BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sektor perekonomian yang menjadi pilihan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. satu indikator baik buruknya tata kelola keuangan serta pelaporan keuangan

BAB I PENDAHULUAN. sumber ekstern tersebut sehingga sumber-sumber pembiayaan yang berasal dari

BAB I PENDAHULUAN. baik dalam peraturan perundang-undangan maupun sistem. wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, maka

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

: Pengaruh Kualitas Pelayanan, Sanksi Perpajakan Dan Kesadaran Wajib Pajak Pada Kepatuhan Wajib Pajak Air Tanah di Dinas Pendapatan Kabupaten Badung

BAB I PENDAHULUAN. bangsa kita. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi.

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan suatu penerimaan yang rutin, maka pemerintah menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN. perlu terus dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan dalam hal menambah devisa suatu negara. Menurut WTO/UNWTO

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 22

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Rebulik Indonesia (UU RI) No. 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa efisiensi dan efektivitas

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. dicapai biasanya bersifat kualitatif, bukan laba yang diukur dalam rupiah. Baldric

BAB I PENDAHULUAN. mengelola pemerintahannya berdasarkan local diskresi yang dimiliki, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. utama, yaitu fungsi alokasi yang meliputi: sumber-sumber ekonomi dalam bentuk

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah yang berdasarkan undang-undang penetapan pajak yang langsung. dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. maka menuntut daerah Kab. Lombok Barat untuk meningkatkan kemampuan. Pendapatan Asli Daerah menurut Undang Undang Nomor 28 Tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Krisis ekonomi di Indonesia memiliki pengaruh yang sangat besar

BAB I PENDAHULUAN. bertumpu pada penerimaan asli daerah. Kemandirian pembangunan baik di tingkat

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. tercantum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. penyelenggaraan pemerintah daerah. Berlakunya Undang-Undang Nomor 32

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari pulau-pulau atau dikenal dengan sebutan Negara Maritim. Yang mana dengan letak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam konteks pembangunan, bangsa Indonesia sejak lama telah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan dan cita-cita Negara Indonesia yang tercantum dalam. adalah untuk melaksanakan pembangunan yang dilakukan secara

BAB I PENDAHULUAN. sentralisasi, tetapi setelah bergulirnya reformasi maka pola sentralisasi berganti

BAB I PENDAHULUAN. pada meningkatnya dana yang dibutuhkan untuk membiayai pengeluaranpengeluaran. pemerintah di bidang pembangunan dan kemasyarakatan.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 dan

: Analisis Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dalam Upaya Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Badung Bali. : Tyasani Taras NIM :

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak sedikit. Dana tersebut dapat diperoleh dari APBN. APBN dihimpun dari semua

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rangka pembangunan nasional di Indonesia, pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. berdaulat, memiliki wilayah (daerah) tertentu, adanya rakyat yang hidup teratur,

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. bidang, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun di bidang budaya. Hal ini

I. PENDAHULUAN. atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

BAB I PENDAHULIAN. dan penerimaan lainnya yang termasuk dalam pendapatan asli daerah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembangunan daerah merupakan suatu bagian yang tidak dapat dipisahkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Nasional. Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kebijakan pemerintah pusat yang memberikan kewenangan dalam kebebasan

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. baik pusat maupun daerah, untuk menciptakan sistem pengelolaan keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional

BAB I PENDAHULUAN. sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga saat ini menarik untuk dicermati. Era

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam bidang pengelolaan keuangan negara maupun daerah. Akuntabilitas

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah di Indonesia mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi. daerah berkewajiban membuat rancangan APBD, yang hanya bisa

BAB I PENDAHULUAN. daerah membutuhkan sumber-sumber penerimaan yang cukup memadai. Dalam

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. dan aspirasi masyarakat yang sejalan dengan semangat demokrasi.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. RI secara resmi telah menetapkan dimulainya pelaksanaan otonomi daerah sesuai

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan Halaman Judul... Halaman Pengesahan Skripsi... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran...

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah.

