BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aceh terletak di ujung sebelah utara pulau Sumatera, merupakan bagian yang paling ke barat dan paling ke utara dari kepulauan Indonesia. Di sebelah barat terbentang Lautan Hindi sedangkan di sebelah utara dan timurnya terdapat Selat Malaka, mulai dari Salahadi di pantai timur terus keujung utara, selanjutnya ke Singkel dan Barus di pantai barat, ini merupakan batas area daerah Aceh. 1 Daerah Pesisir Sumatera adalah daerah pertama yang didatangi Islam. Islam sudah masuk di bagian barat Sumatera pada tahun 674 M, yaitu setelah terbentuknya masyarakat Islam dengan raja yang pertama berada di Aceh. Orang Islam yang pertama mengunjungi Aceh adalah saudagar Arab dalam abad ke-7 yang singgah di Sumatera dalam parjalanan menuju Tiongkok, kemudian menyusul saudagar dari Gujarat yang berdagang lada dan telah membangun perkampungan sejak tahun 1100. Kerajaan Islam yang pertama di Aceh adalah Perlak, Lamuri, dan Pasai. Namun luas pangaruh agama Islam baru terlihat pada abad ke-14. 2 Pada permulaan abad ke 16 Agama Islam resmi dipeluk oleh orang-orang Aceh. 3 1 Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh,(Medan : Djl.Pandu2 Q ),hal 16 2 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad,jilid 1 (Medan : P.T. Percetakan Dan Penerbitan Waspada,1981), hal.100-105 3 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Kencana,2005), hal. 10 1
2 Letak Aceh sangatlah strategis, karena letaknya di tepi Selat Malaka maka daerah ini penting untuk lalu lintas perdagangan Internasional. Selat Malaka merupakan jalan penghubung utama antara dua pusat kebudayaan yaitu Cina dan India. 4 Dengan adanya kegiatan perdagangan di sepanjang Selat Malaka tersebut dapat diperkirakan bahwa pusat-pusat pemukiman pada muara sungai di pantai utara dan timur Aceh telah disinggahi oleh para pedagang Arab tersebut. 5 Sejak abad ke-15 dan ke-16 terjadi peningkatan peran sektor kelautan dalam bidang kekuasaan politik dan perkembangan ekonomi. Hampir semua kekuatan politik di wilayah ini bergantung pada sektor pelayaran dan perdagangan. 6 Melihat pernyataan diatas tidak heran apabila semua barang dan rempah dari dunia timur berkumpul di Malaka. Para pedagang di Malaka yang berasal dari barat pun menikmati hasilnya. Dari Malaka, para pedagang tersebut mengangkut rempah-rempah lalu di jual ke seluruh penjuru dunia. Tak heran akhirnya kabar mengenai Malaka sampai ke telinga Portugis yang memang pada saat itu hendak mencari pusat perdagangan rempah-rempah. 7 Dan saat itulah perlayaran perdagangan rempah-rempah Portugis menuju Malaka di mulai. 4 Zakaria Ahmad, Op. Cit., hal.18 5 Muhammad Gade Ismail, Pasai Dalam Perjalanan Sejarah : abad ke-13 sampai awal abad ke-16, (Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1993), hal20-21 6 Singgih Tri Sulistiyono, Multikulturalisme Dalam Perspektif Budaya Pesisir,(Jurnal), hal 13 7 Rendithya Ramdan Fikri, Dinamika Perdagangan Bandar Malaka Dari Masa Pemerintahan Sultan Mansyur Syah Hingga Masa Pemerintahan Portugis (1456-1641), Sarjana Humaniora, (Depok, 2011), hal. 69
3 Portugis memulai invansi mereka ke daerah-daerah penghasil rempahrempah dikarenakan 3 faktor yakni gold (keuntungan), glory (kejayaan), dan gospel (agama). Gold (kejayaan) merupakan faktor utama Portugis untuk mengarungi lautan demi mendapatkan sumber rempah-rempah yang murah harganya karena di Eropa rempah-rempah sangat mahal harganya. 8 Portugis mulai mencari dan melakukan penelusuran dari pantai Afrika ke Selatan lalu ke pantai timur Afrika kemudian dilanjutkan ke utara. Vasco da Gama mendarat di India pada musim semi pada tahun 1498. 9 Vasco da Gama kemudian menyebut periode ini sebagai periode Abad Maritim Eropa karena hanya memusatkan seluruh perhataian terhadap jalur pelayaran yang dilakukan bangsa Eropa. 10 Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa alasan mereka berlayar ke Timur hanya untuk menyebarkan agama Kristen dan memperoleh rempah-rempah. Selama perjalanan, Portugis selalu berjumpa dengan orang-orang Moor (Islam). Setelah Perang Salib, Portugis gencar melakukan pengejaran terhadap orang Moor dan semua orang Moor adalah musuh mereka. 11 Akhirnya banyak terjadi bentrokan-bentrokan antara armada Portugis dengan pedagang muslim. Selepas bertempur hebat di beberapa tempat ia berjaya 8 Mohammad Said, Ibid, dan Rendithya Ramdan Fikri, Op.Cit. hal 69 9 Bernard H.M.Vlekke, Nusantaara Sejarah Indonesia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1967), hal. 90 10 Rendithya Ramdan Fikri, Op. Cit., hal. 70 11 Bernard H.M.Vlekke, Nusantaara Sejarah Indonesia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1967), hal. 90
