BAB 2 LANDASAN TEORI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK)

Jaringan Syaraf Tiruan. Disusun oleh: Liana Kusuma Ningrum

BAB 2 LANDASAN TEORI. Universitas Sumatera Utara

BAB II LANDASAN TEORI

BAB VIII JARINGAN SYARAF TIRUAN

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

JARINGAN SARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) ERWIEN TJIPTA WIJAYA, ST, M.KOM

Gambar 2.1 Neuron biologi manusia (Medsker & Liebowitz, 1994)

Jaringan syaraf dengan lapisan tunggal

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

I PENDAHULUAN II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Jaringan Syaraf Tiruan

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Architecture Net, Simple Neural Net

BAB 2 LANDASAN TEORI. fuzzy logic dengan aplikasi neuro computing. Masing-masing memiliki cara dan proses

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 KONSEP DASAR PENGENAL OBJEK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Algoritma Kohonen dalam Mengubah Citra Graylevel Menjadi Citra Biner

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

1.1. Jaringan Syaraf Tiruan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengenalan suara (voice recognition) dibagi menjadi dua jenis, yaitu

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UIN SUSKA RIAU. IIS AFRIANTY, ST., M.Sc

Jaringan Syaraf Tiruan

Jurnal Ilmiah Komputer dan Informatika (KOMPUTA) IMPLEMENTASI JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION UNTUK MENGENALI MOTIF BATIK

PENGENAL HURUF TULISAN TANGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN METODE LVQ (LEARNING VECTOR QUANTIZATION) By. Togu Sihombing. Tugas Ujian Sarjana

ARTIFICIAL NEURAL NETWORK TEKNIK PERAMALAN - A

BAB 2 LANDASAN TEORI

PENYELESAIAN MASALAH TRAVELING SALESMAN PROBLEM DENGAN JARINGAN SARAF SELF ORGANIZING

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

JARINGAN SYARAF TIRUAN

Pertemuan 2 Representasi Citra

BAB 2 LANDASAN TEORI

Farah Zakiyah Rahmanti

BAB 2 LANDASAN TEORI

JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORK) Pertemuan 11 Diema Hernyka Satyareni, M.Kom

BAB II NEURAL NETWORK (NN)

TINJAUAN PUSTAKA ,...(1)

LANDASAN TEORI. 2.1 Citra Digital Pengertian Citra Digital

PENGGUNAAN JARINGAN SYARAF TIRUAN BACKPROPAGATION UNTUK SELEKSI PENERIMAAN MAHASISWA BARU PADA JURUSAN TEKNIK KOMPUTER DI POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA

SISTEM PENGENALAN KARAKTER DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN ALGORITMA PERCEPTRON

Penerapan Jaringan Saraf Tiruan Metode Backpropagation Menggunakan VB 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Bab 2 ini berisi tentang pembahasan teori-teori tentang jaringan syaraf tiruan, Algoritma Learning Vector Quantization (LVQ).

BAB II DASAR TEORI Jaringan Syaraf Tiruan. Universitas Sumatera Utara

SATIN Sains dan Teknologi Informasi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II MODEL NEURON DAN ARSITEKTUR JARINGAN

VIII.PENGANTAR JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST)

APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK MEMPREDIKSI PENJUALAN OBAT Pada PT. METRO ARTHA PRAKARSA MENERAPKAN METODE BACKPROPAGATION

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN :

MODEL N EURON NEURON DAN

APLIKASI JARINGAN SYARAF TIRUAN PADA PENGENALAN POLA TULISAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Citra Digital

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

BAB II LANDASAN TEORI

PENGENALAN POLA HURUF ROMAWI DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN PERSEPTRON LAPIS JAMAK

BAB III PERANCANGAN SISTEM

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

Jaringan Syaraf Tiruan

Program Aplikasi Komputer Pengenalan Angka Dengan Pose Jari Tangan Sebagai Media Pembelajaran Interaktif Anak Usia Dini

JARINGAN SYARAF TIRUAN (ARTIFICIAL NEURAL NETWORKS)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI

PERANCANGAN PROGRAM PENGENALAN BENTUK MOBIL DENGAN METODE BACKPROPAGATION DAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK SKRIPSI

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB VIII PENGANTAR JARINGAN SYARAF TIRUAN (JST)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KOMPRESI CITRA DIGITAL DENGAN MENGGUNAKAN HEBBIAN BASED PRINCIPAL COMPONENT ANALYSIS

BAB II LANDASAN TEORI

PENGENALAN HURUF DAN ANGKA PADA CITRA BITMAP DENGAN JARINGAN SARAF TIRUAN METODE PROPAGASI BALIK

terinspirasi dari sistem biologi saraf makhluk hidup seperti pemrosesan informasi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. luar dan daging iga sangat umum digunakan di Eropa dan di Amerika Serikat

BAB III METODE PENELITIAN. menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian ini.

