1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kanker merupakan salah satu penyebab kematian utama di dunia. Lebih dari 60% kasus baru dan sekitar 70% kematian akibat kanker di dunia setiap tahunnya terjadi di Afrika, Asia dan Amerika Tengah dan Selatan. Diperkirakan kasus kanker tiap tahun cenderung meningkat dari 14 juta pada tahun 2012 menjadi 22 juta dalam dua dekade berikutnya, dengan angka mortalitas 100.000 pertahunnya (IARC, 2014; Kemenkes, 2015). Secara nasional prevalensi penyakit kanker pada penduduk semua umur di Indonesia tahun 2013 sebesar 1,4% atau diperkirakan sekitar 347.792 orang. Provinsi D.I Yogyakarta memiliki prevalensi sebesar 4,1%. Berdasarkan estimasi jumlah penderita kanker Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur sebesar 68.638 dan 61.230 orang (Kemenkes, 2015). Prevalensi kanker tertinggi berada pada kelompok umur 75 tahun keatas, yaitu sebesar 5,0% dan terendah pada anak dengan kelompok umur 1-4 tahun dan 5-14 tahun yaitu sebesar 0,1%. Peningkatan prevalensi yang cukup signifikan adalah usia produktif yaitu pada kelompok umur 25-34 tahun dan 45-54 tahun. Hal ini disebabkan oleh faktor perilaku dan pola makan yang tidak sehat (Kemenkes, 2015). Modalitas terapi kanker saat ini adalah pembedahan, radioterapi dan kemoterapi. Pada umumnya terapi kanker diberikan secara kombinasi, pembedahan yang dilanjutkan dengan radioterapi atau kombinasi radioterapi dan kemoterapi. Radioterapi dapat menyebabkan penurunan sistem imun. Kemoterapi
2 efektif untuk sel yang telah bermetastasis namun memiliki efek samping seperti mual, muntah, anemia, melemahnya sistem imun, diare dan kerontokan rambut (Al-Sarraf et al., 1998). Upaya penemuan obat antikanker terus dilakukan dengan target menemukan dan mengembangkan terapi yang efektif. Penemuan senyawa bioaktif dari mikrobia menjadi objek penting yang terus dilakukan hingga saat ini (Busti et al., 2006). Pada tahun 2002, lebih dari 22.000 senyawa bioaktif termasuk antimikrobia telah dipublikasi. Sumber utama senyawa bioaktif tersebut umumnya oleh kelompok Actinomycetes (Berdy, 2005). Actinomycetes adalah jasad prokariotik yang paling penting dalam bidang bioteknologi. Jasad ini bertanggung jawab terhadap produksi sekitar setengah dari senyawa bioaktif yang telah ditemukan terutama antibiotik (Berdy, 2005; Strohl, 2004), antitumor/ antikanker (Cragg et al., 2005) imunosupresif (Mann, 2001) dan enzim (Pecznska-Czoch, 1988). Terdapat dua pendekatan dalam penemuan obat baru yaitu pendekatan top-down dan bottom-up (Luo et al., 2014). Pendekatan top-down mirip dengan pendekatan biokima, yang secara konvensional telah lama digunakan sebagai alat utama penemuan produk alami, karena tidak diperlukan sekuensing genom atau manipulasi genetik yang canggih. Upaya tersebut dimulai dengan pengumpulan sampel biologis dari beragam lingkungan baik untuk ekstraksi langsung maupun budidaya laboratorium. Ekstrak kemudian disaring untuk bioaktivitas yang diinginkan, dengan senyawa bioaktif yang terisolasi dilakukan karakterisasi secara struktural. Metode ini paling cocok untuk senyawa yang secara konsisten disintesis dalam lingkungan asli atau dalam kondisi laboratorium. Namun
3 demikian, inovasi terus ditingkatkan terutama dalam teknik sampling dan metodologi penapisan untuk mengurangi risiko penemuan kembali senyawa bioaktif yang telah ditemukan sebelumnya. Pendekatan top-down telah berhasil mengidentifikasi banyak produk alami. Urutan genom yang tersedia saat ini telah merevisi pandangan kita tentang kemampuan potensial dan metabolisme biosintesis mikroorganisme, memicu kebangkitan dalam penemuan produk alami (Luo et al., 2014). Pendekatan bottom-up yang berbasis pada genomik telah dikembangkan untuk mengungkap produk alami baru yang tidak terdeteksi di bawah kondisi fermentasi standar (Lou et al., 2014). Streptomycetes dikenal sebagai sumber metabolit sekunder yang paling melimpah diantara anggota Actinomycetes (Zhu et al., 2011) dan menghasilkan berbagai senyawa bioaktif seperti agen medis antimikroba, misalnya kloramfenikol dari Streptomyces venezuelae (Ehrlich et al., 1947), bahan kimia pertanian, misalnya