4 menguasai Lautan Hindia di bagian barat. Tugas untuk menguasai perairan selanjutnya dijalankan oleh Alfonso de Albuquerque. 12 Tahun 1503, Portugis mendirikan sebuah kantor dagang di India yang bernama Casa da India (Wisma India) yang mengatur peredaran monopoli perdagangan emas di sekitar wilayah Guiena. Monopoli yang dilakukan Portugis tidak didukung oleh modal yang besar namun lebih kepada intrik politik dan kekuatan militer. Intrik politik ini bisa dilihat bagaimana Portugis membodohi para sultan dan para penguasa lokal ketika melakukan perdagangan dengan mereka, akan tetapi justru Portugis yang mendapat banyak keuntungan dibanding penguasa lokal tersebut. Portugis juga dapat membeli suatau komoditas dengan harga murah bahkan sampai mengambil paksa. Alburqerque mendapatkan kabar kalau ada satu lagi bandar dagang yang sangat berpotensi karena dari sanalah asalnya rempah-rempah. Portugis berambisi untuk mendapatkan Malaka karena permintaan akan rempahrempah di Eropa sedang melonjak. Mereka mengetahui tentang jalur perdagangan melalui Selat Malaka dan menemui pantai selatan Asia atau pantai utara Aceh, dan Ormuz di pantai Teluk Persia. 13 Pada tahun 1511, Alburqerque dan armadanya berlayar menuju Malaka dan setelah sampai di pelabuhan Alburqueque mengirim pesan kepada Sultan Malaka bahwa sebenarnya ia hanya ingin mengadakan hubungan dagang dan sebisa mungkin mengindari konflik namun Sultan Malaka tidak membalas surat tersebut, 12 Bernard H.M.Vlekke, Op. Cit, hal. 90 13 Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987), hal.68
5 akhirnya pada tahun 1511 Portugis melakukan penyerangan. Pada tahun 1511 Portugis berhasil menduduki Malaka. Kerajaan Malaka di Semenanjung Melayu berhasil ditaklukkan oleh Portugis dan ibukotannya dijadikan sebagai pusat aktivitas politik dan bandar perdagangan yang langsung berada di bawah kekuasaanya. 14 Setelah menduduki Malaka, pihak Portugis berusaha menguasai jaringan lalu lintas perdagangan di kawasan Selat Malaka. Oleh sebab itu, Selat Malaka menjadi tidak aman lagi bagi pedagang-pedagang Islam. 15 Keberhasilan Portugis di Malaka secara tidak langsung telah mengubah keseimbangan politik dan ekonomi serta jaringan perdagangan di Selat Malaka dan berakibat timbulnya keguncangan dalam jaringan perdagangan. Para pedagang Islam yang sudah secara tradisional berdagang di Malaka terpaksa menyingkir dari kota itu ke tempat-tempat lain. Terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para saudagar luar negeri di pulau Sumatera, yakni Pasai dan Pedir. Akan tetapi, disamping pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga yang masih muda yaitu Kerajaan Aceh. 16 Para saudagar Islam ingin menjadikan kota ini sebagai pengganti Malaka, baik untuk tempat berdagang maupun tempat menyebarkan agama 14 Azyumardi Azra, Op. Cit, hal. 39 15 Baharuddin Yahya, Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, (Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh, 1988), hal. 137 16 Hidayat, Peran Sultan Iskandar Muda Dalam Mengembangkan Kerajaan Aceh Tahun 1607-1636, skripsi pendidikan sejarah, (Yogyakarta, 2015), hal.19