PERANCANGAN SISTEM PENGENALAN DAN PENYORTIRAN KARTU POS BERDASARKAN KODE POS DENGAN MENGGUNAKAN ARTIFICIAL NEURAL NETWORK

IMPLEMENTASI SEGMENTASI CITRA DAN ALGORITMA LEARNING VECTOR QUANTIZATION (LVQ) DALAM PENGENALAN BENTUK BOTOL

FUZZY-NEURO LEARNING VECTOR QUANTIZATION (FNLVQ)

ANALISA JARINGAN SARAF TIRUAN DENGAN METODE BACKPROPAGATION UNTUK MENGETAHUI LOYALITAS KARYAWAN

Neural Network (NN) Keuntungan penggunaan Neural Network : , terdapat tiga jenis neural network Proses Pembelajaran pada Neural Network

OPTICAL CHARACTER RECOGNIZATION (OCR)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PERANCANGAN ALGORITMA KRIPTOGRAFI KUNCI SIMETRI DENGAN MENGGUNAKAN JARINGAN SARAF TIRUAN

PEMANFAATAAN BIOMETRIKA WAJAH PADA SISTEM PRESENSI MENGGUNAKAN BACKPROPAGATION NEURAL NETWORK

2.1 Definisi Operasional Indikator Pemerataan Pendidikan

KOMBINASI ALGORITMA JARINGAN SYARAF TIRUAN LEARNING VECTOR QUANTIZATION (LVQ) DAN SELF ORGANIZING KOHONEN PADA KECEPATAN PENGENALAN POLA TANDA TANGAN

ANALISIS JARINGAN SARAF TIRUAN BACKPROPAGATION TERHADAP PERAMALAN NILAI TUKAR MATA UANG RUPIAH DAN DOLAR

ANALISIS VARIASI PARAMETER LEARNING VECTOR QUANTIZATION ARTIFICIAL NEURAL NETWORK TERHADAP PENGENALAN POLA DATA ODOR

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

Representasi Citra. Bertalya. Universitas Gunadarma

Transkripsi:

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Citra Digital Citra merupakan fungsi kontinyu dari intensitas cahaya pada bidang dua dimensi. Intensitas cahaya merupakan hasil kali antara jumlah pancaran (illuminasi) cahaya yang diterima objek dengan derajat kemampuan obyek memantulkan cahaya. Citra digital umumnya direpresentasikan dalam bentuk matriks 2 dimensi dengan ukuran NxM. Elemen terkecil dalam citra digital (elemen matriks) disebut pixel. Setiap nilai pixel pada citra merepresentasikan nilai intensitas cahaya (Budi, 2009). Nilai fungsi intensitas f(x,y) memiliki rentang nilai yang disebut skala keabuan, yaitu: l min < f(x,y) < l max atau 0 f(x,y) L-1... (1) Dimana: f(x,y) l max = L l min : nilai intensitas pada posisi x,y. : nilai max intensitas (skala keabuan) : nilai min intensitas Suatu citra dapat didefinisikan sebagai fungsi f(x,y), berukuran M baris dan N kolom, dengan x dan y adalah koordinat spasial dan amplitudo f di titik kordinat f(x,y) dinamakan intensitas atau tingkat keabuan dari citra pada titik tersebut. Apabila nilai x, y dan nilai amplitudo f secara keseluruhan berhingga (finite) dan nilai bernilai diskrit maka dapat dikatakan bahwa citra tersebut adalah citra digital (Putra, 2010).

Kordinat citra digital dapat dilihat pada Gambar 2.1. Gambar 2.1 Kordinat Citra Digital Sebuah citra digital dapat diwakili oleh sebuah matriks dua dimensi f(x,y) yang terdiri dari M kolom dan N baris, dimana perpotongan antara kolom dan baris disebut piksel (pixel = picture element) atau elemen terkecil dari sebuah citra. Citra digital dapat ditulis dalam bentuk matrik sebagai berikut (Kusumanto,, 2011).... (2) Suatu citra ƒ(x,y) dalam fungsi matematis dapat dituliskan sebagai berikut: 0 x M-1 0 y N-1 0 ƒ(x,y) G-1 dimana : M = jumlah piksel baris (row) pada array citra N = jumlah piksel kolom (column) pada array citra

G = nilai skala keabuan (graylevel) Besarnya nilai M, N dan G pada umumnya merupakan perpangkatan dari dua. M = 2 m ; N = 2 n ; G = 2 k... (3) Dimana: Nilai m, n dan k adalah bilangan bulat positif. Interval (0,G) disebut skala keabuan (grayscale). Besar G tergantung pada proses digitalisasinya. Biasanya keabuan 0 (nol) menyatakan intensitas hitam dan 1 (satu) menyatakan intensitas putih. Untuk citra 8 bit, nilai G sama dengan 28 = 256 warna (derajat keabuan). Gambar 2.2 Representasi Citra Digital Dalam 2 Dimensi (Kusumanto, 2011) Jenis citra berdasarkan nilai pikselnya adalah sebagai berikut (Putra, 2010): 1. Citra Biner Citra biner adalah citra digital yang hanya memiliki dua kemungkinan nilai piksel yaitu hitam dan putih. Citra biner juga disebut sebagai citra black and white (B&W) atau citra monokrom. Hanya dibutuhkan 1 bit untuk mewakili nilai setiap piksel dari citra biner. Citra biner sering kali muncul sebagai hasil dari proses pengolahan seperti segmentasi, pengambangan, morfologi ataupun dithering.

