RESTORASI EKOSISTEM AREAL HUTAN DAN LAHAN BEKAS KEBAKARAN DI INDONESIA 1) Oleh : Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS 2)

dokumen-dokumen yang mirip
SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM SILVIKULTUR DI INDONESIA 1. Oleh: Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan 2

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

2 dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, teru

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEHUTANAN. Silvilkultur. Hasil Hutan Kayu. Pemanfaatan. Pengendalian. Areal.

SINTESA HASIL PENELITIAN PENGELOLAAN HUTAN ALAM PRODUKSI LESTARI KOORDINATOR: DARWO

Sistem Tebang Parsial & Tebang Habis

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI SIDANG

Hutan. Padang, 20 September Peneliti pada Balai Litbang Kehutanan Sumatera, Aek Nauli

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. unsur unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air, vegetasi serta

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

MODUL 1 SISTEM DAN TEKNIK SILVIKULTUR PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DI INDONESIA PADA DIKLAT WAS-GANIS PEMANENAN HUTAN PRODUKSI

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

Toleransi di bidang kehutanan berbeda dengan toleransi secara umum. Toleransi secara umum mengacu khusus pada ketahanan terhadap stres lingkungan

Peluang dan Tantangan bagi Pemilik Sumber Benih Bersertifikat (Pasca Ditetapkannya SK.707/Menhut-II/2013)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR SK.159/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG RESTORASI EKOSISTEM DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Baharinawati W.Hastanti 2

BAB I PENDAHULUAN. klimaks pada daerah dengan curah hujan mm per tahun, rata-rata

> MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

HUTAN: FUNGSI DAN PERANANNYA BAGI MASYARAKAT

BAB I PENDAHULUAN. dalam Suginingsih (2008), hutan adalah asosiasi tumbuhan dimana pohonpohon

KOMPOSISI TEGAKAN SEBELUM DAN SESUDAH PEMANENAN KAYU DI HUTAN ALAM

PENGARUH ELEVASI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KUALITAS KAYU MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

USAHA KEBUN KAYU DENGAN JENIS POHON CEPAT TUMBUH

PERTUMBUHAN TINGGI AWAL TIGA JENIS POHON MERANTI MERAH DI AREAL PT SARPATIM KALIMANTAN TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN MUARO JAMBI

ANALISA PERTUMBUHAN TEGAKAN MUDA MERANTI (Shorea sp.) DENGAN TEKNIK SILVIKULTUR INTENSIF (SILIN) DI PT. TRIWIRAASTA BHARATA KABUPATEN KUTAI BARAT

I. PENDAHULUAN. Industri dikenal sebagai hutan tanaman kayu yang dikelola dan diusahakan

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah


PENDAHULUAN. dengan yang lainnya tidak terpisahkan (Awang, 2002). kehutanan Indonesia adalah membagi lahan hutan kedalam pengelolaan yang

KRITERIA CALON AREAL IUPHHK-RE DALAM HUTAN PRODUKSI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 74/Menhut-II/2014 TENTANG

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Spesies-spesies pohon tersebut disajikan dalam Tabel 3 yang menggambarkan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 10.1/Kpts-II/2000 TENTANG PEDOMAN PEMBERIAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN MENTERI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

III. GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

Mengembalikan Fungsi Ekosistem. Fungsi Ekosistem 11/1/2013. Ruang Lingkup. Konservasi. Pemanfaatan dan pelestarian. Restorasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN Latar Belakang

REHABILITASI HUTAN BEKAS TERBAKAR

METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

KEBUTUHAN BENIH DAN PERMASALAHANNYA DI IUPHHHK

PENDAHULUAN. Pembangunan hutan tanaman bertujuan untuk meningkatkan. produktivitas lahan yang kurang produktif, meningkatkan kualitas lingkungan

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KERAGAMAN JENIS ANAKAN TINGKAT SEMAI DAN PANCANG DI HUTAN ALAM

KOMPOSISI DAN STRUKTUR VEGETASI HUTAN LOA BEKAS KEBAKARAN 1997/1998 SERTA PERTUMBUHAN ANAKAN MERANTI

PENYEMPURNAAN SISTEM SILVIKULTUR MENJADIKAN HUTAN LEBIH BAIK

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2007 TENTANG TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN, SERTA PEMANFAATAN HUTAN