avermektin dari Streptomyces avermitilis (Burg et al., 1979), agen antikanker dan imunosupresan, misalnya, rapamycin dari Streptomyces hygroscopicus (Law, 2005). Metode penemuan senyawa metabolit sekunder dari Streptomyces yang secara konvensional dilakukan banyak mengalami kesulitan untuk menemukan obat-obatan baru meskipun sudah menggunakan penapisan high-throughput, namun masih memiliki risiko tinggi mendapatkan kembali metabolit sekunder yang telah ditemukan sebelumnya. Sementara itu, sekuensing genom Streptomycetes secara lengkap telah menjadi lebih ekonomis, dan kemungkinan secara rutin akan terus diterapkan untuk menggantikan teknik konvensional yang
4 berbasis pada pustaka genomik untuk identifikasi kelompok gen yang diinginkan (Ehrlich et al., 1947; Chaudhary et al., 2013). Data yang telah terkumpul secara eksponensial dari proyek sekuensing genom Streptomyces telah menunjukkan bahwa potensi metabolik melebihi yang diperkirakan sebelumnya bahkan dapat mengungkapkan sebagian besar produk alami tersembunyi yang belum pernah ditemukan. Sebagai contoh, sekuensing genom Streptomyces coelicolor A3(2) yang merupakan salah satu Streptomyces yang secara intensif diteliti, ternyata terungkap bahwa potensinya yang jauh lebih tinggi sehingga menghasilkan senyawa bioaktif baru (Challis, 2014). Oleh karena itu, sejumlah besar produk alami yang telah diperoleh kemungkinan hanya mewakili sebagian kecil dari repertoar senyawa bioaktif yang mungkin dapat diproduksi. Hal ini telah mendorong kemajuan penelitian berbasis genomik yang diterapkan untuk menyelidiki kluster gen baru yang tersembunyi (Aigle et al., 2014; Bachmann et al., 2014; Ikeda et al., 2014). Upaya penemuan produk alami yang berbasis pada genomik telah mengungkapkan tidak hanya senyawa baru tapi juga jalur biosintesis yang serumpun dan telah memberikan wawasan baru dalam biosintesis produk alami. Kemajuan dalam teknologi sekuensing DNA dan bioinformatika yaitu dengan menggunakan sistem komputer yang sering dikenal sebagai genome mining, memungkinkan identifikasi kluster gen yang mengkode senyawa bioaktif dan memprediksi struktur kimia berdasarkan informasi urutan gen. Hal ini sangat penting karena dapat digunakan sebagai panduan dalam pemurnian serta meningkatkan efisiensi dalam pengembangan obat dari mikroorganisme sebagai
5 sumber senyawa bioaktif (Farnet et al., 2005). Sekuensing genom dikombinasikan dengan prediksi in silico telah mengungkapkan bahwa mikroorganisme dari genus Streptomyces membawa sejumlah besar kluster gen yang bertanggung jawab pada penghasilan metabolit sekunder (Aigle et al., 2014; Bachmann et al., 2014; Ikeda et al., 2014). Pada saat ini, telah dikembangkan teknologi bioinformatika baru berbasis web, salah satunya adalah AntiSMASH versi 3.0 (http://antismash.secondarymetabolites.org) yang secara spesifik dan komprehensif mampu mengidentifikasi lokus biosintesis yang mencakup seluruh jajaran/kelas yang dikenal sebagai metabolit sekunder berdasarkan pada homologi kluster gen yang kemudian dicocokkan dengan database kluster gen yang telah ditemukan sebelumnya (Medema et al., 2011; Weber et al., 2015). Kelompok peneliti dari Laboratorium Actinomycetes, Pusat Studi Bioteknologi UGM, telah melakukan eksplorasi Actinomycetes dari Genus Streptomyces dari berbagai sampel baik dari Hutan Wanagama I UGM maupun Pantai Krakal Gunung Kidul, Yogyakarta. Hasil eksplorasi tersebut mendapatkan dua Streptomyces yang unik yaitu (1) Streptomyces sp. GMR22 yang diisolasi dari tanah rizosfer kayu putih yang memiliki kemampuan senyawa antifungi (Alimuddin et al., 2010); dan (2) Streptomyces sp. GMY01 yang diisolasi dari sedimen laut yang tidak memiliki aktivitas antifungi namun menghasilkan senyawa antikanker (Farida et al., 2007). Sekuensing genom Streptomyces sp. GMR22 dan GMY01 akan sangat menarik untuk dilakukan dalam rangka mengeksplorasi kedua bakteri ini. Melalui genome mining kedua bakteri ini maka secara cepat dapat diprediksi jenis
