Pluralisme Agama Oleh: Umi Hanik PLURALISME AGAMA PERSPEKTIF TEORI STRUKTUAL FUNGSIONAL DAN INTERAKSIONISME SIMBOLIK

dokumen-dokumen yang mirip
Pluralisme Agama Oleh: Umi Hanik PLURALISME AGAMA DAN KERUKUNAN HIDUP BERAGAMA. Oleh: Umi Hanik *

SILABI MATAKULIAH. Pengalaman belajar Indikator Strategi Penilaian. Mahasiswa mampu: Menjelaskan secara analitis tentang pengertian

PLURALISME AGAMA DI INDONESIA

BAB II TALCOTT PARSONS: TEORI STRUKTURAL FUNGSIONAL. A. Teori Struktural Fungsional Talcott Parsons

BAB II STRUKTURAL FUNGSIONAL TALCOTT PARSONT. Kajian teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori struktural fungsional

BAB II PERUBAHAN SOSIAL TALCOT PARSONS. Perubahan dapat berupa yang tidak menarik atau dalam arti

BAB II LANDASAN TEORI TENTANG PERKAWINAN

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL. juga tata letak teori dalam pembahasan dengan judul Industri Rumah

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER AMIKOM YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. kenyataan yang tak terbantahkan. Penduduk Indonesia terdiri atas berbagai

MODUL PERKULIAHAN Kapita Selekta Ilmu Sosial Sistem Sosial

MASALAH SOSIAL BUDAYA DITINJAU DALAM BERBAGAI NUR ENDAH JANUARTI, MA

BAB I PENDAHULUAN. beragama itu dimungkinkan karena setiap agama-agama memiliki dasar. damai dan rukun dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA. Al Banna, G. (2006). Pluralisme Agama. Jakarta: Mata air.. (2006). Doktrin Pluralisme dalam Al Quran. Jakarta: Menara.

BAB I PENDAHULUAN. Sejarah kehidupan beragama di dunia banyak diwarnai konflik antar

AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan)

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL DAN TEORI SOLIDARITAS. Solidaritas Dan Stratifikasi Antar Petani Tambak Di Dusun Dukuan Desa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. harus dijaga di Indonesia yang hidup di dalamnyaberbagai macam suku, ras,

BAB II. KAJIAN PUSTAKA. menentukan. Strategi utama yang harus dilakukan oleh pedagang waralaba Tela-Tela

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sosial, pranata sosial dan hubungan antara individu dengan struktur sosial serta antar

KONFLIK HORIZONTAL DAN FAKTOR PEMERSATU

BAB VII PENUTUP. Dari kajian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut; Pertama, Realitas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB III METODE PENELITIAN

BAB IV ANALISIS. Pustaka Pelajar, 2001, hlm Azyumardi Azra, Kerukunan dan Dialog Islam-Kristen Di Indonesia, dalam Dinamika

PERMASALAHAN UMUM YANG DIHADAPI PESANTREN

BAB I PENDAHULUAN. sekali. Selain membawa kemudahan dan kenyamanan hidup umat manusia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

APATISME PEMBICARAAN NEGARA ISLAM 1

BAB I PENDAHULUAN. manusia berinteraksi dengan lingkungannya (Tirtarahardja &Sula, 2000: 105).

BAB I PENDAHULUAN. Sehingga tidak memicu terjadinya konflik sosial didalam masyarakat.

ABDURRAHMAN WAHID : PEMIKIRAN TENTANG KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DI INDONESIA TESIS

4/9/2014. Kuliah ke-6 Amika Wardana, Ph.D Teori Sosiologi Kontemporer

BAB 1 PENDAHULUAN. dari segala dimensi. Sebagai sebuah bangsa dengan warisan budaya yang

BAB III METODE PENELITIAN

KESEPAKATAN PEMUKA AGAMA INDONESIA

Gagasan dalam Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial

BAB I PENDAHULUAN. lain, mulai dari lingkungan lokal (keluarga) sampai ke lingkungan sosial luar (masyarakat).

