BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Jurnal Ilmiah STIKES U Budiyah Vol.1, No.2, Maret 2012

DAFTAR PUSTAKA. Achmadi, Umar Fahmi. (2008). Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta : Universitas Indonesia Press.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V PEMBAHASAN. kepadatan hunian tidak menunjukkan ada hubungan yang nyata.

BAB I PENDAHULUAN. komplek dan heterogen yang disebabkan oleh berbagai etiologi dan dapat. berlangsung tidak lebih dari 14 hari (Depkes, 2008).

BAB I LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. balita di dunia, lebih banyak dibandingkan dengan penyakit lain seperti

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Puskesmas Marisa Kec. Marisa merupakan salah satu dari 16 (enam belas)

BAB 1 : PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Millenium Development Goal Indicators merupakan upaya

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA USIA 1-4 TAHUN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GETASAN KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh mikroorganisme termasuk common cold, faringitis (radang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan infeksi penyakit

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitan ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian cross sectional yaitu mempelajari hubungan penyakit dan

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA DALAM PENCEGAHAN PNEUMONIA DENGAN KEKAMBUHAN PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS SEI JINGAH BANJARMASIN

KARAKTERISTIK FAKTOR RESIKO ISPA PADA ANAK USIA BALITA DI PUSKESMAS PEMBANTU KRAKITAN, BAYAT, KLATEN. Suyami, Sunyoto 1

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Barat). Luas wilayah Kecamatan Kabila sebesar 193,45 km 2 atau sebesar. desa Dutohe Barat dan Desa Poowo.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan pada 26 April sampai 10 Mei 2013 di Kelurahan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Secara administratif Desa Tabumela terletak di wilayah Kecamatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebut infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). ISPA merupakan

Kata kunci : Peran Keluarga Prasejahtera, Upaya Pencegahan ISPA pada Balita

Eko Heryanto Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. lima tahun pada setiap tahunnya, sebanyak dua per tiga kematian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Sanitasi adalah usaha pengawasan terhadap faktor-faktor lingkungan fisik manusia

PHARMACONJurnal Ilmiah Farmasi UNSRAT Vol. 5 No. 2 MEI 2016 ISSN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG

Salah satu upaya pencegahan pneumonia yang berhubungan dengan lingkungan adalah dengan menciptakan lingkungan hidup yang baik.

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN STATUS IMUNISASI DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA

BAB III METODE PENELITIAN. menggunakan pendekatan case control yaitu membandingkan antara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. mencakup 74% (115,3 juta) dari 156 juta kasus di seluruh dunia. Lebih dari. dan Indonesia (Rudan, 2008). World Health Organization

BAB V PEMBAHASAN. balita yang menderita ISPA adalah kelompok umur bulan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan mutu dan daya saing sumber daya manusia Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TERJADINYA ISPA PADA BAYI (1-12 BULAN) DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAJABASA INDAH BANDAR LAMPUNG TAHUN 2013

BAB 1 : PENDAHULUAN. ke manusia. Timbulnya gejala biasanya cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam

BAB 1 PENDAHULUAN. saluran pernapasan sehingga menimbulkan tanda-tanda infeksi dalam. diklasifikasikan menjadi dua yaitu pneumonia dan non pneumonia.

Ernawati 1 dan Achmad Farich 2 ABSTRAK

HUBUNGAN VENTILASI, LANTAI, DINDING, DAN ATAP DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI BLANG MUKO

HUBUNGAN KONDISI FISIK RUMAH DAN SOSIAL EKONOMI KELUARGA DENGAN KEJADIAN PENYAKIT ISPA PADA BALITA

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu ruang lingkup epidemiologi ialah mempelajari faktor-faktor yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan nasional bidang kesehatan yang tercantum dalam

melebihi 40-70%, pencahayaan rumah secara alami atau buatan tidak dapat menerangi seluruh ruangan dan menyebabkan bakteri muncul dengan intensitas

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

PERBEDAAN FAKTOR PERILAKU PADA KELUARGA BALITA PNEUMONIA DAN NON PNEUMONIA DI WILAYAH KERJA UPTD PUSKESMAS MUNJUL KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu

Kode. Lembar Persetujuan Menjadi Responden Penelitian

Summary HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DIWILAYAH KERJA PUSKESMAS MARISA KECAMATAN MARISA KABUPATEN POHUWATO TAHUN 2012

