PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN

dokumen-dokumen yang mirip
Konsep Dasar Perpajakan Internasional (Bag.I)

Pembagian Hak Pemajakan Atas Suatu Jenis Penghasilan Tulisan Ilmiah Perpajakan Internasional Jurnal Perpajakan KUP

Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA

Bab 3 PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B)

PERPAJAKAN INTERNASIONAL

TRANSAKSI LINTAS BATAS NEGARA DAN KONSEP DASAR PEMAJAKANNYA

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN

Metode penhindaran pajak berganda berdasarkan Perjanjian internasional dan ketentuan UU PPh. Feber Sormin, SE.,M.Ak.,Ak.,CA

Perpajakan internasional

TAX JURISDICTION. Original Paper Created by : Eka Daswindar

BAB II LANDASAN TEORI

PERTEMUAN KE 4 DOSEN KEDUA PAJAK INTERNASIONAL

Perpajakan Internasional. Yurisdiksi Pemajakan. 30 Agustus Benny Januar Tannawi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

BENEFICIAL OWNER DI DALAM TAX TREATY (STUDI KASUS TAX TREATY INDONESIA BELANDA)

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL. Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

ANALISA PENGARUH PENERAPAN TAX TREATY INDONESIA - HONGKONG TERHADAP INVESTASI MODAL DI INDONESIA

PAJAK INTERNASIONAL. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 10/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA [TAX TREATY]

PERTEMUAN 7 By Ely Suhayati SE MSi Ak PENGKREDITAN PPH PASAL 24 DAN ANGSURAN PPH PASAL 25

HUKUM PAJAK ( TAX LAW ) MK-14 JULIUS HARDJONO

Transaksi Lintas Batas Negara dan Konsep Dasar Pemajakannya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III PERLAKUAN PENETAPAN SUATU KEGIATAN SEBAGAI BUT AGEN YANG TIDAK BEBAS BERDASARKAN KETENTUAN DOMESTIK

BAB 4 PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

MAKALAH PAJAK INTERNASIONAL MODEL PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

PENGANTAR PAJAK INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Penentuan status..., Benny Mangoting, FH UI, 2010

Ruth Rassita Kembaren. Universitas Bina Nusantara Jalan Rawa Belong Raya No.8, Kemanggisan Jakarta Barat

Beneficial Owner Certificate of Domicile Limitation on Benefit Article YOHANES DWIKI R. D. FIDIRA MAHARANI YUH MELIALA

MEMAHAMI TAX TREATY. Taxes Covered

I. UMUM II. PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2

BAB II LANDASAN TEORI

BAB 1 PENDAHULUAN. Seluruh negara di dunia memperoleh sumber pendanaan utamanya adalah dari

BAB I PENDAHULUAN. berganda (double taxation). Untuk menghindari double taxation, maka dibuat

UN Model, OECD Model & Indonesian Model. Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BAHAN AJAR PAJAK INTERNASIONAL

Bab 4 PASAL-PASAL TAX TREATY DAN PENJELASANNYA

Landasan Hukum: Pasal 24 UU PPh, KMK No. 164/ KMK.03/ 2002

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

Santi Wijaya ; Maya Safira Dewi. Binus University, Jl.Kebun Jeruk Raya no.27, ABSTRACTS

PERPAJAKAN INTERNASIONAL KASUS TAX TREATY

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Putusan Pengadilan : Put /PP/M.II/13/2012. Jenis Pajak : PPh Pasal 26. Masa/Tahun Pajak : 2003

BAB I PENDAHULUAN. pajak, baik pajak pusat maupun pajak daerah, ini terbukti pada tahun 2014

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERPAJAKAN LANJUTAN. by Ely Suhayati SE MSi Ak

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Silabus. EKA 5341 Perpajakan Internasional. Program Studi: Strata 1 (S-1) Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Achmad Abrar. Dosen Pembimbing: Maya Safira Dewi, SE., Ak., M.Si ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. investor asing berkenaan dengan permasalahan utama bagi setiap investor untuk

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS EMPLOYEE STOCK OPTION. A. Analisis Saat Pengenaan Pajak yang Tepat atas ESOP

PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

PESUIIT ANDI. Pajak 8erganda? Pedoman Mudah. dan. Praktis Memahami Tax Treaty. Djoko Muljono

BAB 4 ANALISIS DAN BAHASAN

PERSANDINGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN

BAB 2 LANDASAN TEORI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Modul ke: PERPAJAKAN I. PPh PASAL Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Tarmidi, SE., M.Ak., BKP. Program Studi Akuntansi.

