TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal

dokumen-dokumen yang mirip
IV HASIL DAN PEMBAHASAN. banyaknya telur yang menetas dibagi dengan banyaknya telur yang fertil.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dikenal dengan istilah susut tetas. Pengaruh perlakuan terhadap susut tetas

HASIL DAN PEMBAHASAN. morfologi. Penilaian dilakukan pada DOD yang baru menetas untuk melihat

TINJAUAN PUSTAKA. Itik adalah salah satu jenis unggas air ( water fowls) yang termasuk dalam

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. penyediaan daging itik secara kontinu. Kendala yang dihadapi adalah kurang

TINJAUAN PUSTAKA. Itik adalah salah satu jenis ungags air ( water fawls) yang termasuk dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi khusus sesuai dengan kapasitas produksi, kandang dan ruangan

PENDAHULUAN. memenuhi kebutuhan sumber protein. Di Indonesia terdapat bermacam-macam

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan ayam hutan hijau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hingga menetas, yang bertujuan untuk mendapatkan individu baru. Cara penetasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

II. TINJAUAN PUSTAKA. arab dengan ayam buras. Ayam arab mulai dikenal oleh masyarakat kira-kira

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ayam arab (Gallus turcicus) adalah ayam kelas mediterain, hasil persilangan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelompok Tani Ternak Rahayu merupakan suatu kelompok peternak yang ada di

HASIL DAN PEMBAHASAN. Inseminasi Buatan pada Ayam Arab

Penyiapan Mesin Tetas

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. membentuk beberapa variasi dalam besar tubuh, konformasi, dan warna bulu.

I. PENDAHULUAN. Peningkatan populasi penduduk di Indonesia menyebabkan perkembangan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam. bandingkan dengan unggas lainnya (Suryani et al., 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

TINJAUAN PUSTAKA. telur sehingga produktivitas telurnya melebihi dari produktivitas ayam lainnya.

BAB II LANDASAN TEORI

I. PENDAHULUAN. serta meningkatnya kesadaran akan gizi dan kesehatan masyarakat. Akan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memperbanyak jumlah daya tetas telur agar dapat diatur segala prosesnya serta

PENDAHULUAN. semakin pesat termasuk itik lokal. Perkembangan ini ditandai dengan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tidak memiliki karakterisik disebut ayam kampung (Nataamijaya, 2010). Ayam

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

TATALAKSANA PENETASAN TELUR ITIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Penetasan telur ada dua cara, yaitu melalui penetasan alami (induk ayam)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan jenis ayam kampung yang banyak dikembangkan di

I. PENDAHULUAN. unggas di Sumatera Barat, salah satunya adalah peternakan Itik. Di Nagari Pitalah,

1. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

Sumber pemenuhan kebutuhan protein asal hewani yang cukup dikenal. masyarakat Indonesia selain ayam ialah itik. Usaha beternak itik dinilai

I. PENDAHULUAN. Ketersediaan telur yang tidak mengenal musim, keunggulan gizi dari telur dan

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan selama satu bulan pada 28 Mei--28 Juni 2012,

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Osteichtyes, Ordo: Perciformes, Famili: Eleotritidae, Genus: Butis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Aves, ordo Anseriformes, famili Anatidae, sub famili Anatinae, tribus Anatinae

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bumirestu, Kecamatan Palas, Kabupaten

II. TINJAUAN PUSTAKA. potensial di Indonesia. Ayam kampung dijumpai di semua propinsi dan di

1. PENDAHULUAN. Salah satu produk peternakan yang memberikan sumbangan besar bagi. menghasilkan telur sepanjang tahun yaitu ayam arab.

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Ayam lokal merupakan jenis ayam yang banyak dipelihara orang di

II. TINJAUAN PUSTAKA. telur sehingga produktivitas telurnya melebihi dari produktivitas ayam lainnya.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 6. Kualitas Eksterior Telur Tetas Ayam Arab

SECARA UMUM CIRI-CIRI TERNAK UNGGAS ADALAH :

Kata kunci: penetasan, telur itik Tegal, dan mesin tetas

Struktur Telur. Suhardi, S.Pt.,MP Universitas Mulawarman

PENGARUH TEMPERATUR TERHADAP DAYA TETAS DAN HASIL TETAS TELUR ITIK (Anas plathyrinchos)

TINJAUAN PUSTAKA. (Gallus gallus gallus) dan Ayam Hutan Merah Jawa ( Gallus gallus javanicus).