Gambar 2.3 Citra Biner (Putra, 2010) 2. Citra Grayscale Citra grayscale merupakan citra digital yang hanya memiliki satu nilai kanal pada setiap pikselnya, dengan kata lain nilai bagian RED=Green=Blue. Nilai tersebut digunakan untuk menunjukkan tingkat intensitas. Warna yang dimiliki adalah warna dari hitam, keabuan dan putih. Tingkatan keabuan disini merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga mendekati putih. Citra grayscale berikut memiliki kedalaman warna 8 bit (256 kombinasi warna keabuan). Gambar 2.4 Citra Keabuan (Putra, 2010) 3. Citra Warna (8 bit) Setiap piksel dari citra warna (8 bit) hanya diwakili oleh 8 bit dengan jumlah warna maksimum yang dapat digunakan adalah 256 warna. Ada dua jenis citra warna 8 bit. Pertama, citra warna 8 bit dengan menggunakan palet warna 256 dengan setiap paletnya memiliki pemetaan nilai (colormap) RGB tertentu. Model ini lebih sering digunakan. Kedua, setiap pixel memiliki format 8 bit sebagai berikut. Bit-7 Bit-6 Bit-5 Bit-4 Bit-3 Bit-2 Bit-1 Bit-0 R R R G G G B B Bentuk kedua ini dinamakan 8 bit true color. Berikut ini adalah warna-warnanya.

Gambar 2.5 8 bit true color Gambar 2.6 Citra Warna 8 bit (Putra, 2010) 4. Citra Warna (16 bit) Citra warna 16 bit (biasanya disebut sebagai citra highcolor) dengan setiap pikselnya diwakili dengan 2 byte memory (16 bit). Warna 16 bit memiliki 65536 warna. Gambar 2.7 Citra Warna 16 bit (Putra, 2010) 5. Citra Warna (24 bit) Gambar 2.8 Citra Warna 24 bit (Putra, 2010)

2.2 Pengolahan Data Citra Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sekumpulan citra untuk pembelajaran (learning data set) dan sekumpulan citra untuk pengujian (testing data set) yang diperoleh dari hasil scanning tanda tangan. Citra tanda tangan yang digunakan berukuran 340 x 272 pixel. Citra tersebut mengalami proses konversi ke gray scaling jika merupakan citra true color, selanjutnya citra akan dikenai proses deteksi tepi berbasis gradien dengan operator Roberts, yang dilanjutkan dengan proses operasi negasi. Citra analisis merupakan citra grayscale dengan skala 8 bit yang memiliki intensitas warna berkisar antara 0 sebagai nilai minimum sampai 255 yang merupakan nilai maksimum. Citra analisis kemudian dikonversi ke dalam barisan bilangan biner sepanjang 340 x 272 untuk masing-masing citra. Untuk setiap pixel dengan nilai intensitas warna 237 diberi nilai 1, sedangkan untuk nilai intensitas warna > 237 diberi nilai 0, sehingga akan diperoleh barisan nilai yang terdiri dari 0 dan 1 sepanjang 92480 elemen. Kemudian dilakukan proses pembagian region (wilayah) sehingga menghasilkan 10 x 8 region yang berisi penjumlahan nilai pixel dalam region yang masing-masingnya berukuran 34x34 pixel. Gambar 2.9 Pembagian region dari m x n (340x272) pixel menjadi p x q (10x8)

2.3 Edge Detection Method Edge detection atau deteksi tepi digunakan untuk melihat apakah suatu edge atau tepi melewati atau berada di dekat suatu titik (pixel) dalam sebuah citra (Sigit,dkk.,2005). Tepi adalah batas antara dua daerah dengan sifat tingkat keabuan yang relatif berbeda. Tujuan dari deteksi tepi adalah menandai bagian yang menjadi detil citra, dan memperbaiki detil citra yang kabur karena error atau efek proses akuisisi citra (Sigit, dkk.,2005). Batas suatu obyek semakin nampak bersamaan dengan ketidak kontinuitasan intensitas dalam suatu citra. Eksperimen pada sistem penglihatan manusia menunjukkan bahwa suatu citra sangat penting, bahkan suatu obyek dapat dikenali hanya dari garis bentuk kasarnya saja (croude outline). Kenyataan ini merupakan konsep prinsip untuk merepresentasikan suatu obyek melalui batasnya. Tepi lokal (local edge) adalah daerah kecil dalam suatu citra yang tingkat keabuan lokalnya berubah dengan sangat cepat dengan cara yang sederhana (misalnya monotonik). Operator tepi (edge operator) adalah operator matematis (atau yang hasil komputasinya ekuivalen), yang dengan perluasan kecil, didesain untuk mendeteksi keberadaan tepi lokal dalam suatu fungsi citra (Low, 1991). Pada intinya, ide yang mendasari sebagian algoritma pendeteksian tepi adalah perhitungan suatu operator derivatif lokal. Dalam teknik deteksi tepi ini, diasumsikan bahwa tepi adalah pixel yang memiliki nilai gradien tinggi. Gradien itu sendiri adalah ukuran besarnya perubahan intensitas yang terjadi. Pada citra digital f(x,y) turunan berarah sepanjang sekian obyek akan bernilai maksimum pada arah normal dari kontur tepian yang bersesuaian. Sifat ini dipergunakan sebagai dasar pemanfaatan operator gradien sebagai deteksi tepi. Gradien suatu citra f(x,y) pada lokasi x,y data didefinisikan sebagai vektor.... (2.1) Operator gradien menghitung intensitas perubahan tingkat keabuan dan arah dimana perubahan terjadi. Hal ini dihitung berdasarkan perbedaan nilai pixel-pixel yang