6 Islam. 17 Kerajaan Aceh Darussalam berdiri pada awal abad ke-16 yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Alasan yang mendasar berdirinya Kesultanan Aceh sebagai Negara berdaulat di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah yang bercita-cita untuk membangun suatu wilayah kekuasaan Islam sebagai negara federasi di wilayah Pinggir Timur. 18 Secara tak disangka-sangka Portugis membangun hubungan atau pengaruhnya yang luar biasa dalam beberapa bidang di Asia Tenggara sepanjang tahun 1520 sampai 1524. Salah satu politik Ali Mughayat Syah adalah membangun hubungan di bidang Politik, ekonomi, budaya, dan agama di antara wilayah dunia Islam bagian timur dan barat. 19 Ini dipahami sebagai bagian dari politik Islam Global. Selama masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh mampu membangun hubungan melalui saluran yang tepat dengan pemerintahan Turki Utsmani dan mendapat peluang untuk mengembangkan hubungan tersebut seiring berjalannya waktu. Karena memiliki tekad yang kuat untuk terjun ke dunia politik internasional pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah mulai menjalin hubungan dengan Turki Utsmani sebagai prinsip kebijakan luar negeri kesultanannya. Sebagai suatu kebijakan konstruktif upaya untuk membangun hubungan internasional menjadi titik acuan 20 yang kemudian juga diterapkan dan diteruskan oleh sultan-sultan berikutnya. 17 Baharuddin Yahya, Kota Banda Aceh Hampir 1000 Tahun, (Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Banda Aceh, 1988), hal. 147-148 18 Hidayat Op. Cit, hal. 20 19 Mehmet Ozay, Kesultanan Aceh dan Turki antara fakta dan legenda, (Banda Aceh: PuKAT, 2014), hal. 13-14 20 Ibid.
7 Adapun prinsip-prinsip dasar politik Ali Mughayat Syah mengenai hubungan luar negeri diantaranya adalah meningkatkan hubungan dengan negara Islam seperti, Arab, India, Melayu, dan Turki Utsmani. Ali Mughayat Syah juga bertujuan menegakkan kekuatan melawan kolonial Barat dan mengupayakan perluasan wilayah Islam dan sebagainya. Ada beberapa alasan untuk memulai hubungan antara Turki dan Aceh. Pertama, perhatian Turki terhadap terhadap keselamatan pelayaran haji antara Arabia dan Negara asal mereka dari gangguan musuh mereka yakni, Portugis. Kedua, didasarkan pada alasan ekonomi karena Samudera Hindia menjadi saksi atas serangkaian peristiwa yang secara keseluruhan berpengaruh terhadap perekonomian Negara-negara Mediterania termasuk Turki Utsmani. Dan yang ketiga adalah kebijakan para elit politik Aceh yang sangat bersemangat ingin mencapai pusat kekuasaan di Timur Tengah. 21 Pada tahun 1520 Kerajaan Aceh berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir dan Kerajaan Aceh juga berhasil menguasai daerah Daya hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Pada tahun 1524, Kerajaan Aceh bersama pimpinannya, Sultan Ali Mughayat Syah, berhasil mengambil alih Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah tersebut juga mampu 21 Ibid, hal. 18
8 mengalahkan kapal Portugis di Bandar Aceh. 22 Selain itu usaha Sultan Ali Mughayat Syah untuk memperluas wilayah dan mengusir penjajahan Portugis di Nusantara dilakukan secara terus-menerus. Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di sekitar Aceh, dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis, termasuk daerah Pasai. 23 Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil merebut benteng yang terletak di Pasai. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pada masa pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah yaitu selama 10 tahun, ia berhasil membangun kerajaan Aceh yang besar dan kokoh. Sultan Ali Mughayat Syah juga meletakkan dasar-dasar politik luar negeri Kesultanan Aceh Darussalam dan sepeninggal Sultan Ali Mughayat Syah, dasar-dasar kebijakan politik ini tetap dijalankan oleh sultan-sultan penggantinya. Pada tahun 1526 M kapal Aceh yang serat muatannya dengan rempahrempah dirampas oleh Portugis ketika hendak berlayar menuju Jeddah. Persaingan tak sehat ditunjukkan oleh Portugis terhadap kapal-kapal pedagang Aceh. Kemudian pada tahun 1534 M sejumlah kapal Aceh dan Gujarat juga dihadang Portugis di mulut Laut Merah. 24 Kegiatan Portugis di Malaka dianggap sebagai ancaman serius bagi penguasa Kerajaan Aceh. Portugis menyadari kekuatan utama yang menjadi pengganjal keberadaannya di Asia Tenggara adalah kerajaan Aceh, oleh 22 Ibid 23 Hidayat, Op. Cit, hal. 26-28 24 Herwandi, Bungong Kalimah: Kaligrafi Islam Dalam Balutan Tasawuf Aceh Abad Ke 16-18M, (Padang: Universitas Andalas, 2003), hal. 48-49