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. 3.1 Alat Penelitian Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai

4 Telur biasanya juga mengandung semua vitamin yang sangat dibutuhkan kecuali vitamin C. Vitamin larut lemak (A, D, E, dan K), vitamin yang larut air

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dengan metode-metode mengajar lainnya. Metode ini lebih sesuai untuk mengajarkan

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

BAB 1 PENDAHULUAN. Tingginya kebutuhan masyarakat akan daging ayam membuat proses

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

TINJAUAN PUSTAKA. Broiler adalah istilah yang biasa dipakai untuk menyebut ayam hasil

PENGARUH UMUR INDUK ITIK DAN SPECIFIC GRAVITY TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS EMBRIO

I. PENDAHULUAN. Ternak itik yang berkembang sekarang merupakan keturunan dari Wild

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Puyuh (Coturnix-coturnix japonica)

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada1 Maret--12 April 2013 bertempat di Peternakan

I. PENDAHULUAN. peternakan seperti telur dan daging dari tahun ke tahun semakin meningkat.

I. PENDAHULUAN. unggas yang lain. Itik mampu mempertahankan produksi telur lebih lama

II. TINJAUAN PUSTAKA. Itik lokal Indonesia dikenal sebagai keturunan itik Indian Runner yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam pembibit atau parent stock (PS) adalah ayam penghasil final stock

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Puyuh

Tilatang Kamang Kabupaten Agam meliputi Nagari Koto Tangah sebanyak , Gadut dan Kapau dengan total keseluruhan sebanyak 36.

I. PENDAHULUAN. pengetahuan dan tingkat kesadaran masyarakat tentang kebutuhan gizi

Peningkatan jumlah penduduk diikuti dengan meningkatnya kebutuhan akan. bahan pangan yang tidak lepas dari konsumsi masyarakat sehari-hari.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping

Gambar 1. Itik Alabio

I. PENDAHULUAN. dengan susunan asam amino lengkap. Secara umum telur ayam ras merupakan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh adalah spesies atau subspecies dari genus Coturnix yang tersebar di

III. BAHAN DAN MATERI. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 minggu pada Desember 2014 Januari 2015,

Penelitian ini telah dilakukan selama 2 bulan pada bulan Februari-Maret di Laboratorium Patologi, Entomologi dan Mikrobiologi, dan Laboratorium

Pengaruh Umur dan Pengelapan Telur terhadap Fertilitas dan Daya Tetas

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

Buletin Peternakan Edisi IV 2017 Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Prov. Sulawesi Selatan

I. TINJAUAN PUSTAKA. memiliki karakteristik ekonomis dengan ciri khas yaitu pertumbuhan yang cepat, konversi

[Pemanenan Ternak Unggas]

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan

PENDAHULUAN. lebih murah dibandingkan dengan daging ternak lain seperti sapi dan domba.

HASIL DAN PEMBAHASAN. pada Tabel 4 dan 5. Berdasarkan sampel yang diteliti didapatkan daya tetas telur

HATCH PERIOD AND WEIGHT AT HATCH OF LOCAL DUCK (Anas sp.) BASED ON DIFFERENCE OF INCUBATOR HUMIDITY SETTING AT HATCHER PERIOD

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

I PENDAHULUAN. lokal adalah salah satu unggas air yang telah lama di domestikasi, dan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam istilah asing, burung puyuh disebut quail yang merupakan bangsa

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di Pusat Pembibitan Puyuh Fakultas Peternakan

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Rose (1997), ayam diklasifikasikan ke dalam:

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Wiharto (2002) a yam petelur adalah ayam-ayam betina dewasa

