4.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN Latar Belakang

3.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN

PENGARUH TINGKAT KEBENINGAN MINYAK GORENG KELAPA SAWIT TERHADAP TINGKAT KERUSAKANNYA SELAMA PROSES PENGGORENGAN AYAM

BAB I PENDAHULUAN. Gorengan adalah produk makanan yang diolah dengan cara menggoreng

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

sidang tugas akhir kondisi penggorengan terbaik pada proses deep frying Oleh : 1. Septin Ayu Hapsari Arina Nurlaili R

I. PENDAHULUAN. energi dan pembentukan jaringan adipose. Lemak merupakan sumber energi

BAB I PENDAHULUAN. Makanan gorengan menjadi hal yang tidak terlepas dari konsumsi masyarakat

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

4. PEMBAHASAN 4.1.Sifat Fisik Kimia Minyak Goreng

4 Pembahasan Degumming

PENGARUH FREKUENSI PENGGORENGAN TERHADAP ANGKA ASAM DAN PEROKSIDA MINYAK JELANTAH DARI KREMES YANG DITAMBAHKAN TEPUNG KUNYIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gliserol dan asam lemak rantai panjang. Lemak dan minyak (trigliserida) yang

Bab II Tinjauan Pustaka

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

B. Struktur Umum dan Tatanama Lemak

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggorengan. Penggorengan. Nur Hidayat Materi kuliah PTP Minggu ke 8.

BAB II PEMILIHAN DAN URAIAN PROSES. teknologi proses. Secara garis besar, sistem proses utama dari sebuah pabrik kimia

HASIL DAN PEMBAHASAN. Jenis Ternak Sapi Kerbau

BAB I PENDAHULUAN. bahan dasar seperti kelapa sawit, kelapa, kedelai, jagung, dan lain-lain. Meski

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN Pengertian Minyak dan Lemak 1.1 TUJUAN PERCOBAAN. Untuk menentukan kadar asam lemak bebas dari suatu minyak / lemak

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Minyak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh

DEFINISI. lipids are those substances which are

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K.

BAB I PENDAHULUAN. goreng segar, 15% pada daging ayam/ikan berbumbu, 15-20% pada daging

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. tubuh untuk menunjang aktivitas sehari-hari. Lemak dan minyak digolongkan

BAB I PENDAHULUAN. dibutuhkan. Nilai gizi suatu minyak atau lemak dapat ditentukan berdasarkan dua

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN PEMUCAT TERHADAP KUALITAS MINYAK GORENG BEKAS KERIPIK BUAH

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

Penentuan Bilangan Asam dan Bilangan Penyabunan Sampel Minyak atau Lemak

EKA PUTI SARASWATI STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV

HASIL DAN PEMBAHASAN

II.TINJAUAN PUSTAKA. Dedak padi merupakan hasil ikutan penggilingan padi yang berasal dari

BAB 1 PENDAHULUAN. jalan beragam. Contoh yang paling sering ditemui adalah pecel lele dan gorengan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

SAINS II (KIMIA) LEMAK OLEH : KADEK DEDI SANTA PUTRA

PENGARUH GORENGAN DAN INTENSITAS PENGGORENGAN TERHADAP KUALITAS MINYAK GORENG

Lipid. Dr. Ir. Astuti,, M.P

BAB I PENDAHULUAN. tropis seperti di pesisir pantai dan dataran tinggi seperti lereng gunung.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. M yang berupa cairan berwarna hijau jernih (Gambar 4.1.(a)) ke permukaan Al 2 O 3

I. PENDAHULUAN. produksi biodiesel karena minyak ini masih mengandung trigliserida. Data

MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang lebih efektif dibandingkan karbohidrat dan protein. Satu gram minyak

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan determinasi tanaman.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

JENIS LIPID. 1. Lemak / Minyak 2. Lilin 3. Fosfolipid 4 Glikolipid 5 Terpenoid Lipid ( Sterol )

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. jenuh dan kurangnya aktivitas fisik menyebabkan terjadinya dislipidemia.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Minyak goreng berfungsi

PENAMBAHAN BAWANG MERAH ( Allium ascalonicum ) UNTUK MENGHAMBAT LAJU PEMBENTUKAN PEROKSIDA DAN IODIUM PADA MINYAK CURAH

PENGARUH PENGGUNAAN BERULANG MINYAK GORENG TERHADAP PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS DENGAN METODE ALKALIMETRI