BAB I PENDAHULUAN. dalam tata pemerintahan di Indonesia. Penerapan otonomi daerah di

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan daerahnya sendiri, membuat peraturan sendiri (PERDA) beserta

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Dalam Membiayai Pengeluaran

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa orde baru, pembangunan yang merata di Indonesia sulit untuk

BAB I PENDAHULUAN. titik awal pelaksanaan pembangunan, sehingga daerah diharapkan bisa lebih mengetahui

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara terbesar, dimana sampai saat

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia demi mencapai masyarakat yang sejahtera. Namun, mengingat Negara

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak bumi dan bangunan merupakan salah satu sumber penerimaan dearah

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan Pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah sudah

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pajak merupakan salah satu sektor perekonomian yang menjadi pilihan utama sumber penerimaan negara. Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara perlu terus ditingkatkan sebagai modal pembangunan nasional serta dilaksanakan dengan kemampuan sendiri berdasarkan prinsip kemandirian (Ardani, 2010). Prinsip kemandirian dalam pembiayaan pembangunan belum mampu dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung karena sumber pembiayaan pembangunan daerah tidak bisa hanya mengandalkan PAD. Dalam APBD kabupaten Klungkung tahun anggaran 2009 sampai dengan tahun anggaran 2014, realisasi PAD lebih rendah dibandingkan dengan realisasi Dana Perimbangan. Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri atas Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus (UU No 33 Tahun 2004). Bagian Penjelasan UU Nomor 33 Tahun 2004 menuliskan bahwa kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan PAD sebagai sumber utama pendapatan daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah sesuai dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan dalam mendapatkan dana dari pemerintah tingkat atas. Realisasi 1

2 pendapatan dalam APBD Pemerintah Kabupaten Klungkung disajikan dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1. Realisasi Pendapatan Pemerintah Kabupaten Klungkung (Dalam Jutaan Rupiah) Jenis Pendapatan/Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Pendapatan Asli Daerah 29.566 31.329 40.734 48.560 67.400 98.836 Pendapatan Transfer 398.584 414.182 460.867 534.935 643.156 718.965 Lain-Lain Pendapatan Yang Sah 10.265 1.554 1.265 6.735 847 9.226 Total 438.416 447.067 502.868 590.232 711.405 827.029 Sumber: Dinas PPKA Kabupaten Klungkung, 2015. Data Tabel 1.1. menunjukkan rata-rata realisasi penerimaan PAD adalah 9% terhadap total realisasi pendapatan untuk periode tahun anggaran 2009-2014. Realisasi PAD tersebut merupakan kontribusi dari realisasi empat jenis PAD yang dalam APBD Pemerintah Kabupaten Klungkung seperti tersaji dalam Tabel 1.2. Tabel 1.2. Realisasi PAD Pemerintah Kabupaten Klungkung (Dalam Jutaan Rupiah) Jenis PAD/Tahun 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Pajak Daerah 2.052 3.683 5.017 3.480 13.234 19.654 Retribusi Daerah 19.108 20.122 26.782 0 10.597 22.441 Hasil Pengelolan Kekayaan Daerah Yang 3.302 4.166 5.157 5.962 8.595 8.093 Dipisahkan Lain-Lain PAD yang sah 5.104 3.358 3.778 39.118 34.974 48.648 Total 29.566 31.329 40.734 48.560 67.400 98.836 Sumber: Dinas PPKA Kabupaten Klungkung, 2015

3 Data Tabel 1.2 menunjukan rata-rata realisasi penerimaan pajak daerah terhadap total realisasi PAD untuk periode tahun anggaran 2009-2014 adalah 15% dan hanya 1% dari total realisasi pendapatan dalam APBD tahun anggaran 2009-2014. Nilai tersebut sangat kecil dibandingkan dengan rata-rata kontribusi pajak terhadap total pendapatan negara dalam APBN tahun anggaran 2010-2014 yakni 73.7% (www.fiskaldepkeu.go.id). Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan bahwa terdapat 11 jenis pajak kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota diberikan kewenangan penuh untuk menggali 11 jenis obyek pajak daerah tersebut untuk dijadikan sumber penerimaaan berupa pajak daerah sebagai sumber pembiayaan mandiri pembangunan di daerah sesuai dengan konsep pelaksanaan otonomi daerah dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu jenis pajak daerah yang memiliki potensi besar di kabupaten Klungkung adalah pajak hotel. Potensi ini muncul karena keberadaan usaha hotel di pulau Nusa Lembongan dan Nusa Penida sebagai bagian wilayah Kabupaten Klungkung. Pulau Nusa Lembongan menjadi salah satu dari 16 Kawasan Pariwisata Prioritas yang diatur dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali. Berdasarkan data BPS Kabupaten Klungkung (2014), kunjungan wisatawan ke Kabupaten Klungkung pada periode tahun 2011 sampai dengan 2013 secara berturut-turut adalah 269.814 orang, 280.871 orang, dan 242.612 orang dengan rata-rata menginap di hotel atau penginapan untuk wisatawan mancanegara secara berturut-