9 sebab itu harus ditundukkan dengan jalan militer. Pada tahun 1562 M, Sultan Alaudin Riayat Syah sengaja mengirim utusan ke Kerajaan Turki, kerajaan Islam terkemuka pada saat itu untuk mendapatkan bantuan dalam menghadapi Portugis. 25 Utusan itu pun berhasil mendapatkan bantuan militer Turki. Kemudian 1564 kembali utusan Kerajaan Aceh bernama Husayn dilaporkan menghadap Sultan Turki, terdapat surat petisi dari Sultan Alaudin Riayat Syah kepada Sultan Sulayman al-qanuni. Dalam surat tersebut Sultan Alaudin menyebut penguasa Turki sebagai Khalifah Islam dan berusaha melaporkan aktivitas Portugis mengganggu kegiatan pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Sulayman sendiri tidak dapat membantu karena ia wafat tahun 1566 M, tetapi misi Aceh berhasil memperoleh dukungan dari Sultan Salim II dengan memerintahkan Kurtoglu Hizir Reis (Laksamana Turki di Suez) berlayar menuju Aceh dengan sejumlah besar ahli senjata api, tentara, dan artileri. Hanya sebagian kecil saja pasukan itu yang sampai ke Aceh yaitu pada tahun 1657 M dengan dua buah kapal dan sejumlah meriam berat, serta 500 prajurit Turki di antaranya yang ahli dalam membuat kapal dan meriam besar. 26 Meskipun tak berhasil mempersembahkan bingkisan Alaudin Riayat Syah al-kahar ke penguasa Istambul, namun utusan tersebut berhasil mendapatkan bantuan militer Turki yang sangat berguna dalam menaklukkan Johor tahun 1654 M. Kisah ini kemudian terkenal dengan hikayat Lada se cupak. Hikayat ini menceritakan tentang kisah perjuangan delegasi Aceh ke 25 H. M Zainudin, Tarich Atjeh Dan Nusantara, (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961). Jilid 1. Hal.272 26 Zakaria Ahmad, Ibid, hal. 58-59
10 Turki untuk meminta bantuan dengan mepersembahkan bingkisan berupa lada. Utusan Aceh sampai di sana pada saat Sultan Turki Utsmani pada saat itu sedang memimpin pasukan dalam peperangan melawan Hungaria. Tapi karena lama menunggu, sedikit demi sedikit lada tersebut dijual sampai tinggal secupak. Kemudian lada tersebut di persembahkan ke pada Sultan Turki diiringi permintaan maaf. Sultan Turki Ustmani menjadi tersentuh dan memberikan bantuan militer termasuk sebuah meriam yang berukuran besar yang dinamakan Meriam Lada Se Cupak. 27 Hubungan diplomatik ini kemudian dipererat lagi pada masa Iskandar Muda, karena ia telah mengirim armada kecil terdiri dari tiga kapal ke Istanbul. Ketika utusan ini kembali ke Aceh mereka membawa sepucuk surat sebagai pernyataan dan pengakuan hubungan diplomatik kedua kerajaan. Tak lama sesudah itu, datang sebuah misi Turki di Aceh dalam rangka mencari obat-obatan untuk Sultan Mahmud III (1595-1606 M) yang kebetulan sedang sakit. Utusan itu disambut dengan suka-cita dan penuh penghormatan oleh Sultan Iskandar Muda. Setelah misi ini kembali ke Turki mereka segera melaporkan kebesaran Aceh Darussalam ke penguasa Istanbul. Hasilnya Sultan Turki mengeluarkan pernyataan bahwa terdapat dua raja besar di muka bumi ini, di barat dikuasai Turki Utsmani dan di timur penguasa Kerajaan Aceh Darussalam. 28 Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan Aceh dengan Turki Utsmani yang mencakup dalam bidang 27 Herwandi, Ibid, hal 58-59 28 Ibid,
11 perdagangan dan militer pada abad ke-16 hingga abad ke-17. Beberapa literatur yang penulis telusuri sudah ada yang menulis tentang hubungan Aceh dengan Turki Utsmani dalam bidang perdangan dan militer, namun hanya sedikit atau sepintas saja. Penulis ingin mengungkap lebih mendalam terkait permasalahan tersebut. Penelitian ini akan penulis jadikan sebagai karya ilmiah yang berjudul Hubungan Kerajaan Aceh dan Turki Utsmani dalam bidang perdagangan dan militer pada abad XVI-XVII. B. Rumusan dan Batasan Masalah 1. Rumusan Masalah Dari uraian singkat mengenai latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Bagaimana hubungan Kesultanan Aceh dengan Turki Utsmani dalam bidang perdagangan? b. Bagaimana hubungan Kesultanan Aceh dengan Turki Utsmani dalam bidang militer? 2. Batasan Masalah Agar penulisan ini lebih terarah serta tidak terjadi penyimpangan, maka penulis memberikan batasan masalah sebagai berikut: a. Batasan temporal Batasan temporal yang penulis ambil yaitu dari abad ke-16 hingga abad ke-17 M. Dibatasi dari abad ke-16 karena pada tahun ini awal terbentuknya hubungan antara Aceh dengan Turki Utsmani. Dan