I. PENDAHULUAN. Permintaan masyarakat terhadap sumber protein hewani seperti daging, susu, dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

BAB II DASAR TEORI. Sedangkan dalam penetasan telur itu sendiri selama ini dikenal ada dua cara, yakni: Cara alami Cara buatan

Transkripsi:

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ayam Lokal Ayam lokal Indonesia merupakan hasil dometsikasi Ayam Hutan Merah (Gallus gallus) dan Ayam Hutan Hijau (Gallus varius). Ayam Hutan Merah di Indonesia ada dua macam yaitu Ayam Hutan Merah Sumatera (Gallus gallus gallus) dan Ayam Hutan Merah Jawa (Gallus gallus javanicus). Ayam-ayam lokal yang sekarang ini telah tersebar di berbagai wilayah Indonesia telah menjadi ayam-ayam lokal dengan morfologi yang beraneka ragam (Mansjoer, 1985). Menurut Sarwono (2003) klasifikasi ayam lokal adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Aves Subkelas : Neonithes Superordo : Superordo Ordo : Galiformers Famili : Phasianidae Genus : Gallus Spesies : Gallus Domesticus Ayam lokal mempunyai ciri khas berukuran kecil dan bentuknya agak ramping, berat badannya mencapai 1,4 kg pada umur 4 bulan, produksi telur mencapai 135 butir/tahun. Jenis ini memiliki bulu warna putih, hitam, coklat, kuning kemerahan, kuning atau kombinasi dari warna-warna tersebut. Ayam jantan memiliki jengger yang bergerigi dan berdiri tegak, serta berukuran agak besar sedangkan betina berjengger kecil dan tebal, tegak serta berwarna merah cerah. warna kulit kuning pucat, kaki agak panjang dan kuat (Cahyono 2002). Produksi telur ayam lokal 30-80 butir per tahun dengan bobot telur rata-rata 37,5

7 gram, sedangkan ayam ras yang dipelihara secara intensif dapat berproduksi 200-250 butir per tahun dengan bobot telur rata-rata 55,6 gram (Siregar dan Sabrani,1980). 2.2 Penetasan Penetasan merupakan proses perkembangan embrio di dalam telur sampai menetas. Penetasan telur dapat dilakukan secara alami atau buatan (Yuwanta, 1993). Penetasan buatan lebih praktis dan efisien dibandingkan penetasan alami, dengan kapasitasnya yang lebih besar. Penetasan dengan mesin tetas juga dapat meningkatkan daya tetas telur karena temperaturnya dapat diatur lebih stabil tetapi memerlukan biaya dan perlakuan lebih tinggi dan intensif (Jayasamudera dan Cahyono, 2005). Keunggulan penerapan teknologi mesin tetas adalah menghilangkan periode mengeram pada induk, sehingga induk lebih produktif dan mampu menghasilkan telur lebih banyak selama hidupnya. Selain itu anak ayam dapat diproduksi dalam jumlah yang banyak pada waktu yang bersamaan dan kapasitas penetasan dapat diperbanyak sesuai dengan jumlah telur tetas yang siap ditetaskan. (Nafiul.dkk.,2014). Pada prinsipnya penetasan telur dengan mesin tetas adalah menyediakan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan embrio (calon anak), yakni yakni meniru sifat-sifat alamiah induk ayam atau itik yang mengerami telur, yaitu menyesuaikan suhu. kelembaban dan membalik telur yang dierami (Subiharta dan Yuwana, 2012). Dalam Proses penetasan telur, suhu dan kelembaban merupakan variabel terpenting yang sangat menentukkan keberhasilan proses penetasan. Suhu yang diperlukan alat penetas harus memiliki kesamaan dengan kondisi suhu iinduk unggas pada saat mengeram. 2.2.1 Temperatur Penetasan Temperatur atau suhu memegang peranan yang sangat penting dalam penetasan telur karena mempengaruhi perkembangan embrio di dalam telur. Jika suhu terlalu rendah maka perkembangan organ-organ embrio tidak berkembang