DINAMIKA PERMUDAAN ALAM AKIBAT PEMANENAN KAYU DENGAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

UJI PENANAMAN DIPTEROKARPA DI JAWA BARAT DAN BANTEN

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM JALUR (TPTJ)

BAB I PENDAHULUAN. disekitarnya. Telah menjadi realita bila alam yang memporak-porandakan hutan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. saling terkait. Peristiwa banjir, erosi dan sedimentasi adalah sebagian indikator

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

CAPAIAN KEGIATAN LITBANG

BAB I PENDAHULUAN. Hutan di Indonesia merupakan sumber daya alam yang cukup besar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERMUDAAN ALAM dan PERMUDAAN BUATAN

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

BAB I PENDAHULUAN. berbagai kegiatan yang mengancam eksistensi kawasan konservasi (khususnya

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.41/VI-BPHA/2007 TENTANG

Makalah Utama pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian : Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. Padang, 20 September )

RIAP POHON JENIS DAUN JARUM DAN POHON JENIS DAUN LEBAR MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I.

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Multisistem.

Jenis prioritas Mendukung Keunggulan lokal/daerah

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

Herman Alfius Manusawai G

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 35 TAHUN 2002 TENTANG DANA REBOISASI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV METODOLOGI 4.1 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2 Bahan dan Alat 4.3 Metode Pengambilan Data Analisis Vegetasi

BAB I PENDAHULUAN. penting dalam kehidupan kita. Dalam hutan terdapat banyak kekayaan alam yang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

DEGRADASI DAN REHABILITASI HUTAN TROPIKA BASAH (KAJIAN FALSAFAH SAINS) PAPER INDIVIDU MATA AJARAN PENGANTAR FALSAFAH SAINS OLEH PRIJANTO PAMOENGKAS

ANALISIS KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR TEGAKAN DI HUTAN BEKAS TEBANGAN DAN HUTAN PRIMER DI AREAL IUPHHK PT

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.40/VI-BPHA/2007 TENTANG

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDUGAAN SIMPANAN KARBON DI ATAS PERMUKAAN LAHAN PADA TEGAKAN EUKALIPTUS (Eucalyptus sp) DI SEKTOR HABINSARAN PT TOBA PULP LESTARI Tbk

BAB 3 OBJEK PENELITIAN. IKH termuat di dalam Akte Pendirian Perseroan. Akte ini telah disahkan oleh

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB VI KELEMBAGAAN USAHA KAYU RAKYAT

Ekologi Padang Alang-alang

Transkripsi:

RESTORASI EKOSISTEM AREAL HUTAN DAN LAHAN BEKAS KEBAKARAN DI INDONESIA 1) Oleh : Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS 2) Pendahuluan Sumberdaya hutan beserta lingkungannya merupakan kesatuan sistem ekologis atau ekosistem yang mempunyai manfaat langsung dan tak langsung bagi manusia. Dalam ekosistem sumberdaya ini manusia bertindak sebagai konsumen, dan berperan aktif dalam menjaga kelangsungan dan manfaatnya. Kegiatan pengusahaan hutan dalam bentuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam adalah salah satu pendayagunaan sumberdaya alam oleh kegiatan manusia. Kegiatan ini pada hakekatnya adalah melakukan perubahan-perubahan dari ekosistem hutan yang umumnya sudah mantap. Perubahan dan gangguan terhadap ekosistem sumberdaya alam dan lingkungannya akan menimbulkan masalah lingkungan hidup yang baru, baik yang positif maupun negatif. Masalah lingkungan hidup ini ada yang langsung mempengaruhi kesejahteraan masyarakat, seperti masalah kesehatan, sosial ekonomi dan kualitas lingkungan hidup. Ada pula dampak yang tidak langsung dirasakan, seperti kerusakan ekosistem alam, berupa menurunnya produktifitas hutan. Multisistem Silvikultur Sejak keluarnya Peraturan pemerintah No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan sejak itu HPH mulai beroperasi di Indonesia dan disusul dengan Surat keputusan Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/DD/I/1972 tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia, Tebang Habis dengan Penanaman, Tebang Habis dengan Permudaan Alam dan Pedoman-pedoman pengawasannya. 1) Sumbangan Pemikiran untuk Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang Terdegradasi 2) Guru Besar Emeritus Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor

2 Lokakarya Pembangunan Timber Estate yang dilaksanakan 29 31 Maret 1984 di Fakultas Kehutanan IPB, Bogor dengan moto Kini Menanam Esok Memanen merupakan awal dari pembangunan Hutan Tanaman Industri karena padanan bahasa indonesia dari Timber Estate pada Lokakarya Pembangunan Timber Estate waktu itu diusulkan menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI). Lokakarya Pembangunan Timber Estate menelurkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 142/Kpts-II/1984 tgl 17 Juli 1984, tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri Tahun 1984/1985 dengan dana Jaminan Reboisasi dan Permudaan Hutan. Pengelolaan hutan sejak HPH dan HP HTI beroperasi baik pada IUPHHK Hutan Alam maupun IUPHHK Hutan Tanaman (HTI) sampai saat saat ini umumnya dilakukan dengan satu sistem silvikultur. Pengelolaan hutan dengan satu sistem silvikultur sudah tidak cocok lagi dengan kenyataan di lapangan, dimana areal hutan produksi khususnya pada IUPHHK hutan alam telah terftragmentasi menjadi berbagai tutupan lahan sesuai dengan tingkat degradasi Hutan yang terjadi. Yang sangat membutuhkan diterapkannya Multisistem silvikultur. Multisistem Silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih Sistim Silvikultur yang diterapkan pada suatu IUPHHK dan merupakan multi usaha dengan tujuan: mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi (Indrawan, 2008). Terfragmentasinya habitat pada areal IUPHHK menuntut perubahan paradigma pengelolaan hutan yang lebih baik dengan menerapkan satu atau lebih sistem silvikultur (Multisistem Silvikultur) pada suatu areal IUPHHK. Memperhatikan hal tersebut di atas dan dalam kerangka meningkatkan produktivitas hutan produksi di dalam areal kerja Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), maka upaya untuk merancang ulang pengelolaan areal hutan melalui penerapan multisistem silvikultur yang sesuai dengan karakteristik kawasan hutan setempat perlu mendapat perhatian para rimbawan. Melalui strategi ini, diharapkan potensi hutan alam produksi di areal kerja IUPHHK dapat dipertahankan dan ditingkatkan

3 sehingga mampu menghasilkan kayu dan hasil hutan lainnya secara lestari tanpa mengabaikan kelestarian fungsi ekologi dan fungsi sosial. Pada saat ini areal IUPHHK hutan alam telah terfragmentasi menjadi berbagai penutupan lahan. Fragmentasi areal IUPHHK hutan alam sangat membutuhkan pengelolaan melalui Multisistim Slvikultur untuk mengembalikan fungsi hutan baik fungsi ekonomis berupa kayu dan hasil hutan lainnya maupun fungsi ekologis berupa hidrologi, orologi dan perlindungan alam lingkungan serta fungsi sosial dan budaya masyarakat disekitar hutan. Berdasarkan simulasi model, diantaranya dapat dibuktikan bahwa menggunakan 3 sistem silvikultur (TPTI, TPTII dan THPB) memberikan proyeksi total produksi 378% lebih besar dibandingkan menggunakan kombinasi 2 sistem (TPTI dan TPTII). Selanjutnya campuran 3 sistem ini dapat menyerap 257% tenaga kerja dan 554% nilai NPV yang lebih besar daripada menggunakan campuran 2 sistem (TPTI dan TPTII). Dari aspek kebijakannya, penerapan multisistem silvikultur membutuhkan suatu aturan perundangan atau petunjuk teknis yang dapat menjelaskan dan mempertegas suatu kriteria batas dan arah penggunaan sistem silvikultur pada kondisi kluster kawasan yang sesuai. Permenhut No. N0. P11/Menhut-II/2009 tentang Sistem Silvikultur belum dapat digunakan sebagai dasar penerapan multisistem silvikultur di tingkat lapangan karena dapat menyebabkan tabrakan 3 sistem dalam pemanfaatan kluster kawasan hutan bekas tebangan. (Suryanto, 2009) Restorasi Ekosistem Restorasi Ekosistem adalah upaya untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur biotik (tanah, iklim dan topografi) pada kawasan hutan produksi sehingga tercapai keseimbangan hayati (Peraturan Menteri Kehutanan, No. P.18//Menhut- II/2004; Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK 159/Menhut- II/2004.) Restorasi ekosistem pada hutan hujan Tropika meliputi Ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) baik ekosistem hulu, tengah maupun hilir. Sebagai akibat adanya degradasi hutan hujan tropika baik didaerah hulu dan hilir DAS maka areal hutan menjadi tidak produktif baik ditinjau secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Areal hutan primer