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Kecamatan Kabila Kabupaten Bone Bolango. Wilayah Kerja. Poowo, Poowo Barat, Talango, dan Toto Selatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20%

BAB III METODE PENELITIAN

Promotif, Vol.5 No.1, Okt 2015 Hal FAKTOR RESIKO KEJADIAN ISPA PADA ANAK BALITA DI DESA POTUGU KECAMATAN MOMUNU KABUPATEN BUOL ABSTRAK

Vol. 10 Nomor 1 Januari 2015 Jurnal Medika Respati ISSN :

BAB 1 PENDAHULUAN. Angka kejadian ISPA Di Indonesia, pada balita adalah sekitar 10-20%

PENDAHULUAN atau Indonesia Sehat 2025 disebutkan bahwa perilaku. yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan;

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 ISPA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ISPA khususnya pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab

BAB 1 PENDAHULUAN. gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan. parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan berbagai spektrum penyakit dari tanpa gejala atau infeksi ringan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. infeksi, saluran pernafasan, dan akut. Infeksi adalah masuknya mikroorganisme ke

HUBUNGAN PHBS TATANAN RUMAH TANGGA DENGAN KEJADIAN ISPA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TEMON II KULON PROGO TAHUN 2012

BAB III METODE PENELITIAN. variabel dependent. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan cross

BAB IV HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Balita. Pneumonia menyebabkan empat juta kematian pada anak balita di dunia,

Abdi Setia Putra 1 Dan Maisyarah 2

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di wilayah kerja Puskesmas Wongkaditi

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STATUS GIZI BAIK DAN GIZI KURANG PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB V HASIL. Kelurahan Bidara Cina merupakan salah satu dari delapan kelurahan yang

DELI LILIA Dosen Program Studi S.1 Kesehatan Masyarakat STIKES Al-Ma arif Baturaja ABSTRAK

JIMKESMAS JURNAL ILMIAH MAHASISWA KESEHATAN MASYARAKAT VOL. 2/NO.6/Mei 2017; ISSN X,

BAB I PENDAHULUAN. Nigeria masing-masing 6 juta episode (Kemenkes RI, 2011). (15%-30%). Berdasarkan hasil penelitian Khin, dkk tahun 2003 di Myanmar

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB III METODE PENELITIAN

HUBUNGAN STATUS GIZI DAN PAPARAN ROKOK DENGAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA DI SUKARAJA BANDAR LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari.penyakit

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menimbulkan gejala penyakit (Gunawan, 2010). ISPA merupakan

Berapa penghasilan rata-rata keluarga perbulan? a. < Rp b. Rp Rp c. > Rp

BAB I PENDAHULUAN. mengindikasikan masih rendahnya cakupan dan kualitas intervensi. kesehatan lingkungan. (Munif Arifin, 2009)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB III METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Tabumela Kecamatan Tilango

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. 2 ISPA sering berada dalam daftar

BAB III METODE PENELITIAN. kesehatan) diidentifikasi pada saat ini, kemudian faktor risiko

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) adalah infeksi saluran

HUBUNGAN SANITASI RUMAH DENGAN KEJADIAN PENYAKIT COMMON COLD PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAMALATE KOTA GORONTALO TAHUN 2012

Transkripsi:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Responden Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap orangtua yang memiliki anak balita usia 1-4 tahun dengan riwayat ISPA di Kelurahan Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang, dengan responden sebanyak 70 orang. Responden terdiri atas 64 ibu dan 6 ayah. Pengambilan responden berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi yang dibuat peneliti. 4.2 Pelaksanaan Penelitian 4.2.1 Waktu dan tempat pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 26 Mei 2016-2 Juni 2016 di Kelurahan Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. Kelurahan Kopeng terdiri atas 9 dusun, namun peneliti melakukan penelitian di 3 dusun yang memiliki jumlah balita terbanyak yaitu Dusun Sleker, Dusun Sidomukti, dan Dusun Plalar. 4.2.2 Prosedur pengambilan data Pengambilan data dilakukan oleh peneliti dengan cara membagikan kuesioner kepada responden melalui tahaptahap sebagai berikut : 36

