Tulisan ini adalah catatan yang dapat dibagikan dari hasil pertemuan tersebut.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan dan target untuk mendukung pengembangan dan penyebaran teknologi

BAB I PENDAHULUAN. perhatian utama saat ini adalah terus meningkatnya konsumsi energi di Indonesia.

Ringkasan Eksekutif INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2009

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. maju dengan pesat. Disisi lain, ketidak tersediaan akan energi listrik

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. dengan kebutuhan energi yang semakin meningkat. Pemenuhan kebutuhan energi

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Persepsi Masyarakat Mengenai Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Ciesek

BAB 1 PENDAHULUAN. Studi kelayakan..., Arde NugrohoKristianto, FE UI, Universitas Indonesia

PROSPEK EKONOMI WOOD PELLET (Untuk Bisnis Energi Terbarukan)

BAB 1 PENDAHULUAN. Besarnya konsumsi listrik di Indonesia semakin lama semakin meningkat.

BAB V KONSEP PERANCANGAN

Otonomi Energi. Tantangan Indonesia

ReOn. [residential on-grid photovoltaic system] aplikasi: rumah, perumahan, gedung komersial, fasilitas umum

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan masyarakat sekarang. Baik di sektor rumah

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin meningkatnya penggunaan energi sejalan dengan

2 Di samping itu, terdapat pula sejumlah permasalahan yang dihadapi sektor Energi antara lain : 1. penggunaan Energi belum efisien; 2. subsidi Energi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Hasil analisa deskriptif kualitatif ketujuh aspek yang diteliti terhadap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perkiraan kapasitas pembangkit tenaga listrik.(dikutip dalam jurnal Kelistrikan. Indonesia pada Era Millinium oleh Muchlis, 2008:1)

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan suatu energi, khususnya energi listrik di Indonesia semakin

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL DIREKTORAT JENDERAL ENERGI BARU TERBARUKAN DAN KONSERVASI ENERGI

SENSITIVITAS ANALISIS POTENSI PRODUKSI PEMBANGKIT LISTRIK RENEWABLE UNTUK PENYEDIAAN LISTRIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. yang akan di ubah menjadi energi listrik, dengan menggunakan sel surya. Sel

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ir. Eddon M. Moenif, MT Inspektur Ketenagalistrikan Distamben - Riau

renewable energy and technology solutions

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Konsep Bisnis dan Asumsi asumsi Dasar dalam Proyek Pengelolaan Sampah Kota dengan Skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (PPP) Bogor, 26 May 2016

KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN ENERGI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. menjadi dua, yaitu energi terbarukan (renewable energy) dan energi tidak

PROPOSAL. PEMUSNAHAN SAMPAH - PEMBANGKIT LISTRIK KAPASITAS 20 mw. Waste to Energy Commercial Aplications

ANALISIS POTENSI ENERGI ANGIN DALAM MENDUKUNG KELISTRIKAN KAWASAN PERBATASAN STUDI KASUS : DESA TEMAJUK KECAMATAN PALOH KABUPATEN SAMBAS

DI INDONESIA RM. SOEDJONO RESPATI MASYARAKAT ENERGI TERBARUKAN INDONESIA.(METI) JULI 2008

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi energi itu sendiri yang senantiasa meningkat. Sementara tingginya kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. panas yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar menjadi energi mekanik, dan

ANALISIS PEMBANGKIT LISTRIK HIBRIDA (PLH), DIESEL DAN ENERGI TERBARUKAN DI PULAU MANDANGIN, SAMPANG, MADURA MENGGUNAKAN SOFTWARE HOMER

10 Negara yang Punya Reaktor Nuklir Terbesar Di Dunia Minggu, Oktober 21, 2012 Azmi Cole Jr.

BAB 1 Pendahuluan Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan dan Implementasi Green Data Center Study kasus Data Center PT. ISN.

I. PENDAHULUAN. Pengembangan energi ini di beberapa negara sudah dilakukan sejak lama.

PERAN PEMERINTAH DAERAH DALAM PEMBANGUNAN ENERGI

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III METODE STUDI SEKURITI SISTEM KETERSEDIAAN DAYA DKI JAKARTA & TANGERANG

BAB I 1 PENDAHULUAN. listrik menjadi hal utama yang perlu diperhatikan. Sumber energi yang digunakan untuk pembangkitan listrik perlu diperhatikan

BAB IV SIMULASI 4.1 Simulasi dengan Homer Software Pembangkit Listrik Solar Panel

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Perkiraan penyedian energi listrik di Indonesia