PEDOMAN WAWANCARA. 1. Bagaimana perbedaan fixed base dengan Permanent Establishment dalam

LAMPIRAN KHUSUS SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN

KETENTUAN PENERAPAN P3B DAN PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN P3B PERDIRJEN SEBELUMNYA

PERTEMUAN 12: PPh Pasal 24 (Umum /Perhitungan)

BAB IV ANALISIS PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN ATAS KOMPENSASI OPSI SAHAM UNTUK KARYAWAN MENURUT UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wprdpress.com

(WITHHOLDING) TAX DAN KREDIT PAJAK (TAX CREDIT)

ASPEK HUKUM PENERAPAN PERSETUJUAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL. Abstrak

02FEB. Manajemen Perpajakan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 138 TAHUN 2000 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama. Tgl. Berlaku : Mei 2012 Versi/Revisi : 01/00

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

International Tax Law Principles. CHRISTINE, M.Int.Tax, CA

HUKUM PAJAK INTERNASIONAL

Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 187/PMK.03/2015 TENTANG

MENTER! KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN KEPUTUSAN MENT ERI KEUANGAN REPUBLIK INDON ESIA NOMOR 164/KMK.03/2002 TENTANG KREDITPAJAK LUAR NEGERI

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan Nomor 28 Tahun 2007:

BAB 2 LANDASAN TEORI

Oleh : I Nyoman Darmayasa, SE., M.Ak., Ak. BKP. Politeknik Negeri Bali 2011

OBJEK PAJAK, PAJAK PENGHASILAN

Perpajakan Joint Operation Usaha Jasa Konstruksi

BAB IV PEMBAHASAN. Pengenaan Pajak atas Penghasilan PT PIBS. PT PIBS adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. sebelumnya, maka penulis membuat simpulan dari seluruh pembahasan yaitu sebagai

PAJAK PENGHASILAN PASAL 24

BAB 4 PEMBAHASAN. Konsep pengenaan pajak atas penghasilan berdasarkan Undang-undang Pajak

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. commission pada PT X yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya,

Adjusment-Final Tree Up 2006 yang dicatat pada GL 2007 (Rp ,00) Adjusment-Final Tree Up 2007 yang dicatat pada GL 2008 Rp

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sendiri, menurut Rochmat Soemitro dalam bukunya Mardiasmo (2011 : 1) :

BAB V PENUTUP. 1. Dalam melakukan penafsiran dalam klausul PSC tentang tarif Branch

CONTOH PEMANFAATAN TAX TREATY

BAB I PENDAHULUAN. digunakan untuk membiayai pengeluaran yang berkaitan dengan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Penerapan Controlled Foreign..., Stenny Mariani Lumban Tobing, FISIP UI, 2008

Regulasi Pemotongan dan Pemungutan PPh Pasal 23. dan Risiko Apabila Lupa Memotong PPh Ps 23. Atas Pembayaran Jasa Yang Anda Gunakan

Workshop Perpajakan Manajemen Risiko Perpajakan & Tax Planning Pasca Tax Amnesty. Dr. Nur Hidayat, SE, ME, Ak, CA, BKP

Transkripsi:

TUGAS AK-5A PERPAJAKAN INTERNASIONAL BAB 1 : PENDAHULUAN OLEH : RAYNALDO KURNIAWAN (1501035110) LOVIAWAN, AGNES VALENTINA (1501035140) WILLIAM ONGKOJOYO (1501035200) BENJAMIN (1501035266) JURUSAN AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS MULAWARMAN 2017