37 a. Peneliti mengajukan surat ijin penelitian secara tertulis melalui surat pengantar dari Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Kristen Satya Wacana yang ditujukan kepada Kepala Kelurahan Kopeng Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang. b. Setelah mendapat ijin dari Kepala Kelurahan Kopeng, kemudian melakukan koordinasi dan meminta ijin kepada kepala dusun setempat. c. Sebelum melakukan penelitian, peneliti menjelaskan tentang tujuan penelitian kepada responden. d. Setelah memahami tujuan penelitian responden yang setuju diminta menandatangani surat pernyataan kesediaan menjadi responden penelitian. e. Kemudian responden yang telah menyatakan setuju diminta untuk mengisi seluruh pertanyaan. 4.3 Hasil Penelitian 4.3.1 Uji normalitas Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan menggunakan SPSS 16 for windows. Hasil uji normalitas diperoleh hasil 0,00 untuk semua item. Nilai Asymp. Sig. (2-tailed) < 0,05 sehingga dapat disimpulkan distribusi data berdistribusi tidak normal.

38 4.3.2 Analisis univariat 4.3.2.1 Kejadian ISPA Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Kejadian ISPA Frekuensi Persentase ISPA 43 61,4 % Tidak ISPA 27 38,6 % Total 70 100 % Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang menderita ISPA sebanyak 43 (61,4%) dan yang tidak menderita ISPA sebanyak 27 (38,6%). 4.3.2.2 Faktor karakteristik balita 1. Berat badan lahir Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Berat Badan Lahir Balita Usia 1-4 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Berat Badan Lahir Frekuensi Persentase Baik 62 88,6 % Kurang 8 11,4 % Total 70 100 % Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang berat badan lahir balitanya baik yaitu sebanyak 62 (88,6%) sedangkan responden dengan berat badan balitanya kurang yaitu sebanyak 8 (11,4%).

39 2. Status imunisasi Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Status Imunisasi Balita Usia 1-4 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Status Imunisasi Frekuensi Persentase Lengkap 65 92,9 % Tidak Lengkap 5 7,1 % Total 70 100 % Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang balitanya mendapatkan imunisasi lengkap yaitu sebanyak 65 (92,9%), sedangkan responden yang balitanya tidak mendapatkan imunisasi lengkap yaitu sebanyak 5 (7,1%). 3. Status gizi Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Status Gizi Balita Usia 1-4 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Status Gizi Frekuensi Persentase Baik 55 78,6 % Kurang 15 21,4 % Total 70 100 % Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang balitanya berstatus gizi baik yaitu sebanyak 55 (78,6%), sedangkan responden yang balitanya berstatus gizi kurang yaitu sebanyak 15 (21,4%).

40 4.3.2.3 Faktor sumber pencemaran dalam rumah 1. Bahan bakar masak Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Penggunaan Bahan Bakar Masak Rumah Responden Dengan Balita Usia 1-4 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Bahan Bakar Masak Frekuensi Persentase Memenuhi Syarat 46 65,7 % Tidak Memenuhi Syarat 24 34,3 % Total 70 100 % Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi responden berdasarkan bahan bakar memasak yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 46 (65,7%), sedangkan yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 24 (34,3%). 2. Perilaku merokok anggota keluarga Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Perilaku Merokok Anggota Keluarga Responden Dengan Balita Usia 1-4 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Perilaku Merokok Frekuensi Persentase Ya 56 80,0 % Tidak 14 20,0 % Total 70 100 % Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi responden yang anggota keluarganya merokok didalam rumah yaitu sebanyak 56 (80,0%), sedangkan responden yang anggota keluarganya tidak ada yang merokok didalam rumah yaitu sebanyak 14 (20,0%).

41 4.3.2.4 Faktor lingkungan fisik rumah 1. Ventilasi Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Ventilasi Rumah Responden Dengan Balita Usia 1-4 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Ventilasi Frekuensi Persentase Memenuhi Syarat 39 55,7 % Tidak Memenuhi Syarat 31 44,3 % Total 70 100 % Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang ventilasi rumahnya memenuhi syarat yaitu sebanyak 39 (55,7%), sedangkan responden yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 31 (44,3%). 2. Jenis lantai Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Jenis Lantai Rumah Responden Dengan Balita Usia 1-4 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Jenis Lantai Frekuensi Persentase Memenuhi Syarat 49 70,0 % Tidak Memenuhi Syarat 21 30,0 % Total 70 100 % Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis lantai rumah responden yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 49 (70,0%), sedangkan jenis lantai rumah responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 21 (30,0%).