BAB II KAJIAN TEORI. 1. Kajian Tentang Keragaman Etnik Terhadap Pemahaman Keagamaan. masuknya ketidak sepakatan pemahaman keagamaan yang tajam atau

SOSIOLOGI KOMUNIKASI

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN. a. Keharusan saling mengenal, b. Keberagamaan keyakinan, c. Keberagamaan etnis.

BAB I PENDAHULUAN. interaksi manusia antara lain imitasi, sugesti, simpati, identifikasi, dan empati.

ISLAM, DEMOKRASI DAN TANTANGAN GLOBAL

Jurnal As-Salam, 2(1) Januari - April 2018

Modul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN IV AGAMA DAN MASYARAKAT OLEH: AJAT SUDRAJAT

TEORI SOSIOLOGI KONTEMPORER

PERMASALAHAN UMUM YANG DIHADAPI PESANTREN

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih dikenal dengan multikultural yang terdiri dari keragaman ataupun

BAB II SOLIDARITAS SOSIAL-EMILE DURKHEIM. objek penelitian.sebagai alat, teori tersebut dipilih yang paling memadai, paling

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi

1) MERUMUSKAN SOSIOLOGI (1840) SBG ILMU EMPIRIK ( BAPAK SOSIOLOGI)

I. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

JANUSITAS IMPLIKASI SOSIAL REFORMASI

BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN

B A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. dengan baik oleh penduduk kota tersebut. Dukungan ini tidak diperoleh secara

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KONFLIK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia merupakan mahluk individu dan juga mahluk sosial. Sebagai

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang dilakukan dengan judul Pendidikan Islam Berwawasan kebangsaan menurut perspektif KH.

BAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial

BAB II. Paradigma Sosiologi dan Posisi Teori Konflik

BAB II TEORI FUNGSIONALISME STRUKTURAL-TALCOTT PARSONS. (PNPM) Mandiri Perdesaan dalam menanggulangi kemiskinan (Studi di Desa

BAB I PENDAHULUAN. memiliki perbedaan. Tak ada dua individu yang memiliki kesamaan secara

BAB VI KESIMPULAN. sosial-politik yang melingkupinya. Demikian pula dengan Islamisasi dan

KARAKTERISTIK STRUKTUR PERCAKAPAN DAN KONTEKS PADA RUBRIK KARTUN OPINI DALAM HARIAN KOMPAS

EMPAT BELAS ABAD PELAKSANAAN CETAK-BIRU TUHAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

I PENDAHULUAN. menjalankan kehidupan bermasyarakat dan bemegara serta dalam menjalankan

researc yang berarti usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan

BAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan

PEMIKIRAN POLITIK DAN GERAKAN SOSIOKULTURAL KEWARGANEGARAAN KAUM INTELEKTUAL MUSLIM NEO-MODERNIS DALAM PENGUATAN DEMOKRASI DAN CIVIL SOCIETY

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di dalam mencari fakta fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Jadi,

BAB I PENDAHULUAN. dijalankan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Seorang individu

SATUAN ACARA PENGAJARAN

BAB IV ANALISIS DATA

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN. Kerangka Berpikir

BAB I PENDAHULUAN. Keberagaman etnik yang ada di Indonesia dapat menjadi suatu kesatuan

Kapita Selekta Sosial

I. PENDAHULUAN. mayoritas dengan penganut minoritas. Penganut atau golongan agama saling

BAB I PENDAHULUAN. heterogen, keberagaman suku, budaya dan agama menciptakan pluralisme

BAB I PENDAHULUAN. Menara Kudus), Jilid II, hlm Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, (Kudus:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

A. Latar Belakang Masalah

SOSIOLOGI DALAM KEPARIWISATAAN

Paham Nasionalisme atau Paham Kebangsaan

BAB I PENDAHULUAN. dalam judul skripsi makelar mobil dalam perspektif hukum islam (Studi di