PERPAJAKAN INTERNASIONAL 1. PENGERTIAN PAJAK INTERNASIONAL Pajak internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaannya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda). Perpajakan internasional merupakan studi atau penentuan pajak atas subjek orang atau bisnis dengan hukum pajak negara yang berbeda atau aspek-aspek internasional dari hukum pajak negara individu. Pemerintah biasanya membatasi ruang lingkup pajak pendapatan mereka dalam beberapa cara teritorial atau menyediakan untuk offset dengan perpajakan yang berkaitan dengan pendapatan ekstrateritorial. 2. SUBJEK DAN OBJEK PAJAK DALAM PAJAK INTERNASIONAL Subjek pajak dibagi menjadi 2 : 1. Subjek pajak dalam negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-sumber di luar negeri 2. Subjek pajak luar negeri yang mendapat penghasilan dari sumber-sumber di dalam negeri Sedangkan objek pajak dibagi menjadi 2 yaitu : 1. Objek pajak dengan sumber di dalam negeri 2. Objek pajak dengan sumber di luar negeri 3. DASAR HUKUM PAJAK INTERNASIONAL Di Indonesia, pajak internasional khususnya mengenai P3B diatur dalam Pasal 32A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undangundang Nomor 36 Tahun 2008. Sementara itu, proses pembentukan P3B seperti proses pendekatan, perundingan, ratifikasi serta pemberlakuannya tunduk kepada Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedudukan P3B berdasarkan ketentuan ini adalah lex specialist terhadap Undang-undang domestik. Dengan demikian, jika ada ketentuan dalam undang-undang domestik bertentangan dengan ketentuan dalam P3B maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B. PEMAJAKAN BERGANDA 1. DEFINISI PAJAK BERGANDA INTERNASIONAL Menurut Knechtle dalam bukunya yang berjudul Basic Problems in International Fiscal Law (1979) memberikan pembahasan secara rinci : a. Secara luas, pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiscal. b. Secara sempit, pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama. Yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah. 2. MACAM MACAM PEMAJAKAN BERGANDA

A. Yuridis PBI Yuridis terjadi apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu negara. Negara domisili mengenakan pajak terhadap subjek pajaknya dari penghasilan yang diperoleh nya dari negara sumber Penghasilan Negara domisili Negara sumber Negara sumber mengenakan pajak terhadap penghasilan dari subjek pajak yang bersumber di negara-nya Penghasilan B. Ekonomis PBI ekonomis terjadi apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara). PBI ekonomis terjadi jika pemajakan atas objek yang sama terhadap legal subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan para wajib pajak yang terdapat hubungan (economic identity of subject). Subjek pajak orang pribadi Subjek pajak badan Laba kena pajak = 7.5 m -/- pajak final 10% = 0.75 m Laba setelah pajak = 6.75 m Laba kena pajak = 10 M -/- pajak final 10% = 2.5 M Laba setelah pajak = 7.5 M Atas laba usaha yang sama sebesar 10 M dikenakan pajak dua kali di subjek pajak yang berbeda yaitu sebesar 2.5 M di level subjek pajak badan dan 750 juta di level subjek pajak orang pribadi TUJUAN PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Tujuan utama suatu perjanjian penghindaran pajak berganda adalah untuk meniadakan atau mengurangi pemajakan berganda (avoid double taxtation). Selain itu juga terdapat tujuan lain, yaitu untuk mencegah penghindaran pajak dan penyeludupan pajak (avoid double nontaxation). Sehingga melalui kedua tujuan tersebut terdapat maksud untuk mencapai tujuantujuan seperti : 1. Menjaga persaingan yang adil antara subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri dengan cara mengenakan beban pajak yang sama terhadap penghasilan yang sama berdasarkan tingkat kemampuan membayar pajak (ability to pay) yang sama tanpa memperhatikan di negara mana sumber penghasilan tersebut berasal; 2. Meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal; 3. Membagi hak pemajakan antara negara domisili dan negara sumber secara adil atas penghasilan yang berasal dari transaksi lintas batas negara; 4. Menjamin adanya netralitas dalam perpajakan internasional, baik dalam pemajakan atas aliran modal yang masuk atau keluar ke suatu Negara Capital export neutrality adalah netralitas dalam pemajakan atas aliran modal yang keluar. Maksud dari capital export neutrality adalah agar suatu negara mengenakan beban pajak yang sama terhadap subjek pajak dalam negeri yang melakukan investasi di negaranya sendiri (domestic investment) maupun ketika subjek pajak dalam negeri tersebut melakukan investasi di negara lain (foreign investment). Penghasilan Subjek Pajak Negara B Negara Negara A Negara A Subjek Pajak Negara A mengenakan beban pajak yang sama atas penghasilan Subjek Pajak Negara A, baik yang berasal dari Negara A maupun yang Penghasilan Penghasilan Capital Negara berasal import dari A neutrality mengenakan Negara B dalam adalah beban netralitas dalam pemajakan atas aliran modal yang masuk ke dalam suatu pajak periode negara. yang yang sama Maksud sama antara dari capital import neutrality Subjek adalah Pajak agar suatu negara mengenakan beban penghasilan pajak yang diperoleh sama atas oleh penghasilan yang besumber di negara-nya tanpa membedakan negara Subjek yang Pajak menerima Negara A dan penghasilan tersebut. penghasilan yang diperoleh oleh Subjek Pajak Negara B dalam suatu periode yang sama