4 turut adalah 2,7 malam, 2,35 malam dan 4,05 malam. Data dari Bidang Pajak Daerah dan Pendapatan Lainnya di Dinas PPKA Pemerintah Kabupaten Klungkung bahwa per 31 Desember 2014 terdapat 148 hotel di kabupaten Klungkung dengan 98% usaha hotel tersebut berlokasi di pulau Nusa Lembongan dan Pulau Nusa Penida. Data lain yang menunjukan tentang potensi pajak hotel di Kabupaten Klungkung adalah hasil pemeriksaan khusus BPK RI Perwakilan Propinsi Bali terhadap PAD tahun anggaran 2010 dan 2011. Hasil utama terhadap pemeriksaan obyek pajak hotel dan pajak restauran tersebut (LHP BPK RI Nomor 367/S/XIX.DPS/12/2012) adalah: 1) Pajak Hotel dan Pajak Restauran tahun 2010 dan 2011 kurang ditetapkan minimal sebesar Rp1.935.349.835,- 2) Penetapan Pajak secara jabatan tanpa dasar perhitungan yang memadai sehingga potensi pendapatan pajak hotel dan restaurant tahun anggaran 2010 dan 2011 tidak dapat diterima minimal sebesar Rp1.744.289.912,- Secara umum, hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa terjadi penyimpangan sebesar 59,46% pada realisasi pendapatan pajak daerah dalam APBD Pemerintah Kabupaten Klungkung TA 2010 serta sebesar 74,39% pada realisasi pendapatan pajak daerah dalam APBD Pemerintah Kabupaten Klungkung TA 2011. Penyimpangan pajak tersebut merupakan potensi penerimaan daerah dari sektor pajak hotel dan pajak restoran. Temuan lain dalam hasil pemeriksaan BPK RI adalah terdapat 74 Hotel/Restauran yang belum terdata sebagai wajib pajak serta 95 hotel/restauran

5 belum memiliki izin operasional (LHP BPK RI Nomor 367/S/XIX.DPS/12/2012). Data tersebut menunjukan bahwa tingkat kesadaran pengusaha hotel/restoran untuk mendaftar sebagai wajib pajak hotel masih rendah yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap penerimaan pajak daerah. Penelitian Ikhsan (2007) menyatakan bahwa perolehan penerimaan pajak tidak hanya disebabkan oleh usaha-usaha fiskus dalam menggarap potensi pajak namun juga karena peran serta masyarakat wajib pajak dalam memenuhi kewajiban membayar pajak berdasarkan ketentuan perpajakan. Chau dan Leung (2009) menuliskan bahwa kepatuhan pajak yang tidak meningkat akan mengancam upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al-Mamun dkk. (2014) menuliskan bahwa kesadaran masyarakat untuk mematuhi ketentuan perpajakan sangat penting karena hasil sikap patuh tersebut akan kembali kepada masyarakat itu sendiri. Menurut James dkk. (2004), peran serta aktif masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dapat berupa sikap patuh terhadap ketentuan perpajakan. Penelitian Troutman (1993) memberikan bukti empiris bahwa terdapat hubungan signifikan antara sikap dengan kepatuhan wajib pajak. Kesadaran masyarakat untuk menjadi wajib pajak yang patuh sangat erat terkait dengan persepsi masyarakat tentang pajak (Dharmawan, 2013). Kebijakan atau kegiatan yang bisa menimbukan persepsi, bahwa pajak itu adil bagi semua orang akan sangat membantu menyadarkan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban untuk membayar pajak (Mc Mahon, 2001). Menurut Robbins (2006:97), persepsi adalah kesan yang diperoleh oleh individu melalui panca indera kemudian di