4 berubah menjadi areal hutan bekas tebangan TPTI, areal hutan bekas kebakaran, areal hutan bekas illegal logging dan areal hutan bakes perladangan. Areal tersebut dapat berupa hutan sekunder, semak belukar dan padang alang-alang. Dimana pada areal tersebut terdapat berbagai macam vegetasi yang terbentuk sesuai dengan tingkat degradasi vegetasi pada areal tersebut. Restorasi ekosistem dengan menggunakan sistem silvikultur yang tepat perlu dilakukan agar supaya hutan dapat pulih kembali dan memenuhi fungsinya baik fungsi ekologi maupun fungsi ekonomi. Pemilihan Jenis Pohon Sebagai akibat adanya degradasi hutan hujan tropika baik didaerah hulu dan hilir DAS maka areal hutan menjadi tidak produktif baik ditinjau secara ekologi, ekonomi maupun sosial. Areal hutan primer berubah menjadi areal hutan bekas tebangan TPTI, areal hutan bekas kebakaran, areal hutan bekas illegal logging dan areal hutan bekas perladangan. Areal tersebut dapat dapat berupa hutan sekunder, semak belukar dan padang alang-alang, yang terbentuk sesuai dengan tingkat kekerasan dan atau frekuensi degradasi dari vegetasi alam yang sebelumnya merupakan hutan primer. Pada areal tersebut terjadi proses suksesi sekunder yang menuju pada keseimbangan alam yang dinamis (Hutan Klimaks) kalau tidak terdapat gangguan lagi. Vegetasi yang terbentuk setelah degradasi hutan merupakan pencerminan dari keadaan habitat. Pada Areal Hutan Bekas Tebangan TPTI secara ekologis paling sesuai untuk diterapkan, TPTI mengikuti kaidah alami dengan menebang jenis-jenis pohon komersial dengan limit diameter 50 cm keatas pada hutan produksi dan 60 cm keatas pada hutan produksi terbatas. Hasil tebangan TPI tersebar dalam bentuk rumpang pada areal bekas tebangan, menurut kerapatan jenis pohon komersial ditebang pada areal bekas tebangan. Sistim silvikultur TPTI paling sesuai untuk menjamin kelestarian manfaat hutan baik langsung maupun manfaat tidak langsung melalui rotasi tebang dan siklus hara. Areal Hutan Bekas Tebangan TPTI diperlakukan sebagai suatu ekosistem hutan, pada areal yang permudaan alamnya kurang (Nilai Frekuensi permudaan semai 40%) dilakukan penanaman pengayaan (Enrichment Planting). Dan pada areal yang permudaan