bertetangga. Operator Robert Cross adalah operator gradien yang sederhana berukuran 2 x 2. Operator ini menyediakan pendekatan paling sederhana dari magnitude gradien, yang dapat ditunjukkan dengan fungsi matematis berikut ini, yaitu:... (2.2) Mask konvolusi untuk Operator Roberts adalah: Gambar 2 menunjukkan algoritma deteksi tepi dengan operator Robert yang diikuti dengan proses negasi. Pengurangan 255 terhadap nilai hasil penjumlahan 2 konvolusi dari citra dimaksudkan untuk menegasikan, karena hasil konvolusi biasanya berada di sekitar nilai 0 (nilai kecil), sehingga jika ditampilkan, citra tepi kebanyakan berwarna gelap (hitam). 2.4 Jaringan Syaraf Biologi Otak manusia memiliki struktur yang sangat kompleks dan memiliki kemampuan yang luar biasa. Otak terdiri dari neuron-neuron dan penghubung yang disebut sinapsis. Neuron bekerja berdasarkan impuls/sinyal yang diberikan pada neuron. Neuron meneruskannya pada neuron lain. Diperkirakan manusia memiliki 10 12 neuron dan 6x10 18 sinapsis. Dengan jumlah yang begitu banyak, otak mampu mengenali pola, melakukan perhitungan, dan mengontrol organ-organ tubuh dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan komputer digital (Puspitaningrum, 2006). Sebagai perbandingan, pengenalan wajah seseorang yang sedikit berubah misal memakai topi, memiliki jenggot tambahan dan lainnya akan lebih cepat dilakukan manusia dibandingkan komputer. Pada waktu lahir, otak mempunyai struktur yang menakjubkan karena kemampuannya membentuk sendiri aturan-aturan/pola berdasarkan pengalaman yang diterima. Jumlah dan kemampuan neuron berkembang seiring dengan pertumbuhan fisik manusia, terutama pada umur 0-2 tahun. Pada 2 tahun pertama umur manusia, terbentuk 1 juta sinapsis per detiknya.

Gambar 2.10 Susunan Neuron Biologis [Puspitaningrum, 2006] Menurut Medsker dan Liebowitz dalam Septiani (2005) perbedaan terminologis antara jaringan syaraf biologis dan tiruan disajikan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Perbedaan Jaringan Syaraf Biologis dengan JST [Septiani, 2005] Neuron memiliki 3 komponen penting yaitu dendrit, soma dan axon. Dendrit menerima sinyal dari neuron lain. Sinyal/tersebut berupa impuls elektrik yang dikirim melalui celah sinaptik melalui proses kimiawi. Sinyal tersebut dimodifikasi (diperkuat/diperlemah) di celah sinaptik. Berikutnya, soma menjumlahkan semua sinyal-sinyal yang masuk. Kalau jumlahan tersebut cukup kuat dan melebihi batas ambang (threshold), maka sinyal tersebut akan diteruskan ke sel lain melalui axon. Frekuensi penerusan sinyal berbeda-bedaantara satu sel dengan yang lain. Neuron biologi merupakan sistem yang "fault tolerant" dalam 2 hal. Pertama, manusia dapat mengenali sinyal input yang agak berbeda dari yang pernah kita terima sebelumnya. Sebagai contoh, manusia sering dapat mengenali seseorang yang wajahnya pernah dilihat dari foto, atau dapat mengenali seseorang yang wajahnya agak berbeda karena sudah lama tidak dijumpainya. Kedua, otak manusia tetap mampu bekerja meskipun beberapa neuronnya tidak mampu bekerja dengan baik. Jika sebuah neuron rusak,

neuron lain kadang-kadang dapat dilatih untuk menggantikan fungsi sel yang rusak tersebut. 2.5 Jaringan Syaraf Tiruan (Neural Network (NN)) Jaringan Syaraf Tiruan (JST) adalah suatu metode pembelajaran yang diinspirasi dari jaringan sistem pembelajaran biologis yang terjadi dari jaringan sel syaraf (neuron) yang terhubung satu dengan yang lainnya (Silvia, 2007). Berikut adalah beberapa definisi JST : a. JST adalah suatu teknik pemrosesan informasi berbasis komputer yang mensimulasikan dan memodelkan sistem syaraf biologis. b. Suatu model matematik yang mengandung sejumlah besar elemen pemroses yang diorganisasikan dalam lapisan-lapisan. c. Suatu sistem komputasi yang dibuat dari sejumlah elemen pemroses yang sederhana dan saling diinterkoneksikan untuk memproses informasi melalui masukan dari luar dan mampu inresponsi keadaan yang dinamis. d. JST adalah suatu teknologi komputasi yang berbasis hanya pada model syaraf biologis dan mencoba mensimulasikan tingkah laku dan kerja model syaraf. e. JST adalah sistem pemroses informasi yang memiliki karakteristik mirip dengan jaringan syaraf biologi. JST dibentuk sebagai generalisasi model matematika dari jaringan syaraf biologi, dengan asumsi bahwa : 1. Pemrosesan informasi terjadi pada banyak elemen sederhana (neuron). 2. Sinyal dikirirnkan diantara neuron-neuron melalui penghubung-penghubung. 3. Penghubung antar neuron memiliki bobot yang akan memperkuat atau memperlemah sinyal. 4. Untuk menentukan output, setiap neuron menggunakan fungsi aktivasi (biasanyabukan fungsi linier) yang dikenakan pada jumlahan input yang diterima. Besarnya output ini selanjutnya dibandingkan dengan suatu batas ambang. 2.5.1 Arsitektur Jaringan Syaraf Ada beberapa arsitektur jaringan syaraf (Silvia, 2007), antara lain: a. Jaringan dengan Lapisan Tunggal (Single Layer Network)