42 3. Jenis dinding Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Jenis Dinding Rumah Responden Dengan Balita Usia 1-4 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Jenis Dinding Frekuensi Persentase Memenuhi Syarat 53 75,7 % Tidak Memenuhi Syarat 17 24,3 % Total 70 100 % Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis dinding rumah responden yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 53 (75,7%), sedangkan jenis dinding rumah responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 17 (24,3%). 4. Suhu Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Suhu Rumah Responden Dengan Balita Usia 1-4 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Suhu Frekuensi Persentase Memenuhi Syarat 51 72,9 % Tidak Memenuhi Syarat 19 27,1 % Total 70 100 % Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu rumah responden yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 51 (72,9%), sedangkan suhu rumah responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 19 (27,1%).

43 5. Kepadatan hunian Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Kepadatan Hunian Rumah Responden Dengan Balita Usia 1-4 Tahun di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Kepadatan Hunian Frekuensi Persentase Memenuhi Syarat 15 21,4 % Tidak Memenuhi Syarat 55 78,6 % Total 70 100 % Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan hunian dalam rumah responden yang memenuhi syarat yaitu sebanyak 15 (21,4%), sedangkan kepadatan hunian dalam rumah responden yang tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak 55 (78,6%). 4.3.3 Analisis bivariat 4.3.3.1 Faktor karakteristik balita 1. Hubungan berat badan lahir dengan Kejadian ISPA Tabel 4.12 Hubungan Berat Badan Lahir dengan Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Berat Badan ISPA P OR (95% CI) Lahir Ya (%) Tidak (%) value Baik 39 62,9 23 37,1 1,696 0,387-7,438 Kurang 4 50,0 4 50,0 0,480 α = 0,05

44 Hasil analisis hubungan antara berat badan lahir balita dan kejadian ISPA diperoleh bahwa balita dengan berat badan lahir baik dan menderita ISPA sebanyak 39 (62,9%), sedangkan balita dengan berat badan lahir kurang dan menderita ISPA sebanyak 4 (50,0%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,480. Hal ini berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir balita dengan kejadian ISPA. 2. Hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun Tabel 4.13 Hubungan Status Imunisasi dengan Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Status ISPA P OR (95% CI) Imunisasi Ya (%) Tidak (%) value Lengkap 40 61,5 25 38,5 1,067 0,166-6,836 Tidak Lengkap α = 0,05 3 60,0 2 40,0 0,946 Hasil analisis hubungan antara status imunisasi dan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa balita yang mendapatkan imunisasi lengkap dan menderita ISPA sebanyak 40 (61,5%), sedangkan balita yang tidak

45 mendapatkan imunisasi lengkap dan menderita ISPA sebanyak 3 (60,0%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,946. Hal ini berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. 3. Hubungan status gizi dengan kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun Tabel 4.14 Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Status Gizi ISPA P OR (95% CI) Ya (%) Tidak (%) value Baik 38 69,1 17 30,9 4,471 1,325-15,087 Kurang 5 33,3 10 66,7 0,012 α = 0,05 Hasil analisis hubungan antara status gizi dan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa balita yang berstatus gizi baik dan menderita ISPA sebanyak 38 (69,1%), sedangkan balita yang berstatus gizi kurang dan menderita ISPA sebanyak 5 (33,3%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,012. Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 4,471 artinya balita yang berstatus gizi kurang mempunyai

46 peluang 4,4 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang berstatus gizi baik. 4.3.3.2 Faktor sumber pencemaran dalam rumah 1. Hubungan penggunaan bahan bakar masak dengan kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun Bahan Bakar Tabel 4.15 Hubungan Penggunaan Bahan Bakar Masak dengan Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang ISPA P OR (95% CI) Masak Ya (%) Tidak (%) value Memenuhi Syarat 28 60,9 18 39,1 0,894 0,933 0,338-2,580 Tidak Memenuhi 15 62,5 9 37,5 Syarat α = 0,05 Hasil analisis hubungan antara penggunaan bahan bakar memasak dan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang menggunakan bahan bakar memasak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 28 (60,9%), sedangkan responden yang menggunakan bahan bakar memasak tidak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 15 (62,5%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,894. Hal ini berarti tidak ada