BAB I SOSIOLOGI SEBAGAI ILMU

IMPLEMENTASI SIKAP TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA. (Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII SMP Negeri 3 Kartasura Tahun Pelajaran 2013/2014)

REVITALISASI PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM MENEGAKKAN NILAI-NILAI BHINNEKA TUNGGAL IKA. Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Mahasiswa mampu: Menjelaskan secara analitis tentang pengertian. kekerasan, komunalisme dan

BAB IV ANALISIS TENTANG TOLERANSI MASYARAKAT ISLAM TERHADAP KEBERADAAN GEREJA PANTEKOSTA DI DESA TELAGABIRU

BAB I PENDAHULUAN. Kematian atau meninggal dunia adalah suatu peristiwa yang pasti akan

BAB II TINJAUN PUSTAKA. socialnya (action theory), yaitu mengenai tindakan yang dilakukan seseorang

Transkripsi:

PLURALISME AGAMA PERSPEKTIF TEORI STRUKTUAL FUNGSIONAL DAN INTERAKSIONISME SIMBOLIK Oleh: Umi Hanik Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Kediri Abstrak : Artikel ini membahas tentang konsep pluralisme agama ditinjau dari teori struktural fungsional dan teori interaksionisme simbolik. Teori fungsional struktural digunakan karena dianggap dapat menubuhkan perhatian dan sumbangan terhadap sistem sosial yang berupa fungsi integratif karena fungsional struktural melihat masyarakat sebagai aqualibrium sosial dari semua institusi yang ada di dalamnya. Kata Kunci : Pluralisme Agama, Struktural Fungsional, Interaksionisme Simbolik Pendahuluan Untuk menjelaskan persoalan pluralisme agama hubungannya dengan masalah konflik dan integrasi sosial, maka perspektif teori interaksinalisme simbolis dan struktur fungsional diharapkan dapat menggiring persoalan menjadi lebih jelas, guna menemukan persoalan-persoalan sibtansial dari penelitian yang di lakukan. F. O dea (1992 : 11) teori struktur fungsionl di gunakan karena dapat menumbuhkan perhatian pada sumbangan fungsional agama yang diberikan kepada sistem sosial. Dalam konteks penelitian ini yang perlu mendapatkan perhatian adalah fungsi agama sebagai kekuatan integratif masyarakat. Sebagaimana diketahui struktur fungsional melihat masyarakat sebagai aqualibrium sosial dari semua institusi yang ada di 206

dalamnya. Sebagai keseluruhan sistem sosial masyarakat menciptakan pola-pola kelakuan yang terdiri dari norma-norma yang dianggap sah dan mengikat oleh anggotanya yang menjadi pengambil bagian (partisipasi) dari sistem itu. Keseluruhan dari institusi-institusi yang membentuk sistem sosial itu sedemikian rupa, sehingga setiap bagian saling menguntungkan dengan semua bagian lainnya sedemikian erat hingga perubahan dalam satu bagian mempengaruhi yang lain dan keadaan sistem sebagai keseluruhan (Hendropuspito, 7990 : 27 : Suwarsono dan Alvin, so, 1991:11-13) Agar masyarakat sebagai suatu sistem tetap survive dan tidak mengalami kekacauan (chaos) di dalamnya menurut Parsons (dalam Ritzer,1982 : 97), setiap lembaga yang ada dalam masyarakat perlu menjalankan fungsi pokok (functional imperative) apa yang kemudian disebut AGIL (Adaptation Goal, Attainment, integration, Latency). Secara umum teoti sosial fungsional mengemukakan konsep tentang tindakan sosial (sosial action) yang beranggapan bahwa perilaku sukarela mencangkup beberapa elemen pokok, yaitu : a. Aktor sebagai individu b. Aktor memiliki tujuan utama yang dicapai c. Aktor memiliki berbagai cara untuk melaksanakan tujuan tersebut d. Aktor dihadapkan pada berbagai kondisi dan situasi yang dapat mempengaruhi pilihan cara-cara yang dapat digunakan untukmencapai tujuan tersebut e. Aktor dikomando oleh nilai-nilai, norma-norma, ide-ide dalam menentukan tujuan yang diinginkan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut Perilaku termasuk bagaimana aktor mengambil keputusan tentang cara-cara yang akan digunakan akan mencapai tujuan di pengaruhi oleh ide-ide dan situasi kondisi yang ada. Manusia adalah aktor yang memiliki kemampuan yang memiliki untuk 207