Pada jaringan ini, sekumpulan masukan neuron dihubungkan langsung dengan sekumpulan keluarannya. Sinyal mengalir searah dari layar (lapisan) masukan sampai layar (lapisan) keluaran. Setiap simpul dihubungkan dengan simpul lainnya yang berada diatasnya dan dibawahnya, tetapi tidak dengan simpul yang berada pada lapisan yang sama. Model yang masuk kategori ini antara lain : ADALINE, Hopfield, Perceptron, LVQ, dan lain-lain. Pada gambar berikut diperlihatkan arsitektur jaringan layar tunggal dengan n buah masukan (x1, x2,..., xn) dan m buah keluaran (y1, y2,..., ym) Gambar 2.11 Jaringan Syaraf Tiruan dengan Lapisan Tunggal [Puspitorini, 2008] b. Jaringan dengan Banyak Lapisan (Multiple Layer Network) Jaringan dengan banyak lapisan memiliki 1 atau lebih lapisan yang terletak diantara lapisan input dan lapisan output. Seperti terlihat gambar dibawah ada lapisan lapisan yang terletak diantara 2 lapisan yang bersebelahan. Jaringan dengan banyak lapisan ini dapat menyelesaikan permasalahan lebih sulit dari pada jaringan lapisan tunggal, tentu saja dengan pembelajaran yang lebih rumit. Namun demikian, pada banyak kasus, pembelajaran pada jaringan dengan banyak lapisan ini lebih sukses dalam menyelesaikan masalah. Model yang termasuk kategori ini antara lain : MADALINE, backpropagation. Pada Gambar 2.3 diperlihatkan jaringan dengan n buah unit masukan (x1, x2,..., xn), sebuah layar tersembunyi yang terdiri dari m buah unit (z1,z2,...,zm) dan 1 buah unit keluaran.

Gambar 2.12 Jaringan Syaraf Tiruan dengan Banyak Lapisan [Puspitorini, 2008] c. Jaringan Reccurent Model jaringan reccurent (reccurent network) mirip dengan jaringan layar tunggal ataupun jamak. Hanya saja, ada simpul keluaran yanng memberikan sinyal pada unit masukan (sering disebut feedback loop). Dengan kata lain sinyal mengalir dua arah, yaitu maju dan mundur. Contoh : Hopfield network, Jordan network, Elmal network. 2.5.2 Keuntungan Menggunakan Komputasi dengan JST Kemampuan dan proses komputasi pada JST memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut : 1. JST bersifat adaptif terhadap perubahan parameter yang mempengaruhi karakteristik sistem, sehingga pada proses belajar, JST mampu belajar secara adaptif dan melaksanakan tugas berbasis pada data yang diberikan saat pelatihan. 2. JST memiliki kekebalan atau toleran terhadap kesalahan. Artinya, JST tetap berfungsi walaupun ada ketidak-lengkapan data yang dimasukkan. JST mempunyai kemampuan mengisi bagian masukan yangkurang lengkap sedemikian rupa sehingga tetap diperoleh keluaran yang lengkap. 3. JST dapat dilatih memberikan keputusan dengan memberikan set pelatihan sebelumnya untuk mencapai target tertentu, sehingga JST mampu membangun dan memberikan jawaban sesuai dengan informasi yang diterima pada proses pelatihan. 4. JST mempunyai struktur paralel dan terdistribusi. Artinya, komputasi dapat dilakukan oleh lebih dari satu elemen pemroses yang bekerja secara simultan.

5. JST mampu mengklasiflkasi pola masukan dan pola keluaran. Melalui proses penyesuaian, pola keluaran dihubungkan dengan masukan yang diberikan oleh JST. 6. JST mengurangi derau, sehingga dihasilkan keluaran yang lebih bersih. 7. JST dapat dimanfaatkan pada proses optimisasi penyelesaian suatu masalah. 8. JST dapat digunakan pada proses pengendalian sistem agar masukan memperoleh tanggapan yang diinginkan. 2.5.3 Algoritma Umum Jaringan Syaraf Tiruan Algoritma pembelajaran/pelatihan jaringan syaraf tiruan adalah sebagai berikut: Dimasukkan n contoh pelatihan ke dalam jaringan saraf tiruan. Lakukan : 1. Inisialisasi bobot-bobot jaringan. Set i = 1. 2. Masukkan contoh ke-i (dari sekumpulan contoh pembelajaran yang terdapat dalam set pelatihan) ke dalam jaringan pada lapisan input. 3. Cari tingkat aktivasi unit-unit output menggunakan algoritma aplikasi. If kinerja jaringan memenuhi standar yang ditentukan sebelumnya (memenuhi syarat berhenti) then exit. 4. Update bobot-bobot dengan menggunakan aturan pembelajaran jaringan. If i=n, then reset i = 1. Else i = i - 1. Ke langkah 2. Algoritma aplikasi/inferensi jaringan saraf tiruan : Dimasukkan sebuah contoh pelatihan ke dalam jaringan saraf tiruan. Lakukan: 1. Masukkan kasus ke dalam jaringan pada lapisan input. 2. Hitung tingkat aktivasi node-node jaringan. 3. Untuk jaringan koneksi umpan maju, jika tingkat aktivasi dari semua unit output-nya telah dikalkulasi, maka exit. Untuk jaringan koneksi balik, jika tingkat aktivasi dari semua unit output menjadi konstan atau mendekati konstan, maka exit. J jika tidak, kembali ke langkah 2. Jika jaringannya tidak stabil, maka exit dan fail. 2.5.4 Fungsi aktivasi