SEBAB-SEBAB TIMBULNYA PAJAK BERGANDA Timbulnya pajak berganda bisa saja disebabkan oleh konflik kepentingan antara negara berupa perbedaan sistem atau prinsip pemajakan antara negara tersebut. 1. Konflik antara negara dengan negara lainnya untuk menjadi negara sumber dari suatu penghasilan tertentu (source-source conflict) Terjadi ketika suatu negara merasa berhak menjadi negara sumber atas suatu jenis penghasilan tertentu dan kemudian mengklaim negaranya menjadi negara sumber. Contoh :

Promotor dari Negara A bermaksud untuk mengadakan pertunjukan musik di Negara B dengan mengundang artis terkenal dari Negara C. Atas pertunjukan tersebut, promotor di Negara A membayar sejumlah honor kepada artis tersebut. Dalam kasus ini, otoritas pajak Negara B, sebagai negara tempat si artis tersebut mengadakan pertunjukan (place of performance) tentu saja dapat mengklaim bahwa Negara B mempunyai hak pemajakan atas honor yang diperoleh oleh artis tersebut. Akan tetapi, otoritas pajak Negara A dapat saja, berdasarkan kententuan domestik, mengklaim bahwa penghasilan tersebut dikenakan pajak di Negara A karena pembebanan atas biaya honor artis tersebut dibebankan sebagai biaya di Negara A (borne rule principle). 2. Konflik antara negara domisili dan negara sumber untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan tertentu (residence-source conflict) Terjadi karena negara di mana penghasilan tersebut bersumber (negara sumber) dan negara tempat subjek pajak berdomisili (negara domisili) sama-sama mengenakan pajak atas subjek pajak tersebut. Contoh : Tuan Aji merupakan subjek pajak dalam negeri (resident) Indonesia yang memiliki kepemilikian 50% saham Singapore Ltd. Singapore Ltd membayar dividen kepada Tuan Aji, berdasarkan ketentuan Pasal 10 dari perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) Indonesia dan Singapura, pihak otoritas pajak Singapura berhak untuk mengenakan pajak maksimum 10% dari dividen yang dibayarkan karena penghasilan dividen tersebut bersumber di Singapura. Kemudian otoritas pajak Indonesia yang menganut konsep world wide income juga akan mengenakan pajak atas penghasilan dividen yang diterima dari Singapore Ltd tersebut. 3. Konfilik antara suatu negara dan negara lainnya untuk menjadi negara domisili (residence state) bagi subjek pajak tertentu (residence-residence conflict) Terjadi ketika dua atau lebih negara saling melakukan klaim bahwa subjek pajak yang sama merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mereka. Contoh : Mr. Romi adalah warganegara Malaysia dan merupakan subjek pajak dalam negeri Malaysia karena alasan Mr. Romi mempunyai tempat tinggal tetap (permanent home) di Kuala Lumpur. Di bulan September 2009, Mr. Romi mendapatkan penugasan untuk bekerja di Indonesia selama 2 tahun. Penugasan selama 2 tahun di Indonesia tersebut dituangkan di dalam kontrak kerja. Atas dasar kontrak tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Mr. Romi mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, sehingga berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU PPh Indonesia, Mr. Romi merupakan subjek pajak dalam negeri (resident) Indonesia. Berdasarkan kondisi tersebut, dalam tahun 2009, Mr. Romi mempunyai subjek pajak dalam negeri ganda yaitu sebagai subjek pajak dalam negeri Malaysia dan Indonesia. 4. Konflik antara negara domisili dan negara sumber atas karakterisasi suatu jenis penghasilan tertentu (characterization of income conflict) Terjadi jika salah satu negara yang mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda tidak setuju terhadap interpretasi yang diberikan oleh negara partner-nya atas suatu definisi tertentu yang tercantum dalam perjanjian penghindaran pajak berganda. Contoh : Mr. David merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara domisili (Negara D). Mr. David tersebut melakukan konser untuk direkam di Negara S (negara sumber). Mr.