8 secara proporsional (Susila, 1997). Wiharto (1988) menyatakan, apabila suhu terlalu rendah umumnya menyebabkan kesulitan menetas dan pertumbuhan embrio tidak normal karena sumber pemanas yang dibutuhkan tidak mencukupi. Rakhman (1985) menyatakan, jika suhu didalam mesin tetas dibawah normal maka telur akan menetas lebih lama dari waktu yang ditentukan dan apabila suhu diatas normal, maka waktu menetas lebih awal dari waktu yang ditentukan, sedangkan suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan telur mengalami dehidrasi atau kekeringan, sehingga DOD yang dihasilkan akan lemah, akibatnya DOD akan mengalami kekerdilan dan mortalitas yang tinggi (Rarasati, 2002). Peningkatan dan penurunan suhu yang tidak konstan selama penetasan dapat menyebabkan kematian embrio, hal tersebut dipertegas dengan pernyataan Mc Daniel (1979), menyatakan peningkatan suhu penetasan pada saat hari ke-16 akan mengurangi telur fertil yang menetas. Hodgtts (2000) menyatakan bahwa embrio muda sangat sensitif terhadap perubahan suhu penetasan. Suhu yang perlu diperhatikan pada penetasan telur ayam dan bebek berkisar 38 o C 40 o C dan lamanya penetasan 21 hari untuk telur ayam dan 28 hari untuk telur bebek. (Sudrajat, 2003). Hodgetts (2000), menyatakan suhu yang baik untuk penetasan adalah 37,8 C, dengan kisaran 37,2-38,2 C. Pada suhu ini akan dihasilkan daya tetas yang optimum. Temperatur dan kelembaban merupakan faktor penting untuk perkembangan embrio. Temperatur yang terlalu tinggi akan menyebabkan kematian embrio ataupun abnormalitas embrio, sedangkan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan normal dari embrio (Wulandari, 2002). Suhu di ruang inkubasi tidak boleh lebih panas atau lebih dingin 2 o C dari kisaran suhu standar. Suhu standar untuk penetasan berkisar antara 36 o C-39 o C. Jika terjadi penurunan suhu terlalu lama biasanya telur akan menetas lebih lambat dari 21 hari dan kalau terjadi kenaikan suhu melebihi dari suhu normal maka embrio akan mengalami dehidrasi dan akan mati (Hamdy, 1991). Embrio akan berkembang bila suhu udara di sekitar telur minimal 70 o F (21,11 o C) namun perkembangan ini sangat lambat. Di bawah suhu udara ini praktis embrio tidak mengalami perkembangan, sehingga penyimpanan telur tetas sebaiknya sama atau dibawah suhu tersebut. Penyimpanan telur tetas dibawah titik

9 beku tidak dianjurkan karena sewaktu telur dikeluarkan dari tempat penyimpanan akan terjadi pengembunan dan permukaan telur berair, sehingga kuman pada kulit telur akan masuk kedalam telur yang menyebabkan pembusukan telur sewaktu ditetaskan, akan sangat menurunkan daya tetas. Suhu yang baik untuk pertumbuhan embrio adalah berkisar diantara 35 37 o C. Untuk mencapai suhu tersebut sehingga embrio dapat berkembang dengan baik maka suhu didalam ruang penetasan diatur dengan kisaran suhu 95 104 o F tergantung dari jenis penetasan ( forced draft incubator) untuk menjamin embrio mendapatkan suhu yang ideal untuk perkembangan yang normal. Kisaran suhu ini tergantung dari jenis penetasan yang didasarkan atas pengalaman dalam pembuatan penetasan untuk dapat mencapai daya tetas yang baik. Diatas ataupun dibawah kisaran suhu tersebut akan menurunkan daya tetas. Untuk model still air incubators suhu yang diperlukan 1 o C diatas kisaran suhu tersebut ( 100 102 o F atau 38 39 o C ), sedangkan forced draft incubator biasanya memerlukan suhu disekitar 100 o F (Jasa, 2006). Suhu penetasan yang lebih tinggi dari suhu yang dianjurkan akan memacu pertumbuhan embrio lebih cepat sehingga sering terjadi perlengketan embrio terutama pembuluh darah dengan selaput dalam klit telur yang menyebabkan kematian embrio, kalaupun menetas, anak ayam akan menetas lebih cepat dari jadwal menetas ( anak ayam menetas < 21 hari atau anak itik menetas < 28 hari ). Kematian embrio cukup tinggi terutama menjelang menetas, saat menetas kantong kuning telur belum masuk dengan sempurna kedalam rongga perut anak ayam saat menetas. Keadaan ini akan menyebabkan kematian anak ayam beberapa hari setelah menetas. Anak ayam yang menetas akan lebih ringan dari yang normal, ini menyebabkan menurunnya daya hidup atau pertumbuhan rendah dan secara keseluruhan akan menurunkan daya tetas. Suhu penetasan lebih rendah dari yang dianjurkan akan menyebabkan pertumbuhan embrio akan lebih lambat, anak ayam akan sangat basah dan kelihatan agak besar saat menetas akibat terjadinya gangguan penguapan air, kalaupun anak ayam menetas, daya hidupnya sangat rendah. Anak ayam sering mengalami kesulitan saat menetas, bahkan sering terjadi kematian akibat

