2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan tata nama

dokumen-dokumen yang mirip
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG DI PERAIRAN TELUK JAKARTA

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang Klasifikasi dan morfologi

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Ikan tembang (S. fimbriata)

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Actinopterygii : Perciformes

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sumberdaya Ikan Tembang Klasifikasi dan deskripsi

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Sardinella sp. merupakan kelompok ikan-ikan pelagis kecil, dari famili

2. TINJAUAN PUSTAKA. : Perciformes

STUDI DINAMIKA STOK IKAN TEMBANG (Sardinella fimbriata) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

3. METODE PENELITIAN

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Dan Morfologi Ikan Tembang (Sardinella fimbriata) Klasifikasi ikan tembang menurut (Saanin, 1979) berdasarkan tingkat

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

TINJAUAN PUSTAKA. adalah sekitar 220 mil laut dan berakhir pada ujung sebelah selatan yang

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) Sumber :

KAJIAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN TEMBANG (Sardinella maderensis Lowe, 1838) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA YANG DIDARATKAN DI PPI MUARA ANGKE, JAKARTA UTARA

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Octinopterygii. : Cypriniformes. Spesies : Osteochilus vittatus ( Valenciennes, 1842)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

2.2. Morfologi Ikan Tambakan ( H. temminckii 2.3. Habitat dan Distribusi

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan peperek (Leiognathus spp.) Sumber : dkp.co.id

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.3 Pengumpulan Data Primer

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Pepetek Klasifikasi dan morfologi

2. METODOLOGI PENELITIAN

2.1. Ikan Kurau. Klasiflkasi ikan kurau (Eleutheronema tetradactylum) menurut. Saanin (1984) termasuk Phylum chordata, Class Actinopterygii, Genus

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) Sumber: (a) dokumentasi pribadi; (b)

bio.unsoed.ac.id TELAAH PUSTAKA A. Morfologi dan Klasifikasi Ikan Brek

TINJAUAN PUSTAKA. : Euthynnus yaito, Thynnus affinis, Wanderer wallisi. Nama umum : Tongkol Komo, Kawakawa, Eastern Little Tuna, Black Skipjack,

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. mudah diperoleh di pasaran (Yulisma dkk., 2012). Klasifikasi Ikan Kembung menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN STOK SUMBERDAYA IKAN SELAR (Caranx leptolepis Cuvier, 1833) DI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN MENGGUNAKAN SIDIK FREKUENSI PANJANG

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

KAJIAN STOK DAN ANALISIS KETIDAKPASTIAN SUMBERDAYA IKAN KURISI

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Ikan Lencam

3. METODE PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Cuvier (1829), Ikan tembakang atau lebih dikenal kissing gouramy,

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

Abstrak. Kata Kunci : Ikan ekor Kuning, pertumbuhan, laju mortalitas, eksploitasi. Abstract

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sistem Perikanan

8 SELEKSI ALAT TANGKAP DAN TEKNOLOGI YANG TEPAT DALAM PEMANFAATAN SUMBERDAYA LEMURU (Sardinella lemuru Bleeker 1853) DI SELAT BALI

II. TINJAUAN PUSTAKA

3 METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

STRUKTUR UKURAN DAN PARAMETER PERTUMBUHAN HIU MACAN (Galeocerdo cuvier Peron & Lesuer, 1822) DI PERAIRAN SELATAN NUSA TENGGARA BARAT

Length-Weight based Stock Assesment Of Round Scad ( Decapterus russelli ) From Mapur Fishing Ground and Landed at Pelantar KUD Tanjungpinang

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA

3. METODE PENELITIAN

I. TINJAUAN PUSTAKA. Ikan lele dumbo adalah jenis ikan hibrida hasil persilangan antara C. batracus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Lemuru Aspek biologi ikan lemuru

Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

SNI : Standar Nasional Indonesia. Induk ikan gurame (Osphronemus goramy, Lac) kelas induk pokok (Parent Stock)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

PENGARUH JUMLAH LAMPU TERHADAP HASIL TANGKAPAN PUKAT CINCIN MINI DI PERAIRAN PEMALANG DAN SEKITARNYA

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Ciri Morfologis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan Lumo (Labiobarbus ocellatus) menurut Froese R, Pauly D

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.09/MEN/2012 TENTANG PELEPASAN IKAN NILA SRIKANDI