5 alamnya cukup (Nilai Frekuensi Tingkat permudaan semai 40%) dilakukan pembebasan tajuk baik pembebasan vertikal maupun pembebasan horizontal. Penanaman pengayaan bercermin pada jenis-jenis pohon yang ditebang dengan menggunakan jenis pohon terpilih dari famili Dipterocarpaceae (Shorea spp, Dipterocaprus, spp, Dryobalanops spp, Hopea spp dan Vatica spp dsb.) maupun jenisjenis pohon non Dipterocarpaceae yang bersifat setengah (Scyphyt) yaitu pada waktu muda membutuhkan naungan dan setelah dewasa membutuhkan sinar matahari penuh. Pada areal hutan yang tidak produktif dapat digunakan sistim silvikultur TPTJ dan atau sistim TPTII dengan teknik silvikultur Silin. Untuk sistem TPTJ Pengadaan bibit dapat berasal dari biji/benih (biji dan cabutan anakan alam), serta dari stek, baik stek pucuk jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae maupun stek sungkai (Peronema canestens).( SK. Menteri Kehutanan No. 435/KPTS II/1997 dan SK. Menhutbun. 625/Kpts-II/1998 tgl 10 September 1998), Untuk Teknik Silvikultur Silin (TPTII), Jenis-jenis pohon dari famili Dipterocarpaceae unggulan (Jenis-jenis Target) yang disarankan dan dapat merupakan pilihan untuk ditanam pada areal TPTII (Silin) adalah Jenis jenis pohon hasil uji jenis.. Jenis-jenis pohon hasil uji adalah sbb: Shorea leprosula, S. parvifolia, S. johorensis, S. smithiana, S. ovalis, S. platyclados, S. selanica, S. macrophylla, S. javanica, Dryobalanops sp. (Sukotjo, Subiakto dan Warsito, 2005). Pada daerah-daerah terbuka yang berupa semak belukar, padang alang-alang dipilih jenis jenis pohon yang bersifat in yang membutuhkan cahaya matahari penuh (Jenis pohon Heliophyt) seperti Jabon (Anthocephalus cadamba, Anthocephalus chinensis, Macaranga spp, Trema spp), Sengon (Paraserianthes falcataria, Acacia mangium, Eucalyptus spp, Tectona grandis), dsb. Pemilihan jenis pohon yang sesuai dengan ekologi lahan-lahan yang terdegradasi sangat dibutuhkan untuk keberhasilan restorasi ekosistem. Jenis asli setempat adalah jenis yang terbaik untuk ditanam pada daerah yang bersangkutan, bila jenis asli tidak sesuai dengan pengembangan ekonomi daerah yang bersangkutan dapat didatangkan jenis exotik baik dari luar pulau atau luar daerah yang secara ekologi sesuai dengan areal

6 restorasi. Dalam pemilihan jenis untuk Multisistim Silvikultur (MSS) pertama-tama perlu ditentukan jenis-jenis pohon yang sesuai dengan masing-masing tipe iklim, mulai iklim humida (basah) hingga iklim yang kering. Ditentukan pula jenis-jenis pohon menurut kesesuaiannya pada letak tinggi di atas permukaan laut. Selanjutnya dipilih menurut persyaratannya mengenai keadaan tanah dan kedudukan serta sifat dalam tegakan hutan (sinya terhadap cahaya).persyaratan tumbuh dari jenis-jenis pohon terhadap tipe hujan, letak tinggi di atas permukaan laut, sinya terhadap cahaya dan hubungannya dengan keadaan tanah disajikan pada Tabel 2. (Soerianegara dan Indrawan, 2015).

