PolicyBrief Analisis tren produk Masyarakat Adat Malik, Yance Arizona, Mumu Muhajir Ringkasan Eksekutif Jumlah produk masyarakat adat di Indonesia cukup signifikan, meskipun belum menyeluruh ada pada setiap provinsi maupun kabupaten/kota. Dari sisi bentuk nya produk tersebut berbagai macam mulai dari peraturan, peraturan kepala, keputusan kepala. Dari sisi materi muatan juga beragam mulai pengaturan kelembagaan adat peradilan adat, keberadaan masyarakat adat, desa adat, maupun hak masyarakat adat terhadap wilayah, tanah, hutan, sumber daya alam lainnya. Meskipun telah terdapat 124 produk masyarakat adat, namun wilayah, tanah, hutan adat sudah ditetapkan melalui produk masih sangat sedikit, yaitu 15.577 hektar. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 pengujian Pasal 1 angka 6 UU No. 41/1999 tentang Kehutanan pada intinya mengeluarkan keberadaan hutan adat dari hutan negara. Putusan tersebut menekankan pentingnya penggunaan berbagai instrumen tersedia, termasuk instrumen, untuk mengakui melindungi masyarakat adat hak tradisionalnya. 1
Pengantar Pemerintah memainkan peranan penting untuk mengakui keberadaan hak tradisional masyarakat adat. Bahkan jauh sebelum Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 pengujian UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengeluarkan hutan adat dari hutan negara memperkuat tanggungjawab pemerintah pemerintah untuk mengakui masyarakat adat, sejumlah pemerintah telah mengeluarkan produk pengakuan masyarakat adat (lihat box 1). Praktik sudah dilakukan selama ini perlu dipetakan untuk melihat bagaimana tren produk akan menjadi referensi penting bagi pemerintah membentuk kebijakan regulasi sesuai bagi masyarakat adat baik pada tingkat nasional maupun. Policy brief berisi analisis tren ini dilakukan untuk memperoleh gambaran detail produk baik dari sisi jumlah, sebaran, waktu analisis terhadap materi muatan produk. Penulisan policy brief ini didahului dengan berbagai kegiatan antara lain inventarisasi produk baik peraturan, peraturan kepala, keputusan kepala. Setelah itu dilakukan klasifikasi berdasarkan sebaran, waktu, bentuk materi muatan produk. Dari situ ditampilkan informasi tren produk Tabel 1: Produk berdasarkan provinsi kabupaten/kota masyarakat adat di Indonesia dalam bentuk policy brief ini. Sebaran wilayah produk Masyarakat Adat Inventarisasi produk masyarakat adat dilakukan oleh Epistema Institute dari produk tahun 1979 sampai 2015 mencapai 124 produk. Sebaran produk tersebut secara berurutan mulai dari Wilayah Sumatera sebanyak 59 produk, Wilayah Kalimantan sebanyak 40, Wilayah Maluku-Papua berjumlah 12, Wilayah Sulawesi berjumlah 9, terakhir Wilayah Jawa-Bali-Nusa Tenggara sebanyak 7 produk dengan total 124. Dari 124 produk tersebut sebanyak 28 diantaranya merupakan produk di tingkat provinsi terdapat pada 10 provinsi. Sementara itu 96 produk lainnya berada pada level kabupaten/kota terdapat pada 44 kabupaten/kota. Provinsi paling banyak membuat produk masyarakat adat adalah Provinsi NAD (12), Provinsi Papua (4), Provinsi Sumatera Barat (3), Provinsi Kalimantan Tengah (2), Maluku (2). Segkan kabupaten/kota paling banyak adalah Kabupaten Kerinci (8), Kabupaten Bungo (5), Kabupaten Merangin (5), Kabupaten Sarolangun (5), Kabupaten Bulungan (5). Sumber: Database produk, Epistema Institute 2015. 2 Hal itu menunjukan bahwa produk masyarakat adat menyebar di berbagai wilayah. Cukup signifikan jumlah telah mengeluarkan produk nya masyarakat adat. Meskipun demikian sebaran itu belum menyeluruh sebab tidak sampai 30% total jumlah provinsi maupun kabupaten/kota ada di Indonesia. 2