10 kemasukan air pada hidungnya selain itu akan menetas melebihi jadwalnya ( > 21 hari bagi anak ayam atau > 28 hari bagi anak itik ) dan secara keseluruhan sangat menurunkan daya tetas (Jasa, 2006). Lundy (1969) menyatakan bahwa temperatur optimal untuk kesuksesan dalam penetasan dengan mesin tetas adalah antara 37 sampai 38 o C. Barott (1937) juga menambahkan temperatur penetasan tergantung pada jenis unggasnya, suhu yang baik untuk beberapa jenis unggas antara lain 37,8 o C untuk broiler, 37,2 o C 39,5 o C untuk unggas air dan 38,3 o C-38,6 o C untuk kalkun menurut Reis (1942), 39,0 o C untuk itik dan 39,5 o C untuk angsa (Cullington,1975). 2.2.2 Kelembaban Kelembaban adalah perbandingan antara tekanan parsial uap air yang ada di dalam udara dan tekanan jenuh uap air pada temperatur air yang sama. Ketika proses penetasan, kelembaban dalam penetasan telur ayam berkisar 50% 60%. Pemberian kelembaban ini dilakukan dengan cara memberikan tempat air di dasar tempat peletakkan telur. Kelembaban relatif di dalam penetasan adalah sangat penting untuk menjaga kandungan air di dalam telur, yaitu untuk mencegah air di dalam telur jangan terlalu banyak menguap atau keluar dari telur melalui pori pori telur. Penguapan air dari telur sangat erat dengan suhu ruang di dalam penetasan. Semakin tinggi suhu di dalam ruang penetasan semakin banyak air di dalam telur yang menguap dan sebaliknya. Semakin tinggi kelembaban di dalam telur semakin rendah penguapan air di dalam telur. Kelembaban yang baik di dalam penetasan adalah berkisar antara 60% untuk menetaskan telur ayam atau 5 10% lebih tinggi untuk menetaskan telur itik atau saat akan menetas kelembaban dinaikkan menjadi 70% untuk menetaskan telur itik. Kelembaban dapat diukur dengan hygrometer atau dengan menggunakan thermometer basah (wet-bulb temperature ) yaitu pada kisaran suhu 75 95% akan menunjukkan kelembapan diantara 33 70% untuk daerah dingin (Jasa, 2006). Telur yang tidak menetas karena kekeringan disebabkan oleh kelembaban mesin tetas yang terlalu rendah dan suhu mesin yang tinggi pada masa akhir

