Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati di dunia. Indonesia dijuluki sebagai Megadiversity Country,

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bangsa Indonesia dikaruniai kekayaan alam, bumi, air, udara serta

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

bebas murni oleh pengadilan. Sementara itu vonis hukuman bagi pelaku IL di Indonesia selama ini bervariasi, yaitu antara 1 bulan sampai dengan 9

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 4

KORUPSI MASIH SUBUR HUTAN SUMATERA SEMAKIN HANCUR OLEH: KOALISI MASYARAKAT SIPIL SUMATERA

CAPAIAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN JANUARI DIREKTORAT JENDERAL PENEGAKAN HUKUM

BAB I PENDAHULUAN. maupun ilegal dan melebihi batas imbang ekologis serta masalah pembakaran

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG

I.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

No bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. De

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi kedua setelah Columbia

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

INDIKASI KERUGIAN NEGARA AKIBAT DEFORESTASI HUTAN. Tim Penulis: Egi Primayogha Firdaus Ilyas Siti Juliantari Rachman

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Kondisi Hutan (Deforestasi) di Indonesia dan Peran KPH dalam penurunan emisi dari perubahan lahan hutan

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

I PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.7/Menhut-II/2010P. /Menhut-II/2009 TENTANG

REKALKUKASI SUMBER DAYA HUTAN INDONESIA TAHUN 2003

PELAKSANAAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN OLEH PENYIDIK POLRI DI WILAYAH HUKUM POLRES PADANG PARIAMAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG IRIGASI DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 150 TAHUN 2000 TENTANG PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

dan Mekanisme Pendanaan REDD+ Komunikasi Publik dengan Tokoh Agama 15 Juni 2011

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sebagai bangsa yang percaya dan meyakini kemahakuasaan Tuhan

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

B U K U: REKALKULASI PENUTUPAN LAHAN INDONESIA TAHUN 2005

FUNGSI KOORDINASI PENYIDIK POLISI DENGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KEHUTANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PEMBALAKAN LIAR

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 95/PUU-XII/2014 Penunjukan Kawasan Hutan Oleh Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENGENDALIAN KERUSAKAN DAN ATAU PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP YANG BERKAITAN DENGAN KEBAKARAN HUTAN DAN ATAU LAHAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2001 TENTANG

GEOSTRATEGI INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. beragam dari gunung hingga pantai, hutan sampai sabana, dan lainnya,

Dampak moratorium LoI pada hutan alam dan gambut Sumatra

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kekayaan alam berupa hutan merupakan karunia dan amanah dari Tuhan yang tidak ternilai

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 21 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. tidak ternilai harganya. Oleh karena itu, hutan wajib dijaga dan dimanfaatkan

Deforestasi merupakan penghilangan dan penggundulan hutan yang tidak

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENERTIBAN PENEBANGAN POHON DAN BAMBU DI LUAR KAWASAN HUTAN

BAB I PENDAHULUAN. dekade 1990-an. Degradasi dan deforestasi sumberdaya hutan terjadi karena

KATA PENGANTAR. Assalamu alaikum wr.wb.

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan tropis yang luas dan memiliki keanekaragaman hayati yang

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.9/Menhut-II/2011P. /Menhut-II/2009 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN Latar Belakang

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah Bumi, air dan kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KOTA PALANGKA RAYA NOMOR 07 TAHUN 2003 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BUPATI LOMBOK TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

PERATURAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN RETENSI ARSIP SEKTOR PEREKONOMIAN URUSAN LINGKUNGAN HIDUP

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2012 TENTANG

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Dekonsentrasi. Pemerintah. Provinsi.