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43/KEPMEN-KP/2016 TENTANG

PARAMETER POPULASI DAN ASPEK REPRODUKSI IKAN KUNIRAN (Upeneus sulphureus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KARAKTERISTIK FISIKA KIMIA PERAIRAN DAN KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI SERTA KELIMPAHAN LARVA IKAN DI TELUK PALABUHAN RATU NURMILA ANWAR

Transkripsi:

5 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Tembang 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2009) taksonomi ikan tembang (Gambar 3) diklasifikasikan sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Actinopterygii Subkelas : Neopterygii Ordo : Clupeiformes Famili : Clupeidae Subfamili : Clupeinae Genus : Sardinella Spesies : Sardinella maderensis (Lowe, 1838) Sinonim : Sardinella granigera (Valenciennes, 1847) Sardinella eba (Valenciennes, 1847) Sardinella cameronensis (Regan, 1917) Nama Umum : Madeiran sardinella, Madeiran sardinelle, Herring Nama Lokal : Tembang (Jakarta), Tembang belo (Jakarta) Gambar 3. Ikan tembang (Sardinella maderensis ) Sumber : dokumen pribadi

6 2.1.2. Karakter morfologi Ikan tembang (Sardinella maderensis) terkenal sebagai pelagis kecil yang suka hidup bergerombol. Menurut www.fishbase.com (2009), ikan tembang memiliki rangka yang terdiri dari tulang benar yang bertutup insang. Kepala simetris dan tidak seluruh sisik terbungkus dalam kelopak tebal. Sirip punggung terdiri dari jari-jari lemah yang berbuku atau berbelah. Sirip ekor berwarna abu-abu kehitaman. Tubuhnya bersisik, tidak bersungut, tidak berjari-jari keras pada punggung, dan tidak memiliki sirip punggung tambahan yang seperti kulit. Bagian mendekati dorsal berwarna hijau kebiruan dan semakin mendekati perak pada bagian perut, dengan satu garis samar keemasan pada bagian midlateral, didahului satu titik hitam di belakang bukaan insang. Perut sangat pipih, bersisik tebal yang bersiku, rahang sama panjang, daun insang satu sama lain tidak melekat, bentuk mulut terminal (posisi mulut terletak dibagian depan ujung hidung). Bentuk badan fusiform, pipih dengan sisik duri di bagian bawah badan. Awal sirip punggung (dorsal) sebelum pertengahan badan memiliki jari-jari lemah 13-21. Bagian dasar sirip dubur (anal) bentuknya pendek dan jauh di belakang sirip dorsal serta berjari-jari lemah 12-23. Tapisan tulang insang halus berjumlah 70-166 pada busur insang pertama bagian bawah, sering ditemukan juga pada ikan pemakan plankton (www.fishbase.com 2009). Beberapa dari jenis Sardinella ada yang hampir menyerupai satu sama lainnya tetapi ada juga yang mempunyai beberapa perbedaan morfologis yang menandakan ikan itu berbeda spesiesnya (Dwiponggo 1982 in Syakila 2009). Perbedaan morfologis ini dapat seperti perbedaan warna tubuh yang terlihat pada Sardinella fimbriata dengan warna abu-abu hijau kebiruan pada bagian atas sedangkan warna biru gelap di bagian yang sama pada Sardinella lemuru Bleeker (Peristiwady 2006). 2.1.3. Biologi dan habitat Ikan tembang adalah ikan permukaan dan hidup di perairan pantai tropis serta suka bergerombol pada area yang luas. Proses pemijahan berlangsung hanya sekali dalam setahun, selama musim panas. Telur dan larva ikan tembang sering di temukan di sekitar perairan mangrove atau bakau. Saat juvenil, ikan ini masih ada yang hidup di daerah mangrove namun mulai memasuki perairan payau. Ketika