melakukan serangkaian pilihan dalam melakukan tindakannya, yang disebut sebagai cara-cara, yang pada kenyataannya dipengaruhi oleh norma, ide, nilai, dan tujuan yang ingin dicapainya serta situasi dan kondisi dimana tindakan itu akan dilakukan. Secara umum teori struktual fungsional memiliki asumsi untuk menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, yaitu : 1. Masyarakat harus dianalisis sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri dari berbagai bagian yang saling berinteraksi. 2. Hubungan yang ada bisa bersifat satu arah atau hubungan yang timbal balik. 3. Sistem sosial yang ada bersifat dinamis dimana penyesuaian yang ada tidak perlu banyak mengubah sistem sebagai suatu kesatuan. 4. Intergasi yang ada di masyarakat senantiasa timbul ketegangan-ketegangan dan penyimpanganpenyimpangan, tetapi penyimpangan dan ketegangan ini akan dinetralisir lewat proses pelembagaan. 5. Perubahan-perubahan akan berjalan secara gradual dan berlahan-lahan sebagai suatu proses adaptasi dan penyesuaian. 6. Perubahan adalah hasil penyesuaian dari luar tumbuh oleh adanya diferensiasi dan inovasi. 7. Sistem diintregasikan lewat pemilikan nilai-nilai yang sama. Agama memiliki fungsi dalam sistem sosial, didalam masyarakat terdapat lembaga yang masing-masing memiliki fungsi berbeda sesuai dengan peran yang dimainkannya. Sebagaimana keberadaan lembaga keagamaan berfungsi untuk membimbing umat manusia agar berlaku baik sesuai dengan fitrahnya. 208

Dalam perspektif struktur fungsional agama dipandang mempunyai peran dalam menciptakan ikatan bersama baik di antara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka (Nottingham, 1990 : 42). Fungsi seperti ini secara empirik telah dibuktikan oleh Emile Durkheim yang mengantarkan pada suatu kesimpulan bahwa agama berfungsi sebagai kekuatan pemersatu masyarakat (Hortonm dan Hunt, 1993 : 308). Dalam The Elementary Form Of Relegius Life (1992). Durkheim menjelaskan bahwa tujuan utama agama adalah membantu orang berkomunikasi dengan sesamanya. Ritual-ritual religius yang dijalankan oleh setiap pemeluk agama membantu seseprang untuk mengembangkan rasa paguyuban (sense of community) seperti kebersamaan dalam peristiwa perkawinan, kelahiran, kematian dan lain sebagainya. Pembuktian empirik berikutnya dari Geert (Robertson, 1992 : 201-204), yang membuktikan bahwa salah satu fungsi konflik yang juga berhasil dibuktikan secara empirik oleh Geertz melalui penelitiannya di Mojokuto. Menurut Geertz agama dapat menjelaskan fungsi integrasi sosial karena terdapatnya : 1. Perasaan memiliki satu kehidupan 2. Kenyataan bahwa pola-pola keagamaan tidak disebabkan secara langsung dalam bentuk sosial, secara murni dan sederhana, melainkan melalui proses yang rumit, hingga komitmen keagamaan dan komitmen lainnya terhadap kelas, tetangga dan lain sebagainya harus seimbang sehingga munculah berbagai individu dalam kelompok vital campuran yang bisa berperan sebagai perantara. 3. Toleransi umum yang didasarkan atau suatu relatifisme kontekstual yang menganggap nilainilai tertentu sesuai dengan konteksnya dan dengan demikian memperkecil missionisasi 209