BAB I PENDAHULUAN. kandungan isoprene yang berikatan dengan konfigurasi cis 1,4. Isoprene tersusun

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

BAB I PENDAHULUAN. alat pengolahan bahan-bahan makanan. Minyak goreng berfungsi sebagai media

PENENTUAN KUALITAS LEMAK PADA BAGIAN PERUT IKAN PATIN DJAMBAL (Pangasius djambal)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. utama minyak sangat menentukan mutu minyak adalah asam lemaknya, karena asam

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Margarin merupakan salah satu produk berbasis lemak yang luas

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9

TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT

Perbedaan minyak dan lemak : didasarkan pada perbedaan titik lelehnya. Pada suhu kamar : - lemak berwujud padat - minyak berwujud cair

Kinetika Reaksi Oksidasi Asam Miristat, Stearat, dan Oleat dalam Medium Minyak Kelapa, Minyak Kelapa Sawit, serta Tanpa Medium

11/14/2011. By: Yuli Yanti, S.Pt., M.Si Lab. IPHT Jurusan Peternakan Fak Pertanian UNS. Lemak. Apa beda lemak dan minyak?

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.

A. RUMUS STRUKTUR DAN NAMA LEMAK B. SIFAT-SIFAT LEMAK DAN MINYAK C. FUNGSI DAN PERAN LEMAK DAN MINYAK

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Transkripsi:

4. PEMBAHASAN 4.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng Berdasarkan survey yang telah dilaksanakan, sebanyak 75% responden berasumsi bahwa minyak goreng yang warnanya lebih bening berarti lebih sehat. Merek minyak goreng yang paling sering digunakan yaitu minyak goreng A dan minyak goreng B. Secara visual, minyak goreng B lebih bening dibandingkan dengan minyak goreng A. Hal ini dikarenakan berdasarkan label produk, minyak goreng B mengalami tiga kali proses pemurnian dan dua kali penyaringan, sementara minyak goreng A hanya mengalami satu kali pemurnian dan satu kali penyaringan. Tentunya semakin banyak proses pemurnian yang dilakukan, maka warna minyak yang dihasilkan akan menjadi semakin cerah. Hal ini disebabkan karena pada proses pemurnian dilakukan pemanasan pada suhu tinggi yang menyebabkan kandungan pigmen karotenoid di dalam minyak menjadi rusak dan sebagai hasilnya warna minyak menjadi lebih cerah (Basiron, 2005). Sementara itu, kebeningan minyak dipengaruhi oleh proses penyaringan atau fraksinasi karena proses tersebut menghilangkan asam-asam lemak jenuh yang dapat membuat minyak terlihat cloudy atau keruh (Sarin et al., 2009 dalam Roiaini et al., 2015). Sebanyak 90% responden mengaku bahwa frekuensi penggorengan yang biasanya dilakukan sebelum penggantian minyak goreng adalah 1-3 kali. Menurut Wai (2007), hal mengenai batas maksimal penggantian minyak goreng sangat tergantung pada suhu penggorengan, kandungan air di dalam makanan, dan apakah ada penambahan minyak selama penggorengan. Selain itu, sebanyak 70% responden mengaku melakukan pemisahan antara bahan makanan yang berbeda ketika menggoreng. Sebagian besar responden memilih melakukan hal tersebut karena beberapa bahan makanan, khususnya ikan, memiliki bau dan rasa yang tajam sehingga dapat mengontaminasi makanan lain jika digoreng dengan minyak yang sama. Hal ini dapat disebabkan karena bahan makanan tertentu seperti ikan memiliki kandungan polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang tinggi, sehingga lebih rentan mengalami kerusakan oksidatif, menghasilkan flavor dan bau yang tidak diinginkan (Pak, 2005). 23

