Mencapai Tujuan Penerapan Sistem Kamar yang Ideal Diskusi Publik Memperkuat Sistem Kamar untuk Meningkatkan Kualitas dan Konsistensi Putusan Pengadilan Lembaga Kajian & Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) 27 September 2012
Tujuan utama dari diterapkannya Sistem Kamar di Mahkamah Agung adalah terciptanya kesatuan hukum yang akan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat. Ketidakpastian hukum yang terjadi selama ini memberikan dampak yang sangat mendasar terhadap penegakan hukum di Indonesia, karena menimbulkan (1) ketidakpastian perlindungan hak-hak masyarakat dan (2) ketidakjelasan panduan bagi pengadilan di tingkat bawah dalam memutus suatu perkara.
Untuk mewujudkan kepastian hukum bagi masyarakat, MA telah mengambil langkah awal yang bisa diambil berdasarkan kewenangannya. Yaitu dengan menerapkan sistem kamar. Setelah penerapan sistem kamar, tentu MA masih dituntut untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya untuk menjamin sistem kamar dapat diterapkan secara efektif. Pertanyaan selanjutnya adalah: (1) Apa sajakah pekerjaan rumah yang masih perlu diselesaikan oleh MA untuk menerapkan sistem kamar secara ideal? (2) Apakah tanggung jawab untuk mewujudkan kepastian hukum itu hanya menjadi tanggung jawab MA? (3) Siapa saja pihak atau lembaga negara lain yang memiliki tanggung jawab dan peran penting untuk mewujudkan sistem kamar yang efektif di MA sehingga dapat mewujudkan tujuan kepastian hukum yang dicita-citakan?
Pekerjaan Rumah untuk Mahkamah Agung 1. Melaksanakan secara disiplin prosedur penanganan perkara yang diatur berdasarkan Sistem Kamar 2. Melakukan penyesuaian struktur organisasi sesuai alur kerja penanganan perkara berdasarkan Sistem Kamar 3. Melakukan penempatan personil sesuai dengan kebutuhan masing-masing kamar (yang merefleksikan beban perkara di masing-masing kamar) 4. Memperkuat database penanganan perkara dan publikasi putusan MA
1. Prosedur Penanganan Perkara berdasarkan Sistem Kamar Pemilahan jenis perkara berdasarkan substansi bidang hukum masing-masing. Pendistribusian perkara kepada kamar-kamar yang sesuai. Rapat Pleno Perkara di masing-masing kamar. Diatur dalam SK KMA No.17/2012 tentang Perubahan Pertama SK KMA No.142/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada MA menyatakan bahwa tujuan Rapat Pleno Perkara adalah untuk: a. Menjaga konsistensi putusan dalam kamar yang bersangkutan. b. Sebagai mekanisme akuntabilitas Majelis Hakim kepada kolega seluruh Hakim Agung yang menjadi anggota kamar dalam memutus perkara. Pembuatan risalah putusan oleh Panitera Pengganti untuk masing-masing perkara, yang memuat permasalahan hukum, pertimbangan hukum, serta putusan Majelis Hakim.
2. Penyesuaian Struktur Organisasi Diterapkannya sistem kamar membawa perubahan terutama terhadap fungsi dan pembagian tugas di Kepaniteraan. Oleh karena itu, MA perlu meninjau struktur organisasi Kepaniteraan yang ada saat ini, apakah sudah sesuai dengan alur penanganan perkara berdasarkan sistem kamar yang harus diberlakukan. Salah satu perubahan penting dalam alur penanganan perkara adalah pada pendistribusian perkara, di mana saat ini Ketua MA langsung menyampaikan perkara yang telah dipilah berdasarkan substansinya kepada Panitera Muda Kamar perkara yang sesuai. Sehingga proses pengumpulan dan pengelolaan berkas perkara yang sebelumnya dilakukan di Kepaniteraan Muda Perkara sebelum disampaikan kepada Panitera Muda di masing-masing Tim, tidak lagi diperlukan. Apabila memang ditemukan bahwa ada fungsi-fungsi tertentu yang tidak lagi diperlukan, tentu Pimpinan MA perlu memikirkan bagaimana mengalihkan dan menata sumber daya yang saat ini ada di Mahkamah Agung.
3. Penempatan Personil sesuai Kebutuhan Kamar dan Pembinaan Personil MA saat ini telah mendistribusikan/menempatkan para Hakim Agung ke masing-masing kamar perkara berdasarkan latar belakang dan keahlian masing-masing (SK KMA No.144/2011). Saat ini, komposisi Hakim Agung yang ada di MA memang belum sesuai dengan komposisi perkara yang harus ditangani. Namun untuk selanjutnya, MA perlu memperhatikan beberapa kriteria berikut ini dalam penempatan personil di masing-masing kamar perkara: a. Jumlah/beban perkara di masing-masing kamar b. Kompetensi dan keahlian SDM pendukung selain Hakim Agung yang ada di masingmasing kamar, terutama untuk Panitera Pengganti yang memiliki peran penting dalam penanganan perkara. Dari sisi pembinaan SDM, penempatan Panitera Pengganti yang merupakan hakim pengadilan tingkat pertama, tentu akan mendapatkan manfaat yang sangat besar dalam peningkatan kapasitas dan kompetensinya sebagai Hakim, apabila ditempatkan dalam kamar yang sesuai dengan latar belakang dan keahliannya.