7 Tabel 2. Hubungan antara jenis-jenis tanaman dengan keadaan ekologis No. Jenis Tanaman Tipe Hujan Kebutuhan Cahaya Ketinggian dpl (m) Kedalaman Keadaan tanah Kesuburan Drainage (ketahanan jenis terhadap kekurangan Oksigen (O 2)) 1 2 3 4 5 6 7 8 1. Acacia auriculiformis C, D In 0-800 Toleran thd. tanah dangkal Toleran thd. - tanah 2. Acacia decurens A, B, C In 1000-2000 Tidak diketahui Tidak diketahui - 3. Acacia catechu B, C, D In 0 400 Toleran thd tanah dangkal Toleran pada - tanah 4. Agathis borneensis A, B Setengah 0 400 Toleran thd tanah dangkal Membutuhkan - 5. Agathis labillardieri A, B Setengah 0 800 Membutuhkan tanah dalam Membutuhkan - 6. Agathis loranthifolia A, B Setengah 400 1200 Membutuhkan tanah dalam Membutuhkan - 7. Albizia falcataria A, B, C In 0 1200 Toleran thd tanah dangkal Membutuhkan 50 60 hari 8. Albizia lebbeck C, D In 0 800 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah 60 70 hari 9. Altingia excelsa A Toleran 600 1600 Membutuhkan tanah dalam Membutuhkan - 10. Athocephalus cadamba A, B, C, D In 0 1200 Toleran thd tanah dangkal Tidak diketahui - 11. Cassia siamea C, D In 0 800 Toleran thd tanah dangkal Toleran thd tanah 40 50 hari 12. Castanea javanica A Toleran 300 1600 Membutuhkan tanah dalam Membutuhkan 30 40 hari 13. Casuarina equisetifolia A, B, C, D In 0 400 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah 90 100 hari 14. Casuarina junghuhniana A, B, C, D In 400 1200 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah - 15. Dalbergia latifolia B, C, D In 0 800 Toleran thd tanah dangkal Toleran thd tanah 70 80 hari

8 No. Jenis Tanaman Tipe Hujan Kebutuhan Cahaya Ketinggian dpl (m) Kedalaman Keadaan tanah Kesuburan Drainage (ketahanan jenis terhadap kekurangan Oksigen (O 2)) 1 2 3 4 5 6 7 8 16. Dalbergia sisse B, C, D In 0 800 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah 50 60 17. Dryobalanops aromatica A Setengah 0 400 Tidak diketahui Tidak diketahui - 18. Eucalyptus alba C, D In 0 800 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah 40 50 hari 19. Eucalyptus alba sub species D In - Toleran thd tanah dangkal Toleran thd tanah - platyphylla 20. Eucalyptus deglupta A, B In 0 800 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah - 21. Eucalyptus grandis C, D In 800 1200 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah - 22. Eucalyptus saligna C, D In 800 1200 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah - 23. Eucalyptus umbellata C, D In 800 1200 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah - 24. Gmelina arborea B, C, D In 0 800 Membutuhkan tanah dalam Membutuhkan - 25. Legerstroemia speciosa A, B Setengah 0 400 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah - 26. Maesopsis eminii B, C, D In 400 1200 Tidak diketahui Tidak diketahui - 27. Melaleuca leucadendron A, B, C, D In 0 400 Toleran thd tanah dangkal Toleran thd tanah - 28. Pinus caribaea B, C, D In 0 800 Toleran thd tanah dangkal Toleran thd tanah - 29. Pinus insularis B, C In 800 1200 Toleran thd tanah dangkal Toleran thd tanah 40 50 hari 30. Pinus kasya B, C, D In 800 1200 Toleran thd tanah dangkal Toleran thd tanah - 31. Pinus merkusii B, C, D In 200 1700 Toleran thd tanah dangkal Toleran thd tanah 40 50 hari

9 No. Jenis Tanaman Tipe Hujan Kebutuhan Cahaya Ketinggian dpl (m) Kedalaman Keadaan tanah Kesuburan Drainage (ketahanan jenis terhadap kekurangan Oksigen (O 2)) 1 2 3 4 5 6 7 8 32. Podocarpus imbricatus A, B, C Setengah 1200 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah - 33. Pterospermum javanicum A, B, C In 0-400 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah - 34. Santalum album C, D In 0-800 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah 10 20 hari 35. Schima noronhoe A, B Toleran 800 1200 Membutuhkan tanah dalam Membutuhkan - 36. Swietenia macrophylla B, C, D Toleran 0 800 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah 70 80 hari 37. Swietenia mahagoni C, D Toleran 0 800 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah 70 80 hari 38. Shorea javanica A, B, C Setengah 0 400 Tidak diketahui Toleran thd tanah - 39. Shorea leprosula A, B, C, Setengah 0 400 Tidak diketahui Toleran thd tanah 60 70 hari 40. Tectona grandis C, D In 0-800 Membutuhkan tanah dalam Toleran thd tanah 0 10 hari Keterangan : Sumber : de Hulster, 1974. Reforestation in eroded soil H. Djiun, 1960. Diktat Silvikultur khusus Sukotjo, 1976. Silvika