I. PENDAHULUAN. manusia dalam penggunaan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih guna

RENCANA STRATEGIS

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

I. PENDAHULUAN. ekonomi. Manfaat hutan tersebut diperoleh apabila hutan terjamin eksistensinya

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

2017, No Peraturan Menteri; d. bahwa dalam rangka optimalisasi penanganan barang bukti tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan perlu diatu

Transkripsi:

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar Ketua : Marfuatul Latifah, S.H.I, L.LM Wakil Ketua : Sulasi Rongiyati, S.H., M.H. Sekretaris : Trias Palupi K., S.H., M.H. Anggota : Puteri Hikmawati, S.H., M.H. 1

RINGKASAN EKSEKUTIF Hutan Indonesia merupakan salah satu hutan tropis terluas di dunia dan ditempatkan pada urutan kedua dalam hal tingkat keanekaragaman hayatinya. Hutan Indonesia memberikan manfaat berlipat ganda, baik secara langsung maupun tidak langsung kepada manusia untuk memenuhi hampir semua kebutuhan manusia. Hutan di Indonesia memiliki nilai ekonomi, sosial, lingkungan dan budaya bagi negara dan khususnya bagi masyarakat setempat. Jika berbagai peranan itu tidak seimbang, yang satu lebih ditekankan daripada yang lainnya, maka keberlanjutan hutan akan semakin terancam. Menurut data Kementerian Kehutanan dan Lingkungan hidup, total luas daratan di Indonesia kurang lebih 187.918,3 juta hektar (ha) pada tahun 2013. Dari total luas daratan tersebut, area berhutan diketahui sebesar 96.4908 juta ha dan area yang tidak berhutan seluas 91.427 juta ha. Sayangnya luas hutan tersebut tidak terlindungi dengan baik, setiap tahunnya luas hutan Indonesia mengalami penurunan luas akibat deforestasi (hilangnya hutan) yang terjadi di berbagai daerah. Berdasarkan hasil analisa Forest Watch Indonesia (FWI), laju deforestasi di Indonesia dalam tiga periode mengalami penurunan yakni dua juta ha pertahun dalam kurun waktu 1980-1990-an, sekitar 1,5 juta pertahun selama 2000-2009, Sedangkan pada periode 2009-2013 diperkirakan sekitar 4,5 juta ha atau sekitar 1,3 juta ha hutan di seluruh Indonesia mengalami deforestasi. Pada laju deforestasi yang sama maka diperkirakan pada tahun 2023, hutan alam di beberapa provinsi di Indonesia termasuk provinsi-provinsi di Sumatera, yaitu Riau, kepulauan Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan akan habis. Selain hutan di Provinsi Sumatera, hutan di provinsi lain yang ada di Indonesia juga mengalami ancaman kehabisan hutan yang sama akibat deforestasi antara lain hutan di Jawa pada tahun 2020. Sedangkan hutan di Bali-Nusa Tenggara hanya akan tersisa 0,08 juta ha, Maluku 2,73 juta 2

ha, Kalimantan 21,29 juta ha, dan Papua 33,45 juta ha. Diperkirakan pada tahun 2030 hutan di Jawa dan Bali-Nusa Tenggara akan habis, Maluku tersisa 1,12 juta ha, Sulawesi 5,54 juta ha, Kalimantan 15,79 juta ha dan Papua 2,82 juta ha. Cepatnya laju deforestasi pada hutan Indonesia, disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor percepatan deforestasi yang dimaksud adalah perambahan/pembalakan sebagai faktor terbesar, yaitu 60%. Konversi hutan juga merupakan faktor percepatan deforestasi, yaitu sebesar 22%. Penggunaan jalan raya merupakan faktor selanjutnya, yaitu 16%. Sedangkan pertambangan merupakan faktor deforestasi paling sedikit, yaitu sebesar 0,6%. Selain sebagai faktor terbesar dalam pendorong laju deforestasi, pembalakan liar juga menjadi ancaman kepunahan fungsi ekologi hutan tropis Indonesia pembalakan liar yang terjadi di Indonesia menimbulkan dampak yang sangat luas terhadap kondisi lingkungan sekaligus kelangsungan fungsinya bagi kehidupan berbagai komunitas secara lintas generasi. Kerusakan ini juga menimbulkan ancaman bagi lingkungan seikitar, seperti ancaman kekeringan, bahaya banjir, tanah longsor, kebakaran, menipisnya lapisan ozon, pemanasan global dan perubahan iklim. Selain itu pembalakan liar juga menimbulkan kerugian keuangan negara, yaitu pendapatan negara dari sektor kehutanan. Pembalakan liar tidak dapat dibiarkan begitu saja, penanggulangan atas pembalakan liar perlu dilakukan oleh setiap pihak sehingga dapat menekan angka kerusakan yang ditimbulkan dan menekan angka kerugian yang dialami akibat pembalakan liar. Pada 2004-2012 tercatat telah terjadi setidaknya 2.494 kasus penebangan ilegal di 8 provinsi, dan sebagian besar terkait dengan pembukaan lahan perkebunan dan pertambangan ilegal. Akibat kejahatan ini negara berpotensi merugi Rp276,4 triliun. Penanggulangan pembalakan liar tidak hanya terbatas dalam kerangka upaya penegakan hukum saja, upaya penanggulangan pembalakan liar harus diiringi dengan upaya pencegahan dari setiap pihak yang berkaitan dengan upaya pelestarian dan perlindungan hutan di Indonesia. 3