Ada beberapa fungsi aktivasi yang sering digunakan dalam jaringan saraf tiruan, antara lain (Puspitorini, 2008): a. Fungsi Undak Biner Hard Limit Jaringan dengan lapisan tunggal sering menggunakan fungsi undak (step function) untuk mengkonversikan input dari suatu variabel yang bernilai kontinu ke suatu output biner (0 atau 1). Fungsi undak biner hard limit dirumuskan sebagai berikut: y = Gambar 2.13 Fungsi aktivasi: Undak Biner Hard Limit [Puspitorini, 2008] b. Fungsi Undak Biner Threshold Fungsi undak biner dengan menggunakan nilai ambang sering juga disebut dengan nama fungsi nilai ambang (threshold) atau fungsi Heaviside. Fungsi undak biner (dengan nilai ambang ) dirumuskan sebagai berikut: y = Sumber: Puspitorini, 2008 Gambar 2.14 Fungsi aktivasi: Undak Biner Threshold [Puspitorini, 2008] 2.6 Sejarah Jaringan Syaraf Tiruan Jaringan syaraf tiruan sederhana pertama kali diperkenalkan oleh McCulloch dan Pitts di tahun 1943. McCulloch dan Pitts menyimpulkan bahwa kombinasi beberapa neuron sederhana menjadi sebuah sistem neural akan meningkatkan kemampuan komputasinya. Bobot dalam jaringan yang diusulkan oleh McCulloch dan Pitts diatur untuk melakukan fungsi logika sederhana. Fungsi aktivasi yang dipakai adalah fungsi threshold. Tahun 1958, Rosenblatt memperkenalkan dan mulai mengembangkan

model jaringan yang disebut Perceptron. Metode pelatihan diperkenalkan untuk mengoptimalkan hasil iterasinya. Widrow dan Hoff (1960) mengembangkan perceptron dengan memperkenalkan aturan pelatihan jaringan, yang dikenal sebagai aturan delta (atau sering disebut kuadrat rata-rata terkecil). Aturan ini akan mengubah bobot perceptron apabila keluaran yang dihasilkan tidak sesuai dengan target yang diinginkan. Apa yang dilakukan peneliti terdahulu hanya menggunakan jaringan dengan layer tunggal (single layer). Rumelhart (1986) mengembangkan perceptron menjadi Backpropagation, yang memungkinkan jaringan diproses melalui beberapa layer. Selain itu, beberapa model jaringan syaraf tiruan lain juga dikembangkan oleh Kohonen (1972), Hopfield (1982) dan lainnya. Pengembangan yang ramai dibicarakan sejak tahun 1990an adalah aplikasi model-model jaringan syaraf tiruan untuk menyelesaikan berbagai masalah di dunia nyata. Jaringan Syaraf Tiruan ditentukan oleh tiga hal : 1. Pola hubungan antar neuron (disebut arsitektur jaringan) 2. Metode untuk menentukan bobot penghubung (disebut metode learning/training). 3. Fungsi aktivasi 2.7 Paradigma Pembelajaran Berdasarkan cara memodifikasi bobotnya, ada 2 macam pelatihan yang dikenal yaitu dengan supervisi (supervised) dan tanpa supervisi (unsupervised). Dalam pelatihan dengan supervisi, terdapat sejumlah pasangan data (masukan-target keluaran) yang dipakai untuk melatih jaringan hingga diperoleh bobot yang diinginkan. Pasangan data tersebut berfungsi sebagai "guru" untuk melatih jaringan hingga diperoleh bentuk yang terbaik. "Guru" akan memberikan informasi yang jelas tentang bagaimana sistem harus mengubah dirinya untuk meningkatkan unjuk kerjanya. Pada setiap kali pelatihan, suatu input diberikan ke jaringan. Jaringan akan memproses dan mengeluarkan keluaran. Selisih antara keluaran jaringan dengan target (keluaran yang diinginkan) merupakan kesalahan yang terjadi. Jaringan akan memodifikasi bobot sesuai dengan kesalahan tersebut. Jaringan perceptron, ADALINE dan Backpropagation merupakan model-model yang menggunakan pelatihan dengan supervisi. Sebaliknya, dalam pelatihan tanpa supervisi (unsupervised learning) tidak