11 pengeraman. Kelembaban udara berfungsi untuk mengurangi atau menjaga cairan dalam telur dan merapuhkan kerabang telur. Jika kelembaban tidak optimal, embrio tidak mampu memecahkan kerabang yang terlalu keras. Kelembaban yang terlalu tinggi akan mempersulit penguapan air dari dalam telur, dan mengganggu pengeluaran CO 2 dari dalam telur sehingga kandungan CO 2 yang banyak di dalam telur dapat membunuh embrio, kulit telur akan lembab sehingga mempermudah tumbuh jamur ataupun kuman salmonella yang masuk kedalam telur dan membunuh embrio, anak ayam akan menjadi gemuk namun tak sehat, ataupun anak ayam akan mengalami kesulitan di dalam mematuk kulit telur dan bahkan air masuk kedalam hidung dan dapat mematikan anak ayam dan secara keseluruhan akan menurunkan daya tetas (Jasa, 2006). Kelembaban terlalu rendah menyebabkan air terlalu banyak menguap dari dalam telur sehingga sering terjadi perlengketan embrio atau pembuluh darah sembrio lengket dengan selaput kulit telur yang dapat menyebabkan kematian anak unggas, embrio mengalami kesulitan berotasi dalam mencari posisi memecah kulit telur. Anak ayam yang menetas akan kelihatan kurus sehingga akan mengalami gangguan pertumbuhan dan akan menurunkan daya tetas (Jasa, 2006). 2.3 Mortalitas Iskandar (2003), menyatakan bahwa terjadinya kematian (mortalitas) dalam proses penetasan dipengaruhi oleh umur telur, semakin lama telur disimpan dapat mengakibatkan penguraian zat organik. Telur yang kotor juga merupakan salah satu factor kematian embrio. Para ahli melaporkan bahwa sekitar 0,5% - 6% telur yang berasal dari ayam sehat mengandung E. coli dan sekitar 1,75% dari embrio yang mati mengandung E. coli serotype patogen. Sumber embrio yang terpenting adalah akibat pencemaran feses pada telur. Telur tetas yang berasal dari lingkungan yang kotor dengan kualitas kerabang yang tipis akan mudah kemasukan E. coli dan dapat mencapai yolk sac. Sumber infeksi lain adalah ovarium atau oviduk yang terinfeksi oleh bakteri tersebut (Tabbu, 2005).

12 Selain itu, kematian embrio dapat terjadi karena prosedur penetasan yang tidak sesuai seperti temperatur inkubator terlalu tinggi atau terlalu rendah, penyimpanan telur yang terlalu lama dan telur tidak diputar. Telur yang tidak diputar atau dibalik karena kelalaian atau matinya sumber listrik jelas akan mempengaruhi posisi embrio. akibatnya, embrio tidak dapat tumbuh normal dan akhirnya mati (Setiawan, 2010). Kandungan CO 2 terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kematian embrio.aktifnya metabolisme embrio menyebabkan akumulasi CO 2 di dalam ruang penetasan. Selain dapat menyebabkan kematian embrio, jumlah CO 2 yang terlalu tinggi dapat menyebabkan anak ayam yang berhasil menetas menjadi lemas dan lemah. Ventilasi atau aliran udara yang tidak baik menjadi faktor utama terjadinya penumpukan zat asam arang ini (Setiawan, 2010). 2.4 Daya Tetas Daya tetas adalah persentase jumlah telur yang menetas dari jumlah telur yang fertil.daya tetas telur merupakan salah satu indikator di dalam menentukan keberhasilan suatu penetasan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat digunakan untuk menentukan daya tetas telur.di dalam praktek, penentuan dan pemilihan telur yang mempunyai daya tetas tinggi tidaklah mudah, karena harus menunggu sampai telur ditetaskan. Daya tetas telur sangat ditentukan oleh berbagai faktor terutama nilai gizi dari induk. Tetapi hasil ini baru dapat diketahui setelah anak ayam menetas.(wibowo dan Jafendi, 1994). Banyak faktor yang mempengaruhi daya tetas telur antara lain: Berat telur, bentuk telur, keutuhan kulit telur, kualitas kulit telur, dan kebersihan kulit telur. Faktor lain yang mempengaruhi daya tetas yaitu genetic, nutrisi, fertilitas, dan penyakit (Sinabutar, 2009). Daya tetas dan kualitas telur tetas dipengaruhi oleh: cara penyimpanan, lama penyimpanan, tempat penyimpanan, suhu lingkungan, suhu mesin tetas, pembalikan selama penetasan. Penyimpanan yang terlalu lama menyebabkan kualitas dan daya tetas menurun sehingga telur sebaiknya disimpan tidak lebih dari 7 hari (Raharjo, 2004). Daya Tetas dipengaruhi oleh penyiapan telur, faktor genetik, suhu dan kelembaban, umur