47 hubungan yang signifikan antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita. 2. Hubungan perilaku merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun Tabel 4.16 Hubungan Perilaku Merokok Anggota Keluarga dengan Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Perilaku Merokok ISPA P OR (95% CI) Anggota Keluarga Ya (%) Tidak (%) value Ya 41 73,2 15 26,8 0,000 16,400 3,280-82,009 Tidak 2 14,3 12 85,7 α = 0,05 Hasil analisis hubungan antara perilaku merokok anggota keluarga dan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang memiliki anggota keluarga yang merokok di dalam rumah dan balitanya menderita ISPA sebanyak 41 (73,2%), sedangkan responden yang tidak memiliki anggota keluarga yang merokok didalam rumah dan balitanya menderita ISPA sebanyak 2 (14,3%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,000. Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 16,400 artinya balita yang di dalam

48 rumahnya terdapat perokok mempunyai peluang 16,4 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang di dalam rumahnya tidak terdapat perokok. 4.3.3.3 Faktor lingkungan fisik rumah 1. Hubungan ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun Tabel 4.17 Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Ventilasi ISPA P OR (95% CI) Ya (%) Tidak (%) value Memenuhi Syarat 28 71,8 11 28.2 0,046 2,715 1,008-7,316 Tidak Memenuhi 15 48,4 16 51.6 Syarat α = 0,05 Hasil analisis hubungan antara ventilasi rumah dan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang ventilasi rumahnya memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 28 (71,8%), sedangkan responden yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 15 (48,4%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,046. Hal ini berarti ada hubungan yang

49 signifikan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 2,715 artinya balita yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 2,7 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang ventilasi rumahnya memenuhi syarat. 2. Hubungan jenis lantai dengan kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun Tabel 4.18 Hubungan Jenis Lantai dengan Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Jenis Lantai ISPA P OR (95% CI) Ya (%) Tidak (%) value Memenuhi Syarat 34 69,4 15 30,6 0,037 3,022 1,051-8,692 Tidak Memenuhi 9 42,9 12 57,1 Syarat α = 0,05 Hasil analisis hubungan antara jenis lantai rumah dan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang jenis lantai rumahnya memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 34 (69,4%), sedangkan responden yang jenis lantai rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 9 (42,9%). Hasil uji statistiknya diperoleh

50 bahwa p-value sebesar 0,037. Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 3,022 artinya balita yang jenis lantai rumahnya tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 3 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang jenis lantai rumahnya memenuhi syarat. 3. Hubungan jenis dinding dengan kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun Tabel 4.19 Hubungan Jenis Dinding dengan Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Jenis Dinding ISPA P OR (95% CI) Ya (%) Tidak (%) value Memenuhi Syarat 32 60,4 21 39,6 0,750 0,831 0,267-2,591 Tidak Memenuhi 11 64,7 6 35,3 Syarat α = 0,05 Hasil analisis hubungan antara jenis dinding rumah dan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang jenis dinding rumahnya memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 32 (60,4%), sedangkan responden yang jenis dinding rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya

51 menderita ISPA sebanyak 11 (64,7%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,750. Hal ini berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita. 4. Hubungan suhu dengan kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun Tabel 4.20 Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Suhu ISPA P OR (95% CI) Ya (%) Tidak (%) Value Memenuhi Syarat 35 68,6 16 31,4 0,043 3,008 1,015-8,910 Tidak Memenuhi 8 64,7 11 57,9 Syarat α = 0,05 Hasil analisis hubungan antara suhu rumah dan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang suhu rumahnya memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 35 (68,6%), sedangkan responden yang suhu rumahnya tidak memenuhi syarat dan balitanya menderita ISPA sebanyak 8 (64,7%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,043. Hal ini berarti ada hubungan yang signifikan antara suhu rumah dengan kejadian ISPA pada balita.

52 Nilai OR = 3,088 artinya balita yang jenis suhu rumahnya tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 3 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang suhu rumahnya memenuhi syarat. 5. Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita usia 1-4 tahun Tabel 4.21 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA pada Balita Usia 1-4 Tahun Di Wilayah Kerja Puskesmas Getasan Kabupaten Semarang Kepadatan ISPA P OR (95% CI) Hunian Ya (%) Tidak (%) value Memenuhi Syarat 8 53,3 7 46,7 0,467 0,653 0,206-2,070 Tidak Memenuhi 35 63,6 20 36,4 Syarat α = 0,05 Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian rumah dan kejadian ISPA pada balita diperoleh bahwa responden yang rumahnya memenuhi syarat untuk kepadatan hunian dan balitanya menderita ISPA sebanyak 8 (53,3%), sedangkan responden yang rumahnya tidak memenuhi syarat untuk kepadatan hunian dan balitanya menderita ISPA sebanyak 35 (63,6%). Hasil uji statistiknya diperoleh bahwa p-value sebesar 0,467. Hal ini berarti tidak ada hubungan yang