6 metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kedua Streptomyces berdasarkan kluster gen yang terdapat dalam bakteri tersebut. Untuk mengkonfirmasi kemampuan antikanker yang dihasilkan oleh bakteri tersebut, dalam penelitian ini juga akan dilakukan uji sitotoksisitas dan pengkajian mekanisme penghambatan sel kanker model oleh metabolit sekunder dari Streptomyces sp. GMY01. B. Perumusan Masalah Metabolit sekunder yang berasal dari Streptomyces merupakan sumber komponen kimia yang potensial untuk dijadikan obat. Genome mining dari Streptomyces sp. GMR22 dan GMY01 akan dapat memprediksi jenis metabolit sekunder termasuk senyawa antikanker yang dihasilkan oleh kedua Streptomyces berdasarkan kluster gen yang terdapat dalam bakteri tersebut. Atas dasar uraian diatas, pertanyaan penelitian yang diajukan pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah perbedaan karakter isolat Streptomyces sp. GMR22 dan Streptomyces GMY01 berdasarkan ukuran dan urutan genom, hubungan kekerabatan dan evolusi genom, karakter fisiologis serta kluster gen? 2. Metabolit sekunder apa saja yang potensial dihasilkan oleh Streptomyces sp. GMR22 dan Streptomyces sp. GMY01 melalui pendekatan genome mining? 3. Bagaimana potensi sitotoksisitas dan mekanisme penghambatan sel kanker model oleh metabolit sekunder Streptomyces sp. GMY01?
7 C. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian eksploratif untuk pengembangan agen kemoterapi kanker dari Streptomyces asal Indonesia telah dilakukan melalui isolasi, penapisan, dan uji sitotoksik metabolit sekunder pada beberapa sel kanker. Alimuddin et al., (2010) menemukan bahwa Streptomyces darat yang diisolasi dari tanah rizosfer tegakan hutan kayu putih di Hutan Wanagama I Daerah Istimewa Yogyakarta menghasilkan metabolit sekunder yang berpotensial menghambat jamur. Diantara Streptomyces tersebut yang paling kuat menghambat jamur adalah Streptomyces sp. GMR22 dengan konsentrasi hambat minimum (KHM) sebesar 62,5 µg/ml. Disamping itu, eksplorasi Streptomyces dari laut juga telah dilakukan oleh Farida et al., (2007), yaitu dengan mengisolasi beberapa isolat yang berasal dari sedimen laut, Pantai Krakal, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Salah satu isolat memiliki sitotoksisitas yang cukup tinggi terhadap sel kanker payudara yaitu Streptomyces sp. GMY01. Metabolit sekunder yang dihasilkan yaitu dari ekstrak dengan etil asetat tanpa partisi bertingkat memiliki sitotoksisitas terhadap sel kanker T47D dengan nilai IC 50 19 µg/ml dan terhadap sel kanker MCF7 dengan nilai IC 50 7 µg/ml. Diketahui pula bahwa Streptomyces ini tidak memiliki aktivitas antifungi (Widowati, unpublished). Potensi lain sebagai penghasil senyawa antikanker pada Streptomyces sp. GMR22 belum diketahui. Demikian juga senyawa antikanker apa saja yang dihasilkan oleh Streptomyces sp. GMY01 juga belum diketahui. Pendekatan genomik melalui genome mining kedua bakteri ini akan dapat digunakan untuk
8 mengetahui potensi kedua bakteri tersebut dalam menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang berperan sebagai senyawa antikanker. D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Memanfaatkan pendekatan genome mining untuk mengungkap potensi Streptomyces sp. GMR22 (darat) dan Streptomyces sp. GMY01 (laut) asal Indonesia sebagai penghasil senyawa antikanker yang potensial. 2. Tujuan Khusus 1. Mengkaji perbedaan karakter isolat Streptomyces sp. GMR22 dan Streptomyces sp. GMY01 berdasarkan ukuran dan urutan genom, hubungan kekerabatan dan evolusi genom, karakter fisiologis serta kluster gen. 2. Mengkaji metabolit sekunder yang potensial dihasilkan oleh Streptomyces sp. GMR22 dan Streptomyces sp. GMY01 melalui pendekatan genome mining. 3. Mengkaji potensi sitotoksisitas dan mekanisme penghambatan sel kanker model oleh metabolit sekunder yang dihasilkan Streptomyces sp. GMY01.
9 E. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih luas dan komprehensif mengenai sekuen genom, kluster gen yang terlibat dalam produksi metabolit sekunder yang dihasilkan Streptomyces sp. GMR22 dan Streptomyces sp. GMY01 serta potensi sitotoksisitas dan penghambatan terhadap sel kanker model oleh GMY01, sehingga dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan obat antikanker dari Streptomyces asal Indonesia.