Dengan memasukkan nilai dari setiap alternatif diperoleh hasil grafik sebagai berikut :

1 BAB I PENDAHULUAN. Selama ini sumber energi utama yang dikonversi menjadi energi listrik

DEWAN ENERGI NASIONAL RANCANGAN RENCANA UMUM ENERGI NASIONAL

KEBIJAKAN PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK DAN PEMANFAATAN ENERGI

V. PENGEMBANGAN ENERGI INDONESIA DAN PELUANG

BAB I PENDAHULUAN. Dalam memenuhi kebutuhan listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di

BAB I PENDAHULUAN. bahan bakar fosil sebagai bahan bakar pembangkitannya. meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan energi yang terus-menerus meningkat

POTENSI ENERGI ANGIN DAN KELAYAKAN HARGA LISTRIK YANG DIHASILKAN. Verina J. Wargadalam

1 BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan sehari-hari, listrik telah menjadi salah satu kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. listrik yang pada gilirannnya akan berdampak pada terhambatnya roda

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 7,3 6,5 11,0 9,4 10,2 9,6 13,3 12,0 9,6 9,0 12,9 10,4 85,3 80,4 78,1 83,6 74,4 75,9 65,5 76,6 71,8 74,0 61,2 73,5

BAB I PENDAHULUAN. prinsip-prinsip efektifitas dan efisiensi. Kebutuhan tenaga listrik di suatu wilayah

PEMENUHAN SUMBER TENAGA LISTRIK DI INDONESIA

PENGEMBANGAN TRAINER PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA SURYA SISTEM ON GRID DENGAN PLN UNTUK MENUNJANG MATAKULIAH PRAKTIKUM PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK

Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

GUNTINGAN BERITA Nomor : HHK 2.1/HM 01/05/2014

STRATEGI KEN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN ENERGI NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

ANALISIS PELUANG PENGHEMATAN EKONOMI SISTEM FOTOVOLTAIK TERHUBUNG JARINGAN LISTRIK PADA KAWASAN PERUMAHAN DI KOTA PANGKAL PINANG

PERENCANAAN URUSAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

KEBIJAKAN ENERGY MIX DAN POTENSI ENERGI TERBARUKAN DI INDONESIA

BAB I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN

ton gas karbondioksida per tahun karena pembangkit tidak menggunakan bahan bakar fosil (EPA, dalam makalah kolokium 2011).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. kv, yang membentang sepanjang Pulau Jawa-Bali. Sistem ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN. pihak-pihak terkait seperti PT Austindo Aufwind New Energy, PT PLN (Persero)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

OLEH :: INDRA PERMATA KUSUMA

Studi Potensi Pemanfaatan Biogas Sebagai Pembangkit Energi Listrik di Dusun Kaliurang Timur, Kelurahan Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta

1. BAB I PENDAHULUAN

MENGATASI TINGKAT KEMISKINAN DESA DENGAN AIR

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan emisi dari bahan bakar fosil memberikan tekanan kepada setiap

Prioritas dan Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan

BAB I PENDAHULUAN. listrik yang semakin meningkat sehingga diperlukan energy alternatif untuk energi

Disampaikan pada Seminar Nasional Optimalisasi Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan Menuju Ketahanan Energi yang Berkelanjutan

BAB 1 PENDAHULUAN. penting pada kehidupan manusia saat ini. Hampir semua derivasi atau hasil

Special Submission: PENGHEMATAN ENERGI MELALUI PEMANFAATAN GAS BUANG DENGAN TEKNOLOGI WASTE HEAT RECOVERY POWER GENERATION (WHRPG)

Rooftop Solar PV System

RINGKASAN EKSEKUTIF INDONESIA ENERGY OUTLOOK 2008

BAB I PENDAHULUAN. Pentingnya peran energi dalam kebutuhan sehari-hari mulai dari zaman dahulu

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan tingkat kehidupan dan perkembangan teknologi, kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. manajemen baik dari sisi demand maupun sisi supply energi. Pada kondisi saat ini

Pembangkit Listrik Tenaga Air. BY : Sulistiyono

Peluang investasi dan potensi pengembangan Energi Baru Terbarukan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kita tidak dapat dipisahkan dari

PERENCANAAN SISTEM FOTOVOLTAIK BAGI PELANGGAN RUMAH TANGGA DI KOTA PANGKALPINANG

BAB I. bergantung pada energi listrik. Sebagaimana telah diketahui untuk memperoleh energi listrik

Transkripsi:

Transisi energi Indonesia untuk pencapaian target energi baru dan terbarukan dalam bauran energi primer tahun 2025: belajar dari program Energiewende di Jerman Oleh: Erina Mursanti. Ditulis September 2015. Pada bulan September 2015, IESR dan METI mengadakan sebuah diskusi publik yang mendatangkan seorang narasumber tunggal dari Jerman. Narasumber tersebut diharapkan dapat membagikan cerita mengenai perjalanan program Energiewende di Jerman. Program ini bertujuan untuk melakukan transisi energi dari energi yang berbasis bahan bakar fosil menjadi energi yang rendah karbon, ramah lingkungan, dapat diandalkan, dan persediaan energi yang terjangkau. Diskusi ini diharapkan dapat memberikan bayangan bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan Indonesia apabila Indonesia ingin beralih ke sistem energi yang rendah karbon. Hal ini penting mengingat Indonesia memiliki target untuk meningkatkan pemanfaatan energi baru dan terbarukan hingga 23% dalam bauran energi pada tahun 2025. Tulisan ini adalah catatan yang dapat dibagikan dari hasil pertemuan tersebut. Dimulainya program energiewende di Jerman Semenjak kejatuhan PLTN Fukushima di Jepang pada 2011, terdapat tren dari negara-negara Eropa yang menunjukkan pengurangan bahan bakar fosil dan peningkatan penggunaan energi baru dan terbarukan. Pada bulan Maret 2015, Perancis mengeluarkan undang-undang energi yang mengurangi penggunaan PLTN dari 80% pada saat ini menjadi tinggal 50% pada tahun 2030, dan sisa 50%-nya berasal dari energi baru dan terbarukan. Begitu pula dengan Jerman, Kanselor Angela Merkel bertekad untuk melakukan transisi energi di Jerman dan melakukan penghentian PLTN secara bertahap hingga sepenuhnya dihilangkan pada 2022. Hal ini merupakan satu target dari empat target yang ada di dalam konsep energiewende yang dalam bahasa inggris memiliki arti sebagai energy transition. Energiewende diresmikan oleh pemerintah Jerman pada 2011, namun ide dari konsep energiewende itu sendiri sebenarnya berakar dari gerakan anti nuklir pada era 1970-an. Tiga target yang lain adalah: (1) pengurangan emisi greenhouse gas dengan baseline tahun 1990: 40% pada 2020, 55% pada 2030, 70% pada 2040, 80-95% pada 2050; (2) pengembangan energi terbarukan dan peningkatan peranannya dalam konsumsi listrik: 40-45% pada 2025, 55-60% pada 2035, lebih dari 80% pada 2050;

(3) peningkatan efisiensi sehingga ada pengurangan konsumsi listrik dengan baseline tahun 2008: 10% pada 2020, 25% pada 2050. Sebagai konsekuensi dari konsep energiewende ini adalah Jerman harus memenuhi kebutuhan energi listrik dari energi baru dan terbarukan. Hal ini merupakan suatu momentum yang sangat penting mengingat Jerman hingga Maret 2011 memperoleh seperempat listriknya dari energi nuklir. Lalu bagaimana Jerman dapat menjalankan konsep energiewende ini? Menurut Lars Waldmann dari Agora Energiewende 1, "hal pertama yang harus dilakukan dalam melakukan transisi energi di suatu negara yaitu pertemuan dalam satu ruangan yang dihadiri oleh sekelompok orang dari perwakilan bisnis, lingkungan, pemerintah (bisa dari beberapa kementerian) untuk melakukan satu diskusi sehingga pada akhir pertemuan memiliki pengetahuan dan perspektif yang sama mengenai bagaimana jalan keluar untuk dapat membuat hal ini lebih memungkinkan terjadi". Tentulah hal ini tidak mudah untuk dilakukan karena tentunya banyak pihak yang masih menginginkan proyek-proyek pembangunan yang kaya CO2 untuk tetap bertahan. Bahkan, dalam pengalaman Jerman, butuh waktu 30 tahun untuk dapat melakukan capacity building, memperkenalkan teknologi, meyakinkan industri untuk menggunakan mesin baru dan dapat berproduksi seperti biasa. Tapi proses yang panjang itu akan membuahkan hasil ketika ada komitmen di dalamnya yang didukung dengan peraturan atau kebijakan pemerintah. Pelaksanaan program energiewende di Jerman Sebagai komitmen dalam mengurangi emisi CO2, Jerman melakukan efisiensi energi sehingga para insinyur di Jerman berlomba-lomba merancang dan memasarkan teknologi yang dapat meningkatkan tingkat efisiensi energi. Konsep efisiensi energi ini sebenarnya berangkat dari adanya pengenaan pajak pada konsumsi energi yang diperkenalkan pada 1986 yang dikenal dengan green fee. Pajak ini dikenakan dari pembangkit listrik, bahan bakar dan listrik yang dikonsumsi oleh masyarakat; yang kemudian hasil pajak ini dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan yang mendorong energi baru dan terbarukan. Dapat dikatakan bahwa dalam 25 tahun terakhir, perkembangan industri energi baru dan terbarukan di Jerman berkembang sangat pesat, dimana tingkat efisiensi dari windmill meningkat 6-7 kali dan learning curve ratio 2 dari solar panel adalah 20% sehingga biaya produksi solar panel dapat turun jauh ketika jumlah produksi meningkat. Oleh karena itu ketika terjadi banyak permintaan atas solar panel di seluruh dunia yang kemudian jumlah produksinya ditingkatkan dua kali, justru biaya produksinya turun 20-22%. Sebagai konsekuensi dari adanya penurunan biaya produksi dari solar panel, maka pada saat ini harga listrik dari solar panel di Jerman bisa turun hingga 8-9 cent euro/kwh. Dalam beberapa tahun ke depan, 1 Sebuah lembaga think-tank di Jerman yang fokus pada perumusan kebijakan energi menggunakan pendekatan secara scientific dan politik. 2 Learning curve ratio adalah persentase penurunan biaya produksi ketika jumlah produksi bertambah. Sebagai contoh, ketika produksi microchip di industri komputer meningkat dua kali, biaya produksinya justru menurun. Dalam contoh ini, dapat dikatakan bahwa micro chip memiliki learning curve ratio sebesar 20%.