24 4.2. Photometric Color Index (PCI) Perubahan warna merupakan suatu indikasi visual terhadap tingkat kerusakan minyak goreng yang disebabkan oleh oksidasi (Abdulkarim et al., 2007). Menurut Dobarganes & Marquez-Ruiz (1998), evaluasi warna merupakan metode analisa nomor dua yang paling banyak digunakan dalam kondisi penggorengan berulang. Secara visual (Gambar 4), warna minyak goreng A lebih gelap dibandingkan dengan minyak goreng B. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian (Gambar 3) yang menunjukkan bahwa PCI minyak goreng A dari penggorengan ke-0 hingga penggorengan ke-10 memang lebih tinggi daripada minyak goreng B. Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 2), didapatkan bahwa nilai PCI terus meningkat secara signifikan seiring dengan meningkatnya frekuensi penggorengan. Penyebab utama meningkatnya intensitas warna minyak setelah dilakukan penggorengan adalah reaksi oksidasi, yang menyebabkan terjadinya akumulasi senyawa-senyawa nonvolatil, terutama dalam bentuk polimer. Selain itu, menggelapnya warna minyak juga dapat disebabkan oleh senyawa-senyawa hasil reaksi Maillard (Maniak et al., 2012). Senyawa-senyawa tersebut terbentuk dari produk-produk yang tertinggal di dalam minyak goreng setelah penggorengan, seperti air, karbohidrat, dan asam amino yang dapat menjadi substrat untuk reaksi non-enzymatic browning. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perubahan warna antara lain senyawa hidrokarbon, fosfatida, belerang, dan logam berat yang terdapat di dalam makanan. Senyawa-senyawa tersebut dapat bereaksi dengan minyak dan menghasilkan zat-zat yang berwarna (Maniak et al., 2009). 4.3. Iodine Value (IV) Iodine value (IV) digunakan untuk mengukur ketidakjenuhan atau jumlah rata-rata ikatan rangkap di dalam minyak. Penurunan IV menunjukkan penurunan jumlah ikatan rangkap dan mengindikasikan terjadinya oksidasi pada minyak (Chebet et al., 2016). Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 3), dapat dikatakan bahwa hasil pengujian IV dari penggorengan ke-0 sampai ke-10 bersifat fluktuatif, namun IV minyak goreng B cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan minyak goreng A. Minyak goreng A

25 memiliki IV awal sebesar 59,36, sedangkan minyak goreng B sebesar 66,22. Perbedaan ini dapat disebabkan karena minyak goreng A hanya mengalami satu kali fraksinasi, sedangkan minyak goreng B mengalami dua kali fraksinasi. Sesuai dengan pernyataan Tang et al. (1995) dalam Lin (2011), minyak kelapa sawit yang mengalami dua kali fraksinasi, yaitu yang sering disebut superolein atau double-fractionated olein, memiliki jumlah asam oleat dan asam linoleat yang lebih banyak. Jumlah asam oleat superolein berkisar antara 43-49% dan jumlah asam linoleatnya berkisar antara 10-15%, menghasilkan IV sebesar 60-67. Kandungan asam lemak tidak jenuh di dalam superolein yaitu sekitar 59%, sedangkan pada single-fractionated olein sekitar 53% (Lin, 2011). Terbukti secara visual bahwa minyak goreng B terlihat lebih bening dibandingkan minyak goreng A (Gambar 4). Hal ini juga didukung oleh hasil pengujian korelasi antara PCI dan IV yang menunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan yang kuat (Lampiran 3). Selain itu, dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa IV minyak goreng A cenderung stabil, bahkan beberapa kali mengalami peningkatan, sedangkan IV minyak goreng B mengalami penurunan. Seharusnya, IV memang mengalami penurunan ketika digunakan untuk menggoreng (Chebet et al., 2016). Hal ini didukung oleh Alireza et al. (2010) yang menyatakan bahwa pada umumnya deep-fat frying menurunkan kandungan asam lemak tidak jenuh di dalam minyak goreng. Penurunan IV berhubungan dengan rusaknya ikatan rangkap melalui oksidasi, pemisahan, dan polimerisasi. Kondisi IV minyak goreng A yang beberapa kali mengalami peningkatan dapat disebabkan karena adanya kontaminasi dari lemak ayam (Warner, 2008). Selama penggorengan, makanan menyerap minyak dalam jumlah yang bervariasi (5-40%), dan melepaskan beberapa lemak ke dalam minyak goreng. Ketika menggoreng ayam, sebagian lemak yang terkandung di dalam ayam juga akan terlepas ke dalam minyak goreng. Oleh karena itu, komposisi dan stabilitas lemak dapat berubah selama penggorengan (Frankel, 2012). Ketika menggoreng ayam, asam oleat dan linoleat yang bersifat tidak jenuh akan meningkat di dalam minyak seiring dengan meningkatnya waktu penggunaan, sementara asam stearat yang bersifat jenuh akan menurun (Warner, 2008).