Masalah pembalakan liar merupakan permasalahan yang sangat kompleks, sebab praktik pembalakan liar menimbulkan dampak yang sangat merugikan negara Indonesia, baik dari segi ekonomi, pelindungan hutan dan ekosistem serta lingkungan sekitar. Selain itu pembalakan liar juga akan menimbulkan kerugian dan membahayakan bagi warga sekitar dan masyarakat hukum adat yang selama ini hidup berdampingan dan bergantung pada hutan. Pengesahan UU No. 18 Tahun 2013 merupakan momentum yang sangat penting bagi penanggulangan pembalakan liar di hutan-hutan Indonesia. Sebab UU No. 18 Tahun 2013 menuangkan pengaturan yang lebih baik tentang peranan pemerintah daerah dan perlindungan hak masyarakat hukum adat agar dapat meningkatkan upaya pencegahan dalam pembalakan liar serta ketentuan yang lebih sesuai dengan kebutuhan penegakan hukum saat ini, seperti pengaturan pertanggungjawaban korporasi bagi para pelaku korporasi, dan pengaturan yang memperluas kewenagan PPNS kehutanan dalam menyidik perkara pembalakan liar. Namun sejak dinyatakan berlaku pada tahun 2014, UU No. 18 Tahun 2013 belum juga memberikan manfaat sebagaimana diinginkan dalam pembentukannya. Hal tersebut dapat dilihat dengan masih tingginya angka deforestasi terhadap hutan Indonesia, banyaknya sengketa antara pemilik izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat sekitar hutan, serta belum terbentuknya pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.18 Tahun 2013. Sehubungan dengan hal tersebut maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar. Permasalahan tersebut dijabarkan dalam beberapa pertanyaan penelitian, sebagai berikut: a. Bagaimana implementasi UU No. 18 Tahun 2013 berkaitan dengan aspek pencegahan khususnya aspek perlindungan hak masyarakat adat dan pemberian izin pemanfaatan hutan dari pemerintah daerah dalam penanggulangan pembalakan liar? 4

b. Bagaimana implementasi UU No. 18 Tahun 2013 berkaitan dengan aspek pemberantasan tindak pidana pembalakan liar khususnya aspek pertanggungjawaban pidana korporasi dan pelaksanaan penyidikan tindak pidana pembalakan liar serta koordinasi antar aparat penegakan hukum? Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa walaupun Undangundang ini telah mengusung beberapa materi baru yang dapat dikategorikan sebagai pengaturan hukum yang cukup progresif. Seperti ketentuan mengenai pemberdayaab masyarakat sekitar hutan dan perlindungan terhadap hak-haknya. Namun dalam praktik terdapat beberapa kendala substansial yang menyebabkan implementasi ketentuan mengenai perlindungan hak-hak masyarakat sekitar hutan berbenturan dengan ketentuan pencegahan. Kendala yang dimaksud adalah: a. Kategorisasi masyarakat sekitar hutan yang yang diperbolehkan menebang kayu untuk kebutuhan hidupnya atau untuk tujuan nonkomersial; b. Batasan dari perbuatan melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial; c. keharusan masyarakat sekitar hutan untuk memperoleh izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain adanya friksi antara perlindungan perlindungan hak-hak masyarakat sekitar hutan dengan beberapa ketentuan pencegahan, adanya perubahan terkait dengan ketentuan perizinan pemanfaatan hutan yang lebih banyak dilakukan di tingkat pemerintah pusat, juga menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan pengawasan kepatuhan terhadap ijin oleh pemerintah daerah selaku pihak yang lebih dekat dengan hutan sehingga pemerintah daerah sulit melakukan pengamanan hutan. Dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah keterlibatan peran Pemda dalam pemanfaatan hutan ternyata belum signifikan karena Pemda tidak lagi memiliki kewenangan koordinasi 5