Tabel 2: Tren perkembangan produk berdasarkan tahun bentuk (1979-Juni 2015) Sumber: Database produk, Epistema Institute 2015. Produk Masyarakat Adat berdasarkan waktu pembuatan Tren produk masyarakat adat dapat dicermati perkembangan dari waktu ke waktu. Dalam policy brief ini perkembangan tersebut diklasifikasi ke dalam empat periode keberlakuan ung-ung pemerintah desa, yaitu: 1. Periode UU No. 5 Tahun 1979 tentang Desa (1979-1998); 2. Periode UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (1999-2003) 3. Periode UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (2004-2013) 4. Periode UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (2014- Juni 2015). desentralisasi pemerintah memanfaatkan otonomi untuk mengatur kekhasan di, dalam hal ini termasuk kekhasan masyarakat adat di masing-masing. Setelah itu periode keberlakuan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (2004-2013). Dalam kurun waktu 10 tahun terdapat 51 produk masyarakat adat atau 5,1 produk pertahun. Pada periode keberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Desa (1979-1998) pada masa Orde Baru tidak banyak produk masyarakat adat sebab keberadaan masyarakat adat pada saat itu sangat dibatasi. Sementara itu, periode keberlakuan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (2014-Juni 2015) baru terdapat 11 produk. Meskipun jumlahnya belum signifikan, namun periode ini secara intensitas cukup produktif karena dalam kurun waktu 1,5 tahun telah menghasilkan 11 produk, tahun 2014 terdapat 6 Juni 2015 terdapat 5 produk. Sementara itu juga banyak seg mempersiapkan produk untuk merespons keberlakuan dua ung-ung tersebut. Selain itu, kehadiran Putusan MK 35 1 pada 16 Mei 2013 memberikan satu keyakinan baru kepada pemerintah untuk segera membentuk produk masyarakat adat. Perkembangan produk dalam empat periode dapat dikaitkan dengan materi muatan produk Dari empat periode tersebut, periode keberlakuan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (1999-2003) merupakan periode paling banyak dibentuknya produk masyarakat adat, yaitu 56 produk dalam kurun waktu lima tahun atau 11,2 produk pertahun. Periode tersebut merupakan periode 3
Tabel 3: Tren perkembangan produk berdasarkan tahun materi muatan (1979-2015) Sumber: Database produk, Epistema Institute 2015.. Data menunjukan bahwa produk kelembagaan adat paling banyak, yaitu 51 produk, kemudian produk wilayah, tanah, hutan adat sebanyak 47 produk. Produk tersebut paling banyak pada periode 1999-2003 2004-2013. Namun dalam perkembangan satu tahun terakhir (2014-2015), produk wilayah, tanah, hutan adat lebih banyak dibandingkan dengan produk kelembagaan adat. Hal ini kuat dipengaruhi oleh Putusan MK 35 menekankan pentingnya pengakuan terhadap wilayah, tanah hutan adat. Sifat bentuk produk Masyarakat Adat Dari 124 produk masyarakat adat, terdapat 71 produk bersifat pengaturan 53 bersifat penetapan. Produk pengaturan adalah produk sifatnya mengatur masyarakat adat hak tradisionalnya secara umum tidak menyebutkan nama komunitas atau wilayah adat tertentu. Sementara produk penetapan adalah produk sifatnya menetapkan komunitas tertentu atau wilayah adat tertentu dari komunitas masyarakat adat. Selain dari sifat produk tersebut, dapat pula klasifikasi dilakukan dengan memperhatikan bentuk produk. Dalam hal ini, produk tersebut diklasifikasikan dalam empat bentuk, yaitu; (1) Peraturan bersifat pengaturan; (2) Peraturan bersifat penetapan; (3) Peraturan kepala meliputi peraturan gubernur peraturan bupati; (4) Keputusan kepala. Dari sisi bentuk nya, produk paling banyak adalah peraturan bersifat pengaturan. Terdapat 64 peraturan bersifat pengaturan dimana 43 diantaranya adalah Peraturan Daerah Kabupaten/ 4 4 Kota 21 Peraturan Daerah Provinsi. Sementara itu