David menerima penghasilan dari konser tersebut yang dihitung dari suatu persentase tertentu dari hasil penjualan rekaman. Negara S mengklasifikasikan penghasilan yang diperoleh oleh Mr. David sebagai penghasilan dari imbalan dari kegiatan personal services. Sedangkan Negara D berpendapat bahwa penghasilan yang diterimannya merupakan penghasilan dari royalti. Apabila penghasilan tersebut didefinisikan sebagai royalti maka berdasarkan Pasal 12 ayat (1) dari perjanjian penghindaran pajak berganda yang mereka sepakati (misalnya, menggunakan OECD Model) hanya negara domisili (Negara D) yang mempunyai hak untuk memajaki (shall be taxable only). Akan tetapi, apabila penghasilan tersebut diklasifikasikan sebagai imbalan dari kegiatan personal services maka berdasarkan perjanjian penghindaran pajak yang mereka tandatangani, hak pemajakan juga diberikan kepada Negara S. Oleh karena Negara D berpendapat bahwa hanya Negara D yang mempunyai hak pemajakan, maka ketika Negara S mengenakan pajak atas penghasilan yang diterima oleh Mr. David, Negara D tidak mau memberikan keringanan pajak kepada Mr. David atas pajak yang telah dipotong di Negara S. Dengan demikian, atas penghasilan yang diterima oleh Mr. David dikenakan pajak dua kali tanpa adanya keringanan pajak yang diberikan. METODE PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA Seperti telah dijelaskan di muka, pemajakan berganda secara yuridis (juridical double taxation) terjadi apabila atas penghasilan yang sama dikenakan pajak 2 (dua) kali oleh 2 (dua) Negara yang berbeda dalam periode yang sama. Contoh 1.5 berikut ini menjelaskan pemajakan berganda secara yuridis. Contoh 1.5 Misalkan Subjek Pajak A adalah subjek pajak dalam negeri dari Negara D (Negara domisili). Dalam tahun 2008, selain memperoleh penghasilan di Negara D sebesar 20 juta, Subjek Pajak A juga memperoleh penghasilan dari Negara S (Negara sumber) senilai 10 juta. Tarif pajak penghasilan untuk masing-masing Negara adalah sebagai berikut: 1. Negara D mengenakan tariff flat sebesar 30%; 2. Negara S mengenakan tariff sebesar berikut ini: a. Asumsi I, mengenakan tarif flat yang lebih rendah dari Negara D yaitu sebesar 25%; b. Asumsi II, mengenakan tarif flat yang lebih tinggi dari Negara D yaitu sebesar 35%. Negara D sebagai Negara domisili menerapkan sistem world wide income atas subjek pajak dalam negeri-nya. Jadi, Subjek Pajak A akan dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) maupun atas penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S).

Berdasarkan kasus Contoh 1.5 di atas maka jika di masing-masing Negara tidak mempunyai ketentuan tentang metode penghindaran pajak berganda maka beban pajak atas penghasilan yang diperoleh oleh Subjek Pajak A adalah sebagai berikut: No Tabel 1.1 Total Beban Pajak Subjek Pajak A Jika Tidak Terdapat Metode Penghindaran Pajak Berganda Asumsi I Uraian Asumsi II 1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) 2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) 3 Jumlah seluruh penghasilan 10.000.000 10.000.000 20.000.000 20.000.000 30.000.000 30.000.000 (word wide income) 4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S): a. Asumsi I (25% x 10.000.000) 2.500.000 b. Asumsi II (35% x 10.000.000) 3.500.000 5 Pajak yang dikenakan oleh Negara D (world wide income) (30% x 10.000.000) dan 3.000.000 3.000.000 (30% x 20.000.000) 6.000.000 6.000.000 6 Total beban pajak 11.500.000 12.500.000 Tampak dalam perhitungan di atas, terhadap penghasilan yang sama yang diperoleh di Negara S sebesar 10.000.000 dikenakan pajak dua kali oleh dua Negara yang berbeda yaitu: 1. Asumsi I: Negara S sebesar 25% x 10.000.000 = 2.500.000 dan sekali lagi di Negara D sebesar 30% x 10.000.000 = 3.000.000. Dengan demikian, total jumlah beban pajak atas penghasilan yang sama ( 10.000.000), yaitu sebesar 2.500.000 + 3.000.000 = 5.500.000 atau sebesar 55%.