53 signifikan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada balita. 4.4 Pembahasan 4.4.1 Faktor karakteristik balita 1. Berat badan lahir Berat badan lahir dapat mempengaruhi daya tahan tubuh bayi. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) sangat rentan terkena penyakit infeksi. Kelahiran prematur juga dapat menyebabkan sejumlah masalah terhadap kesehatan bayi seperti masalah pernafasan, hipotermi, infeksi setelah lahir dan lain-lain (Hull, 2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir balita dengan kejadian ISPA. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Gulo (2008) pada balita di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli Kabupaten Nias yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir balita dengan kejadian ISPA. Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Syahril (2006) pada balita di Kota Banda Aceh yang menyatakan ada hubungan antara berat badan lahir balita dengan kejadian ISPA. Balita yang berat badan lahirnya < 2500 gram memiliki risiko menderita

54 ISPA 2,2 kali lebih besar dari pada balita yang berat badan lahirnya > 2500 gram. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar balita di Kelurahan Kopeng lahir dengan berat badan lahir baik yaitu > 2500 gram. Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara berat badan lahir dengan kejadian ISPA, namun bayi dengan Berat Badan Lahir kurang sering mengalami penyakit gangguan pernafasan, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna dan otot pernafasan yang masih lemah sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan lainnya (Meadow & Simon, 2005). Berat badan lahir kurang dapat dicegah dengan memberikan penyuluhan kepada ibu sedini mungkin untuk menambah pengetahuan tentang asupan gizi yang baik saat hamil dan rutin memeriksakan kehamilan setiap bulan. 2. Status imunisasi Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Taisir (2005), yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada bayi maupun balita di Kelurahan Lhok

55 Bengkuang Aceh Selatan. Penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Catiyas (2012), yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita. Balita yang status imunisasinya tidak lengkap memiliki risiko 3,25 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita dengan status imunisasi lengkap. Menurut Achmadi (2008), imunisasi memberikan kekebalan tubuh untuk melindungi anak dari serangan penyakit infeksi. Balita yang diberi vaksin akan memiliki kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan. Sebagian besar kematian karena ISPA disebabkan oleh virus yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan pemberian imunisasi seperti difteri, pertusis dan campak. Hasil penelitian menyatakan tidak ada hubungan antara status imunisasi dengan kejadian ISPA dan sebagian besar balita di Kelurahan Kopeng memiliki status imunisasi yang lengkap. Namun, diharapkan semua bayi dan balita mendapatkan imunisasi secara lengkap. Sehingga petugas kesehatan sangat perlu untuk memberikan penyuluhan tentang manfaat imunisasi kepada orangtua untuk meningkatkan pengetahuan dan juga meningkatkan

56 keikutsertaan ibu yang mempunyai balita untuk posyandu secara rutin setiap bulan. 3. Status gizi Status gizi merupakan salah satu indikator kesehatan anak. Dalam penelitian ini status gizi ditentukan dengan menggunakan standar antropometri penilaian status gizi anak berdasarkan berat badan balita menurut umur (BB/U). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 4,471 artinya balita yang berstatus gizi kurang memiliki risiko 4,4 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang berstatus gizi baik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Wibowo (2007), yang menyatakan ada hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Brangsong II Kabupaten Kendal. Menurut Almatsier dkk (2011), balita dengan status gizi kurang memiliki daya tahan tubuh yang tidak baik yang disebabkan kurangnya asupan energi dan zat-zat penting yang dibutuhkan tubuh seperti karbohidrat, protein, dan lemak sehingga pembuatan zat antibodi terganggu yang mengakibatkan berisiko tinggi mengalami penyakit infeksi termasuk ISPA. Untuk mengatasi atau mencegah terjadinya

57 peningkatan balita yang berstatus gizi kurang, dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat khususnya ibu-ibu tentang pentingnya mengkonsumsi makanan yang mengandung nutrisi yang cukup dan juga cara mengolah makanan yang sehat dan bergizi. Cara lain yang juga dapat dilakukan petugas kesehatan yaitu dengan mengoptimalkan pemberian makanan tambahan (PMT) pada balita saat posyandu dan juga pemberian vitamin A secara rutin kepada balita. 4.4.2 Faktor sumber pencemaran dalam rumah 1. Bahan bakar masak Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Sirait (2010), yang menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Medan Tuntungan. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Masyhuda (2003), yang menyatakan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Bangko Kabupaten Merangin Propinsi Jambi.