12 dibatasi pada abad ke-17 karena hubungan Aceh dan Turki yang paling menonjol hanya sampai abad ke-17. b. Batasan Spasial Batasan spasial dalam penulisan ini adalah Kerajaan Aceh dan Turki Utsmani. c. Batasan Tematis Batasan tematisnya adalah hubungan bilateral antara Kerajaan Aceh dengan Turki Utsmani dalam bidang perdagangan dan militer. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui hubungan Turki Utsmani dengan Aceh dalam bidang perdagangan. b. Untuk mengetahui hubungan Aceh dengan Turki Utsmani dalam bidang militer. 2. Kegunaan Penelitian a. Mendapatkan informasi dan menambah wawasan keilmuan dalam bidang sejarah Islam di Timur Tengah. b. Agar dapat menambah khazanah kepustakaan dan sejarah kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Humaniora. c. Untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Humaniora di Fakultas Adab dan Humaniora IAIN Imam Bonjol Padang.
13 D. Penjelasan Judul Agar judul penelitian ini dapat di pahami dan tidak meragukan pembaca, maka peneliti perlu menjelaskan maksud dari judul penelitian ini agar sesuai dengan topik kajian: Hubungan menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah sebuah keadaan, ikatan, pertalian keluarga dan persahabatan. Kerajaan Aceh Kerajaan Aceh adalah nama sebuah kerajaan di utara pulau Sumatera yang berdiri pada abad ke-16. 29 Turki Utsmani Adalah sebuah Kerajaan yang didirikan oleh suku bangsa pengembara yang berasal dari wilayah Asia Tengah. 30 Jadi yang dimaksud dalam penulisan ini adalah Hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki Utsmani. E. Tinjauan Kepustakaan Penulis menemukan beberapa literatur yang menyinggung tentang hubungan Turki Utsmani dengan Aceh yaitu diantaranya: Buku Kesultanan Aceh dan Turki Antara Fakta dan Legenda oleh Mehmet Ozay. Buku ini menjelaskan tentang utusan-utusan yang pernah dikirim Sultan Aceh Darussalam ke Turki dan juga sebaliknya yaitu utusan Turki Utsmani ke Aceh. 31 Buku Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda, oleh Denys Lombard. Buku ini menulis tentang asal Aceh serta pelabuhan-pelabuhan 29 Mehmet Ozay, Kesultanan Aceh dan Turki antara fakta dan legenda, (Banda Aceh: PuKAT, 2014), hal. 13 30 Syafiq A. Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam Di Turki,(Surabaya : 1996), hal. 31 Mehmet Ozay, Op. Cit., hal. 13-14
14 yang menjadi pusat perdagangan. Selain itu, buku ini juga membahas tentang hubungan-hubungan Aceh dengan pedagang-pedagang asing, termasuk hubungan Aceh dengan Turki Utsmani. Akan tetapi, penulis lebih memfokuskan hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki Ustmani dalam bidang perdagangan dan militer. 32 Buku Aceh Sepanjang Abad karya Mohammad Said. Buku ini menjelaskan tentang bentuk-bentuk perlawanan rakyat Aceh kepada penjajah serta sultan-sultan yang pernah memimpin Aceh. Disini di dalam buku ini juga disinggung sedikit tentang sultan yang pernah menjalin hubungan dengan Turki. Namun penulis lebih menekankan bentuk hubungannya dalam bidang perdagangan dan militer. 33 Jadi, perbedaan penelitian ini dengan kajian terdahulu adalah terletak pada fokus penelitian, yaitu hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki Utsmani dalam bidang perdagangan dan militer. Meskipun dalam buku di atas telah menyinggung tentang hubungan Aceh dengan Turki Utsmani namun pembahasannya belum mendetail dan menyeluruh. F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Penelitian ini di lakukan dalam bentuk library research (penelitian buku). Tujuan dari penggunaan metode sejarah adalah untuk dapat memperoleh hasil penelitian berupa rekontruksi masa lampau secara sistematis dan objektif hingga 32 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991) 33 Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, jilid 1(Medan: P.T. Percetakan Dan Penerbitan Waspada,1981), hal.