26 Berbeda dengan minyak goreng A, minyak goreng B menunjukkan IV yang mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan semakin besar tingkat ketidakjenuhan (semakin tinggi IV), maka minyak akan cenderung lebih cepat teroksidasi, khususnya selama penggorengan (Alireza et al., 2010). Oleh karena itu, minyak dengan kandungan polyunsaturated fatty acid (PUFA) yang relatif banyak mengalami reaksi oksidasi dengan lebih cepat (Shahidi & Wanasundara, 2008). Hidrogen dengan ikatan yang paling lemah terhadap karbon akan terlepas terlebih dahulu untuk menjadi radikal. Energi yang dibutuhkan untuk memecah ikatan karbon-hidrogen pada asam linoleat adalah 50 kkal/mol. Ikatan karbon-hidrogen pada asam oleat membutuhkan energi sekitar 75 kkal/mol, sedangkan ikatan karbon-hidrogen pada rantai karbon yang jenuh yang tidak memiliki ikatan rangkap yaitu seiktar 100 kkal/mol. Kekuatan ikatan hidrogen-karbon pada asam lemak yang bervariasi ini merupakan suatu penjelasan mengapa terdapat perbedaan kecepatan oksidasi antara asam stearat, oleat, linoleat, dan linolenat selama oksidasi termal ataupun autooksidasi (Choe & Min, 2007). Penurunan IV pada minyak goreng B dapat disebabkan karena penurunan jumlah ikatan rangkapnya lebih cepat dibandingkan peningkatannya, sedangkan pada minyak goreng A, peningkatan jumlah ikatan rangkapnya dapat lebih cepat atau lebih lambat daripada penurunannya. Hal ini juga didukung oleh Augustin & Berry (1983) dalam Nayak et al. (2016) yang menyatakan bahwa perubahan yang signifikan pada IV dapat terlihat ketika kerusakan pada minyak terjadi secara berlebihan. Ahmad (2014) menyarankan bahwa untuk mendapatkan stabilitas oksidatif minyak yang lebih baik selama proses penggorengan (deep-fat frying), sebaiknya menggunakan minyak dengan ketidakjenuhan yang lebih rendah karena kecepatan oksidasi dari minyak tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan minyak yang memiliki kandungan PUFA. Hal ini penting untuk diperhatikan karena PUFA pada umumnya bertanggung jawab atas terjadinya reaksi oksidasi dan pembentukan off-flavor yang dapat menurunkan rasa enak makanan.

27 4.4. Free Fatty Acid (FFA) Menurut Stevenson et al. (1984), penentuan FFA merupakan metode terbaik untuk memonitor kerusakan minyak selama proses penggorengan yang berlanjut. Meskipun sebenarnya ada banyak teknik analisa yang berbeda-beda untuk mengevaluasi kualitas minyak goreng, pada praktiknya, para pengolah makanan dengan fasilitas laboratorium sebagian besar menggunakan pengukuran persentase asam lemak bebas yang lebih cepat dan relatif mudah untuk dilakukan. Metode analisa ini memiliki korelasi yang tinggi dengan jumlah senyawa-senyawa polar ketika kondisi penggorengan dikontrol dengan baik (Dobarganes & Marquez-Ruiz, 1998). Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 4), nilai FFA terus meningkat secara signifikan seiring dengan meningkatnya frekuensi penggorengan. Namun, FFA minyak A pada penggorengan ke-1 mengalami sedikit penurunan. Dari hasil penelitian Maniak et al. (2009), didapatkan bahwa kandungan asam lemak bebas di dalam minyak goreng memang dapat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu (1) perubahan hidrolitik (fraksi air dari makanan yang masuk ke dalam minyak), serta (2) absorpsi produk-produk hidrolitik pada permukan makanan yang berpori. Oleh karena itu, selain mengalami peningkatan, nilai FFA juga dapat mengalami penurunan akibat terjadinya absorpsi produk-produk hidrolitik ke dalam makanan. Sementara itu, Sulieman et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan FFA merupakan suatu nilai yang dinamik karena pada saat yang bersamaan ketika asam-asam diproduksi, terdapat cukup tekanan uap pada suhu penggorengan yang membuat asam lemak bebas terevaporasi dari permukaan minyak. Pada umumnya, indikasi untuk minyak goreng yang tidak sehat dan harus diganti adalah jika kandungan asam lemak bebasnya sudah melebihi 2% (Firestone, 1993). Dalam penelitian ini, FFA kedua jenis minyak hingga penggorengan ke-10 masih berada di bawah batas toleransi. FFA minyak goreng A berkisar antara 0,16% hingga 0,28%, sedangkan FFA minyak goreng B berkisar antara 0,09% hingga 0,28% (Tabel 4). Meskipun minyak goreng B pada awalnya memiliki FFA yang lebih rendah, namun setelah penggorengan ke-10, minyak goreng A dan minyak goreng B menunjukkan nilai FFA yang tidak jauh berbeda (Gambar 5). Jadi, minyak goreng B mengalami

