dan John Sihar Manurung (2009) membuktikan bahwa Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap anggaran belanja modal. Holtz-eaken et al (1985) dalam Anggiat Situngkir (2009) menyatakan bahwa terdapat keterkaitan erat antara transfer dari Pemerintah Pusat dengan belanja pemerintah daerah. Hal ini menunjukkan bahwa jika sumber pendapatan daerah yang berasal dari PAD, DAU, dan DAK meningkat, maka pemerintah daerah dapat melakukan peningkatkan terhadap pengalokasian belanja modal secara lebih leluasa. Pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam bingkai otonomi daerah memberikan kewenangan kepada daerah untuk dapat mendorong pertumbuhan 29

ekonominya secara mandiri dengan berbagai inovasi yang dimiliki oleh daerah bersangkutan. Hasil penelitian Lin dan Liu (2000) menunjukkan desentralisasi fiskal memberikan dampak yang sangat berarti bagi pertumbuhan ekonomi daerah. Peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah ditandai dengan peningkatan pendapatan per kapita masyarakatnya. Dengan adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi, maka daerah memiliki pendapatan yang lebih besar dari pajak maupun hasil investasi, sehingga dapat membiayai pengeluaran daerah, termasuk mengalokasikan anggaran yang lebih besar terhadap belanja modal sebagai upaya dalam peningkatan pelayananan publik. Berdasarkan temuan empiris dan argumen diatas, maka dapat dinyatakan hipotesis sebagai berikut : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokas Khusus (DAK) dan Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh positif terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal di Kabupaten/kota Sumatera Utara. 30