10 Areal Hutan Bekas Kebakaran Beberapa kali terjadi kebakaran hutan besar sejak tahun 1980 yaitu tahun 1982/1983, 1987, 1991, 1994 dan 1997/1998 meliputi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Riau, Jambi, Sumatra Selatan dan Sumatra Barat (KLH dan UNDP, 1998) disamping Sulawesi dan Irian Jaya. Kebakaran hutan terbesar 1982-1983 di Kaltim yang meliputi 3,5 juta ha (56 kali luas Negara Singapura), sangat mengejutkan dunia. Bencana kebakaran hutan yang terbesar sapanjang sejarah Indonesia terjadi pada tahun 2015 dan mencapai puncaknya sekitar Juni-Oktober yang membakar 2,61 juta ha hutan dan lahan yang menyebabkan kerugian 221 triliun rupiah dan mnimbulkan kabut asap pekat yang mengakibatkan 24 orang menungggal serta 600.000 jiwa menderita inveksi saluran pernafasan akut (ispa) (CNN Indonesia, (2015) Rehabilitasi Hutan Bekas Kebakaran mutlak dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas Areal Hutan Bekas Kebakaran. Beberapa pemikiran pokok dapat dikemukakan sebagai berikut: Pada Areal Hutan Bekas Kebakaran yang terbakar dengan kerusakan berat (jumlah pohon hidup dan sehat 25-50 %) dan kerusakan sangat berat (jumlah pohon yang hidup dan sehat < 25%) diterapkan sistim Tebang Habis Dengan Permudaan Buatan (THPB). Pada areal Hutan Bekas Tebangan yang terbakar ringan (pohon hidup >75 %) dan terbakar sedang (pohon hidup 50 75 %) dapat dilakukan dengan sistim Tebang Pilih Tanam Jalur ( TPTJ). Pada virgin forest yang terbakar ringan dan sedang dapat dilakukan dengan sistim TPTI. Sedangkan pada virgin forest yang terbakar berat dan sangat berat dapat dilakukan THPB (Tebang Habis dengan permudaan buatan) Penutup Rehabilitasi Areal Hutan yang telah terdegradasi baik karena kebakaran hutan dan kegiatan2 lainnya sebaiknya segera dilakukan dangan melibatkab perusahaan pemegang Hak Baik IUPHHK, Perkebunan. dan masyarakat di sekitar hutan. Rehabilitasi hutan

11 dapat dilakukan dengan sistim Comunity Development melalui Hutan Rakyat atau Hutan Tanaman Industri dengan Koperasi Tani Hutan. Kepmen LHK dan PP untuk Multisistem Silvikultur diharapkan segera terealisir. Yang diikuti dengan. Pedoman dan Petunjuk Teknis tentang Rehabilitasi areal hutan yang tersegradasi terutama areal hutan bekas kebakaran. Daftar Pustaka CNN Indonesia. 2015 Bencana Besar di Indonesia Sepanjang 2015. Departemen Kehutanan.2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK 159/Menhut- II/2004. tentang Restorasi Ekosistem di Kawasan Hutan Produksi. Dephut. Jakarta. Departemen Kehutanan.2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut- II/2004. tentang Kriteria Hutan Produksi yang Dapat Diberikan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam dengan Kegiatan Restorasi Ekosistem. Dephut. Jakarta. KLH dan UNDP. 1998. Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. Dampak, Faktor dan Evaluasi. Kantor menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta. Soekotjo, A. Subiakto dan S. Warsito 2005. Project Completion Report ITTO. PD 41. Faculty of Forestry. Gajah Mada University. Yogyakarta. Soekotjo. 2009. Teknik Silvikultur Intensif. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Soerianegara dan Indrawan, 2015. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB. Suryanto, 2009. Model dan Simulasi dalam Pengambilan Keputusan Sistem Silvikultur dan Aspek Kebijakannya. Paper dibawakan pada Seminar Gelar Teknologi Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 19 Nov 2009.