2. Asumsi II: Negara S sebesar 35% x 10.000.000 = 3.500.000 dan sekali lagi di Negara D sebesar 30% x 10.000.000 = 3.000.000. Dengan demikian, total jumlah beban pajak atas penghasilan yang sama ( 10.000.000), yaitu sebesar 3.500.000 + 3.000.000 = 6.500.000 atau sebesar 65%. Tentunya beban pajak sebesar 55% (Asumsi I) atau sebesar 65% (Asumsi II) tersebut sangat memberatkan Subjek Pajak A. Untuk itu, agar tidak terdapat pajak berganda maka dibuatlah metode keringanan pajak sebagai berikut: 1. Metode pembebasan (exemption method): a. Metode pembebasan penuh (full credit method). b. Metode pembebasan dengan progresi (exemption with progression). 2. Metode kredit pajak (credit method): a. Metode kredit pajak penuh (full credit method) b. Metode kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit method). 3. Metode pengurangan (deduction method). 5.1. Metode Pembebasan (Exemption Method) Pemajakan berganda dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri sebesar 10.000.000 dapat dihindari melalui metode pembebasan (exemption method) dengan cara tidak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) tersebut di Negara D. Tabel 1.2 berikut ini memperlihatkan perhitungan penghindaran pajak berganda melalui metode pembebasan pajak penuh: Tabel 1.2 No Total Beban Pajak Subjek Pajak A Berdasarkan Metode Pembebasan Pajak Penuh Uraian Asumsi I Asumsi II 1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) 2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) 3 Jumlah seluruh penghasilan 10.000.000 10.000.000 20.000.000 20.000.000 30.000.000 30.000.000 (word wide income) 4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S): a. Asumsi I (25% x 10.000.000) 2.500.000

b. Asumsi II (35% x 10.000.000) 3.500.000 5 Pajak yang dikenakan oleh Negara D hanya atas yang bersumber di Negara D saja yaitu: (30% x 20.000.000) 6.000.000 6.000.000 6 Total beban pajak subjek pajak A (dalam nominal) 8.500.000 9.500.000 7 Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase) a. Asumsi I: ( 8.500.000/30.000.000) x 100% 28,3% b. Asumsi II: ( 9.500.000/30.000.000) x 100% 31,7% 5.2. Metode Kredit Pajak (Credit Method) Pemajakan berganda dari penghasilan yang bersumber dari luar negeri sebesar 10.000.000 tersebut, selain dapat dihindari dengan metode pembebasan pajak penuh (full exemption method) seperti diuraikan di atas juga dapat dihindari dengan cara metode kredit pajak. Metode kredit pajak sendiri dibagi menjadi dua yaitu metode kredit pajak penuh (full credit method) dan metode kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit method). Apabila kasus Contoh 1.5 di atas dihitung dengan menggunkan metode kredit pajak penuh (full credit method) maka perhitungannya tampak dalam Tabel 1.3 berikut ini: No Tabel 1.3 Total Beban Pajak Subjek Pajak A Berdasarkan Metode Kredit Pajak Penuh Uraian Asumsi I Asumsi II 1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) 10.000.000 10.000.000

2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) 3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income) 20.000.000 20.000.000 30.000.000 30.000.000 4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S): a. Asumsi I (25% x 10.000.000) 2.500.000 b. Asumsi II (35% x 10.000.000) 3.500.000 5 Pajak yang dikenakan oleh Negara D (world wide income) (30% x 10.000.000) 3.000.000 3.000.000 (30% x 20.000.000) 6.000.000 6.000.000 6 Total beban pajak subjek pajak A sebelum kredit pajak 11.500.000 12.500.000 7 Kredit Pajak: a. Asumsi I (2.500.000) (pajak yang telah dipungut di Negara S) b. Asumsi II (3.500.000) (pajak yang telah dipungut di Negara S) 8 Total beban pajak subjek pajak A (dalam nominal) 9.000.000 9.000.000 9 Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase) a. Asumsi I: ( 9.000.000/30.000.000) x 100% 30,0% b. Asumsi II: ( 9.000.000/30.000.000) x 100% 30,0% Dari perhitungan metode kredit pajak penuh di atas, tampak bahwa beban pajak secara keseluruhan baik dengan menggunakan Asumsi I atau Asumsi II adalah sama yaitu sebesar 9.000.000. Apabila kita bandingkan dengan metode pembebasan pajak penuh (full exemption method) maka dari sisi wajib pajak akan memberikan dampak total beban pajak sebagai berikut:

No Tabel 1.4 Perbandingan Beban Pajak antara Metode Pembebasan Pajak Penuh Dan Metode Kredit Pajak Penuh Asumsi I Uraian Asumsi II 1 Metode pembebasan pajak penuh 8.500.000 9.500.000 2 Metode kredit pajak penuh 9.000.000 9.000.000 Dari Tabel 1.4 di atas, dari sisi subjek pajak dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Asumsi I: Lebih menguntungkan menggunakan metode pembebasan pajak penuh karena total beban pajak lebih kecil daripada beban pajak dengan menggunakan metode kredit pajak penuh. 2. Asumsi II: Lebih menguntungkan menggunakan metode kredit pajak penuh karena total beban pajak lebih kecil daripada beban pajak dengan menggunkan metode pembebasan pajak penuh. Dalam kasus Asumsi II, permasalahan penggunaan metode kredit pajak penuh timbul jika pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) lebih besar daripada pajak yang dikenakan di dalam negeri (Negara D). Untuk kasus Contoh 1.3 diatas (Asumsi II), Negara D memberikan kredit pajak penuh atas pajak yang telah dipungut oleh Negara S sebesar 3.500.000. Padahal atas penghasilan yang bersumber di Negara S tersebut, Negara D hanya mengenakan pajak sebesar 30% dari 10.000.000 = 3.000.000. Tentunya pemberian kredit pajak yang lebih besar daripada pajak yang didapatka oleh Negara D tidak mungkin dilakukan oleh Negara D. Atas dasar pertimbangan di atas, metode kredit pajak yang lazim digunakan adalah metode kredit pajak dengan pembatasan (ordinary credit method). Dalam metode kredit ini, kredit pajak yang dapat diberikan oleh Negara D adalah sebesar maksimal pajak yang dikenakan oleh Negara D yang dihitung dengan rumus sebagai berikut ini:

(A/B) x C dimana: A = Penghasilan yang bersumber di luar negeri; B = Jumlah total penghasilan (penghasilan yang bersumber di dalam negeri dan luar negeri); C = Pajak yang dikenakan Negara domisili atas jumlah total penghasilan (world wide incime). Berdasarkan perhitungan dengan metode kredit pajak dengan pembebasan maka kredit pajak yang dapat diperhitungkan di Negara D adalah sebesar: ( 10.000.000/ 30.000.000) x 9.000.000 = 3.000.000 Adapun total beban pajak berdasarkan metode kredit pajak dengan pembatasan tampak dalam Tabel 1.5 berikut ini: Tabel 1.5 Total Beban Pajak Subjek Pajak A Berdasarkan Metode Kredit Pajak dengan Pembatasan Asumsi I Asumsi II No Uraian 1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) 2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) 3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income) 10.000.000 10.000.000 20.000.000 20.000.000 30.000.000 30.000.000 4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S): a. Asumsi I (25% x 10.000.000) 2.500.000 b. Asumsi II (35% x 10.000.000) 3.500.000 5 Pajak yang dikenakan oleh Negara D (world wide income) (30% x 10.000.000) 3.000.000 3.000.000 (30% x 20.000.000) 6.000.000 6.000.000

6 Total beban pajak subjek pajak A sebelum kredit pajak 11.500.000 12.500.000 7 Kredit Pajak: a. Asumsi I (2.500.000) (pajak yang telah dipungut di Negara S) b. Asumsi II (3.000.000) (dibatasi maksimal sebesar pajak yang terutang berdasarkan tarif Negara D) 8 Total beban pajak subjek pajak A (dalam nominal) 9.000.000 9.500.000 9 Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase) a. Asumsi I: ( 9.000.000/30.000.000) x 100% 30,0% b. Asumsi II: ( 9.500.000/30.000.000) x 100% 31,67% Apabila kita bandingkan total beban pajak antara metode pembebasan pajak penuh dan metode kredit dengan pembatasan akan tampak dalam Tabel 1.6 di bawah ini: No Tabel 1.6 Perbandingan Beban Pajak Antara Metode Pembebasan Pajak Penuh dan Metode Kredit Pajak dengan Pembatasan Uraian Asumsi I Asumsi II 1 Metode pembebasan pajak penuh 8.500.000 9.500.000 2 Metode kredit pajak penuh dengan pembatasan 9.000.000 9.500.000 Dari perhitungan di atas, tampak bahwa dalam kasus Asumsi II, antara metode pembebasan pajak penuh dan metode kredit pajak dengan pembatasan memberikan beban pajak yang sama bagi Subjek Pajak A.