ada "guru" yang akan mengarahkan proses pelatihan. Dalam pelatihannya, perubahan bobot jaringan dilakukan berdasarkan parameter tertentu dan jaringan dimodifikasi menurut ukuran parameter tersebut. Sebagai contoh, dalam model jaringan kompetitif, jaringan terdiri dari 2 layar, yaitu layar input dan layar kompetisi. Layar input menerima data eksternal. Layar kompetitif berisi neuron-neuron yang saling berkompetisi agar memperoleh kesempatan untuk merespon sifat-sifat yangada dalam data masukan. Neuron yang memenangkan kompetisi akan memperoleh sinyal yang berikutnya ia teruskan. Bobot neuron pemenang akan dimodifikasi sehingga lebih menyerupai data masukan. Sebagai ilustrasi, pelatihan dengan supervisi dapat diandaikan sebagai skripsi yang dibimbing oleh seorang dosen. Pada setiap kali pengumpulan berkas skripsi, dosen akan mengkritik, mengarahkan dan meminta perbaikan agar kualitas skripsi meningkat. Sebaliknya, Dalam pelatihan tanpa supervisi dapat dibayangkan sebagai skripsi tanpa dosen pembimbing. Mahasiswa mengerjakan skripsi sebaik-baiknya berdasarkan ukuran tertentu (misal dibandingkan dengan skripsi yang sudah ada sebelumnya atau dibandingkan dengan hasil skripsi temannya). Berdasarkan hasil yang pernah dilaporkan, model pelatihan dengan supervisi lebih banyak digunakan dan terbukti cocok dipakai dalam berbagai aplikasi. Akan tetapi kelemahan utama pelatihan dengan supervisi adalah dalam hal pertumbuhan waktu komputasinya yang berorde eksponensial. Ini berarti untuk data pelatihan yang cukup banyak, prosesnya menjadi sangat lambat. 2.7.1 Pelatihan Dengan Supervisi Jaringan memberikan tanggapan dengan mendapatkan target tertentu. Sebelum jaringan mengubah sendiri bobotnya untuk mencapai target, bobot interkoneksi diinisialisasi. Proses belajar JST dengan pengawasan adalah proses belajar dengan memberikan latihan untuk mencapai suatu target keluaran yang ditentukan. JST mendapatkan latihan untuk mengenal pola-pola tertentu. Dengan memberikan target keluaran, perubahan masukan akan diadaptasi oleh keluaran dengan mengubah bobot interkoneksinya mengikuti algoritma belajar yang ditentukan. Set pelatihan dipilih dari fungsi keluaran maksimum setiap keadaan parameter yang diubah. Dengan menginisialisasi bobot tiap sel, JST akan mencari error terkecil, sehingga bentuk fungsi keluaran mendekati target yang diinginkan. Berdasarkan proses belajar yang

dilakukan, kita perlu memperhatikan beberapa hal dalam menyusun set pelatihan, yaitu: a. Pemberian urutan pola yang akan diajarkan b. Kriteria perhitungan error c. Kriteria proses belajar d. Jumlah iterasi yang harus dilalui e. Inisialisasi bobot dan parameter awal Pelatihan dilakukan dengan memberikan pasangan pola-pola masukan dan keluaran. Untuk keperluan pengendalian, pasangan pola tidak mengikuti rumusan tertentu. JST harus dapat mengadaptasi masukan yang acak supaya keluaran tetap mengikuti target. Lebih lanjut, proses pelatihan dilakukan dengan memberikan pola yang menggunakan masukan acak dan bobot interkoneksi yang besar. Dengan pemberian bobot yang besar, perbedaan target dan keluaran berkurang lebih cepat, sehingga proses adaptasi akan lebih cepat pula. Salah satu proses belajar dengan pengawasan adalah proses belajar menggunakan algoritma propagasi balik. Proses belajar jaringan umpan balik dituliskan dalam bentuk algoritma propagasi balik yang dikenal sebagai JPB. Jaringan Propagasi Balik (JPB) kadang-kadang dikenal sebagai Multilayer Perceptron (MLP). Anda dapat menggunakan algoritma propagasi balik untuk melatih jaringan lapis banyak. 2.7.2 Pelatihan Tanpa Supervisi Pada pelatihan tanpa supervisi, jaringan tidak mendapatkan target, sehingga JST mengatur bobot interkoneksi sendiri. Belajar tanpa pengawasan kadang-kadang diacu sebagai Self-Organizing Learning, yakni belajar mengklasifikasikan tanpa dilatih. Pada proses belajar tanpa pengawasan, JST akan mengklasifikasikan contoh pola-pola masukan yang tersedia ke dalam kelompok yang berbeda-beda. Contoh JST dengan belajar tanpa pengawasan adalah jaringan Kohonen. 2.8 Jaringan Syaraf Learning Vector Quantization (LVQ) Menurut Jang, et al. (1997) LVQ merupakan metode klasifikasi data adaptif berdasarkan pada data pelatihan dengan informasi kelas yang diinginkan. Walaupun merupakan suatu metoda pelatihan supervised tetapi LVQ menggunakan teknik data clustering unsupervised untuk pra proses set data dan penentuan cluster center-nya. Arsitektur jaringan LVQ hampir menyerupai suatu jaringan pelatihan kompetitif kecuali pada masing-masing unit output-nya yang dihubungkan dengan suatu kelas

tertentu. Kusumadewi dan Hartai (2006) menyatakan LVQ merupakan metoda untuk melakukan pelatihan terhadap lapisan-lapisan kompetitif supervised. Lapisan kompetitif akan belajar secara otomatis untuk melakukan klasifikasi terhadap vektor input yang diberikan. Apabila beberapa vektor input memiliki jarak yang sangat berdekatan, maka vektor-vektor input tersebut akan dikelompokkan dalam kelas yang sama. Pemrosesan yang terjadi pada setiap neuron adalah mencari jarak antara suatu vektor input ke bobot yang bersangkutan (w1 dan w2). Dimana w1 adalah vektor bobot yang menghubungkan setiap neuron pada lapisan input ke neuron pertama pada lapisan output, sedangkan w2 adalah vektor bobot yang menghubungkan setiap neuron pada lapisan input ke neuron yang kedua pada lapisan output. Fungsi aktivasi F1 akan memetakan y_in1 ke y1 = 1 apabila: X w1 < X w2, dan y1 = 0 jika sebaliknya. Demikian pula dengan yang terjadi pada fungsi aktivasi F2, akan memetakan y_in1 ke y1 = 1 apabila X w2 < X w1, dan y1 = 0 jika sebaliknya. Gambar 2.15 menunjukan jaringan LVQ dengan unit pada lapisan input, dan 2 unit (neuron) pada lapisan output.!! Gambar 2.15 Arsitektur Jaringan Learning Vector Quantization [Kusumadewi,2006] Algoritma untuk LVQ adalah sebagai berikut: Notasi x : training vector (X1, X2,..., Xn) T : kategori dari training vector yang benar Wj : Vektor bobot untuk kategori j