7 dewasa ikan ini hidup bergerombol bersama ikan lemuru dan banyak di temukan di dekat pantai sampai ke arah laut sehingga sering ditemukan tertangkap bersama dengan ikan lemuru sampai dengan kedalaman 200 meter (www.fishbase.org 2009). Monintja et al. (1994) meyatakan beberapa faktor yang menyebabkan ikan membentuk kelompok, antara lain sebagai perlindungan dari pemangsa, mencari dan menangkap mangsa, untuk tujuan pemijahan, bertahan pada musim dingin, untuk melakukan ruaya dan pergerakan serta terdapatnya suatu pengaruh dari faktor-faktor yang ada disekelilingnya. Menurut Day et al. (1999) in Syakila (2009), pada umumnya ikan tembang memangsa crustacea ukuran kecil seperti copepoda, amphipoda dan udang stadia mysis serta larva-larva ikan. Selanjutnya diduga akan terjadi perubahan komposisi makanan sesuai dengan musim serta jenis dan ketersediaan makanan di perairan. Dari jenis makanannya, ikan tembang tergolong omnivora namun cenderung pada herbivora. 2.1.4. Distribusi dan musim Menurut Peristiwady (2006), ikan tembang termasuk pada ikan pelagis kecil yang hidup di laut terbuka, lepas dari dasar perairan. Wilayah distribusinya meliputi 46 LU-23 LS dan 17 BB-36 BT (Gambar 4). Pergerakan vertikal terjadi karena perubahan siang dan malam, dimana pada malam hari gerombolan ikan cenderung berenang ke permukaan dan akan berada pada permukaan sampai dengan matahari sudah akan terbit. Pada malam terang bulan gerombolan ikan itu agak berpencar atau tetap berada di bawah permukaan air (Monintja et al. 1994). 2.2. Alat Tangkap Ikan Tembang Armada penangkapan ikan pelagis yang beroperasi di wilayah Teluk Jakarta didominasi oleh pukat cincin (mini purse seine). Mini purse seine adalah alat tangkap yang sering digunakan untuk menangkap ikan pelagis yang membentuk gerombolan (scholling) dan berada dekat dengan permukaan air (Gambar 5). Sasaran penangkapannya adalah ikan-ikan pelagis seperti ikan kembung, selar, tetengkek, tembang (Taufiq 2009).

8 Gambar 4. Peta penyebaran Sardinella maderensis ( : Konsentrasi daerah penyebaran ikan tembang) Sumber : www.aquamaps.org (2009) Gambar 5. Cara kerja alat tangkap purse seine Sumber : saveecodestinations.wordpress.com 2010 Pada umumnya penangkapan ikan dengan mini purse seine dilakukan pada malam hari, akan tetapi ada juga mini purse seine yang dioperasikan pada siang hari. Pengumpulan ikan pada area penangkapan pukat cincin ada yang menggunakan rumpon dan ada pula yang menggunakan lampu. Umumnya setting (penurunan) dilakukan dua kali selama satu malam operasi, yang dilakukan pada waktu senja hari dan pagi hari/fajar, kecuali dalam keadaan tertentu frekuensi penangkapan bisa dikurangi atau ditambah. Pukat cincin yang digunakan setiap nelayan umumnya dengan ukuran panjang 30-40 meter dan dalam (depth) 6 meter. Pukat cincin yang dioperasikan pada malam hari dengan menggunakan alat bantu cahaya memiliki ukuran

9 panjang lebih kecil bila dibandingkan dengan purse seine pada siang hari. Oleh karena itu, terdapat penggolongan purse seine dalam skala kecil, sedang dan besar. Hal ini mempengaruhi trip penangkapan purse seine di laut, dimana pengoperasian mini purse seine relatif lebih pendek trip penangkapannya bila dibandingkan dengan medium atau large purse seine Menurut Subani et al. (1989) in Taufiq (2009), mini purse seine biasa disebut juga jaring kantong karena bentuk jaring tersebut waktu dioperasikan menyerupai kantong dan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah) dilengkapi dengan tali yang gunanya untuk menyatukan bagian bawah jaring dengan cara menarik tali ris bawah tersebut. Dalam pengoperasiannya Ikan-ikan yang tertangkap dikarenakan gerombolan ikan tersebut dikurung oleh jaring sehingga pergerakannya terhalang oleh jaring dari dua arah, baik pergerakan ke samping maupun ke arah dalam. Biasanya mini purse seine dioperasikan oleh satu kapal dengan atau tanpa bantuan kapal pembantu (Nedelec 2000 in Taufiq 2009). 2.3. Sebaran Frekuensi Panjang Data komposisi umur diperlukan dalam metode pengkajian stok. Busacker et al. (1990) menyatakan bahwa umur ikan bisa diduga dari sebaran frekuensi panjang melalui analisis kelompok umur karena panjang ikan dari umur yang sama cenderung membentuk suatu distribusi normal. Pada perairan beriklim subtropis, data komposisi umur diperoleh melalui perhitungan terhadap lingkaranlingkaran tahunan pada bagian keras ikan (sisik atau otolith) yang terbentuk akibat fluktuasi lingkungan saat pergantian musim. Pada perairan beriklim tropis, pengkajian stok dilakukan melalui analisis sejumlah data frekuensi panjang yang di konversi dalam komposisi umur. Analisis frekuensi panjang digunakan dalam menentukan parameter pertumbuhan yaitu dengan mengelompokkan ikan dalam kelas-kelas panjang dan menggunakan modus panjang kelas tersebut agar kelompok umur ikan dapat diketahui. Menurut Pauly (1984) tujuan dilakukannya analisis frekuensi panjang yaitu guna menduga umur ikan. Sparre & Venema (1999) juga menyebutkan bahwa analisis data frekuensi panjang bertujuan untuk memisahkan suatu sebaran frekuensi panjang yang kompleks ke dalam sejumlah kelompok ukuran.