13 induk, kebersihan telur, ukuran telur, nutrisi dan fertilitas telur (Sutiyono dan Krismiati, 2006). Penurunan daya tetas dapat disebabkan karena tingginya kematian embrio dini.kematian embrio tidak terjadi secara merata selama masa pengeraman telur.sekitar 65% kematian embrio terjadi pada dua fase masa pengeraman.pada fase awal, puncak kematian embrio terjadi hari keempat, fase akhir, puncaknya terjadi pada hari ke-19.kematian embrio dini meningkat antara hari kedua dan keempat masa pengeraman (Saefudin, 2000). Faktor-faktor yang menurunkan daya tetas telur adalah kesalahankesalahan teknis pada waktu memilih telur tetas, kerusakan mesin tetas pada saat telur dalam mesin tetas, heritability atau sifat turun temurun dari induk ayam yang daya produksi telurnya tinggi dengan sendirinya akan menghasilkan telur dengan daya tetas yang tinggi, dan sebaliknya, juga kekurangan vitamin A, B 2, B 12, D, E dan asam pentothenat dapat menyebabkan daya tetas telur berkurang. (Rukmana, 2003). 2.5 Pengaruh Temperatur terhadap Mortalitas dan Daya Tetas Telur Ayam Lokal Meijerhof (1999) menyataan temperatur menentukan tingkat pertumbuhan embrio dan kesuksesan perkembangan struktur organ-organ tubuh yang proporsional,sehingga berpengaruh juga terhadap hasil akhir proses penetasan. Nakage dkk (2003) menjelaskan bahwa pengaruh temperatur mesin tetas terhadap penetasan telur kualitas tetas kemungkinan saling berhubungan dalam mempengaruhi lama menetas dan kehilangan air pada penetasan. Bagaimanapun, pengaruh tersebut tergantung berapa lama dan seberapa panas dari temperatur optimum. Temperatur berpengaruh besar terhadap mortalitas dan daya tetas. Temperatur yang tidak tepat dan kelembaban serta kurangnya nutrisi pada saat penetasan menyebabkan mortalitas tinggi pada hari ke 12-17. (Salahi dkk,2013) Al-Thani dkk (1992) menyatakan bahwa perkembangan embrio unggas tergantung pada temperatur dan perubahan temperatur yang lebih tinggi ataupun lebih rendah 1 o C dari suhu optimum dapat mempengaruhi hasil tetas. Suhu di

14 bawah 34,5 o C dan diatas 36,5 o C meningkatkan mortalitas. Selain itu, penetasan dengan suhu dibawah 35,5 o C menyebabkan mortalitas late tinggi, sedangkan temperatur diatas 36,5 o C meningkatkan kematian awal dan menengah.(nakage dkk, 2003). Zhang and Whittow (1992) menyatakan variasi suhu mesin tetas dapat berpengaruh besar terhadap pertumbuhan embrio dan metabolisme, sedangkan menurut Landauer dkk (1967) Penurunan suhu mesin tetas pada minggu terakhir penetasan diperbolehkan akan tetapi dapat menyebabkan periode penetasan menjadi lebih lama. Suhu diturunkan pada 3 minggu terakhir penetasan baik untuk penetasan normal, mengurangi hilangnya cairan akan tetapi menyebabkan lamanya periode penetasan. (Wilson, 1991), menurut Primmet dkk (1988) pengaturan suhu dengan range yang terlalu ekstrim menyebabkan perkembangan embrio menjadi kurang baik seperti halnya pada ayam hutan mortalitas earlynya tinggi pada temperatur inkubasi yang rendah berbeda dengan ayam broiler.