Cj : Kategori j (hasil training) X Wj : jarak Euclidian. Step 0 Inisialisasi Step 1 Jika kondisi stop salah, lakukan step 2 s.d. step 6 Step 2 Untuk setiap vector training, lakukan step 3 s.d. step 4 Step 3 dapatkan j sehingga X Wj minimum Step 4 Update Wj Wj(baru) = Wj(lama) + (X Wj(lama)) ; Jika T = Ci Wj(baru) = Wj(lama) (X Wj(lama)) ; Jika T Ci Step 5 Update Learning rate Step 6 Uji kondisi stop Setelah dilakukan pelatihan, akan diperoleh bobot akhir (W). Bobot-bobot ini nantinya akan digunakan untuk melakukan simulasi atau pengujian data yang lain. 2.9 Jaringan Syaraf Kohonen Self Organizing Pada metode pembelajaran yang tak terawasi ini tidak memerlukan target output. Pada metode ini, tidak dapat ditentukan hasil yang seperti apakah yang diharapkan selama proses pembelajaran. Selama proses pembelajaran, nilai bobot disusun dalam suatu range tertentu tergantung pada nilai input yang diberikan. Tujuan pembelajaran ini adalah mengelompokkan unit-unit yang hampir sama dalam suatu area tertentu (Puspitorini, 2008). Jaringan Syaraf Kohonen Self Organizing termasuk dalam pembelajaran tak terawasi (unsupervised learning). Pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Teuvo Kohonen pada tahun 1982. Pada jaringan ini, suatu lapisan yang berisi neuron-neuron akan menyusun dirinya sendiri berdasarkan input nilai tertentu dalam suatu kelompok yang dikenal dengan istilah cluster. Selama proses penyusunan diri, cluster yang memiliki vektor bobot paling cocok dengan pola input (memiliki jarak yang paling dekat) akan terpilih sebagai pemenang. Neuron yang menjadi pemenang beserta neuron-neuron tetangganya akan memperbaiki bobot-bobotnya (Tae, 2010). Tujuan pembelajaran dari algoritma ini adalah untuk mentransformasikan suatu pola sinyal masukan yang mempunyai dimensi yang berubah-ubah ke suatu peta yang berdimensi satu atau dua. Sifat pemetaan yang dimiliki jaringan syaraf Kohonen Self Organizing meniru pada otak manusia yang tidak terdapat pada jaringan syaraf tiruan lainnya. Terdapat m unit kelompok yang tersusun dalam arsitektur satu atau dua

dimensi dan sinyal-sinyal masukan sejumlah n. Vektor bobot untuk suatu unit kelompok disediakan satu eksemplar dari pola-pola masukan yang tergabung dengan kelompok tersebut. Selama proses pengorganisasian sendiri, unit kelompok yang memiliki vektor bobot paling cocok dengan pola masukan (ditandai dengan jarak Euclidean paling minimum) dipilih sebagai pemenang. Unit pemenang dan unit tetangganya diperbaharui bobotnya. Untuk susunan unit kelompok linier, tetangga dengan radius R di sekitar unit kelompok jaringan terdiri atas semua unit jaringan yang memenuhi maksimal fungsi Aj : ( 1, J-R < = j,= min (J+R, m) (Tae, 2010). Arsitektur Jaringan Saraf Kohonen ditunjukkan pada Gambar 2.16. Gambar 2.16 Arsitektur Jaringan Self Organizing Kohonen [Kusumadewi,2006] Algoritma pengelompokkan pola jaringan Self Organizing Koh (Tae, 2010) adalah sebagai berikut: Step 0 Inisialisasi awal Bobot wij (random) Nilai parameter learning rate () dan faktor penurunannya Bentuk dan jari-jari (R) topologi sekitarnya Step 1 Selama kondisi penghentian bernilai salah, lakukan langkah 2 7 Step 2 Untuk setiap input vektor x, (i = 1, 2,, n) lakukan langkah 3 5 Step 3 Hitung D(j) untuk semua j (j = 1, 2,, m)

Step 4 Tentukan indeks J sedemikian sehingga D(j) minimum Step 5 Untuk setiap unit j di sekitar J, modifikasi bobot Step 6 Modifikasi parameter learning rate Step 7 Uji kondisi penghentian Kondisi penghentian iterasi adalah selisih antara wij saat itu dengan wij pada iterasi sebelumnya. Apabila semua w ij hanya berubah sedikit saja, berarti iterasi sudah mencapai konvergensi sehingga dapat dihentikan. 2.10 Jaringan Syaraf New JST Pada metode pembelajaran pada JST ini merupakan jaringan yang tak terawasi serta tidak memerlukan target output. Proses pembelajaran, nilai bobot disusun dalam suatu range tertentu tergantung pada nilai input yang diberikan. Vektor-vektor input tersebut akan dikelompokkan dalam kelas yang sama. Pemrosesan yang terjadi pada setiap neuron adalah mencari jarak antara suatu vektor input ke bobot yang bersangkutan (w1 dan w2). w1 adalah vektor bobot yang menghubungkan setiap neuron pada lapisan input ke neuron pertama pada lapisan output, sedangkan w2 adalah vektor bobot yang menghubungkan setiap neuron pada lapisan input ke neuron yang kedua pada lapisan output.