28 peningkatan FFA yang lebih besar dibandingkan dengan minyak goreng A. Hal ini berhubungan dengan perbedaan IV antara kedua minyak. Minyak goreng A memiliki IV yang lebih rendah dibandingkan minyak goreng B, yang artinya minyak goreng B memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak goreng A (Ahmad, 2014). Menurut Nawar (1969) dalam Choe & Min (2007), hidrolisis lebih mudah terjadi pada minyak dengan kandungan asam lemak tak jenuh daripada minyak dengan asam lemak jenuh. Asam lemak tak jenuh yang berantai pendek lebih larut di dalam air dibandingkan asam lemak jenuh yang berantai panjang. Air yang berasal dari makanan dapat dengan mudah bereaksi dengan lemak berantai pendek secara hidrolisis. Semakin banyak kandungan air dalam makanan, maka hidrolisis minyak akan semakin tinggi (Choe & Min, 2007). 4.5. Peroxide Value (PV) Produk primer dari oksidasi lemak adalah hidroperoksida yang secara umum dikenal sebagai peroksida. Oleh karena itu, cukup masuk akal untuk menentukan konsentrasi peroksida sebagai suatu ukuran dari tingkat oksidasi. Namun demikian, teori ini terbatas oleh sifat peroksida yang merupakan produk sementara (Gray, 1978). Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 6), pada penggorengan pertama, PV minyak A maupun minyak B mengalami peningkatan secara tajam, sementara pada penggorengan berikutnya laju peningkatan PV mulai berkurang. Hasil yang serupa juga didapatkan pada penelitian Maniak et al. (2009). Hal ini dikarenakan pada oksidasi lemak dan minyak, kecepatan awal dari pembentukan hidroperoksida akan melebihi kecepatan dekomposisinya (Shahidi & Wanasundara, 2008). Berdasarkan peningkatan dan penurunan yang terjadi pada minyak goreng A dan minyak goreng B secara keseluruhan (Gambar 6), dapat dilihat bahwa perbedaan PV yang dihasilkan tidak terlalu jauh. Waktu untuk mencapai tingkatan hidroperoksida yang maksimal dalam proses oksidasi dipengaruhi oleh derajat kejenuhan, dan terjadi paling cepat pada lemak yang sangat tidak jenuh karena hidroperoksida di dalamnya lebih mudah terdekomposisi (Frankel, 2012). Terbukti dalam hasil penelitian, minyak goreng A pada awalnya memiliki PV sebesar 6,39, kemudian pada penggorengan