diperkirakan, harga listrik dari solar panel akan terus turun hingga tinggal 2 euro cent/kwh yang pada akhirnya teknologi ini akan menjadi teknologi yang menghasilkan listrik paling murah di seluruh dunia. Perkembangan teknologi solar panel ini pun diikuti oleh perkembangan teknologi windmill. Saat ini, harga listrik dari windmill (di daratan) yaitu 6-9 cent euro/kwh. Dengan begitu, windmill (di daratan) dan solar panel saat ini sudah sangat cost competitive jika dibandingkan dengan hard coal, gas, hard coal CCS. 3 Sebagai kesimpulan, masalah teknologi sumber pembangkit listrik dapat diatasi dengan teknologi pembangkit listrik solar panel mengingat biaya produksinya sangat kecil dan matahari ada dimanamana. Di samping itu, inti dari sistem listrik yang harus diperhatikan adalah jaringan dan juga storage. Jaringan menjadi penting karena mengingat tempat produksi listrik tidak selalu sama dengan tempat konsumsinya. Dalam hal ini, Jerman memiliki jaringan listrik dengan voltase tingkat tinggi, voltase tingkat medium untuk distribusi listrik di area yang besar, dan voltase tingkat kecil untuk distribusi listrik ke rumah masyarakat. Storage juga memegang peranan penting untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah terpencil mengingat matahari hanya tersedia di siang hari dan pada malam hari kebutuhan listrik bisa mengambil dari storage. Namun, hal ini bukan permasalahan besar lagi karena Jerman sudah integrated dengan european interconnected electricity grid dan Jerman bisa dengan mudah mengenalkan semua jenis pembangkit listrik ke dalam jaringan. Oleh karena itu, Jerman dapat menyambungkan listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik baik dari solar panel maupun dari windmill ke dalam european interconnected electricity grid; dan kemudian secara otomatis dapat memenuhi kebutuhan listrik setiap saat, baik ketika matahari sedang tidak terlalu terik ataupun ketika kecepatan angin sedang tidak terlalu kencang. Hal menarik yang dapat diambil pelajaran dari industri listrik di Jerman adalah pemerintah membuat situasi yang kondusif dimana investor dapat dengan mudah masuk ke dalam pasar dan konsumen dapat bebas memilih jenis sumber listrik yang akan digunakan, dalam artian supplier listrik dengan mudah dapat menyambungkan listrik yang dihasilkannya ke dalam jaringan listrik dan juga konsumen dengan mudah dapat memilih jenis listrik yang akan digunakannya. Sistem feed-in tariff dalam industri listrik Pemerintah Jerman memperkenalkan sistem feed-in tariff untuk mendukung pengembangan energi baru dan terbarukan, khususnya industri solar panel dan windmill. Sistem ini menawarkan pendapatan jangka panjang untuk investor, bisa individu atau perusahaan, yang memasang solar panel dan windmill yang menyambungkannya ke dalam jaringan listrik. Jadi selama masih tersambung ke dalam jaringan listrik dan masih menghasilkan listrik, maka investor akan mendapatkan uang untuk setiap kwh yang dihasilkannya. Perbedaannya dengan skema insentif pajak adalah investor akan mendapatkan uang di 3 Berlaku untuk generator yang sudah ada dan sudah tersambung ke dalam jaringan listrik.