15 tinggkat yang dapat di pertanggungjawabkan. Metode sejarah terdiri dari empat tahapan, yaitu heuristik, kritik sumber, sintesis, dan penulisan. Berikut langkah-langkanya: 1. Heuristik Untuk mendapatkan data-data yang berhubungan dengan penelitian ini, penulis menelusuri sumber-sumber yang bersangkutan dengan topik penelitian sumber sekunder dari penelitian ini juga bersumber dari buku buku yang berkaitan dan internet. Pada tahap ini, penelitian mengumpulkan sumber-sumber berupa buku-buku sejarah dan informasiinformasi yang berkaitan dengan hubungan Kerajaan Aceh dengan Turki Utsmani dalam bidang perdagangan dan militer, diantaranya seperti buku Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, (Jakarta: Kencana, 2005). Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda tahun 1607-1636, (Jakarata: Balai Pustaka, 1991). Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, (Medan: PT. Percetakan dan Penerbitan Waspada, 1981). Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, (Jakarta: Bhatara Karya Aksara, 1980). Karena penelitian ini besifat library reseach, maka peneliti juga mencari buku-buku lainnya di perpustakaan, lembaga-lembaga kajian yang berhubungan dengan topik penelitian dan informasi dari internet. 2. Kritik Sumber Setelah sumber-sumber dikumpulkan, selanjutnya peneliti melakukan kritik sumber. Kritik dilakukan secara eksternal dan internal.
16 Secara eksternal peneliti memperhatikan siapa pengarang atau penulis buku, dokumen, dan naskah-naskah tersebut, seperti buku Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda tahun 16071636, (Jakarata: Balai Pustaka, 1991), penulis akan mencari informasi tentang bukunya Denys Lombard, yang akan membantu dalam menentukan apakah sumber tersebut layak untuk digunakan. Secara internal peneliti menguji keabsahan informasi yang dikandung sumber. Apakah kandungan informasi yang terdapat dalam sumber dapat dipercaya atau tidak sebagai sumber informasi yang sedang diteliti. 34 3. Sintesis (Analisis) Pada tahap ini setelah sumber terkumpul menjadi fakta, selanjutnya fakta tersebut dihubungkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lainnya. Hal tersebut akan menjadi satu kesatuan makna yang saling berhubungan dan dirangkai sehingga menjadi rangkaian yang logis dan benar. 35 4. Penulisan Dalam hal ini penulis berusaha untuk memaparkan hasil penelitian dengan mendeskripsikan dalam bentuk karya ilmiah dengan menggunakan pendekatan deskriptif naratif. Meskipun demikian, tidak 34 Irhas A.Shamad, Ilmu Sejarah Perspektif Metodologis dan Acuan Penelitian, (Jakarta:Hayfa Press,2003), hal.95 35 Muhammad Natsir, Metode Penelitian, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 1998), hal.59
17 tertutup kemungkinan bagi penulis untuk memaparkan dengan menggunakan deskriptif analisis. 36 G. Sistematika Penulisan Sebagai pedoman dan memudahkan penulis dalam melakukan penelitian maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, penjelasan judul, dan sistematika penulisan. BAB II BAB III Bagaiamana gambaran umum Aceh dan Turki Utsmani? Bagaimana hubungan Aceh dengan Turki Utsmani dalam bidang perdagangan dan militer? BAB IV Berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang diangkat. hal 26 36 Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara,2006),