10 2.4. Pertumbuhan Pertumbuhan suatu individu merupakan penambahan bobot atau panjang dalam satuan waktu, sedangkan pertumbuhan dalam suatu populasi dinyatakan dalam penambahan jumlah individu (Effendie 2002). Akan tetapi jika ditelaah lebih lanjut pertumbuhan merupakan proses biologis yang kompleks yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor ini dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu faktor dalam dan luar. Faktor-faktor ini ada yang dapat di kontrol ada yang tidak. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sulit dikontrol, antara lain keturunan, umur, parasit, dan penyakit. Sedangkan faktor luar yang paling mempengaruhi pertumbuhan adalah makanan dan suhu perairan. Di daerah tropik makanan merupakan faktor yang lebih penting daripada suhu perairan (Effendie 2002). Ada beberapa metode yang umum digunakan untuk menduga parameterparameter pertumbuhan (K = koefisien pertumbuhan; L = panjang asimtotik; t 0 = umur ikan ketika panjangnya sama dengan nol), yaitu plot Gulland & Holt, plot Ford-Walford, metode Chapman, dan plot von Bertalanffy. 2.5. Hubungan Panjang Bobot Menurut Ricker (1970) in Effendie (2002) studi pertumbuhan ikan, sering digunakan dalam menganalisis hubungan panjang bobot untuk menjelaskan sifat dan pola pertumbuhannya. Bobot dianggap sebagai salah satu fungsi panjang. Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik, dimana bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Nilai yang didapat dari perhitungan panjang bobot ini adalah untuk menduga bobot dari panjang ikan atau sebaliknya. Selain itu juga dapat diketahui pola pertumbuhan, kemontokan, dan pengaruh perubahan lingkungan terhadap pertumbuhan ikan. Effendie (2002) menjelaskan bahwa jika nilai panjang dan bobot diplotkan dalam suatu gambar maka akan didapatkan persamaan W = al b. Nilai konstanta (b), merupakan harga pangkat yang dapat menjelaskan pola pertumbuhan ikan. Selain menunjukkan pola pertumbuhan ikan, hubungan panjang bobot juga dapat digunakan untuk melihat faktor kondisi ikan (Rounsel & Everhart 1962 in Rifqie 2007).