58 Pencemaran udara dalam ruangan merupakan kondisi perubahan ruangan yang disebabkan masuknya suatu zat atau bahan ke dalam ruangan akibat aktivitas manusia. Bahan bakar memasak dapat menyebabkan polusi udara, dimana asap dapur dapat menyebar ke dalam ruangan didalam rumah sehingga mudah menimbulkan penyakit pernapasan khususnya ISPA bila terpapar dalam jangka waktu yang lama (Sari, 2014). Hasil penelitian menyatakan tidak ada hubungan antara bahan bakar memasak dengan kejadian ISPA karena sebagian besar sudah menggunakan bahan bakar memasak yang memenuhi syarat yaitu gas. Namun, berdasarkan pengamatan peneliti saat penelitian, sebagian besar rumah tidak memiliki cerobong asap maupun ventilasi di dapur, sehingga asap tetap didalam rumah dan menyebar ke ruangan lain di dalam rumah. Petugas kesehatan sebaiknya memberikan penyuluhan tentang sumber-sumber pencemaran di dalam rumah yang dapat mempengaruhi kesehatan serta menganjurkan untuk membuat modifikasi ventilasi dibagian atap dapur. 2. Perilaku merokok anggota keluarga Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok anggota keluarga

59 dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 16,400 artinya balita yang didalam rumahnya terdapat perokok mempunyai risiko 16,4 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang didalam rumahnya tidak terdapat perokok. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Layuk (2012), yang menyatakan ada hubungan antara perilaku merokok anggota keluarga dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Lembang Batu Sura. Menurut Khatimah (2006), balita dengan anggota keluarga yang merokok di dalam rumah memiliki risiko tinggi untuk terpapar asap rokok. Keterpaparan asap rokok dapat meningkatkan risiko mengalami ISPA dan gangguan paruparu. Balita dan anggota keluarga dari perokok lebih mudah dan lebih sering menderita gangguan pernapasan dibanding balita dan anggota keluarga yang bukan perokok. Peran petugas kesehatan sangat dibutuhkan untuk meminimalisir perilaku anggota keluarga yang merokok didalam rumah. Dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan tentang dampak negatif merokok bagi kesehatan baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif dan menganjurkan untuk merokok di luar rumah dan jauh dari balita.

60 4.4.3 Faktor lingkungan fisik rumah 1. Ventilasi Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 2,715 artinya balita yang ventilasi rumahnya tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 2,7 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang ventilasi rumahnya memenuhi syarat. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Dewi (2011), yang menyatakan ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas Banyudono I Kabupaten Boyolali. Menurut Notoatmodjo (2003), fungsi utama ventilasi adalah menjaga agar aliran udara di dalam rumah tetap segar, sehingga terjadi keseimbangan O 2 dan meningkatnya kadar CO 2 yang bersifat racun. Ventilasi juga berhubungan dengan kelembapan udara dalam rumah yang merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri penyebab penyakit, bakteri yang berada di udara mudah keluar dengan adanya ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan. Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti saat penelitian, masih banyak rumah yang tidak memiliki ventilasi dan tidak memenuhi syarat kesehatan. Peran petugas

61 kesehatan sangat perlu untuk memberikan informasi melalui penyuluhan. Penyuluhan ini diharapkan dapat memberikan informasi sehingga tumbuh kesadaran diri pada masyarakat untuk membuka jendela dan pintu setiap pagi dan mengupayakan untuk membuat ventilasi rumah yang memenuhi syarat kesehatan. 2. Jenis lantai Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 3,022 artinya balita yang jenis lantai rumahnya tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 3 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang jenis lantai rumahnya memenuhi syarat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Irianto (2006), yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Menurut Kemenkes RI (2011), jenis lantai yang memenuhi syarat kesehatan harus kedap air dan mudah dibersihkan. Lantai rumah yang tidak kedap air dan sulit dibersihkan akan menjadi tempat perkembangan dan pertumbuhan mikroorganisme di dalam rumah.