4. Pertumbuhan mekanisme sosial yang mantap menuju kepada bentuk-bentuk integrasi sosial yang majemuk dan nonkritis yang di dalamnya orang-orang yang memiliki berbagai pandang sosial dan nilai dasar yang berbeda secara radikal dapat bergaul secara baik satu sama lainnya untuk menjaga agar masyarakat tetap berfungsi. Dalam fungsi lainnya, agama merealisasikan sebagai kekuatan yang dapat memicu munculnyakonflik dalam kehidupan masyarakat. Untuk mengungkapkan persoalan ini akan di gunakan teori konflik. Jika dalam teori struktur fungsional masyarakat di pandang selalu dalam keteraturan, harmoni, maka dalam pandangan teori konflik, kehidupan masyarakat selalu di tandai dengan persaingan yang mengarah pada terjadinya pertentangan atau konflik (Paterson. N, Vauchan,1996 : 12-13). Dalam penjelasan yang lebih terperinci (Sanderson, 1993:12) menjelaskan sebagai berikut : 1. Kehidupan sosial pada dasarnya merupakan arena konflik atau pertentangan 2. Sumber-sumber daya ekonomi dan kekuaaan-kekuaaan politik merupakan halpenting yang berbagai kelompok berusaha merebutnya 3. Akibat tipikal dari pertentangan ini adalah pembagian masyarakat menjadi kelompok yang di terminan secara ekonomi dan kelompok yang tersubordinasi 4. Pola-pola sosial dasar suatu masyarakat sangat di tentukan oleh pengaruh sosial dari kelompok yang secara ekonomi merupakan kelompok yang di terminan 5. Konflik dan pertentangan sosial di dalam dan di antara berbagai masyarakat melahirkan kekuatan-kekuatan yang menggerakan kekuatan sosial 210

6. Karena konflik dan pertentangan merupakan ciri dasar kehidupan sosial, maka perubahan sosial menjadi hal umum dan sering terjadi. Jika mengikuti gambaran Sanderson di atas, maka konflik dalam kehidupan sosial masyarakat tampak sebagai kekacauan (chaos), karena ituoleh beberapa ilmuan sosial, konflik di anggap sesuatu yang destruktif atau patologis bagi kelompok sosial. Akan tetapi Coser, justru memandang dari sisi yang lain. Menurut coser konflik memberikan sumbangan positif untuk membentuk serta mempertahankan struktur.konflik dapat juga menciptakan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Dan terakhir, konflik dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur dalam dunia sosial sekelilingnya (Poloma, 1987 : 108). Bagaimana agama dapat menjadi faktor konfliktual dalam masyarakat?, pertanyaan ini menarik karena justru agama secara doctrinal menjunjung tinggi sikap damai, anti konflik dan mempunyai komitmen kepada nilai-nilai kemanusiaan. Munculnya konflik sebenarnya lebih merupakan akibat logis setelah agama mengalami proses pelembagaan secara sistemik. Dalam pelembagaan ini yang terjadi kemudian agama menjadi suatu kesadaran kelompok atau primodial lainnya seperti etnik, suku, kebangsaan, organisasi dan lain sebagainya.perkembangan lainnya munculnya prasangka sosial, streotipe terhadap kelompok agama lain, suatu sikap yang akan menciptakan kelompok agama lain, suatu sikap yang akan menciptakan kelompok sendiri (in group) dan kelompok luar (out group) yang sangat menyulitkan tercapainya saling pengertian. Dalam upaya menginterpretasikan makna fenomena sosial, menyingkap sebab-sebabnya, dan hal-hal yang mendasari fenomina sosial itu, para ilmuan sosial ingin menduga asumsiasumsi dalam yang berada di baliknya dan memungkinkan timbulnya aktifitas senacam itu. Geertz mengingatkan agar 211