11 2.6. Faktor Kondisi Salah satu turunan penting dari pertumbuhan adalah faktor kondisi. Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan dalam angka. Faktor kondisi disebut juga Panderal s Index (Lagler 1961 in Effendie 1979). Faktor kondisi menunjukkan keadaan ikan dari segi kapasitas fisik untuk bertahan hidup dan melakukan reproduksi (Effendie 2002). Satuan faktor kondisi sendiri tidak berarti apapun, namun kegunaannya akan terlihat jika dibandingkan dua atau lebih populasi yang spesifik yang dipelihara pada kondisi ketersedian makanan, kepadatan (density), atau iklim (climate) yang sama ataupun berbeda (Hendyds 2009). Perhitungan faktor kondisi didasarkan pada panjang dan bobot ikan. Variasi nilai faktor kondisi tergantung pada makanan, umur, jenis kelamin, dan kematangan gonad (Effendie 1979). 2.7. Mortalitas dan Laju Eksploitasi Mortalitas suatu kelompok ikan yang mempunyai umur yang sama dan berasal dari stok yang sama atau sering disebut kohort. Mortalitas terdiri atas mortalitas karena penangkapan dan mortalitas karena sebab-sebab lain yang disebut sebagai natural mortality yang meliputi berbagai peristiwa seperti kematian karena predasi, penyakit dan umur (Sparre & Venema 1999). Laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas alami (M) dan laju mortalitas penangkapan (F) (King 1995). Nilai laju mortalitas alami berkaitan dengan nilai parameter pertumbuhan von Bertallanffy yaitu K dan L. Ikan yang pertumbuhannya cepat (nilai K tinggi) mempunyai nilai M tinggi dan begitu juga sebaliknya. Nilai M berkaitan dengan karena pemangsa ikan besar lebih sedikit dari ikan kecil (Beverton & Holt 1957). Menurut Pauly (1984), faktor lingkungan yang mempengaruhi nilai M adalah suhu rata-rata perairan selain faktor panjang maksimum secara teoritis (L ) dan laju pertumbuhan. Menurut Pauly (1984), laju eksploitasi (E) merupakan bagian dari suatu kelompok umur yang akan ditangkap selama ikan tersebut hidup, sehingga laju eksploitasi juga didefinisikan sebagai jumlah ikan yang ditangkap dibandingkan dengan jumlah total ikan yang mati karena semua faktor baik faktor alami maupun

12 faktor penangkapan. Stok yang dieksploitasi optimal, maka laju mortalitas penangkapan (F) sama dengan laju mortalitas alami (M) dan sama dengan 0.5. 2.8. Kondisi Lingkungan Perairan Informasi mengenai lingkungan perairan penting untuk diketahui karena dapat menjelaskan hubungan antara spesies target dan lingkungannya. Parameter yang diukur pada umumnya adalah parameter yang diperkirakan berpengaruh langsung terhadap biologi, sebaran, dan kelimpahan ikan. Parameter perairan, yang diperlukan relatif mudah dan tidak memerlukan banyak biaya untuk diukur adalah suhu perairan (King 1995). Perubahan suhu berpengaruh pada proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat berperan mengendalikan kondisi ekosistem. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang disukai bagi pertumbuhannya. Peningkatan suhu juga dapat meningkatkan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme akuatik dan selanjutnya meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu 10 C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2-3 kali lipat. Namun, peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadar oksigen terlarut (Effendie 2002). Menurut Brown (1987) in Effendie (2002), peningkatan suhu sebesar 1 C akan meningkatkan kondisi oksigen sekitar 10%. Kelarutan oksigen dan gas-gas berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada kadar oksigen di perairan tawar (Effendie 2002). 2.9. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Sumberdaya ikan di laut adalah milik bersama (common property) dan setiap orang berhak memanfaatkannya (open access) sehingga akan menimbulkan persaingan pada proses penangkapan. Persaingan yang ada dapat dilihat dari para pelaku perikanan yang berusaha menangkap ikan sebanyak-banyaknya dengan menggunakan teknologi yang terus berkembang dan bukan tidak mungkin akan terjadi konflik antar pelaku perikanan apabila sumberdaya yang ada telah menipis. Sumberdaya perikanan sama seperti sumber daya pertambangan yaitu sama-sama mempunyai batasan, namun berbeda dengan sumber daya produk pertambangan

13 seperti minyak bumi, sumberdaya perikanan memiliki daya reproduksi atau bersifat dapat diperbaharui, sehingga apabila dikelola dengan baik maka akan dapat digunakan secara berkesinambungan. UU Perikanan No. 45 tahun 2009 pasal 2 menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia salah satunya dilakukan melalui asas pembangunan yang berkelanjutan, dimana pengelolaan perikanan yang dilakukan secara terencana dan mampu meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan rakyat dengan mengutamakan kelestarian fungsi lingkungan hidup untuk masa kini dan masa yang akan datang. JICA (2009) juga menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan tanpa melakukan penangkapan sama sekali belum tentu dapat mengamankan stok sumberdaya ikan di lautan, akan tetapi dalam kondisi yang berkesinambungan dapat ditentukan banyaknya ikan yang boleh di tangkap (potensi lestari) sehingga kegiatan penangkapan dan kegiatan pencegahan dalam rangka mempertahankan volume sumberdaya alam di lautan dapat berlangsung secara berkesinambungan.