29 pertama meningkat menjadi 12,30, sementara minyak goreng B pada awalnya memiliki PV sebesar 2,35, kemudian pada penggorengan pertama meningkat menjadi 11,57. Artinya, peningkatan PV minyak goreng B setelah penggorengan pertama lebih besar dibandingkan dengan minyak goreng A. Selanjutnya, PV terus meningkat hingga mencapai nilai maksimal dan pada akhirnya mengalami penurunan. Hal ini dikarenakan setelah tingkatan hidroperoksida maksimal sudah tercapai, hidroperoksida akan terdekomposisi menjadi berbagai jenis produk oksidasi sekunder seperti aldehid, keton, alkohol, dimer, trimer, epoksida, dan hidrokarbon, sehingga kandungan hidroperoksida tersebut menurun secara drastis (Frankel, 2012; Warner, 2008). Untuk memeriksa tingkat kerusakan minyak goreng, analisa PV perlu diikuti dengan parameter-parameter yang lain, khususnya p-anisidine value (p-av) dan total oxidation (TOTOX). Peningkatan PV selama periode penggorengan mengindikasikan pembentukan peroksida dari reaksi oksidasi. Namun demikian, peroksida bersifat tidak stabil di bawah kondisi penggorengan, dan ketika kerusakan minyak berlanjut, hidroperoksida akan terdekomposisi membentuk senyawa karbonil dan aldehid, menyebabkan PV menurun (Shahidi & Wanasundara, 2002 dalam Semb, 2012). Hal inilah yang menyebabkan jumlah peroksida di dalam minyak tidak dapat digunakan untuk mengestimasi tingkat kerusakan minyak (Abdulkarim et al., 2007). Oleh karena itu, pada penelitian ini juga dilakukan pengujian terhadap p-av dan TOTOX minyak. 4.6. p-anisidine Value (p-av) p-anisidine value merupakan pengukuran kandungan aldehid di dalam minyak, terutama 2,4-dienal dan 2-alkenal. Aldehid adalah produk sekunder yang dihasilkan selama oksidasi lemak. Aldehid mencakup hampir 50% komponen volatil yang dihasilkan selama oksidasi lemak (Tompkins & Perkins, 1999). Jika dilihat secara keseluruhan (Gambar 7), minyak goreng A dan minyak goreng B menunjukkan kenaikan p-av yang hampir sama sehingga perbedaannya tidak terlalu kelihatan. Berdasarkan Tabel 6, didapatkan bahwa p-av secara signifikan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya frekuensi penggorengan. Hal ini terjadi karena produk primer oksidasi yang tidak stabil, yaitu hidroperoksida, terdekomposisi lebih lanjut

30 membentuk senyawa aldehid, dan senyawa ini tidak mudah terdekomposisi lebih lanjut (Abdulkarim et al., 2007). 4.7. Total Oxidation (TOTOX) Nilai TOTOX menunjukkan kualitas minyak, status oksidasi, dan kehadiran produkproduk oksidasi yang terbentuk pada tahap sebelumnya (Nayak et al., 2016). Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 7), nilai TOTOX dari penggorengan ke-0 sampai ke-10 mengalami peningkatan yang signifikan. Pada awalnya TOTOX mengalami peningkatan yang cukup tajam, namun dimulai dari penggorengan ke-3 sampai dengan penggorengan ke-10, laju peningkatan TOTOX mulai berkurang. Hal ini dipengaruhi oleh laju peningkatan PV yang juga meningkat secara tajam pada awal penggorengan, karena seperti yang telah dinyatakan oleh Shahidi & Wanasundara (2008), pada oksidasi lemak dan minyak, kecepatan awal dari pembentukan hidroperoksida melebihi kecepatan dekomposisinya. Hal ini didukung oleh hasil pengujian korelasi antara PV dan TOTOX yang menunjukkan bahwa keduanya memiliki hubungan berbanding lurus yang sangat kuat (Lampiran 3). Jika dilihat secara keseluruhan (Gambar 8), perbedaan TOTOX antara minyak A dan minyak B dari penggorengan ke-0 sampai ke-10 terlihat tidak signifikan. Nilai TOTOX pada minyak goreng B yang sedikit lebih tinggi dapat disebabkan karena tingginya persentase PUFA dalam minyak, khususnya asam linoleat dan asam linolenat (Abdulkarim et al., 2007). Terbukti dalam pengujian IV yang menunjukkan bahwa minyak goreng B memiliki IV yang lebih tinggi dibandingkan minyak goreng A, sehingga kandungan asam lemak tak jenuh di dalamnya lebih banyak (Ahmad, 2014). Hal ini didukung oleh Stevenson et al. (1984) dan Warner et al. (1994) dalam Choe & Min (2007) yang menyatakan bahwa kecepatan oksidasi minyak akan semakin tinggi ketika kandungan asam lemak tak jenuh di dalam minyak goreng semakin tinggi.