penginterpretasian itu di lakukan dengan hati-hati (caverul interpretation), yang oleh Alveson & Skoldberg (2000 : 95-98) di sebut sebagai Geertz, hermeneutic ethography. Dengan memberikan contoh fenomena sabung ayam di Bali, apakah suatu tindakan merupakan taruhan (atau judi), masih memerlukan penjelasan lebih lanjut mengenai aktifitas itu, sehingga akan mendorong para antropolog mengekplorasi tujuan dan signifikansinya secara lebih mendalam. Karena Clifford Geertz bisa memandang adu ayam di Bali sebagai teks bagi masyarakat bali sifatnya tidak langsung jelas. Contoh lain tentang perlunya kehati-hatian dalam menafsirkan tentang rasa, Geertz (1999) menjelaskan bahwa, bagi orang jawa (atau sekurang-kurangnya mereka yang pemikirannya masih di pengaruhi oleh pemikiran periode Hindu-Budha jawa pada abad ke dua sampai kelima belas), Arus pengalaman subjektif, yang di ambil dalam segala kelangsungan fenomenologisnya, merupakan sebuah mikrokosmos dari alam semesta pada umumnya. Di kedalaman genangan dunia batiniah dari pikiran dan emosi tercerminlah kenyataan terakhir itu sendiri. Jenis pandangan dunia yang melihat kedalaman ini paling jelas terungkap dalam sebuah konsep jawa yang jjuga di pinjam dari india dan juga di tafsirkan secara khas rasa. Rasa mempunyai dua arti pokok : perasaan (feeling) dan makna (meaning). Sebagai perasaan, rasa adalah salah satu dari panca indra orang jawa. Cita rasa sebuah pisang adalah rasanya : suatu firasat adalah suatu rasa; kesakitan adalah suatu rasa; dan rasa juga adalah nafsu. Sebagai makna, rasa di terapkan pada kata-kata di dalam sebuah surat, dalam sebuah posisi, atau malahan dalam percakapan biasa untuk menunjukkan ketidak langsungan yang terkandung di antara baris-baris dan sugesti yang berkias-kias yang sedemikian pentingnya di dalam komunikasi dan hubungan sosial orang jawa. Dengan mengartikan rasa sebagai perasaan maupun 212

makna, orang-orang jawa yang lebih cenderung spekulatif telah mampu memperkembangkan sebuah analisis fenomenologis yang sangat rumit tentang pengalaman subjektif yang padanya terkait segala sesuatu yang lain. Karena pada dasarnya perasaan dan makna itu satu, dan dengan demikian pengalaman relegius akhir yang di alami secara subjektif juga adalah kebenaran relegius yang di alami secara objektif; sebuah analisis empiris atas persepsi batiniah sekaligus menghasilkan sebuah analisis atas kenyataan lahiriah (Geertz, 1999;61-62). Dengan buku tafsir kebudayaan Geertz (2000) mendesak rekan-rekannya para antropolog dan ahli-ahli ilmu sosial pada umumnya untuk lebih memperhatikan apayang di sebut makna, daripada sekedar perilaku manusia.dalam menanggapi sebuah gejala atau peristiwa manusiawi, Geertz menganjurkan seseorang untuk lebih mencari pemahaman makna daripada sekedar mencari hubungan sebab-akibat. Untuk iitu, perlulah mengetahui lebih dahulu cara menafsirkan symbol-simbol yang setiap saat dan tempat dipergunakan orang dalam kehidupan umum. Hanya perlu di ingat bahwa belum jelas apakah makna itu ada dalam teks atau symbol-simbol kebudayaan itu sendiri; atau, makna tersebut justru timbul oleh rangsangan symbol atau teks termaksud.(budi susanto, 2000).Tentu istilah-istilah seperti makna, simbol, konsep memerlukan penjelaskan.tetapi persis di situlah tempat terjadinya pelebaran, perluasan, dan pembesaran. Jika Langer betul bahwa, konsep makna, dalam segalakeaneka ragamnya, merupakan konsep filosofis yang dominan dari zaman kita, sehingga tanda-tanda, symbol-simbol, denotasidenotasi, signifikasi-signifikasi, komunikasi merupakan stok (intelektual) kita dalam perdagangan, barangkali inilah saatnya antropologi sosial, dan khususnya bagian darinya yang memusatkan pada studi agama, menjadi sadar akan fakta itu (Geertz, 1999; 3-4). 213