peraturan bersifat penetapan hanya sebanyak 6 produk. Peraturan Kepala Daerah masyarakat adat sebanyak 5 produk terdiri dari 4 Peraturan Gubernur 1 Peraturan Bupati. Sementara itu Keputusan Kepala Daerah terdapat sebanyak 49 dimana 47 diantaranya adalah Keputusan Bupati, 1 Keputusan Bersama antara Gubernur NAD dengan Kepala Kepolisian Daerah Ketua Majelis Adat Aceh tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat pada Gampong Mukim. Materi muatan produk Masyarakat Adat Dilihat dari sisi materi muatan atau isi produk, secara umum dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu: (1) kelembagaan adat, peradilan adat adat; (2) wilayah, tanah, hutan adat sumber daya alam lainnya; (3) keberadaan masyarakat adat; (4) Desa Adat; (5) kelembagaan pelaksana produk masyarakat adat. 1. Kelembagaan adat, peradilan adat adat Dari lima klasifikasi tersebut, produk paling banyak dalam klasifikasi ini yaitu 51 produk atau 41%. Sebanyak 43 diantaranya adalah kelembagaan adat. Produk kelembagaan adat
sudah ada sejak Orde Baru memberlakukan UU No. 5 Tahun 1979. Perda kelembagaan adat hadir pada saat itu sebagai bentuk kontrol pemerintah terhadap elit-elit tokoh adat tidak lagi memiliki kewenangan fungsional berkaitan dengan pemerintahan di masyarakat dikarenakan pemerintah menerapkan Sistem Desa bersifat formal seragam di seluruh Indonesia. Tidak jarang kelembagaan adat dibentuk dengan Perda kemudian diisi oleh elit politisi lokal. Sehingga seringkali dijumpai kepala sekaligus merangkap sebagai ketua lembaga adat di tingkat provinsi atau kabupaten/ kota. Selain itu, Perda kelembagaan adat ini diikuti oleh sejumlah honor, tunjangan atau insentif kepada pengurus lembaga adat karena dipang berperan dalam menjaga tradisi budaya masyarakat adat. Tabel 4: Luas penetapan hutan adat di Provinsi Jambi Terdapat pula tujuh produk peradilan adat seperti dijumpai di Provinsi Sulawesi Tengah, Nangroe Aceh Darusalam, Kalimantan Tengah, Papua. Sementara itu produk mengesahkan pendokumentasian adat serta pemberlakuan adat dijumpai di Kabupaten Rejang Lebong melalui Keputusan Bupati Rejang Lebong No. 93 Tahun 2005 tentang Kumpulan Hukum Adat Bagi Masyarakat Adat dalam wilayah Kabupaten Rejang Lebong Keputusan Bupati Rejang Lebong Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pelaksanaan Hukum Adat Rejang. Selain itu terdapat Qanun NAD No. 7 Tahun 2000 Tentang Kehidupan Adat. Penyelenggaraan 2. Wilayah, Tanah, Hutan Adat, Pengelolaan Sumber Daya Alam Masyarakat Adat Produk berkaitan dengan wilayah, tanah, hutan adat, pengelolaan sumber daya alam masyarakat adat berjumlah 47 atau 38%. Dari 47 produk 11 produk diantaranya dalam bentuk peraturan bersifat pengaturan. Sementara itu 36 lainnya adalah dalam bentuk penetapan baik melalui Perda penetapan maupun keputusan kepala. Dari 36 produk bersifat penetapan wilayah, tanah hutan adat itu, terdapat 21 menyebutkan luasan wilayah menampilkan peta sebagai lampirannya. Setidaknya sudah terdapat 15.577 hektar wilayah, tanah 5 3 hak ulayat/adat ditetapkan oleh pemerintah.2 Dari jumlah tersebut, 5.101,85 hektar merupakan wilayah tanah adat (lihat SK penetapan batas-batas detail tanah hak ulayat masyarakat adat Baduy), 10.475,15 hektar merupakan hutan adat. Daerah paling banyak mengeluarkan penetapan hutan adat adalah kabupaten di Provinsi Jambi dengan jumlah 10.475,15 hektar. Lebih rinci antara lain Kabupaten Kerinci dengan delapan SK Bupati untuk 1.820,56 hektar hutan adat, Kabupaten Sarolangun dengan lima SK Bupati untuk 3.292,90 hektar hutan adat, Kabupaten Merangin dengan empat SK Bupati untuk 2.021,00 hektar hutan adat, Kabupaten Bungo dengan tiga SK Bupati untuk 3.340,69 hektar hutan adat.