62 Berdasarkan observasi yang dilakukan peneliti saat penelitian sebagian besar jenis lantai rumah telah memenuhi syarat kesehatan seperti lantai sudah terbuat dari keramik, ubin dan semen. Namun, kebanyakan lantai rumah sangat kotor dan berdebu. Intervensi yang sangat perlu dilakukan oleh petugas kesehatan yaitu melakukan penyuluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat sehingga dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memelihara kebersihan lingkungan baik dalam ataupun luar rumah. 3. Jenis dinding Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Winardi (2015), yang menyatakan kondisi dinding rumah tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sario Kota Manado. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Afandi (2012), yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah. Jenis dinding yang permanen seperti tembok dapat dibersihkan dari debu dan dapat mencegah debu masuk ke dalam rumah. Jenis dinding rumah seperti kayu dan bambu

63 seringkali menghasilkan serat debu di permukaannya dan sangat mudah tertempel debu yang beterbangan didalam rumah sehingga dapat menjadi faktor resiko terjadinya ISPA. (Marianta, 2015). Walaupun hasil penelitan ini menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis dinding rumah dengan kejadian ISPA, akan tetapi penyuluhan tentang hunian yang sehat penting untuk dilakukan oleh petugas kesehatan. Agar menambah pengetahuan masyarakat tentang hunian yang memenuhi syarat kesehatan. 4. Suhu Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara suhu rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Nilai OR = 3,088 artinya balita yang tinggal di rumah dengan suhu ruang yang tidak memenuhi syarat mempunyai peluang 3 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan suhu ruang yang memenuhi syarat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Rusdawati (2012), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara suhu dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja UPTD Kesehatan Luwuk Timur Sulawesi Tengah.

64 Kemenkes RI No. 829 Tahun 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan menentukan bahwa suhu udara dalam rumah yang memenuhi syarat berkisar antara 18 o -30 o C. Suhu ruang sangat dipengaruhi oleh suhu udara luar, pergerakan udara, kelembapan udara, dan suhu benda-benda yang ada disekitarnya. Perubahan suhu udara dalam rumah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penggunaan bahan bakar, ventilasi yang tidak memenuhi syarat, bahan dan struktur bangunan, kondisi geografis dan kondisi topografis (Kemenkes RI, 2011). Hasil observasi di tempat penelitian, suhu ruangan dipengaruhi oleh kondisi pada saat penelitian yaitu musim hujan dimana saat dilakukan pengukuran, suhu mencapai 16 o C pada sore hari. Peran petugas kesehatan sangat penting untuk memberikan penyuluhan kepada orangtua balita mengenai perilaku yang sebaiknya dilakukan seperti tidak membawa balita keluar rumah di sore hari dan menggunakan pakaian yang dapat menghangatkan tubuh sehingga dapat menghindari risiko terjangkit penyakit ISPA. 5. Kepadatan hunian Hasil penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian ini sejalan

65 dengan penelitian Oktaviani (2009), yang menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sarijan (2005), yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian ISPA pada balita di Desa Banjararjo. Kepadatan hunian di dalam rumah mempunyai peranan dalam penyebaran mikroorganisme di dalam lingkungan rumah. Kepadatan hunian kamar tidur balita yang tidak memenuhi syarat akan menghalangi proses pertukaran udara bersih sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi dan akibatnya dapat menjadi penyebab terjadinya penyakit ISPA. Hal ini diperberat apabila salah satu anggota keluarga yang tidur di dalam ruangan yang sama dengan balita sedang menderita penyakit ISPA, sehingga akan menularkan virus atau bakteri penyebab ISPA kepada balita melalui udara yang dihirup oleh balita pada saat tidur (Nindya, 2005). Walaupun hasil penelitian menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA, namun kepadatan hunian sebaiknya diatasi dengan pembangunan rumah dengan memperhatikan jumlah penghuni rumah dan bagi petugas kesehatan untuk

66 mengoptimalkan penyuluhan tentang Keluarga Berencana (KB) kepada masyarakat. 4.5 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mengunakan rancangan cross sectional yaitu penelitian dilakukan dengan pengumpulan data dan observasi langsung pada lingkungan rumah responden pada waktu yang bersamaan yang hanya dilakukan satu kali. Dalam penelitian ini juga, data-data yang didapatkan dari puskesmas dan posyandu belum terkomputerisasi sehingga peneliti mengolah data secara manual.