antar sektor dalam hal pengelolaan hutan. Selain itu belum terselenggaranya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan mempersulit pemerintah daerah membantu pengelolaan dan pengamanan hutan. Dari segi penegakan hukum, UU No. 18 Tahun 2013 telah membawa ketentuan yang lebih mutakhir dalam perluasan subjek hukum dalam pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pembalakan liar, yaitu perorangan dan koporasi, baik korporasi berbadan hukum maupun korporasi tidak berbadan hukum. Selain itu untuk mempermudah menjerat pelaku korporasi, diatur juga mengenai kegiatan pembalakan liar secara terorganisir yang dapat dikenakan pada dua orang atau lebih. Namun, dalam pelaksanaan sulit sekali menjerat pelaku korporasi. Sehingga perluasan subjek hukum dalam UU No. 18 Tahun 2013 belum mencapai target yang diinginkan. Dari dua daerah objek penelitian, belum ada satupun tersangka maupun terpidana yang diproses atas nama korporasi. Sedangkan dari segi penyidikan dan koordinasi antar aparat yang berwenang didalamnya diketahui bahwa kinerja penegakan hukum oleh aparat penegak hukum dalam menanggulangi dan memberantas tindak pidana illegal logging ini masih rendah hal tersebut dipicu oleh kurangnya pendisiplinan dan pembinaan terhadap para penegak hukum. Hal lain yang mempengaruhi rendahnya komitmen penegakan hukum ialah tidak adanya integritas moral yang tinggi dari aparat penegak hukum dalam menuntaskan kasus-kasus illegal logging, kurangnya maksimalisasi peranperan dalam peradilan dan yang paling utama adalah dibutuhkan kesamaan visi, kerjasama yang sinergis di antara aparat penegak hukum (polisi, hakim, jaksa, lembaga peradilan) dalam upaya pemberantasan dan penyelesaian kasus-kasus illegal logging. Sedangkan terkait dengan rencana pembentukan lembaga sesuai dengan amanat Pasal 51 UU No. 18 Tahun 2013, terdapat 2 pendapat yang berbeda. Pihak yang tidak setuju menyatakan bahwa pembentukan lembaga tersebut tidak lagi dibutuhkan sebab tidak ada kendala dalam 6

proses penegakan hukum. Sedangkan pihak yang setuju menyatakan bahwa pembentukan lembaga adalah sebuah kebutuhan yang mendesak untuk melindungi hutan indonesia dari perusakan sistemik dan berkelanjutan. Untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dalam implementasi UU No. 18 Tahun 2013, dibutuhkan perubahan beberapa ketentuan khususnya terkait dengan perlindungan hak masyarakat adat, dan kewenangan pemda khususnya dalam pengamanan hutan. Terkait dengan pertanggungjawaban pidana korporasi perlu dilakukan pelatihan bagi aparat penegak hukum khususnya mengenai entitas korporasi dalam hukum di Indonesia. Pembentukan lembaga gakkum sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 18 Tahun 2013 merupakan kebutuhan yang mendesak, oleh sebab itu, kesepakatan para pihak yang harus bekerjasama dalam lembaga tersebut dibutuhkan. Presiden selaku pengambil keputusan tertinggi harus dapat mendorong pembentukan lembaga tersebut. 7