4. Penguatan Database Perkara dan Publikasi Putusan MA Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, MA secara aktif telah mempublikasikan putusannya melalui website, sehingga akses masyarakat terhadap putusan MA menjadi jauh lebih mudah. Dengan kemudahan ini, masyarakat dan berbagai kalangan dapat dengan mudah membaca dan mencermati putusan para Hakim Agung. Yaitu bagaimana para Hakim Agung merumuskan permasalahan hukum, pertimbangan hukum dan putusan dalam setiap perkara. Publikasi putusan oleh MA diasumsikan dapat mendorong diskursus dan pengawasan terhadap konsistensi putusan. Diskursus yang berkembang dan pengawasan masyarakat di sisi lain juga dapat menjadi pendorong bagi Hakim Agung untuk menjaga kualitas putusannya. Apabila MA secara disiplin telah membuat, memelihara dan mempublikasikan risalah untuk setiap putusan, pemanfaatan informasi dalam putusan, sekaligus penilaian terhadap konsistensi putusan, dapat dilakukan dengan lebih mudah lagi.
Selain MA, siapa lagi? 1. Akademisi & Praktisi Hukum (termasuk Hakim Pengadilan Tingkat Bawah) 2. Dewan Perwakilan Rakyat 3. Komisi Yudisial 4. Lembaga negara di cabang eksekutif yang memiliki fungsi terkait pengelolaan organisasi Mahkamah Agung (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Keuangan, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi)
1. Akademisi & Praktisi Hukum Terbukanya akses terhadap putusan MA secara luas saat ini, idealnya dimanfaatkan secara optimal oleh akademisi dan praktisi hukum untuk mengembangkan diskursus terhadap pertimbangan dan putusan Hakim Agung terhadap isu atau substansi hukum tertentu. Diskursus yang muncul kemudian diharapkan dapat memperkaya khazanah hukum di Indonesia, dan kemudian akan memberikan kontribusi kembali pada hakim dalam mempertimbangkan dan memutuskan perkara di masa yang akan datang.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Terkait Kewenangan Pembentukan UU Salah satu masalah yang ditengarai menjadi penyebab utama masalah konsistensi dan kualitas putusan MA adalah beban perkara yang cukup besar yang dimiliki oleh MA. Akibat beban perkara yang cukup besar tersebut, menyebabkan para Hakim Agung dituntut untuk menyelesaikan jumlah perkara yang ada, dan tidak memiliki waktu yang cukup untuk memeriksa dan memutus perkara secara ideal, sehingga menghasilkan pertimbangan hukum dan putusan yang seadanya. Besarnya beban perkara yang diterima MA saat ini, sesungguhnya diakibatkan luasnya kesempatan untuk mengajukan perkara kasasi dan peninjauan kembali ke MA berdasarkan undang-undang yang ada saat ini. Untuk itu, DPR juga perlu merumuskan kembali konsep pembatasan kasasi untuk perkara tertentu. DPR perlu mempertimbangkan perkara-perkara yang sebetulnya dapat dibatasi dan dapat mengurangi beban perkara MA secara signifikan. Misalnya, perkara kasasi yang tidak memenuhi syarat formal, atau perkara yang upaya hukumnya langsung kasasi tanpa banding, seperti perkara sengketa hubungan industrial. Terkait Kewenangan dalam Seleksi Calon Hakim Agung Selain berkaitan dengan fungsi pembentukan UU, DPR pun memiliki peran dalam menyediakan Hakim- Hakim Agung yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan oleh MA, karena DPR adalah penentu akhir calon-calon Hakim Agung yang diajukan oleh KY dan terpilih sebagai Hakim Agung.
3. Komisi Yudisial Hingga sebelum sistem kamar diterapkan oleh MA, komposisi Hakim Agung di MA masih tidak sesuai dengan komposisi beban perkara yang ditangani oleh MA. Ketidaksesuaian antara komposisi Hakim Agung dan jenis perkara yang ditangani oleh MA, sesungguhnya bisa diselesaikan bersama oleh MA dan Komisi Yudisial dalam setiap proses rekrutmen Calon Hakim Agung. Idealnya, MA dan KY memiliki proyeksi bersama mengenai berapa dan bagaimana komposisi Hakim Agung berdasarkan jenis dan jumlah perkara yang harus ditangani oleh MA. Proyeksi tersebut kemudian menjadi pegangan bagi masing-masing pihak dalam menjalankan peran dan kewenangan dalam setiap proses seleksi calon hakim agung.
4. Lembaga Negara di Cabang Eksekutif Penerapan sistem kamar di MA tentu membawa konsekuensi pengelolaan organisasi tertentu. Baik berkaitan dengan pengelolaan organisasi rutin, seperti penyediaan sarana dan pra sarana khusus yang dibutuhkan, misalnya penyediaan ruang sidang untuk penyelenggaraan Rapat Pleno Kamar; atau yang berkaitan internalisasi perubahan yang dibawa oleh sistem kamar dalam penanganan perkara di MA, yaitu kebutuhan untuk melakukan sosialisasi, pelatihan teknis dst. Kebutuhan-kebutuhan tersebut tentu memerlukan respon yang positif dari lembaga-lembaga negara yang memiliki fungsi dan kewenangan baik langsung maupun tidak langsung terhadap pengelolaan organisasi MA. Di sisi lain, MA juga dituntut untuk secara aktif memberikan pemahaman mengenai perubahan yang sedang dijalaninya kepada pihak eksternal, terutama lembaga negara lainnya, sehingga masing-masing lembaga dapat memahami kebutuhan dan prioritas MA untuk menerapkan sistem kamar secara konsisten.