Bentuk pengakuan lain secara tidak langsung terhadap wilayah adat hadir dalam bentuk Keputusan Bupati memberikan izin kepada perusahaan untuk memanfaatkan hasil hutan namun diberikan di atas tanah adat suatu komunitas masyarakat adat. Produk seperti ini banyak ditemukan di Kabupaten Malinau, yaitu sebanyak 61 Keputusan Bupati rata-rata dikeluarkan pada tahun 20002010. Total luas tanah adat ± 700,52 hektar dengan alokasi izin pemungutan pemanfaatan kayu hutan, izin usaha perkebunan kelapa sawit, izin eksplorasi, eksploitasi, produksi batubara mineral emas. Tabel 5: Produk materi muatannya tentang keberadaan Masyarakat Adat 3. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat Produk materi muatannya keberadaan masyarakat adat terdapat sebanyak 10 produk. Terdapat tiga produk bersifat mengatur keberadaan masyarakat adat tujuh produk menetapkan keberadaan masyarakat adat. 4. Pembentukan Masyarakat Adat sebagai Desa Adat (Ohoi, Kampung, Nagari, Mukim, nama lainnya) Masyarakat adat dapat berperan sebagai penyelenggaraan pemerintahan di dalam UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa disebut dengan Desa Adat. Bahkan sebelum diberlakukannya UU Desa baru, praktik regulasi kebijakan menjadikan masyarakat adat sebagai penyelenggara pemerintahan telah berlangsung. Beberapa contoh dapat dikemukakan seperti pengaturan Ohoi, Kampung, Pemekon, Nagari, Mukim sejenisnya di beberapa tempat. Terdapat 14 produk hal ini terdapat antara lain di Provinsi NAD, Provinsi Sumatera Barat, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten Sanggau. Hampir semuanya dalam bentuk Perda, kecuali satu Keputusan Bupati Jayapura No. 320 Tahun 2014 tentang Pembentukan Tiga Puluh Enam Kampung Adat di Kabupaten Jayapura. Dari sisi materi muatannya, produk hal ini juga beragam. Ada menetapkan masyarakat adat memiliki peranan sangat dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan, namun ada pula hanya mengganti nama desa jabatan perangkat desa dengan nama dikenal dalam sejarah masyarakat adat tanpa perubahan penting dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan. 5. Lembaga Pelaksana Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat 6 6 Kelembagaan pelaksana merupakan salah satu elemen penting untuk membentuk melaksanakan pengakuan masyarakat adat. Di belum ada SKPD khusus menangani masyarakat adat, oleh karena itu pembentukan lembaga pelaksana menjadi penting untuk mewujudkan pengakuan terhadap masyarakat adat berjalan efektif. Belum
banyak memperhatikan pentingnya membentuk lembaga baru atau memberikan kewenangan kepada ba pemerintahan di untuk menjalankan regulasi masyarakat adat. Terdapat satu produk hal ini, yaitu Peraturan Bupati Kabupaten Malinau No. 210 Tahun 2014 tentang Ba Pengelola Urusan Masyarakat Adat (BPUMA). Ba ini dibuat untuk menjalankan Perda Kabupaten Malinau tentang Pengakuan Perlindungan Hak Masyarakat Adat. Kesimpulan rekomendasi alam masyarakat adat. Diantaranya hanya 21 produk menyebutkan luas menampilkan peta wilayah jumlah keseluruhannya mencapai 15.577 hektar. Hal ini penting diperhatikan agar pengakuan terhadap masyarakat adat hak tradisionalnya bisa memiliki implikasi langsung terhadap pengakuan perlindungan wilayah, tanah, hutan adat. Oleh karena itu, kedepannya setiap produk agar menyebutkan luas wilayah adat ditetapkan menunjukkan peta partisipatif sebagai lampirannya. dalam praktiknya sangat beragam, baik dari sisi bentuk isinya. Oleh karena itu, adalah sangat baik tidak memaksakan keterbatasan dari kerangka peraturan nasional tersedia untuk membingkai keberadaan masyarakat adat. Misalkan mengharuskan pengakuan masyarakat adat dalam bentuk Perda, atau dalam bentuk SK Bupati tidak boleh salah satu diantaranya. Perubahan regulasi kebijakan nasional diperlukan untuk mengakomodasi praktik sudah ada membangun kerangka pengaturan baru mempermudah masyarakat untuk mendapatkan pengakuan. 