Permasalahan lain yang perlu menjadi perhatian kita adalah jika sumber penghasilan di luar tidak berasal dari satu Negara saja tetapi berasal lebih dari satu Negara. Apabila sumber penghasilan berasal lebih dari satu Negara maka perhitungan kredit pajak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Kredit pajak dihitung berdasarkan masing-masing Negara (per country limition) Misalkan terdapat dua Negara sumber penghasilan yaitu Negara S1 dan S2, maka penghitungan kredit pajaknya adalah sebagai berikut: a. Untuk Negara S1: (A/B) x C b. Untuk Negara S2: (A/B) x C dimana: A = Penghasilan yang bersumber di Negara S1 atau Negara S2; B = Jumlah total penghasilan (penghasilan yang bersumber di dalam negeri dan luar negeri (Negara S1 dan S2); C = Pajak yang dikenakan Negara domisili atas jumlah total penghasilan (world wide income). 2. Kredit pajak dihitung berdasarkan gabungan dari seluruh Negara (overall limition) Misalkan terdapat dua Negara sumber penghasilan yaitu Negara S1 dan S2, maka penghitungan kredit pajaknya adalah sebagai berikut: Untuk Negara S1 dan Negara S2: (A/B) x C dimana: A = Penghasilan yang bersumber di Negara S1 dan S2; B C = Jumlah total penghasilan (penghasilan yang bersumber dalam negeri dam luar negeri (Negara S1 dan S2); = Pajak yang dikenakan negara domisili atas jumlah total penghasilan (world wide income). 5.3. Metode Pengurangan (Deduction Method) Apabila dalam kasus Contoh 1.1 di atas dipergunakan metode keringanan pajak dalam bentuk metode pengurangan (deduction method) maka hasilanya adalah sebagai berikut: Tabel 1.7 Total Beban Pajak Subjek Pajak A Berdasarkan Metode Pengurangan

No Uraian Asumsi I Asumsi II 1 Penghasilan yang bersumber di luar negeri (Negara S) 2 Penghasilan yang bersumber di dalam negeri (Negara D) 3 Jumlah seluruh penghasilan (word wide income) 10.000.000 10.000.000 20.000.000 20.000.000 30.000.000 30.000.000 4 Pajak yang dikenakan di luar negeri (Negara S): a. Asumsi I (25% x 10.000.000) (2.500.000) b. Asumsi II (35% x 10.000.000) (3.500.000) 5 Penghasilan kena pajak setelah pengurangan (deduction) 6 Pajak yang dikenakan subjek oleh Negara D (world wide income) (30% x 27.500.000) 8.250.000 27.500.000 26.500.000 (30% x 26.500.000) 7.950.000 7 Total beban pajak subjek pajak A (dalam nominal) 10.750.000 11.450.000 8 Total beban pajak subjek pajak A (dalam persentase) a. Asumsi I: ( 10.750.000/30.000.000) x 100% 35,83% b. Asumsi II: ( 11.450.000/30.000.000) x 100% 38,17% Dalam metode pengurangan ini, jumlah pajak yang dikenakan di Negara sumber peghasilan (Negara S) diperlukan sebagai biaya dalam rangka menghitung pajak penghasilan terutang di Negara domisili (Negara D). Dari berbagai metode penghindaran pajak yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa, dari sudut pandang subjek pajak, yang memberikan beban pajak tertinggi adalah metode pengurangan sebagaimana disajikan dalam Tabel 1.8 berikut ini:

Tabel 1.8 Perbandingan Beban Pajak No Uraian Asumsi I Asumsi II 1 Metode pembebasan pajak penuh 8.500.000 9.500.000 2 Metode kredit pajak penuh 9.000.000 9.000.000 3 Metode kredit pajak penuh dengan pembatasan 9.000.000 9.500.000 4 Metode pengurangan 10.750.000 11.450.000