6 analisa (diorganisir), diintepretasi dan kemudian dievaluasi, sehingga individu tersebut memperoleh makna. Persepsi mempunyai sifat subjektif, karena bergantung pada kemampuan dan keadaan dari masing-masing individu, sehingga akan ditafsirkan berbeda oleh individu yang satu dengan yang lain. Persepsi merupakan proses perlakuan individu yaitu pemberian tanggapan, arti, gambaran, atau penginterprestasian terhadap apa yang dilihat, didengar, atau dirasakan oleh indranya dalam bentuk sikap, pendapat, dan tingkah laku atau disebut sebagai perilaku individu (Haryanto, 2015). Persepsi-persepsi tersebut memiliki dampak berupa pembentukan sikap, perilaku dan tanggapan pribadi (Sunaryo, 2004). Pembentukan sikap dan perilaku terhadap pajak akibat pembentukan persepsi tentang pajak juga dialami oleh wajib pajak. Mas ut (2004) menuliskan bahwa bentuk perilaku masyarakat terhadap pajak adalah patuh atau kecenderungan masyarakat untuk menghindari kewajiban perpajakan Penelitian Purnomo (2008) menemukan bahwa persepsi wajib pajak tentang sanksi berpengaruh positif signifikan pada kepatuhan perpajakan. Wajib pajak akan memenuhi kewajiban perpajakan bila memandang bahwa sanksi perpajakan akan lebih banyak merugikannya (Jatmiko, 2006 dan Mustikasari, 2013). Nugroho (2006) menuliskan bahwa wajib pajak akan mematuhi kewajiban perpajakannya dengan memandang sanksi perpajakan yang ada lebih banyak merugikan wajib pajak. Menurut Mardiasmo (2009:39), sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (norma perpajakan) dituruti/ditaati/dipatuhi, bisa dikatakan sanksi perpajakan alat pencegah agar wajib pajak tidak melanggar norma perpajakan. Menurut Ali dkk.

7 (2001), sanksi perpajakan dan audit adalah suatu kebijakan yang efektif untuk mencegah ketidakpatuhan wajib pajak. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka akan dilakukan penelitian tentang kepatuhan wajib pajak hotel di kabupaten Klungkung dengan menggunakan persepsi wajib pajak hotel tentang sanksi administrasi sebagai variabel pengaruhnya. Penelitian ini menggunakan kecerdasan emosional dari wajib pajak hotel sebagai variabel moderasi berdasarkan teori persepsi dari Gibson (1996) dalam Notoatmodjo (2005) yang menyatakan bahwa emosi merupakan salah satu faktor internal dari individu yang mempengaruhi pembentukan persepsi. Penggunaan emosi secara cerdas, dengan maksud membuat emosi tersebut bermanfaat dengan menggunakannya sebagai pemandu perilaku dan pemikiran sedemikian rupa akan memberikan manfaat yang utama merupakan definisi kecerdasan emosional (Emotional intelligence) menurut Weisinger (2010) dalam Kennedy (2013). Berdasarkan teori persepsi dan teori kecerdasan emosional, persepsi sebagai variabel independen memiliki hubungan dengan kecerdasan emosional sebagai variabel moderasi. Dengan demikian, diduga kecerdasan emosional memperkuat hubungan persepsi wajib pajak tentang sanksi administrasi dengan kepatuhan wajib pajak hotel di Kabupaten Klungkung, namun perlu dibuktikan lebih lanjut secara empiris. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan dalam sub bab latar belakang, dirumuskan pokok masalah yang menjadi fokus penelitian yakni:

8 1) Apakah persepsi tentang sanksi administrasi berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak hotel di Kabupaten Klungkung? 2) Apakah kecerdasan emosional memperkuat hubungan persepsi tentang sanksi administrasi dengan kepatuhan wajib pajak hotel di Kabupaten Klungkung? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris tentang: 1) Pengaruh persepsi tentang sanksi administrasi terhadap kepatuhan wajib pajak hotel di Kabupaten Klungkung. 2) Pengaruh kecerdasan emosional terhadap hubungan persepsi tentang sanksi administrasi dengan kepatuhan wajib pajak hotel di kabupaten Klungkung. 1.4. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah: 1) Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi terhadap pengembangan literatur teori kepatuhan (compliance theory), teori persepsi dan teori kecerdasan emosional. 2) Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk Pemerintah Kabupaten Klungkung dalam penetapan dan penerapan sanksi administrasi terhadap wajib pajak hotel.