1. Kesimpulan Policy brief ini menunjukan bahwa meskipun telah ada 124 produk masyarakat adat, tetapi jumlah tersebut belum menunjukan aya suatu perubahan menyeluruh untuk mengakui menetapkan keberadaan masyarakat adat dalam produk. Namun tidak dapat dipungkiri saat ini seg ada gejala merata semakin masif untuk membentuk produk masyarakat adat di beberapa. Berbagai regulasi nasional baru Putusan Mahkamah Konstitusi menjadi kekuatan pendorong lahirnya produk masyarakat adat. Hal ini ditandai dengan intensitas lebih tinggi dalam pembentukan produk dalam satu tahun terakhir masyarakat adat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun telah banyak produk masyarakat adat, namun belum banyak wilayah adat sudah ditetapkan. Dari 124 produk, sebanyak 47 produk berkaitan dengan wilayah, tanah, hutan, sumber daya Pelaksanaan kewenangan pemerintah untuk mengakui menetapkan keberadaan masyarakat adat hak tradisionalnya sejauh ini telah banyak dimanfaatkan praktiknya beragam sesuai dengan tuntutan kebutuhan lokal. 2. Rekomendasi Rekomendasi dari policy brief ini ditujukan kepada pemerintah, pemerintah, masyarakat adat serta CSO bekerja untuk pembaruan masyarakat adat, antara lain: 1. Pemerintah pusat perlu mencermati dinamika pengakuan terhadap masyarakat adat 7 3 2. Pemerintah tidak perlu lagi ragu untuk membentuk produk masyarakat adat. Selain berbagai peraturan perung-ungan telah mempertegas kewenangan tersebut, beberapa telah membuat regulasi kebijakan masyarakat adat. Pemerintah perlu mempercepat memperluas inisiatif pembentukan produk untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dihadapi oleh masyarakat adat selama ini.
3. Bagi masyarakat adat CSO seg mendorong lahirnya produk perlu memiliki skill kapasitas pembentukan produk dengan mempelajari praktik pembentukan pelaksanaan produk di berbagai tempat lain. Dorongan untuk pembentukan produk haruslah konkret sampai pada penentuan wilayah, tanah hutan adat. Oleh karena itu diperlukan kepastian data peta wilayah adat dicantumkan dalam produk. Pengakuan masyarakat adat hak tradisionalnya melalui produk merupakan salah satu tahapan dalam memperkuat hak masyarakat adat. Perjuangan belum selesai setelah produk diperoleh. Tahapan implementasi membutuhkan perhatian tidak kalah besar. Oleh karena itu, dibutuhkan kesoli konsistensi dalam mewujudkan pengakuan melalui produk. Referensi Arizona, Yance, Wiratraman, Herlambang Pera, dkk (2010); Antara Teks Dan Konteks: Dinamika pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam di Indonesia. HuMa Jakarta, Edisi I. Epistema Institute (2015); Database Produk Hukum Daerah Tentang Masyarakat (Hukum) Adat. Jakarta. 1 Selain Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 mengeluarkan hutan adat dari hutan negara, terdapat beberapa peraturan kebijakan lain menjadi pendorong bagi pemerintah untuk membentuk produk masyarakat adat, antara lain Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. 2 Hal ini belum termasuk produk turunan dalam rangka pelaksanaan pengakuan terhadap tanah adat, misalkan dalam bentuk Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA) dikeluarkan oleh Damang di Kalimantan Tengah berdasarkan Perda No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah Peraturan Gubernur No. 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat Hak-hak Adat di Atas Tanah. Policy brief ini diterbitkan oleh Penulis: Malik, Yance Arizona, Mumu Muhajir Epistema Institute atas Foto Koleksi: Andi Sandhi Luluk Uliyah dukungan Ford Foundation Tata Letak: Andi Sandhi Epistema Institute Jalan Jati Pag Raya No. 25 Jakarta, 12540 Telepon : +62 21 7883 2167 Faksimile : +62 21 7883 0500 E-mail : epistema@epistema.or.id Website : www.epistema.or.id 8