depan dalam satu waktu dan tidak ada insentif lain untuk operasional selanjutnya. Selain sistem tarif ini, investor di Jerman pun memiliki jaminan dari pemerintah bahwa uang yang telah diinvestasi oleh mereka akan kembali dalam payback period. Saat ini solar panel yang sudah tersambung ke dalam jaringan mencapai 2,5 GW per tahun dan windmill yang sudah tersambung ke dalam jaringan mencapai 3,5 GW per tahun. Di Indonesia, sistem feed-in tariff tidak untuk solar panel dan windmill karena masih banyak orang Indonesia yang berpikir bahwa kedua teknologi tersebut merupakan teknologi mahal; padahal teknologi tersebut tidak sepenuhnya mahal pada saat ini sebagai akibat dari peningkatan industri solar panel. Meskipun begitu, biaya instalasi di Indonesia menjadi relatif tinggi dibanding di Jerman dikarenakan tingginya biaya kapital di Indonesia sebagai akibat dari tingginya tingkat bunga yang dikenakan pada penyewaan lahan.

Program percepatan listrik di Indonesia Indonesia saat ini memiliki program percepatan listrik 35 GB dalam lima tahun, teknologi yang manakah yang dapat ditingkatkan penggunaannya dengan cepat? Jawaban menarik dapat dilihat dari pemerintah India yang memilih teknologi solar panel yang dapat diinstal dalam waktu yang singkat dan kemudian disambungkan ke dalam jaringan listrik. Pilihan teknologi ini dapat menambah kapasitas 8-10 GW per tahun di Indonesia. Contoh menarik lain adalah Jerman baru saja menginstal solar panel dengan kapasitas 8 GW dalam waktu 6 bulan. Menurut perhitungan dari Agora, Indonesia yang memiliki luas lahan lima kali dari luas lahan Jerman membutuhkan lahan dengan luas maksimum 15.000 m2 untuk instalasi solar panel yang lengkap sehingga dapat menghasilkan listrik sebesar 40.000 MW (atau sekitar 7-8m2/KW). Namun dengan tingkat efisiensi yang sudah sangat tinggi dari solar panel saat ini, maka hanya dibutuhkan sekitar 11.000-12.000 m2 untuk menghasilkan jumlah listrik yang sama. Sebagai bandingan, diperlukan 300 km2 (hampir 2% dari luas gurun sahara) untuk dapat menyediakan listrik untuk seluruh dunia dengan teknologi solar panel. Di samping solar panel, windmill pun memungkinkan untuk diinstal dan dimasukkan ke dalam jaringan listrik dalam waktu yang singkat dibandingkan dengan pembangkit listrik skala besar mengingat ada banyak isu terkait dengan pembangkit listrik skala besar, seperti, isu tanah, isu teknologi, isu lingkungan, isu keamanan, isu jumlah investasi yang sangat besar, isu lamanya waktu yang diperlukan (butuh waktu 5 tahun untuk desain pembangkit listrik dengan kapasitas 5 atau 10 GW). Dan ratusan windmill dapat dilakukan dengan cepat. Secara teknis, potensial angin di dataran rendah di Indonesia adalah 2-5 meter per second wind speed (dimana kecepatan ini lebih stabil dibanding di Jerman). Apabila generator yang sangat kecil di daerah dengan kecepatan angin seperti itu, maka windmill akan terus bergerak dan menghasilkan listrik secara konstan. Dengan cara lain, generator tersebut dapat diinstal di rooftop (atap) gedung yang membutuhkan listrik); dan itu hanya membutuhkan biaya instalasi 8-9 USD. Mengenai industri dan pasar listrik di Indonesia, hanya ada satu supplier listrik di Indonesia. Secara konstitusi, hanya satu perusahaan yang bisa menyediakan listrik di Indonesia, yaitu PLN; namun masyarakat tidak dibatasi dalam konstitusi untuk memilih listrik harus dari PLN. Jadi ketika ada pilihan solar panel yang diinstal di atap bangunan yang dilakukan secara masif di Jawa Bali, maka PLN mungkin akan menyadari bahwa dia harus merubah mekanisme penyediaan listriknya.