DAFTAR PUSTAKA Wahid, Abdurrahman. Muslim di tengah pergumulan, (Jakarta : Lappenas, 1981). Shihab, Alwi. Islam Inklusif: Menuju sikap terbuka dalam beragama (Bandung : Mizan, 1999), cet. VII. Abdulloh, M. Amin, Etika dan dialog antar agama : Perspektif islam, dalam jurnal Ulumul Qur an. No.4 Vol. IV.Th. 1993. Andito (ed), atas nama agama, Wacana agama dalam dialog bebas konflik, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 259. Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 1993). Burhanudin Daja dan Herman Leonard Beck (red), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta : INIS, 1992). Nasution, Chadijah. Sejarah dan Perkembangan Dakwah Islam (Yogyakarta : Ideal Offset, 1978). Barton, Greg. Gagasan Islam Liberal di Indonesia : Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholis Madjid, Djohan Effeni, Ahmad Wahid, pent. Nanang Tahqiq (Jakarta pramidina, 1999), cet. I. Guillaume, A., The Life of Muhammad : A Translation of Ibn Ishhaq s Sirat Rasul Allah, (Karachi : Oxford University Press, 1970). Hassan, Hasan Ibrahim Sejarah Dan Kebudayaan Islam, terj. Djah dan Humam (Yogyakarta : Kota Kenbang, 1989). Huntington, Samuel P., Benturan Antar Peradaban, Masa DepanPolitik Dunia? dalam Jurnal Ulumul Qur an, No. 5, Vol.IV Tahun 1993. Al-Faruqi, Ismail Raji (ed), Trialog Tiga Agama Besar : Yahudi, Kristen, Islam, alihbahasa Joko Susilo Kahhar dan 214

Supriyanto Abdulloh, Cet I (Surabaya : Pastaka Prograssif, 1994). Hidayat, Komarudin dan Ahmad Gaus AF (ed), Passing Over : Melintasi Batas Agama (Jakarta : Gramedia Utama, 1998). Michael H. Hart, Seratus Tokah Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah, terj. Mahbub Djunaidi (Jakarta Pustaka Jaya, 1990), cet. XII. Watt, Montgomery W., Muhammad at Medina (London : Oxford University Press, 1956). Haekal, Muhammad Husain Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audah (Jakarta : Tintamas, 1984). Ali, A. Mukti, Dialog Between Muslims and Cristians in Indonesia and its Problems dalam Al-Jami ah No. 4 Th. XI Djuli 1970. Ali, Mursyid (ed), Studi Agama-agama Di Perguruan Tinggi, Bingkai Sosio-Kultural Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama di Indonesia, (Jakarta : Balitbang Depag RI, 1998/1999). Tamara, M. Nasir Dan Elz Pelda Taher (ed), Agama dan Dialog Antar Peradaban (Jakarta : Yayasan Paramadina, 1996). Shiddiqi, Nourouzzaman, Jeram-jeram Peradaban Muslim (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996). Madjid, Nurcholis, Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan Untuk Generasi Mendatang, dalam Jurnal Ulumul Qur an, No I Vol.IV, Th. 1993. Parliament of the World s Relegions, Declaration Toward a Global Ethic (Chicago : t.t). Sjalabi, A., Sedjarah Dan Kebudayaan Islam (Djakarta : Djajamurni, 1970). Stokhof, W.A.L. (red), Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), (Jakarta : INIS, 1990), jilid VII. Sumarthana, Th. Dkk. (ed), Dialog : Kritik Dan Identitas Agama. 215

Umar Hasyim, Toleransi dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Agama (Surabaya : PT. Bina Ilmu, t.t.). 216